KETIKA KEPALA PREMAN MENIKAHI USTAZAH
Kejutan Selepas Makan Malam
PART 4
Daisah sudah terlanjur jatuh sayang terhadap Zhalika. Nasib hidup yang sudah dijalani gadis itu, membuat hati dari ibunya Sadewa itu terenyuh. Naluri menjaga dan melindungi hati seorang ibu saat ini seperti tercurahkan sepenuhnya untuk Zhalika.
Daisah teramat meyakini jika gadis ini bukan hanya santun, cantik, dan baik, tetapi juga punya hati yang bersih dan tulus. Kesulitan hidup yang dijalani membuat Zhalika justru menjadi sosok yang membawa dan menebarkan manfaat. Kesedihan tidak membuatnya menjadi manusia terpuruk yang hanya sibuk menyalahkan takdir, dan itu sama persis seperti saat Daisah harus berjuang menghidupi ketiga anaknya yang masih kecil-kecil, ketika suaminya tercinta harus mati terbunuh yang sampai saat ini si pembunuhnya sendiri masih bebas berkeliaran.
Sembari menggenggam tangan Zalikha, Ibu Daisah mengajak guru mengajinya itu menuju ruang makan keluarga, setelah pembantu rumah beliau, Mbak Fitri memberitahukan jika semua hidangan sudah dipersiapkan di atas meja makan.
Berbagai macam jenis hidangan tersedia di meja, layaknya seperti hidangan prasmanan, itu pun Daisah masih saja sibuk menanyakan, apakah Sate dan rendang yang dia pesan kepada Sadewa sudah dibelikan.
"Coba Ratih, tanyakan sama Abang, sudah dibelikan belum pesanan ibu tadi."
"Iya, Bu." Ratih lantas berdiri hendak menyusul Sadewa, dan bertepatan di saat Sadewa masuk ke ruang makan sembari membawa pesanan sang ibu dalam dua buah kantong plastik, sembari ingin menyerahkan kantong tersebut kepada sang Ibu.
"Sekalian ditempatkan di piring Dewa, masa begitu saja tidak bisa."
"Baik, Bu." Sembari Sadewa mengambil dua buah piring dan meletakkan makanan pesanan ibunya kedalam piring-piring tersebut. Sadewa memang tidak pernah menolak apapun yang diperintahkan Ibunya. Penguasaan dirinya di kelompok Naga Hitam pun tanpa sepengetahuan sang Ibu. Daisah hanya tahu jika pekerjaan anaknya adalah sebagai penyedia saja pengawalan dan keamanan.
Sadewa memang bergelut di dunia hitam, dunia kekerasan, dunia pertaruhan nyawa, tetapi Sadewa dalam memimpin Naga Hitam melarang setiap orang yang ada di organisasi-nya untuk bermain-main ataupun memasarkan narkoba dan berbisnis prostitusi.
Sadewa menyadari, jika ada beberapa orang di naungan Naga Hitam tidak suka dengan langkah kebijakan Sadewa, mengingat bahwa narkoba dan prostitusi menghasilkan keuntungan yang sangat besar dan menggiurkan. Dan kecurigaannya sama seperti Theo, jika ada orang di dalam organisasinya, yang bekerja sama dengan musuh besar, Serigala Api, memasarkan narkoba di wilayah kekuasaannya.
"Sudah belum Dewa, begitu saja lama amat," sindir Daisah.
"Sudah kok, Buk," jawab Sadewa, sambil membuang sampah plastik bekas makanan.
Zalikha bingung, melihat begitu banyak jenis makanan terhidang di banyak orang, benar-benar tidak ada bedanya seperti sebuah restoran besar.
"Kamu mau kemana, Dewa?" panggil Daisah, saat melihat keinginan ingin pergi keluar ruang makan.
"Mau ke depan, Buk. Ada yang ingin Dewa berasal dengan Theo."
"Nanti saja menemui Theo-nya, sekarang temani ibu makan dulu.
"Tapi, Bu--"
"Ya sudah, jika tidak mau menemani ibu apa-apa," ucap cepat Daisah, kutipan Sadewa.
"Iya, Buk... Sadewa temani," pasrah.
"Ayuk Zalikha, makan yang banyak, Nak, tidak usah sungkan-sungkan."
