Kay refleks mundur, lalu buru-buru menahan tawa.Livy pun mengecup kening Albern. Pelan dan lembut. Ia tidak ingin membangunkannya. Kemudian barulah Kay yang mengecup Albern.Melihat adegan itu, senyuman Livy terukir walau tipis. Senyum yang tak bisa ia tahan saat melihat mata Kay yang jernih di bawah lampu temaram dan mengecup anaknya dengan penuh kasih saayang.Kay melirik Livy sejenak. Lalu, dengan gerakan lembut, ia mengelus rambut Albern sekali lagi, lalu berdiri. “Ayo, aku antar kamu ke kamar.”Livy sempat ragu. “Ti- tidak usah,” ucapnya.“Kamu mau tidur di sini?” tanya Kay, memastikan.“Bu- bukan. Yaudah, ayo keluar,” ajak Livy pula.Mereka berjalan perlahan keluar dari kamar Albern, pintu ditutup dengan sangat hati-hati. Langkah mereka menuju ke pintu di sebelah, yaitu kamar Livy.Di depan pintu itu, mereka berdiri berhadapan. Kay menatapnya, sementara Livy memegang gagang pintu. Cahaya remang lorong menyapu wajah mereka, membentuk siluet yang tenang dan samar-samar namun ada
Kay mati kutu menatap Albern yang terus memintanya untuk mencium Livy.Kay terdiam.Livy membeku.Richard, yang tengah mengaduk teh hangat, hanya tertawa pelan di balik cangkirnya. “Wah, anak kecil memang tulus.”Namun Kay hanya mengusap kepala putranya perlahan. Ia menunduk lalu berbisik, “Papa tidak boleh mencium Mama sekarang, nanti Mama marah. Papa mencium Mama di depan rumah saaja ya?”Bisikannya itu terdengar oleh Livy.Albern menatap Kay. Mengerti ataupun tidak, yang jelas anak itu terlihat mengangguk.“Ayo Mama!” ucap Kay pula pada Livy.Livy panik, namun mengikut juga.“Pa, tolong jaga jagoanku ini sebentar, Pa. Aku mau pamit ke depan…” ucapnya.Richard hanya tersenyum lalu mengangguk. Ia memahami bahwa itu bukan sekadar alasan biasa.Kay lalu menatap Livy dengan tatapan yang tak bisa ia artikan. “Antar aku sebentar ke depan ya?”Livy sempat ragu, t
Cahaya matahari siang menembus tirai tipis di balik jendela kantor Kay yang terletak di lantai tertinggi gedung. Di balik meja panjang dan layar monitor yang menyala, Kay duduk dengan jas setengah dibuka dan dasi yang mulai ia longgarkan sejak satu jam lalu setelah dia selesai meeting. Di tangannya ada laporan bulanan yang belum sepenuhnya ia baca, karena pikirannya melayang terlalu jauh.Terlalu jauh... ke rumah. Ya, bukan hanya sekadar bangunan megah, mewah dan indah, tetapi benar-benar menjadi tempat pulang yang ia rindukan. Anaknya, Ayah mertuanya dan Livy.Bukan pertama kali ia begini. Sejak Livy kembali dan tinggal bersama mereka, wajah perempuan itu tak pernah absen dari benaknya. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang terasa mengganjal—bukan karena rasa bersalah, tapi karena harapan yang mulai tumbuh diam-diam. Harapan yang perlahan membesar dan membentuk sebuah impian.Ia menatap keluar jendela. Di sana, langit tampak cerah. Begitu pun isi kepalanya sa
Mata Livy melotot.Kay terkekeh. Membuat Livy akhirnya tersenyum. Merah di pipinya itu tidak dapat dia sembunyikan.“Baiklah, nanti aku akan siap-siap,” ucap Livy mengalihkan.“Lalu jawabannya?” tanya Kay.“Jawaban apa lagi? Aku sudah bilang ya,” balas Livy, bingung.“Aku pikir kamu jawab ‘baiklah’ kamu akan memanggilku dengan sebutan ‘Sayang’ hehe…” Kay merasa konyol. Dia mengusap kepalanya.Livy sejenak terdiam. “Hm... sudah dulu,” ucapnya, mengakhiri panggilan.Kay masih tersenyum. Sampai dia menyandarkan punggungnya ke kursinya yang empuk, mendongakkan wajah, bibirnya itu masih tersenyum lebar. Jantungnya berdebar.Sementara itu, Livy di kamarnya, mengelus dada. Dia mengatur napasnya. Kenapa hanya pertanyaan bercanda seperti itu berhasil membuatnya tersipu? Jiwanya benar-benar terasa kembali hidup, untuk hal lain, perasaan yang sudah lama tidak diarasakan.**Sore itu, suara mobil Kay terdengar lebih cepat dari biasanya. Jam belum menunjukkan pukul lima, namun deru mesinnya sudah
