Share

3

Semua telah berkumpul di kediaman orang tua Midah. Semua sangat bersemangat dan senang, senda gurau selalu dilayangkan. Kala beberapa orang pergi, karna telah menyepakati di mana tempat bertemu. 

"Nak, kalian akan pergi naik apa?" tanya Ibunya Midah atau neneknya Panji, memegang bahu sang cucu.

"Iya, Pan. Kalian naik apa perginya, kalau kami sih ada motor, tapikan cuma satu," seru Midah menatap anak dan menantunya.

"Tenang saja, Bu. Nanti juga jemputan datang kok, Ibu tak perlu naik motor panas-panasan. Lagi pula takut mogok," ujar Panji membuat yang mendengar naikan alis penasaran.

"Huh, kalian mau pake apa. Segala biar gak kepanasan, ohh jangan-jangan becak ya," cemoh Dewi kala mendengar perkataan Panji.

"Gak papa kalau pake becak juga, Pan. Lumayan gak kepanasan," sahut Midah hanya dibalas anggukan anak dan menantunya. 

"Huh, pake becak aja belagu, paling nanti ketinggalan jauh sama kita," cibir Dewi lalu meminta agar suaminya cepat menstater motor dan berlalu pergi diikuti Dimas yang membonceng sang istri.

"Sabar ya, Nak. Jangan dimasukan ke hati ucapanan Bibimu," kata Ibu Midah menatap cucunya yang hanya dibalas senyuman dan anggukan Panji. 

"Tak apa, Nek," balas Panji lalu kedua orang tua Midah pamit untuk pergi mengikuti mereka yang sudah berlalu. 

"Pak, Bapak masukin motornya aja dulu," usul Panji yang dibalas anggukan sang Bapak.

Suara deru mobil terdengar, semua mengalihkan tatapan pada kendaraan roda empat tersebut. Di sana hanya tinggal orang tua Panji dan keluarga kecilnya. Hana yang melihat taksi sudah datang, ia izin dulu untuk menidurkan sang anak. Gadis kecil itu sangat gampang tertidur, setelah menerima anggukan Panji, dia lekas melangkah dan dibukakan pintu oleh supir.

"Bu, tolong paling Bapak, jemputan sudah datang," pinta Panji membuat Midah yang mematung melihat taksi langsung terkejut lalu ia mengangguk mengerti.

"Pak ...," panggil Midah pada suaminya yang tengah meneguk air di dapur karna haus. 

"Ada apa sih, Bu, teriak-teriak kaya di hutan aja," balas sang suami membuat Midah memajukan bibirnya kesal.

"Ayo cepat keluar, jemputan kita sudah datang," seru Midah membuat lelaki itu mengangguk mengerti lalu berjalan beriringan bersama sang istri.

"Pak, kalau naik taksi biayanya mahal gak?" tanya Midah membuat Hasan melirik sang istri dengan riak bingung. 

"Lumayan, memang ada apa, Bu? Jangan minta Bapak berhentiin taksi ya,  Bapak gak sanggup," seru Hasan membuat Midah menatap kesal sang suami karna main tuduh saja.

"Huh, Ibu juga gak bakal minta itu. Karna kita gak mampuh, tapi anak kita Panji tadi bilang taksi yang ada di depan rumah adalah jemputan yang dipesan dia, ya ampun gak kebayang uang yang keluar dari dompet anakku," ujar Midah dramatis membuat Hasan menaikan alisnya.

"Ibu ini jangan bercanda deh, mana mungkin anak kita mesen taksi. Ayo cepat! Kasian mereka nungguin kita," tutur Hasan menarik lengan istri yang hanya dituruti Midah.

"Bapak, Ibu, akhirnya kalian keluar. Ayo masuk,  jangan lupa kunci pintu," pinta Panji menatap orang tuanya yang keluar dari pintu lalu Midah segera melakukan apa yang dikatakan sang anak.

"Taksi, Pak. Ayo masuk, cuaca semakin terik," ajak Panji menggandeng lengan kedua orangtuanya.

"Kita naik apa, Nak?" tanya Hasan kala melihat sekitar tidak menemukan apapun, hanya sebuah taksi yang mustahil dipikirannya sang anak memesan itu.

"Bapak di depan, biar kami dibelakang," celetuk Panji lalu mempersilakan sang bapak masuk ke mobil. 

