Hari ini aku sangat lelah rasanya, kulajukan sepeda motor dengan kecepatan penuh agar segera sampai rumah. Biasanya kalau sudah mengeluh capek Sheila pasti akan langsung pijitin aku, rasanya aku sudah tidak sabar untuk segera sampai di rumah.
Sesampainya dirumah tidak ada lagi sambutan ketika aku pulang, padahal biasanya Sheila pasti paling senang kalau melihat aku pulang kerja. Bahkan ia selalu langsung lari peluk dan cium aku, tetapi kini rasanya rumah sepi tanpa keceriaannya lagi.Krek…Kutarik handle pintu yang tidak terkunci itu, mataku melirik kesana kemari mencari keberadaan Sheila, tetapi tidak ada tanda-tanda dirinya. Feelingku mengatakan ia pasti masih berada didalam kamar, dan benar saja kulihat ia masih berbaring dan terus menangis diatas kasur.
"Shel, aku capek banget hari ini loh," ucapku sembari mengelus rambutnya yang lembut.Sheila malah menepis sentuhanku dengan kasar lalu berkata, "aku lebih capek, nangis berhari-hari kamu buat Bang!""Siapa yang suruh kamu nangis? Kan gak ada yang nyuruh kamu nangis.""Gak ada yang nyuruh aku nangis, tapi kamu yang uda buat aku nangis. Kamu amnesia ya? Pake nanya segala!""Yaudah, Abang minta maaf. Lagi pula Abang gak punya calonnya juga kalau mau nikah lagi, itu kan cuma keinginan saja Dek!""Keinginan yang suatu saat akan Abang lakukan? Udahlah Bang, jangan banyak alasan deh. Sheila gak mau dimadu Bang, kalau nanti Abang memang mau menikah lagi Sheila lebih baik minta cerai, Sheila gak suka berbagi surga dengan wanita lain!""Kamu jangan egois dong Shel, aku juga pengen punya anak. Kamu seharusnya bisa ngerti, lagi pula aku juga bakalan bisa adil kok!""Apa gak bisa kamu sabar! Allah cuma belum kasih kita kepercayaan, tapi kenapa Bang kamu malah mau menikah lagi. Segitu gak berharganya ya aku dimatamu Bang? Aku memang anak gak jelas yang bahkan orang tuaku juga gak inginkan kehadiranku, tapi kenapa kamu juga tega seperti ini padaku!" Isak tangis Sheila semakin pecah, matanya sudah membengkak karena terlalu banyak menangis. Aku tidak tega dan mencoba memeluknya, tetapi ia malah mendorongku dengan kasar."Ahh, terserah lah Shel!" Aku beranjak pergi meninggalkan Sheila, dengan cepat kuraih handuk dan lekas pergi mandi membersihkan diri yang sudah terasa lengket. Padahal awalnya mau minta pijitin, tapi orangnya malah ngamuk-ngamuk gak jelas.Malam itu tidak ada percakapan diantara kami, walau bertengkar aku tetap menemani Sheila tiduran dikamar dengan hanya bermain ponsel sendirian. Naluriku berkata rindu dengan sikap manja sheila yang dulu, biasanya ia suka isengin dan ganggu aku saat sedang asik bermain ponsel, tetapi kini ia hanya berbaring membelakangiku.Tiba-tiba saja saat aku men scroll video tanpa sengaja aku melihat video panas di f******k,dan entah mengapa hasratku sangat ingin melakukannya, dan bahkan perkakasku sudah tegak sendiri. Sesekali aku melirik ke arah Sheila, dan perkakasku malah semakin meronta-ronta saat melihat lekuk tubuhnya dari belakang. Duh, aku tidak pernah minta duluan, masa sih kali ini aku yang minta? Pasti Sheila akan menertawaiku, tetapi aku benar-benar sudah tidak dapat menahannya lagi."Shel, kamu gak pengen," bisikku di telinga Sheila."Gak," sahutnya ketus. Baru kali ini ia menolak, dan aku tidak menyangka ia bisa tahan dua hari tidak kusentuh."Abang yang diatas deh, Sheila kan suka kalau Abang yang di atas!""Gak!""Tapi aku lagi pengen Shel, kalau nolak kamu berdosa!" seruku dengan kesal."Gak berdosa menolak, karena suaminya aja mau nikah lagi!""Ahh, bodo amat. Kalau gak mau aku paksa deh, kamu juga biasanya paksa aku kalau aku gak mau!"Dengan cepat aku membalikkan tubuhnya, kini Sheila tepat berada di bawahku. Aku menatap wajahnya yang cantik, tetapi ia malah memalingkan