“Mau?” tanya Kay pula terang-terangan menatap Livy. Ia terkekeh.Livy langsung keluar dari mobil dan membiarkan Kay menggendong Albern.“Ada-ada saja!” celoteh Livy pelan.“Aku cuma bercanda…” ucap Kay.“Papa kamu memang kadang suka banyak gaya, Al. Memangnya sanggup?” cibirnya pelan, sambil mengibas rambutnya ke belakang.“Sanggup! Mau coba?” balas Kay yang mendengar omelan itu.Livy memelototinya.Kay malah tertawa lebar. “Kamu cantik kalau lagi marah,” ucapnya.“Ya! Aku tahu!” balas Livy arogan, berjalan lebih depan dan meninggalkan Kay juga Albern.Kay sama sekali tidak mati kutu dengan jawaban judes itu. Dia malah senang, karena perlahan sisi Livy yang dulu, mulai kembali ia tunjukkan. Sisinya yang manja, bawel namun tetap penuh perhatian.Restoran itu tidak terlalu ramai, namun suasananya hangat dan nyaman. Cahaya lampu-lampu gantung yang temaram memantulkan kilau lembut ke meja-meja kayu yang ditata elegan. Aroma roti panggang dan rempah-rempah menyambut mereka begitu pintu kac
Usai makan malam yang hangat itu, mereka tidak lupa mengabadikan momen dengan berfoto bersama. Richard pun memberikan ruang untuk mereka berfoto tanpa dirinya.“Papa? Kenapa pergi?” tanya Livy.“Kan tadi sudah? Sekarang… giliran kalian bertiga!” ucapnya tersenyum semangat. “Rapat-rapat!” ucapnya pula menggeser Livy pada Kay. Membuat jarak di antara mereka terpotong. Sempat mata mereka saling menatap, hingga akhirnya tersenyum menatap kamera.Setelah itu, Kay pun menarik tangan Richard. “Sekarang, giliran kita berdua, Pa.”Ada rasa bangga dan haru tersendiri di dalam diri Richard saat Kay merangkulnya dan berfoto berdua dengannya. Ia tidak salah memilih lelaki untuk mendiang anaknya. Ia juga tidak salah mempercayakan perusahaan padanya. Ia benar-benar tidak gelap mata.Malam itu benar-benar memberikan momen yang tidak akan terlupakan untuk mereka.Waktu berlalu… sudah waktunya mereka pulang. Ditambah Albern yang terlihat sudah bosan karena mulai mengantuk. Akhirnya mereka meninggalkan
Kay kembali masuk ke dalam kamar Albern. Di sana ia kembali duduk di pinggiran tempat tidur. Ia tersenyum. “Makasih Nak, sudah membuat Papa dekat dengan Mama. Kamu bantu Papa ya? Supaya Mama Livy selamanya akan menjadi Mama kamu…” ucapnya berbicara sendiri dengan nada pelan.Setelah memastikan anaknya benar-benar lelap, Kay pun melangkah perlahan untuk keluar dari kamar Albern. Sebelum menjauh dari sana, ia sempat melihat pintu kamar Livy. Hatinya menghangat.Lampu-lampu lorong rumah sudah diredupkan. Suasana terasa sunyi, namun sangat tenang. Kay ingin pergi menuju kamarnya, namun saat melewati ruang tengah, ia melihat Richard duduk sendirian di sofa dengan secangkir air putih di meja.Richard menatap ke arah Kay. “Kay,” sapanya.“Papa? Kenapa tidak di kamar? Kenapa tidak langsung tidur?” tanya Kay.Richard mengangguk, mempersilakan Kay duduk di sampingnya dengan menepuk bagian sofa yang kosong itu.Kay menurut, tanpa banyak tanya. Beberapa detik keheningan menyelimuti mereka sebelum