"I-iya, Buk, terima kasih." Sebelum Zhalika ingin mengambil nasi ke dalam piringnya, Saidah sudah terlebih dahulu menyendokkan nasi untuknya, dan itu membuat tidak enak hati. Bahkan, segala macam lauk dia menambahkan ke dalam piring Zhalika, walaupun gadis itu berkali-kali menolak, dan tentu saja itu membuat Sadewa takjub, sementara Ratih hanya tersenyum-senyum saja.
Perjamuan makan malam untuk Zhalika membuat Sadewa bingung sendiri. Ibunya begitu sibuk melayani Zhalika, bahkan sampai menuangkan minuman untuk gadis berhijab itu. Sadewa mulai agak sedikit curiga, jika ada sesuatu yang Ibunya inginkan terhadap gadis yang sok jual mahal itu.
Makan bersama baru saja usai, segala peralatan makan pun sudah dirapihkan. Zhalika yang ingin membantu, justru dilarang oleh Daisah.
"Sudah ada pelayan yang mengerjakan, Nak Zhalika diam saja di sini," ucapnya.
Sadewa yang melihat malam sudah selesai, segera bangkit untuk meninggalkan ruang, tetapi sekali lagi sang Ibu melarangnya, dan itu harus duduk kembali ke tempat semula.
"Ada yang ingin ibu utarakan kepada Nak Zhalika, berbicara kepada berbicara siang tadi. Bagaimana, apa Nak Zhalika mau menerima lamaran ibu?" tanya Daisah, langsung saja, dan itu membuat paras wajah Zhalika terasa menghangat, dan Sadewa tersentak.
"Lamaran apa, Bu?" tanya Sadewa, terlihat jelas jika Sadewa mulai terasa tidak nyaman.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam". Bisma, putra kedua dari Daisah yang datang, selepas pulang bekerja.
"Pulangnya malam sekali, Bisma?" tanya sang Ibu, sambil menyodorkan tangannya untuk dicium putra keduanya tersebut.
"Ada banyak kerjaan kantor, Bu, jadi Bisma lembur tadi," jawabnya, terus memandang ke arah Zhalika.
"Ini siapa, Bu?" tanya Bisma, terus saja membocorkan ke arah Zhalika, yang membalas dengan senyuman sederhana, paras wajahnya semakin terlihat lembut.
"Ohh...ini namanya Zhalika, gadis ini adalah guru ngaji ibu."
"Haahh...guru ngaji...," ucap Sadewa dan Bisma berbarengan.
"Kenapa? Kok sampai kaget begitu?" tanya Daisah kepada kedua kedua. Sementara Ratih yang sudah tahu terlebih dahulu hanya tersenyum-senyum saja, melihat keterkejutan kedua kakaknya.
"Cantik Mbak Jhalika," ucap Bisma memuji, sementara Zhalika membalasnya hanya dengan tersenyum, lalu kembali tertunduk.
"Husstt Bisma, tidak baik memuji calon kakak iparmu ini," ujar Daisah, dan Sadewa langsung terlihat pucat, begitupun Zhalika.
"Ibu serius, Zhalika buat Bang Dewa?" tanya Bisma, berkali-kali dia mencuri pandang terhadap Zhalika.
"Iya, Ibu serius, tetapi, kan, Nak Zhalika-nya belum menjawab."
"Buk, Bu jangan bercanda?" Sadewa kali ini bertanya, tetapi entah mengapa Sadewa merasakan debar di dalam pengiriman.
"Jika Abang tidak mau, Bisma menyambut, Bu," sahut Bisma cepat, dan itu membuat semua yang berada di situ terkejut, terutama Sadewa dan Zhalika.
"Kamu tidak boleh melangkahi Abangmu, Bisma," cetuk Daisah.
"Kenapa tidak boleh, Bu, toh Bisma pun sudah bekerja," sanggah Bisma, sepertinya dia melihat pun tertarik saat pertama kali Zhalika.
"Iya, tapi Nak Zhalika ini memang Ibu lamarkan buat abangmu," jelas Daisah.
"Tetapi Bang Dewa sepertinya tidak mau, Buk, iya, kan, Bang?" Sadewa terdiam, tidak menjawab. Sementara Zhalika mulai terlihat serba salah. Dia tidak berani ikut bicara jika tidak ditanya.
