Bab 6. Café Seberang Kantor
“Kamu?” Alisya mendelik tajam ke arah sang sekretaris. Gadis itu menunduk, menekuri lantai dengan hati yang berdebar.
“Apa maksudnya ini? Kenapa ruangan Pak Dirut kosong? Di mana dia? Di mana tamu penting seperti yang kau sebutkan tadi? Di mana mereka? Apakah di toilet?” cecar Alisya menyerbu masuk ke dalam ruangan. Alisya memeriksa hingga ke toilet, namun tak menemukan siapa-siapa di sana. Dia juga mencari ke balik lemari tempat penyimpanan dokumen perusahaan, hasilnya juga nihil.
“Di sini tak ada siapa-siapa, Deby! Ke mana Pak Dirut, ha?” teriak Alisya kebingungan.
Deby masih menunduk. Ketakutan makin mendera. Sedikitpun dia tak menyangka kalau Alisya bakal datang ke kantor. Menurut keterangan Deva tadi pagi, Alisya tidak masuk kantor hari ini. Bila ada tamu yang mencarinya, bilang saja dia sedang ada meeting penting di dalam ruangan. Tak boleh diganggu sama sekali. Suruh sang tamu untuk membuat janji terlebih dahulu.
Namun, yang datang ini bukan tamu biasa, melainkan istri sang Bos. Apa yang akan dia lakukan sekarang? Deby dihadapkan dengan dua pilihan yang sangat sulit. Seperti memakan buah simalakama. Kalau dimakan mati ibu, tak dimakan mati ayah. Bila berkata jujur pasti Pak Dirut murka, dia bakal dipecat. Namun, kalau tak jujur hati nuraninya berontak.
Kejadian tadi pagi kembali membayang di pelupuk mata. Saat seorang wanita cantik dan seksi memaksa masuk ke ruangan sang Dirut.
“Maaf, Ibu! Saya akan melaporkan dulu kedatangan Ibu kepada Pak Dirut, tunggu di sini saja, ya!” perintahnya menghentikan wanita itu.
“Aku udah buat janji dengan Mas Deva, gak penting banget, ya, lapor-lapor ke kamu! Awas, aku mau masuk!” Wanita berambut panjang berwarna coklat ombre itu tetap memaksa masuk.
“Maaf! Anda siapa? Sedangkan Nyonya Alina, Nyonya besar pemilik perusahaan ini saja kalau mau menghadap Pak Dirut mesti melewati prosedur. Lha, Anda siapa kok main slonong boy gitu, sih?” teriak Deby geram.
“Ok, catet, ya! Saya pemilik perusahan PT. Amor! Noh, lapor sama Bosmu!”
“Baik, tunggu sebentar di sini!” Deby segera masuk ke ruangan Deva.
“Maaf, Pak, ada tamu yang mengaku pemilik perusahaan PT. Amor menunggu di luar. Apakah boleh dia masuk?” lapor Deby menghadap sang Dirut.
“Oh, suruh masuk saja!” jawab Deva terlihat begitu antusias. Sempat Deby merasa heran akan sikap sang Bos. Cepat-cepat dia keluar menemui tamu yang ternyata begitu istimewa itu.
“Silahkan masuk, Pak Dirut sudah menunggu Anda,” ucapnya membukakan pintu buat sang tamu.
“Benar, kan? Bikin lama aja! Awas aja, aku akan cari cara biar Mas Deva memecatmu, camkan itu! Enggak sopan banget!” ancam wanita itu sebelum melangkah masuk.
Deby terperangah. Siapa sebenarnya dia hingga berani mengancamnya akan dipecat. Bahkan Alisya yang jelas-jelas istri sang Dirut saja tak pernah mengancamnya sekasar itu. Tapi, wanita ini dengan begitu angkuh berani mengancamnya. Sikap sang Dirut juga sangat aneh. Sang tamu sepertinya sangat istimewa baginya.
Penasaran, Deby akan mencari tahu. Gadis itu lalu berjalan ke arah pintu ruangan yang sudah tertutup rapat. Menempelkan telinga di sela pintu, Deby menajamkan pendengaran.
“Mas, akhirnya kita bisa bertemu. Terima kaish ya, udah izinin aku datang!” Deby mendengar suara si wanita.