Livy membuka lemari gelas dan menuangkan air putih dari botol ke gelas kaca. Tepat saat ia hendak meminumnya, suara langkah kaki menyusul pelan dari arah lorong.“Kay?” Livy menoleh, sedikit heran melihat pria itu hadir di dapur.Kay menggaruk tengkuknya, ekspresi gugup jelas terlihat di wajahnya. “Aku… juga haus,” katanya sambil mencoba tersenyum, padahal jelas-jelas itu bukan alasannya datang ke dapur.Livy mengangkat alis, tapi tak berkomentar. Ia hanya memalingkan wajah dan membuka botol air lagi, lalu menuangkan air ke gelas kedua dan menyodorkannya tanpa banyak kata.Kay menerimanya, jari mereka nyaris bersentuhan. Dan lagi-lagi, itu cukup membuat jantung Kay memompa darahnya lebih cepat.Mereka duduk di dua kursi berhadapan di meja makan kecil dapur. Hening.Sesekali pandangan mereka saling bertemu, lalu sama-sama buru-buru berpaling seolah takut ketahuan sedang saling mengamati.Kay memutar gelasnya pelan dengan jemari, mencoba mencari topik pembicaraan. Tapi entah kenapa, sem
Livy melihat Kay yang ingin mendekat, namun akhirnya pergi. Ia menarik tangannya pelan. “Rei? Sebenarnya ada apa?” tanyanya hati-hati.Reino pun sempat menoleh ke belakang. Ia juga melihat Kay yang pergi. Bukannya tersinggung, dia justru tersenyum. “Kamu sangat menjaga perasaannya, ya? Lalu, kalau begitu… apa yang kalian tunggu?” tanyanya. “Kalau masih sama-sama ada rasa, masih saling menjaga hati, kenapa tidak bersatu kembali?”Pertanyaan itu menggantung begitu saja. Tak dapat Livy jawab. Semua tidak semudah itu.Ternyata dari balik tembok penyekat ruang tamu itu, Kay mendengar ucapan Reino. Dia cukup terkejut karena awalnya pikirannya sudah jauh mengarah pada marah sebab cemburu. Nyatanya Rei memberi pukulan yang berbeda.Livy terdiam.““Aku ke sini bukan untuk mengusikmu, Livy. Bukan juga ingin membujukmu atau menawarkan waktu tunggu. Tidak. Aku mau minta maaf.”Livy menatapnya, bingung. “Kamu tidak salah apa-apa, Rei. Kenapa harus meminta maaf?”“Entahlah, aku merasa aku membawa s
Livy tak tahu harus menjawab apa dengan pernyataan Kay yang mengaku cemburu. Hingga pada akhirnya Kay yang kembali berbicara, “Ah, sudahlah lupakan. Kamu tidak apa-apa kan?” tanyanya.“Ya, aku tidak apa-apa,” jawab Livy pelan. Ia pun tidak tahu harus bereaksi seperti apa.“Oh ya, setelah ini, kita jadi ke salon?” tanya Kay.“Apa aku terlihat menyedihkan?” Cepat Livy merespon, membuat Kay menatapnya terdiam dan sedikit bingung.“Ke- kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Kay.“Kamu menyarankan aku ke salon, apa aku terlihat sudah sejelek itu ya?” tanya Livy pula, bingung.Kay tiba-tiba tertawa. Cemburu yang tadi mengganggu hatinya kini berubah menjadi lucu. Ia sampai mengusap wajahnya untuk menahan tawa lalu menatap Livy tersenyum.Livy yang mendapat respon seperti itu tiba-tiba jengkel. “Kenapa kamu tertawa? Apa yang lucu?” tanyanya dengan nada sedikit tidak suka.“Maaf maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu. Bukan. Bukan begitu. Aku hanya bingung kenapa kamu bisa berpikiran seper