"Nak, apa kamu gak pegel memangku Mawar. Biar Ibu saja yang memangku dia," pinta Midah tetapi disambut gelengan Hana. 

"Gak perlu, Bu. Biar Mas Panji saja," seru Hana dibalas anggukan sang suami lalu lelaki itu segera membawa Mawar dalam pangkuannya.

"Nak, apa gak berlebihan naik ini, pasti ongkosnya mahal," bisik Midah pelan, takut terdengar sang supir. 

"Tenang saja, Bu, Ibu tak perlu memikirkan hal itu, tinggal nikmati saja," ucap Panji seraya mengulas senyum.

Disaat semuanya telah sampai dan berkumpul, orang tua Midah tengah menunggu sang anak dan keluarga kecil cucunya dengan cemas. Dewi yang melirik sang Ibu yang bolak-balik aja membuat ia mendengkus lalu mendekat mencekal tangan wanita paruh baya tersebut. 

"Bu ... bisa diem gak, aku pusing liatinnya," gerutu Dewi membuat orang tuanya menatap kesal. 

"Kalau pusing ya jangan diliatin, gitu aja repot," sembur Enas orang tua Midah termasuk Dewi. 

"Huh, Ibu gak usah nungguin mereka. Mereka pasti lama banget sampenya," seru Dewi membuat Enas menghela napas tapi tidak mengindahkan kata-kata sang anak. 

"Sudah, kalau kalian bosen menunggu mereka mendingan kalian duluan aja, biar Ibu dan Bapak saja yang menunggu mereka," tutur Enas membuat semua menatap dirinya.

"Tidak, Nek, kami akan ikut menunggu seperti kalian," sahut Gina membuat Dewi menoleh dan menatap tajam sang menantu.

"Kamu apa-apaan sih, Gin, malah mau nungguin mereka," sembur Dewi pelan seperti berbisik tapi penuh amarah kala sudah berada disamping sang menantu.

"Huh, Ibu ini. Kita kan mau mempermalukan mereka, itu memon yang pas, pas mereka turun dari kendaraan yang kita perkirakan becak," jelas Gina berbisik pelan membuat Dewi terdiam sebentar lalu menyeringai. 

"Tak salah Ibu memilih menantu, kamu sangat pintar," puji Dewi membuat Gina tak tahan mengembangkan senyumannya, Dimas yang sedari tadi menguping tersenyum bahagia.

"Istriku memang pintar Bu," ucap Dimas bangga membuat orang yang mendengar langsung menoleh ke arah mereka.

Disaat Dimas menjadi pusat perhatian, suara deru kendaraan membuat semua menoleh. Beberapa mengeryitkan alis kala melihat mobil itu berhenti di dekat mereka. Kala pintu taksi terbuka, netra mereka membulat lalu bibir mangap karena terkejut. 

"Itu Panji dan keluarganya, bagaimana bisa mereka naik taksi," gumam salah satu dari mereka. 

Setelah kendaraan roda empat tersebut pergi, Enas langsung mendekat. Mawar sudah bangun, gadis kecil itu berdiri di samping sang Ibu, ia terus menggenggam jemari Hana karena takut di tinggal. Dewi yang jiwa julidnya merontah plus kepo dia mendekat lalu menatap menghina ke arah mereka. 

"Huh ... gaya-gayaan make taksi, uang ludes baru tau rasa kamu," cibir Dewi membuat Hana marah lalu menatap nyalang ke arah sang Bibi. 

"Apaan kamu, mau marah, lah ini fakta kok," sembur Dewi sekali lagi tetapi Gina segera menarik lengan sang mertua kala melihat tatapan murka Enas. 

"Jaga ucapanmu, Nak. Terserah mereka mau naik apa, kenapa kamu yang sewot." Enas berkata dengan nada kesal, Dewi yang mendengar sang Ibu selalu membela keluarga Midah membikin ia marah lalu menghentakan kakinya. 

"Mendingan kita langsung ke sana saja, Nek, kan mereka sudah sampai," usul Gina mengalihkan pembicaraan membuat Enas mengangguk lalu mengajak semuanya agar pergi ke tempat tujuan.

"Ngapain sih kamu, padahal Ibu belum puas menghina mereka," geram Dewi menatap sang menantu yang terus memegang lengannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status