“Ya, silahkan duduk Sonya!” Jawaban Deva terdengar agak kaku.
Deby berpikir keras, mencoba mengingta-ngingat nama Sonya sambil terus menguping pembicaraan sang Bos.
“Jadi beneran, nih, Alisya enggak masuk kantor hari ini?”
“Beneran, Mama yang memintanya untuk tidak masuk hari ini. Mama ingin bertemu Alisya dan membicarakan hal yang sangat penting. Sepertinya Mama akan menyampaikan hal yang sudah sangat lama dia rencanakan.” Deva menjawab dengan tenang.
“Rencana Tante Alina? Rencana apa?”
“Mama sudah lama memintaku agar memecat Alisya. Tapi aku tak bisa lakukan itu. Alisya seorang pekerja keras. Sudah sangat terbiasa untuk hidup mandiri. Aku tidak tega bila harus menyuruhnya berhenti bekerja.”
“Tapi, kenapa Tante Alina ingin Alisya berhenti bekerja?”
“Nah, itu yang aku belum tahu pasti. Alasan Mama ke aku, biar Alisya bisa fokus mengurus anak-anak. Mama ingin punya cucu satu lagi dari aku. Apalagi Raja hingga detik ini belum dikaruniai seorang anakpun. Mama khawatir, citacita terakhirnya tak kesampaian.”
“Cita-cita terakhir? Maksudnya?”
“Jadi Mama itu punya cita-cita memiliki banyak cucu. Nyatanya itu belum terkabul. Niken juga baru punya satu anak, Raja sama sekali belum punya. Itu sebab dia memaksa aku.”
“Hem, sepertinya Alisya sudah enggan punya anak, Mas. Kemaruk kerja di perusahaan besar, jadinya malas untuk hamil lagi.”
“Ya, makanya Mama memintanya berhenti bekerja. Supaya bisa fokus.”
“Gimana kalau dia tak bisa hamil juga?”
“Itu urusan nantilah, yang penting usaha dulu.”
“Tapi, aku ragu, kalau alasan Tante Alina sebenarnya bukan karena ingin cucu lagi dari Alisya.”
“Maksudnya?”
“Sudahlah, lupakan saja!”
“Ya, jadi bagaimana kabar kamu sekarang?”
“Beginilah, seperti yang Mas lihat. Tambah cantik pasti, iyakan?”
“Ya. Kamu memang tambah cantik. Lalu apa rencana kamu ke depannya?”
“Seperti yang aku selalu bilang, Mas. Aku pengen rujuk sama kamu. Aku mau kita kumpul lagi bareng Tasya.”
Gedebuk!
Deby terjerembab jatuh menimpa pintu ruangan. Dia kaget saat mendengar Sonya meminta rujuk.
“Deby, kamu kenapa?” Deva membuka pintu.
“Maaf, Pak! Sepatu saya kepleset, jatuh, maaf!” Deby terpaksa berbohong.
“Sepertinya dia sengaja menguping pembicaraan kita, Mas. Gak sopan banget! Kita keluar, yuk, Mas! Gak nyaman di sini!” rengek Sonya.
“Tapi, aku harus kerja. Kamu pulang saja, ya!”
“Mas, setelah lima tahun tak bertemu? Ayolah, kita ke café seberang itu aja. Aku masih mau cerita tentang Tasya! Kemarin aku sempat singgah di sekolahnya. Tapi, dia bersikap sangat tidak ramah. Itu pasti karena ajaran Alisya, kan?”
“Tolong jangan bicara hal itu di depan karyawanku!”
“Makanya, ayo, kita keluar saja!”
“Baiklah, tapi aku hanya punya waktu sekitar satu jam. Aku ada meeting nanti jam sepuluh. Deby, jangan izinkan siapapun masuk ke dalam ruanganku, paham! Bilang aku ada tamu penting di dalam!” perintah Deva kepada Deby.
*
“Hey! Kenapa kamu malah melamun? Jawab, Bapak ke mana?” Alisya mengguncang lengan Deby.