wajahnya dan terus meronta minta dilepaskan. Aku tidak peduli dengan rengekan nya dan langsung saja menerkam Sheila bagaikan mangsa, aku benar-benar tidak percaya karena baru pertama kali aku memperkosa istriku sendiri secara paksa.Rasanya sangat berbeda dengan biasanya, kali ini aku yang jauh lebih agresif darinya, dan bahkan Sheila tidak melakukan apa-apa selain diam bagaikan patung. Padahal aku sangat rindu dengan permainannya yang selalu membuatku kewalahan, tetapi hari ini sepertinya aku kurang beruntung.Setelah cukup puas, aku enggan melepaskan Sheila dalam pelukanku. Entah mengapa rasanya aku tidak ingin kehilangan gadis ini, apakah mungkin aku sudah dapat mencintainya? Entahlah, aku masih tidak mengerti dengan perasaanku sendiri.Keesokan harinya aku terbangun dari tidurku, kulihat Sheila masih terlelap dalam dekapanku. Aku terus saja menatapnya, kuperhatikan lama-lama ia terlihat sangat cantik, bibirnya yang mungil dan bulu matanya yang lentik membuat ia terlihat sangat imut. Tanpa sadar aku mencium bibirnya, terasa sangat hangat yang membuatku enggan melepaskannya, hal itu tiba-tiba saja membuat Sheila terbangun dari tidurnya. Ia sangat kaget sembari memegang bibirnya yang baru saja kucium, aku hanya cengengesan sembari menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Gak usah cium-cium aku lagi, nanti kamu cium aja istri barumu!" ketus Sheila dan langsung beranjak dari tempat tidur.Tidak terasa waktu sudah menjelang magrib, setelah selesai makan Bang Habib langsung mencuci piring. Hari ini ia sangat memanjakan aku sampai-sampai mencuci piring saja pun ia yang mengerjakan sendiri, semua ini ia lakukan hanya semata-mata untuk menebus semua kesalahannya tadi.****Keesokan harinya seperti biasa aku ikut dengan Bang Habib saat berangkat kerja, ia akan mengantarkan aku ke rumah sakit untuk menjaga Aisyah. Syukurlah ini hari terakhir Aisyah dirawat, karena keadaannya yang sudah mulai membaik sore ini ia sudah diperbolehkan untuk pulang.“Hati-hati di jalan ya Bang,” kataku sambil mencium punggung tangan Bang Habib.Ia mengelus kepalaku dengan lembut lalu berkata, “adek juga hati-hati ya, jangan genit-genit sama Dokter yang ada disini.”“Siapa maksud Abang? Dokter Revan?”“Ya, pokoknya semua Dokter lah. Gak hanya Dokter saja pokoknya semua laki-laki,” ucapnya menoel hidungku pelan.“Ya ampun, Dokternya juga pilih-pilih. Mana mungkin mau sama Ibu beranak satu,” kataku m
"Tuh lah, rasain! Punya istri cantik, pintar, baik hati, rajin disia-siakan," sindir ku padanya. "Iya lah Abang salah, itu kan masa lalu gak usah dibahas lagi. Jadi sekarang Adek mau makan apa, biar Abang masakin?""Oke, karena Abang yang nantangin. Adek mau makan ayam geprek, sambalnya yang pedes ya Bang. Soalnya anak Abang lagi pengen makan yang pedes-pedes nih," ujarku sambil mengelus perut yang sudah mulai membuncit. "Siap Bos," kata Bang Habib yang ikut mengelus perutku. "Kalau gitu Abang keluar dulu ya, mau beli bahan-bahannya. Adek tunggu di kamar aja nanti kalau uda matang Abang panggil," imbuh Bang Habib mengelus kepalaku dengan lembut. Aku tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala, lalu ia mencium keningku dan mencubit pipiku dengan gemas.Bang Habib berlalu pergi keluar kamar, tidak lama kemudian aku mendengar suara deru motornya pergi dan tidak butuh waktu yang lama ia sudah kembali. Awalnya aku susah curiga mengapa ia sangat cepat kembali, karena tukang potong ayam b