"Abangmu menurut apa kata, Ibu," jawab Daisah tegas.
"Ya gak bisa begitu Bu, Bang Dewa juga punya hak untuk menolak," sergah Bisma.
"Ibu kok merasa aneh, kenapa harus kamu yang ngotot Bisma?" Bisma langsung terdiam.
Sudah Bu, sudah. Sekarang begini saja, lebih baik cinta dulu saja kepada Bang Dewa dan Teh Zhalika, mereka berdua tidak?" ucap Ratih, menengahi.
"Begitu lebih bagus, Bu." Bisma kembali ikut bicara.
"Baik jika begitu. Dewa, kamu tidak jika Ibu jodohkan dengan Nak Zhalika?"
"Ibu bertanyanya jangan seperti itu, itu sama saja Ibu menyuruh Abang, dan Ibu pasti tahu jika Abang tidak pernah menolak permintaan ibu!" ucap Bisma, dengan nada suara sedikit keras."Kamu jangan kurang ajar dengan membentak-bentak Ibu!" sentak Sadewa dengan nada jauh lebih keras, lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan mencengkeram kerah baju Bisma. Zhalika dan Ratih mulai sedikit kaget dan ketakutan."Sudah Sadewa, sudah," ucap Daisah, mencoba melerai, sementara Bisma hanya diam, pasrah saja. Tangan Sadewa masih mencengkeram kuat kerah baju Bisma."Lepaskan tanganmu Dewa," ucap tegas Daisah. Sadewa lalu melepaskan cengkraman tangannya, dan kembali duduk di tempat semula. Raut wajahnya masih memancarkan kegeraman."Mungkin yang dikatakan adikmu ada benarnya, Ibu seperti terlalu memaksakan kehendak jika memintamu berdasarkan keinginan ibu," ucap pelan Daisah."Sadewa mau Bu, Sadewa bersedia menikah dengan Zhalika," ucap Sadewa terlontar cep
KETIKA KEPALA PREMAN MENIKAHI USTAZAHKisah Masa Kecil Yang SuramPart 6"Mengapa Mas Dewa bisa bersikap seperti itu, Dek Ratih?""Dingin ya, Teh, macam es balok." Ratih lantas tertawa, begitu pun Zhalika, merasa lucu dia, mendengar julukan yang Ratih berikan kepada Sadewa."Jahat ih kamu, sama abang sendiri juga?"Ratih malah semakin tertawa terbahak, sembari sesekali memperhatikan kaca spion, dia menjalankan kendaraannya pelan-pelan saja.Malam sudah semakin larut, jalan raya pun sudah terlihat lengang."Bang Dewa, walaupun sikapnya kaku, tetapi tidak sombong kok Teh. Bertanggung jawab dan sayang dengan keluarga, apalagi sama ibu. Ratih sedari kecil belum pernah melihat Bang Dewa membantah apa yang diperintahkan ibu. Makanya tadi dia sangat marah, kan, saat melihat Bang Bisma berbicara keras sama ibu," jelas Ratih."Iya, Dek, terus terang saja, bikin takut Teteh tadi," jawab Zhalika, terus terang."Tidak menyang
Sudah lebih dari satu jam, Sadewa merebahkan tubuhnya di kasur empuk dipan tempat tidurnya yang besar, tetapi tidak bisa juga dicapai. Wajah gadis yang dianggapnya sok jual mahal itu terasa begitu melekat dipikirannya. Dan ini pertama kali bagi Sadewa, we have the women that even to be knownya.Bukan hanya soal kecantikan wajah yang membuat Sadewa tertarik, karena di dunia yang dijalaninya saat ini, setiap waktu, setiap saat, wanita-wanita cantik berbadan bagus banyak yang berusaha untuk mendekatinya, tetapi tidak ada yang bisa menyampaikannya kepada gadis-gadis tersebut, dan itu ternyata tidak berlaku bagi Zhalika.
