Share

Ketika Mantan Istri Suamiku Kembali
Ketika Mantan Istri Suamiku Kembali
Penulis: Helminawati Pandia

Bab 1. Salah Sebut Nama

Bab 1. Salah Sebut Nama

“Itu masa lalu, lupakanlah!”

Samar Alisya mendengar suara Deva saat berjalan menuju kamar. Wanita tiga puluh tiga tahun itu baru saja selesai mengontrol  ketiga anaknya. Tasya, Rena dan si bungsu Adante telah tidur lelap. Deva tengah berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. Sedikitpun tak ada prasangka buruk dengan siapa sang suami tengah berbincang. Sebagai direktur utama, Deva pasti sibuk dengan urusan bisnis. Begitu Alisya menduga.

“Iya, aku juga sebenarnya sukar melupakan malam itu. Apalagi akhir-akhir ini sudah mulai timbul rasa jenuh. Dia mulai membosankan. Tapi bagaimana lagi, harus tetap dijalani, kan?” lanjut Deva lagi.

Alisya tercekat.  Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar.  Siapa maksud Deva yang mulai membosankan? Dengan siapa sebenarnya dia berbincang. Untuk pertama kalinya, Alisya  merasakan  kejanggalan. Wanita itu menajamkan pendengaran.

“Jujur, aku sebenarnya tidak bisa melupakan malam itu. Udah hampir sebelas tahun, tapi rasanya tetap berkesan hingga sekarang. Apalagi aku tak pernah merasakan sensasi seperti itu di pernikahanku ini. Mau bagaimana lagi, dia memang bekas istri orang, kan?” sambung Deva tak menyadari kehadiran Alisya.

“Mas?” sergah Alisya tersentak kaget.

“Eh, Sayang!” Deva tak kalah kaget. 

“Mas lagi ngomongin apa dan dengan siapa?” tanya Alisya menghampri Deva yang tengah bersandar di bagian kepala ranjang. Mata teduhnya membulat sempurna.

“Baik, Pak! Jadi, langsung Bapak order saja melalui manager pemasaran besok! Yakinlah, produk kita asli, bukan barang bekas, hehehe …. Sudah, ya, Pak! Selamat malam!” Deva mengakhiri percakapan di telepon.

“Tadi itu ada client, dia ragu kalau sarung tangan buatan pabrik kita katanya bekas pakai yang didaur ulang,” lanjut Deva sambil membuka aplikasi hijau.

Alisya terpana. Ternyata Deva tengah membicarakan bisnis dengan salah seorang client. Wanita itu mencoba mengingat apa yang baru saja dia dengar. Salah dengarkah dia? Ya, mungkin hanya salah dengar. Deva tak mungkin macam-macam. Alisya menghibur hati yang sempat bimbang.

“Anak-anak sudah tidur?” tanya Deva tanpa mengalihkan tatapan dari layar ponsel. Jemarinya sibuk mengetik di aplikasi W******p.

“Sudah, Mas belum tidur?” tanya Alisya lembut sembari ikut  duduk tepat di sampingnya. Segera Deva menjauhkan ponsel,  itu membuat Alisya tak bisa melihat tampilan di layar.

Kembali Alisya tersentak.  Kenapa suaminya bersikap aneh sekarang? Tak biasanya Deva merahasiakan sesuatu darinya, meski itu hanya sebuah chat. Sempat Alisya melihat ada pesan yang masuk.  Entah  dari siapa. Mungkin salah seorang client. Kembali dia berprasangka positif.

“Aku masih sibuk, Sayang! Ada client yang gagal nego dengan manager pemasaran kita. Aku harus menengahinya. Kamu tidur  saja duluan!” titah Deva dengan ekspresi serius.

“Harus malam ini, ya? Emmm, baiklah, aku duluan, ya!  Good night, Sayang!”  ucap  Alisya patuh.

“Em!” sahut Deva singkat.

Hanya ‘em?’ Alisya menunggu lanjutannya. Aneh, biasanya Deva akan menghadiahinya kecupan saat mengucap kata selamat malam. Kenapa malam ini tidak? Mungkin dia sangat sibuk. Begitu fokus dengan chat-nya. Lagi-lagi Alisya berprasangka baik.

Wanita itu lalu  membaringkan tubuh. Lelah setelah beraktivitas seharian, membuatnya segera terlelap.

*

Entah berapa lama sudah Alisya tertidur. Wanita itu terjaga saat merasakan ada sentuhan di tubuhnya.

“Sayang, kamu masih  capek, ya?” Itu suara Deva.  Terdengar agak serak seperti menahan hasrat. “Kamu sudah tidur beberapa jam, Sayang. Udah tidak capek, kan?” Bibir Deva mulai menempel di telinga istrinya.