POV SHEILA… Rasa trauma masa lalu kini menghantuiku. Seandainya kamu jujur sejak awal Bang, aku tidak mungkin akan sesakit ini. Coba kau ada diposisiku sebentar saja, agar kau tau betapa hancurnya saat kebohongan-kebohongan mu menggerogoti batinku.Aku menyeka air mata yang membasahi pipi, setiap teriakan demi teriakan tidak di hiraukan oleh Bang Habib. Ia tetap kekeh mencengkram kaki-kakiku kuat, enggan memberi cela aku untuk pergi. "Tolong tetap disini Dek, malu sama Umi dan Abi kalau setiap ada masalah kita libatkan mereka. Aisyah sedang sakit, jangan buat tambah beban pikiran orang tua lagi," lirih Bang Habib merayu. Aku menelan saliva dengan susah payah, memang apa yang dikatakannya benar. Akan tetapi, hatiku terasa perih saat melihat wajahnya. Entah mengapa bayang-bayang wajah Wenda membuat aku membenci suamiku sendiri.Aku mulai mengendur dan meredam ego perlahan. Tanpa berkata apa-apa aku berbalik kembali masuk ke dalam kamar, ku hempaskan tas di tangan dan kuletakkan Hafiz
"Aku bawa mobil kok, jadi tidak perlu diantar. Kalau begitu aku pamit pulang ya, assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Wenda pun pergi menghilang masuk kedalam mobilnya, ia menyalakan mesin mobil lalu membuka kaca jendela dan melambaikan tangan pada Hafiz."Mau aku antar," cibir Sheila menyindirku lalu ia kembali masuk ke dalam rumah. Ia duduk di sofa sambil memainkan cream kue dengan sendok, tampaknya ia merasa sangat kesal denganku. Aku datang menghampirinya, lalu duduk tepat di sampingnya. Aku berusaha untuk membujuk Sheila dengan cara menggodanya, tetapi ia tidak peduli dan malah membalikkan tubuhnya membelakangiku. Bahkan ia juga menjauhkan Hafiz dariku, aku tidak dapat menyentuh anakku sendiri. Sontak hal itu membuat aku lepas kendali, emosi yang sejak tadi terpendam kini aku keluarkan semuanya "Kamu ini kenapa sih Dek? Dikit-dikit ngambek, buat suami bosen aja dirumah!" seruku kesal. "Oh jadi Abang bosan dirumah? Jadi, kenapa gak ikut Wenda pergi aja tadi!" sahutnya bersungu
Dia tinggal ngomong sih enak, gak ngerti posisiku seperti apa. Dia juga gak tau bagaimana kebaikan Wenda selama ini pada keluargaku, jadi bisa saja Ridwan bicara seperti itu.Aku menyesap kopi susu dingin yang diberi oleh Ridwan, kini rasanya aku tidak ingin memikirkan masalah apa pun. Otakku sudah terasa buntu memikirkan masalah pekerjaan, dan kini malah di tambah lagi perihal wanita yang tiada habisnya. Aku kembali masuk ke dalam kantor dan kembali bekerja. Niat hati tidak ingin memikirkan hal itu lagi, tetapi tetap saja aku kepikiran. Bagaimana bisa Sheila merencanakan hal seperti itu, kenapa dia bisa berpikir sejauh itu sih. Apa mungkin Risa hanya mengada-ngada saja? Ah Entahlah… Hari mulai menjelang sore, dengan pikiran yang masih berkecamuk aku pulang menunggangi kuda besi kesayanganku. Sepanjang perjalanan aku masih terus saja memikirkan ucapan Risa, bagaimana jika yang ia katakan benar. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana terkoyaknya hati Wenda nantinya. Dulu aku dan Wend
"Abi, silahkan duduk sini. Sheila buatkan teh ya," kata Sheila yang langsung bangkit dan hendak ke dapur. "Tidak usah repot-repot, Abi hanya sebentar kok," tolak Abi menahan Sheila. Sheila pun kembali dan duduk disamping Abi lalu berkata, "ini sebenarnya ada apa Abi?"Abi tersenyum tipis lalu menatapku, aku terus menunduk ketakutan. Jantungku berdetak tidak karuan, keringat dingin terus saja mengalir dari dahi."Jadi gini Shel, Umi kan sedang sakit. Kamu boleh gak jaga Aisyah dari pagi sampai siang saja, setelah itu Darwis yang bakal gantikan. Abi juga harus jaga Umi dirumah," tutur Abi pelan. Aku langsung merasa sangat lega saat mendengar penuturan beliau. Duh, Abi malam-malam sudah buat olahraga jantung saja batinku."Habib izinkan Sheila menjaga Aisyah untuk beberapa hari saja menggantikan Umi?" tanya Abi seraya menatapku. "Eh… Kalau Habib sih mengizinkan Abi, apalagi selama ini Aisyah yang selalu menemani Sheila saat menjaga Hafiz," sahutku sedikit gagu akibat spot jantung baru