“Ahm, ti- tidak usah,” ucap Livy.Kay pun mengangguk.Livy masuk ke dalam kamar. Dia berdiri di depan cermin. ‘Apa aku dekil? Jelek? Sampai Kay menawarkan untuk ke salon? Apa aku benar-benar terlihat tidak b isa mengurus diri sendiri?’ batinnya overthinking. Namun, saat itu pula dia menepis pikirannya. “Kenpa aku ini?! Aku berpikir apa!” celetuknya pula.Setelah sarapan pagi itu, mereka pun siap-siap untuk pergi.“Hati-hati ya… cucu Kakek!” seru Richard, mengusap kepala Albern.“Kalian juga… selamat bersenang-senang!” ucapnya tersenyum menatap Livy dan Kay.“Kami pergi dulu, Pa.”**Hari itu mall terlihat ramai, tapi tidak sesak. Musik lembut mengalun dari pengeras suara pusat perbelanjaan, aroma kopi dari kafe-kafe menyatu dengan semilir wangi parfum dari toko-toko di sekitarnya. Kay menggendong Albern, sementara Livy berjalan di sisi mereka sambil membawa tas kecil berisi peralatan anak itu. Sesekali Albern menunjuk ke arah stan ice cream, namun Kay mengalihkannya agar mereka lebih
Hari-hari berikutnya berlalu dengan baik dan nyaman. Tidak ada masalah, tidak ada yang menyesakkan dada. Albern tumbuh semakin ceria, dan Livy menjadi lebih sering tersenyum dan tertawa, tanpa beban. Bahkan Kay, tanpa sadar, seringkali tersenyum sendiri hanya karena melihat atau hanya mengingat Livy. Hatinya sangat hangat saat mengingat Livy begitu dekat dengan Albern. Suatu pagi, di akhir pekan, di tengah suasana rumah yang damai, setelah sarapan Richard memanggil semua orang ke ruang tamu. Ia berdiri dengan map cokelat di tangannya, seolah hendak menyampaikan sesuatu yang resmi. “Papa punya ide,” ujarnya sambil menatap mereka satu per satu. “Bagaimana kalau kita liburan bersama?” Livy yang tengah menemani Albern bermain langsung menoleh. Kay yang baru duduk pun mengangkat alis. “Liburan, Pa?” sahut Kay. Richard mengangguk semangat. “Iya. New York terlalu padat. Papa pikir kita harus tenang dan menjauh dari kesibukan kota ini. Menghirup udara baru, melihat hal-hal yang indah, y
Livy menoleh. Menatap tangan Kay yang menahan lengannya. “Ah, ma- maaf. Maaf,” ucap Kay. “Ya?” sahut Livy dengan nada bertanya. “Kalu kamu tidak keberatan, bolehkah kapan-kapan kita mengobrol lagi? Ka- kalau kamu mau sih. Aku senang sekali bisa berbagi cerita denganmu. Bukan berarti aku mengabaikan semua luka yang ada, tapi memiliki waktu bersama seperti ini bersamamu benar-benar menenangkan hatiku.” Kay berkata dengan tulus dari hatinya, yang juga berhasil sampai tepat di hati Livy. Livy menunjukkan senyum simpul dan mengangguk pelan. Walau canggung, ia tetap meresponnya. Karena tidak ada alasannya untuk menolak. Sebab sebenarnya ia pun merasakan hal yang sama, yaitu kenyamanan. “Ya, boleh. Sudah malam. Kamu beristirahatlah. Selamat malam,” ucapnya lebih lembut. Kay tersenyum. Lega menghampiri hatinya. “Yaa, selamat malam Livy. Mi- mimpi indah,” lanjutnya, untuk pertama kali berani berkata seperti itu. “Kamu juga,” balas Livy. Ia pun melangkah pergi, meninggalkan dapur lebih d
Livy membuka lemari gelas dan menuangkan air putih dari botol ke gelas kaca. Tepat saat ia hendak meminumnya, suara langkah kaki menyusul pelan dari arah lorong.“Kay?” Livy menoleh, sedikit heran melihat pria itu hadir di dapur.Kay menggaruk tengkuknya, ekspresi gugup jelas terlihat di wajahnya. “Aku… juga haus,” katanya sambil mencoba tersenyum, padahal jelas-jelas itu bukan alasannya datang ke dapur.Livy mengangkat alis, tapi tak berkomentar. Ia hanya memalingkan wajah dan membuka botol air lagi, lalu menuangkan air ke gelas kedua dan menyodorkannya tanpa banyak kata.Kay menerimanya, jari mereka nyaris bersentuhan. Dan lagi-lagi, itu cukup membuat jantung Kay memompa darahnya lebih cepat.Mereka duduk di dua kursi berhadapan di meja makan kecil dapur. Hening.Sesekali pandangan mereka saling bertemu, lalu sama-sama buru-buru berpaling seolah takut ketahuan sedang saling mengamati.Kay memutar gelasnya pelan dengan jemari, mencoba mencari topik pembicaraan. Tapi entah kenapa, sem