“Anu, Buk. Di café seberang.” Spontan Deby menjawab. Gadis itu pasrah sekarang. Hati nuraninya sebagai sesama perempuan mengalahkan rasa takut akan dipecat. Dia tahu Alisya wanita yang sangat baik. Deva tak pantas menyakitinya. Apalagi berselingkuh di belakanganya meskipun Sonya adalah istri pertama sang Dirut.
“Terima kasih, Deby! Pasti sangat sulit bagimu untuk mengatakan ini, bukan? Aku hargai kejujuranmu! Permisi, ya!”
Alisya buru-buru melangkah ke arah lif. Berjalan tergesa menuju café di seberang. Wanita itu segera menyapu seluruh ruangan café dengan netra. Benar saja, sepasang mantan suami istri sedang bercengkrama di sudut sana.
*****
Bab 7. Wanita Dari Masalalu DevaAlisya segera menyapu seluruh ruangan café dengan netra. Benar saja, sepasang mantan suami istri sedang bercengkrama di sudut sana. Sonya.Sesaat Alisya membeku di posisi berdirinya. Serasa tak percaya dengan apa yang disaksikan olehnya saat ini. Deva suami yang begitu dia percaya, ternyata menemui wanita lain di belakangnya. Lebih mengagetkan lagi karena wanita itu ternyata Sonya.Wanita dari masalalu suaminya. Apa artinya ini? Jadi, tadi malam yang Deva sempat salah sebut nama itu benar adanya? Bahwa ternyata memang sudah ada nama Sonya di hatinya? Kenapa? Bagaimana bisa wanita itu kembali hadir di hati Deva? Bukankah Deva sangat membenci Sonya?Alisya menatap lekat keduanya. Mata elang Deva terlihat begitu intens memandang wajah Sonya. Penampilan Sonya yang berubah setelah keluar dar
Bab 8. Jebakan Dalam Chat Mesra“Aku milik Mas Deva! Kita nikah, ya, Mas! Tolong miliki aku!” Sonya merengek seraya meneteskan air mata.“Maaf, Sonya. Tolong jangan menangis! Permintaanmu sangat berat untukku. Aku tidak bisa penuhi itu. Sebaiknya kamu pulang! Aku ada meeting setengah jam lagi,” bujuk Deva. Bujukan itu justru membuat tangis Sonya pecah.Alisya merasa sedikit lega mendengar jawaban Deva.“Jangan menangis, dong! Kamu tahu ‘kan watakku? Aku paling tidak suka melihat perempuan menangis. Kau tentu belum lupa itu!” sergah Deva mengingatkan Sonya.“Ya, aku akan coba untuk tidak menangis. Tapi aku sangat kecewa dengan jawaban kamu, Mas.”“Maaf, ini, hapus air matamu!” Deva mengulurkan beberapa lembar
Bab 9. Rahasia Sonya dan Ibu Mertua“Ok, cukup! Angap saja chat mesra kalian sudah sampai ke aku!” teriak Alisya bangkit dari duduknya. Wanita itu berjalan menghampiri Deva dan Sonya yang sempat saling berebutan ponsel.“Alisya?” Deva menoleh ke arah Alisya. Wajah penuh emosi itu kini berubah tegang.“Kau … di sini?” pekik Sonya tak kalah kaget.“Ya, aku di sini! Senang bisa bertemu dengan kalian di sini. Terutama dengan Ibu. Apa kabar, Bu Sonya?” tanya Alisya kini berdiri tepat di hadapan keduanya. Tatapannya lekat di wajah Sonya.“Sejak kapan kamu di sini, Sya?” tanya Deva dengan suara bergetar.“Apakah itu penting?” sahut Alisya melirik Deva sekilas seraya tersenyum tipis.