Klinik tempat Daisah memeriksakan kehamilannya tidak terlalu banyak pasien yang berobat, sehingga tidak terlalu lama di sana, mungkin hanya sekitar 30 menit. Setelah membelikan Bisma jajanan makanan kecil, Daisah pun kembali menaiki ojek yang sama dengan saat dia berangkat tadi, Mang Burhan, tukang ojek yang memang biasa mangkal tidak jauh dari pintu masuk perumahan mereka tinggal. Jalan raya menuju ke arah arah rumahnya memang tidak terlalu bagus, masih banyak terdapat lubang-lubang di kanan kiri jalan, bahkan juga banyak terdapat retakan aspal.Kurang lebih 300 meter lagi Daisah sampai ke depa
4 hari sudah, Abimanyu tidak diketahui keberadaannya. Daisah yang hidup merantau jauh dari orang tua, kesana kemari mencari keberadaan suaminya dengan mengajak kedua anaknya yang masih belia.Ke kantor jurnalis lokal tempat suaminya bekerja, bahkan sudah membuat pengaduan ke pihak yang berwenang, tetapi belum juga ada hasilnya. Keberadaan suaminya tetap belum ditemukan.Di hari ke lima, dua orang petugas kepolisian datang menjemputnya. Membawa Daisah dan kedua anaknya ke sebuah rumah sakit pemerintah, mereka langsung menuju ruang penyimpanan mayat."Kami ingin Mbak Daisah mengenali, apakah ciri-ciri mayat yang kami temukan di semak-semak dalam jurang dekat sungai, adalah jasad suami Mbak," ucap salah seorang petugas, dan Daisah meng'iyakan.Sadewa dan Bisma diminta menunggu di luar ruang penyimpanan mayat, hanya Daisah yang dipersil
Kampung Pejagalan, nama tempat tinggal Daisah dan anak-anaknya sekarang. Terletak di daerah perbatasan antara utara dan barat Jakarta, daerah padat penduduk, tidak jauh dari sentra dagang pecinaan, stasiun kereta, dan pasar induk buah dan sayuran.Sebuah perkampungan masyarakat kecil dengan berbagai macam etnis. Pemukiman padat yang tidak pernah mati. 24 jam aktivitas penduduk terus bergerak tidak pernah berhenti. Jika pagi hingga petang pergerakan penduduk banyak berpusat di pasar dan stasiun, sementara jika senja menjelang pagi, kesibukan banyak berpusat di tempat-tempat hiburan malam, dengan banyak wanita penghibur kelas menengah bawah dan atas.Yah, kampung ini adalah cerminan surga dunia. Segala aktivitas yang yang dilarang agama, semua ada dan banyak peminatnya. Dari perjudian, minuman keras, narkoba, bahkan prostitusi, dikarenakan perempuan-perempuan yang bekerja di tempat hiburan malam, bany
Pletakk ....!!"Auuwww ....!!"Batu koral sebesar biji kelereng menghantam keras kening si botak hingga berteriak kesakitan. Pisau lipat yang hendak dipakai untuk menusuk Sadewa terlepas dalam genggamannya. Saking kencangnya batu yang mengenai kepalanya, si botak itu sampai terduduk di tanah dengan terus mengusap-usap keningnya sembari meringis kesakitan.Semua mata menoleh ke arah si pelempar batu, seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam berdiri sekitar jarak tujuh meter, sembari berjalan mendekat. Wajahnya terlihat tenang.Sadewa pun melihat ke arah pria paruh baya tersebut, dan Sadewa tidak mengenalnya, melihat wajahnya pun hanya baru kali ini.Si botak yang masih merasa kesakitan, kembali melampiaskan amarahnya kepada sosok pria paruh baya itu."Ban*s
Suara mobil dan motor terdengar di pagi hari ini selepas Sholat Subuh. Zhalika masih saja melantunkan bacaan ayat kitab suci Al-Qur'an, sebuah rutinitas pasti jikalau tidak sedang datang bulan. Dan Zhalika baru saja menyelesaikan bacaannya. Menutup kitab suci, dan meletakkannya di atas pangkuan, lalu terdiam mengingat kejadian semalam di rumah Hajah Daisah. Semalam, sepulang dari rumah Sadewa. Zhalika langsung terlelap, karena memang terbiasa tidur tidak terlalu malam, selepas Salat Isya pun Zhalika biasanya langsung tidur.Semalam, jam setengah empat Zhalika sudah me