Alisya  berusaha mengahalau kantuk.  Sentuhan di daun telinga adalah isyarat. Embusan napas dari mulut Deva kian memburu, menerpa hangat tengkuk dan leher. Seketika kantukpun sirna.

Deva mulai mengecup lembut kening Alisya. Menyusuri seluruh wajah dan berlabuh di bibir ranumnya. Tangan kekar  Deva  mulai merayap di area sensitif  Alisya.  Sebenarnya Alisya ingin menolak, tetapi  hati kecil tak ingin menyakiti perasaan pasangannya.

Lelah  di sekujur tubuh setelah beraktivitas seharian  belum juga hilang sepenuhnya, tetapi  Alisya tetap  harus menjalankan kewajibannya.  Kewajiban memenuhi kebutuhan batin sang suami. Tanpa mengeluh, Alisya membalas, menunaikan tugas sebagaimana harusnya.

“Sayang ….” Deva memanggil lirih. Mata elangnya terpejam, dahi kekar itu mulai basah. Peluh membanjir di seluruh tubuh.

Alisya tak menyahut. Mata indahnya ikut terpejam. Menjalankan kewajiban dengan penuh rasa cinta.  Benar yang dia pikirkan tadi sebelum tidur. Bahwa semua baik-baik saja. Deva hanya sedang sibuk dengan bisnisnya. Hingga lupa mengecup kening wanitanya saat ucap selamat malam seperti biasa.

Ini tahun kelima mereka menjalankan biduk rumah tangga. Keduanya berusaha menjaga sakralnya pernikahan yang telah mereka bangun bersama. Alisya dan Deva mengarungi samudra pernikahan dengan begitu indah. Tak pernah ada air mata, apalagi tangisan duka. Mengayuh bersama, menuju pulau cinta. Riak-riak gelombang adalah pelengkap semata. Bagai bumbu penyedap, penambah gurih romansanya.

Semua berjalan dengan ritme penuh cinta. Atas nama cinta, bahagia itu mereka reguk bersama. Tasya dan Rena juga baik-baik saja. Kedua saudara tiri itu mereka didik dengan ajaran yang begitu mulia. Tak ada perbedaan atas keduanya. Cinta dan kasih sayang mereka curahkan tanpa jeda.

Hingga cinta itu berbuah. Sang  Pencipta  menganugerahi mereka Adante, anak laki-laki yang sangat Deva damba.  Sang mertua menyambut dengan penuh suka cita. Penerus garis  keturunan telah dipersembahkan  oleh Alisya.  Seorang bayi tampan, sehat, dan cerdas.

“Kamu sudah, Sayang?” bisik Deva begitu lembut di telinga Alisya. Peluh menetes dari dada pria itu,  membasahi leher dan  dada wanitanya.

“Hem,” gumam Alisya terhanyut dalam kenikmatan.

“Baik, kita akhiri bareng-bareng, ya!”

“Em!” sahut Alisya  bersiap mengimbangi permintaan Deva.

“Terima kasih, Sonya! Kau memang  luar biasa!” ucap Deva tak sadar saat mengakhirinya.

Alisya tersentak. Salah sebutkah Deva? Selama ini, hal yang menjadi keistimewaan Deva di mata Alisya  adalah  rasa cinta. Deva mencintainya lebih dari segalanya.  Namun, kenapa hari ini Deva salah sebut nama?

Aroma sisa percintaan masih menguar, tubuh keduanya masih basah oleh peluh. Sebuah lengkungan bahkan masih terbentuk di sudut bibir Deva. Senyum kepuasan setelah mereguk nikmat asmara. Namun, kenapa ungkapan terima kasih yang  terucap dari bibir  pria itu  bukan  untuk Alisya? Kenapa malah untuk Sonya?

“Mas, kamu bilang siapa tadi?” tanya Alisya dengan suara serak dan  bergetar.

“Em, aku? Aku bilang apa, Sayang?” Deva tersentak, membuka kelopak mata yang  tadi terpejam. Wajah berpeluh itu memucat seketika.

“Kamu sebut nama Sonya, Mas,” ulang Alisya dengan tatapan bingung.

“Sonya, hehehe … kamu ngelantur!” Deva  tertawa kecil, menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba menyerang.

“Sepertinya aku tidak salah dengar. Mas Deva sebut nama Sonya! Mas bilang, terima kasih, Sonya! Kau memang  luar biasa! seperti itu, Mas!” sergah Alisya masih dengan suara parau.

“Tidak, Sya! Sudahlah, jangan cari masalah, dong! Baru saja kita reguk bahagia yang begitu sempurna, tolong jangan rusak suasana ini  karena  cemburu buta, ok!”

“Tapi, Mas!  Kamu beneran salah sebut nama!”

“Alisya!” Deva meninggikan suara.

*****

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Wiwik Sundari
wah serunya
goodnovel comment avatar
We Kito
mantap.... sekali
goodnovel comment avatar
We Kito
oke marantap...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status