Bab 10. Zina Lewat Chat Dianggap Biasa“Alisya, kau di sini? Aku sudah memintamu jangan ke kantor hari ini, kan?” Alina, sang ibu mertua menatap nanar ke arah mereka. Wanita itu terlihat salah tingkah. Langkah kakinya tertahan seketika. Betapa dia juga sama terkejutnya. Semua yang dia rencanakan bersama sang mantan menantu kesayangan gagal total.Tetapi itu hanya sesaat. Wanita itu kini berdiri tegak dengan wajah sangar. Menatap ke Alisya tanpa rasa bersalah sedikitpun.“Ma, kenapa Mama bisa ke café ini juga? Dan Tasya?” Alisya masih tak percaya dengan penglihatannya.Alina yang dulunya teronggok lemah di kursi roda, kini telah kembali ke watak aslinya. Sejak Alisya resmi menjadi menantu, kasih sayang tak terhingga senantiasa Alisya curahkan kepadanya. Perawatan paling sempurna dia lakukan pada
Bab 11. Ancaman Alina“Mama Alisya …. Tungguin Tasya!”Alisya tercekat, Tasya mengejarnya. Langkah kaki Alisya terhenti seketika.“Mama, Tasya ikut pulang bareng Mama ….” Langkah kaki kecil gadis menjelang remaja itu terdengar kian mendekat.“Tasya! Sayang!” panggil Sonya dan Alina bersamaan. Mereka tersentak kaget. Keduanya segera mengejar Tasya. “Tasya! Tunggu!” Alina berteriak.“Sayang, ini Mama, Nak! Tasya …!” Sonya ikut berseru.Namun, Tasya tak peduli. Gadis itu menubruk Alisya, memeluk sang mama sambung dengan erat. “Ma, jangan tinggalin Tasya. Maaf, tadi pagi Mama udah berpesan agar Tasya pulang sekolah bareng Kek Dadang. Tapi, Nene
Bab 12. Big Bos Tertampan Tapi Arrogant“Apa? Surat cerai untuk Alisya? Dari Mama? Mama yang menceraikan dia?” Deva terperangah.Alisya tak kalah kaget. Ucapan ibu mertuanya bagai petir menyambar di siang bolong. Tak ada lagi praduga-praduga. Ungakapan Alina adalh suatu kejelasan yang tak perlu diragukan lagi. Ini adalah jawaban dar semua tanda tanya yang berseliweran di benak Alisya. Ibu mertuanya ingin menyingkirkannya.“Maksud Mama, Mama ingin aku menikahi Sonya meskipun aku sudah memiliki Alisya? Mama ingin aku memiliki dua orang istri? Dan kalau Alisya tidak setuju, Mama akan menceraikannya?” ulang Deva menatap ibunya dengan mata membulat tajam.“Iya, kenapa? Apakah ada yang aneh dengan rencana mama ini?” Alina balas menatap tak kalah tajam. Sonya tersenyum samar di balik pung
Bab. 13 Permintaan Maaf Ala Deva“Lepas! Aku jijik! Aku bisa muntah, awas!” sergah Alisya berusaha melepaskan diri.Namun di detik berikutnya, bibirnya tak lagi mampu berkata-kata. Mulutnya telah di sumbat secara paksa. Semakin Alisya meronta, semakin kencang Deva mengunyahnya.Terpaksa Alisya pasrah, diam itu lebih baik baginya sekarang.Di lantai tiga lif berhenti, seseorang hendak menggunakan lif juga, namun urung masuk saat melihat sang Big Bos ada di dalamnya. Telunjuk Deva segera menekan tombol. Lif kembali bergerak naik. Alisya membeku di dalam pelukan suaminya.Gerakan Deva melemah. Lumatan bibirnya berubah lembut, sangat lembut. Namun, Alisya hanya diam. Tak ada balasan sama sekali. Wanita itu sedang berjuang menekan rasa sakit di dalam hati. Meski s
Bab 14. Deva Mengaku Silau Akan Kilau Imitasi Sonya“Sekarang anggap masalah ini selesai! Kita jalani hari-hari selanjutnya seperti biasa! Ini perintah!” tegas Deva kemudian, di ujung kalimat pengakuannya.Alisya terperangah. Sakit di dalam hati kini disempurnakan dengan rasa kecewa parah. Deva benar-benar belum berubah. Setelah melakukan kesalahan begitu besar, sekarang dengan gampangnya menganggap masalah ini selesai. Bahkan langsung menekankan bahwa kalimatnya adalah perintah.“Kita balik kantor, ayo bangun!” Deva bangkit lalu berjalan menuju lif. Alisya tak bergerak. Tubuhnya masih tertancap di bangku santai di sudut kolam. Otaknya tak bisa memerintahkan kaki untuk bangkit dan berjalan menyusul Deva.“Sya ….”Tiba-tiba Deva berbalik, ke