Kay kembali masuk ke dalam kamar Albern. Di sana ia kembali duduk di pinggiran tempat tidur. Ia tersenyum. “Makasih Nak, sudah membuat Papa dekat dengan Mama. Kamu bantu Papa ya? Supaya Mama Livy selamanya akan menjadi Mama kamu…” ucapnya berbicara sendiri dengan nada pelan.Setelah memastikan anaknya benar-benar lelap, Kay pun melangkah perlahan untuk keluar dari kamar Albern. Sebelum menjauh dari sana, ia sempat melihat pintu kamar Livy. Hatinya menghangat.Lampu-lampu lorong rumah sudah diredupkan. Suasana terasa sunyi, namun sangat tenang. Kay ingin pergi menuju kamarnya, namun saat melewati ruang tengah, ia melihat Richard duduk sendirian di sofa dengan secangkir air putih di meja.Richard menatap ke arah Kay. “Kay,” sapanya.“Papa? Kenapa tidak di kamar? Kenapa tidak langsung tidur?” tanya Kay.Richard mengangguk, mempersilakan Kay duduk di sampingnya dengan menepuk bagian sofa yang kosong itu.Kay menurut, tanpa banyak tanya. Beberapa detik keheningan menyelimuti mereka sebelum
Usai makan malam yang hangat itu, mereka tidak lupa mengabadikan momen dengan berfoto bersama. Richard pun memberikan ruang untuk mereka berfoto tanpa dirinya.“Papa? Kenapa pergi?” tanya Livy.“Kan tadi sudah? Sekarang… giliran kalian bertiga!” ucapnya tersenyum semangat. “Rapat-rapat!” ucapnya pula menggeser Livy pada Kay. Membuat jarak di antara mereka terpotong. Sempat mata mereka saling menatap, hingga akhirnya tersenyum menatap kamera.Setelah itu, Kay pun menarik tangan Richard. “Sekarang, giliran kita berdua, Pa.”Ada rasa bangga dan haru tersendiri di dalam diri Richard saat Kay merangkulnya dan berfoto berdua dengannya. Ia tidak salah memilih lelaki untuk mendiang anaknya. Ia juga tidak salah mempercayakan perusahaan padanya. Ia benar-benar tidak gelap mata.Malam itu benar-benar memberikan momen yang tidak akan terlupakan untuk mereka.Waktu berlalu… sudah waktunya mereka pulang. Ditambah Albern yang terlihat sudah bosan karena mulai mengantuk. Akhirnya mereka meninggalkan
“Mau?” tanya Kay pula terang-terangan menatap Livy. Ia terkekeh.Livy langsung keluar dari mobil dan membiarkan Kay menggendong Albern.“Ada-ada saja!” celoteh Livy pelan.“Aku cuma bercanda…” ucap Kay.“Papa kamu memang kadang suka banyak gaya, Al. Memangnya sanggup?” cibirnya pelan, sambil mengibas rambutnya ke belakang.“Sanggup! Mau coba?” balas Kay yang mendengar omelan itu.Livy memelototinya.Kay malah tertawa lebar. “Kamu cantik kalau lagi marah,” ucapnya.“Ya! Aku tahu!” balas Livy arogan, berjalan lebih depan dan meninggalkan Kay juga Albern.Kay sama sekali tidak mati kutu dengan jawaban judes itu. Dia malah senang, karena perlahan sisi Livy yang dulu, mulai kembali ia tunjukkan. Sisinya yang manja, bawel namun tetap penuh perhatian.Restoran itu tidak terlalu ramai, namun suasananya hangat dan nyaman. Cahaya lampu-lampu gantung yang temaram memantulkan kilau lembut ke meja-meja kayu yang ditata elegan. Aroma roti panggang dan rempah-rempah menyambut mereka begitu pintu kac