Matahari menyusup malu-malu di balik tirai kamar yang belum sepenuhnya terbuka. Udara pagi menyelinap dengan aroma embun dan bunga dari taman kecil di halaman belakang.Kay membuka matanya perlahan. Di sebelahnya, Livy masih terlelap. Tubuh seksi itu masih tertutup selimut, napasnya masih tenang. Kay tersenyum, menatap wajah istrinya yang begitu dekat. Dekat dalam jarak juga perasaan.Bukannya bangkit dan bangun, Kay malah lanjut tidur dan memeluk Livy semakin erat. Sampai pagi yang awalnya masih gelap kelabu sudah menjadi terang.Sementara itu di kamarnya, Albern sudah terbangun. Anak itu tidak menangis, hanya saja dia mencari ibunya, Livy. Untungnya ada Bibi Eden yang bisa menenangkannya.Richard yang sedang membaca berita pagi dengan secangkir teh, heran melihat cucunya yang mendatanginya ke ruang tengah.“Kamu cari Mam?” tanya Richard.Albern mengangguk.Richard tersenyum. Sekilas dia menatap ke lantai atas. Belum ada pergerakan dari dua orang yang sudah sah menjadi suami istri it
Mata mereka kembali bertemu. Hidung sudah bersentuhan. Perlahan, Kay memejamkan mata. Begitu juga dengan Livy.Kecupan yang begitu lembut dan lekat terjadi antara mereka. Berlangsung lama. Keduanya benar-benar menikmati.“Padahal… ini bukan kali pertama, Livy. Tapi, aku sangat grogi…” lirih Kay, saat menjeda aktivitas mereka tersebut.Livy tersenyum. Pipinya sudah sangat merah. Begitu pun bibirnya yang seakan habis dilahap Kay.“Kamu tidak mau mematikan lampu? Ini terlalu menyilaukan mata,” bisik Livy.Kay tersenyum. Ia tahu Livy lebih suka suasana temaram dan hangat. Ia pun beranjak dan mematikan lampu utama kamar. Menyisakan lampu kamar yang cahayanya hangat.Livy duduk di sisi ranjang, menunduk, jari-jarinya saling menggenggam. Helaan napasnya terdengar berat namun teratur, seperti sedang menenangkan badai kecil di dadanya.Kay juga mengunci pintu kamar, lalu berjalan mendekat tanpa suara. Ia duduk di samping Livy, menatap wajah istrinya yang kini tampak lebih tenang… namun gugup y
“Ha? Ti- tidak… Bu- bukan begitu. Aku turun karena khawatir pada Albern. Dari tadi waktunya sangat sedikit dengan kita karena kita sibuk menyambut tamu,” jelas Livy beralasan.Kay menahan senyum. Lalu mengangguk. “Ohhh…” ucapnya panjang.Waktu berjalan… Albern pun telah bangun. Livy mengurusnya seperti biasa. Memandikannya dan bersiap untuk makan malam.Makan malam pertama sebagai pasangan suami istri berlangsung dalam keheningan yang aneh. Agak canggung dan kaku. Padahal biasanya tidak seperti itu. Tidak ada kesalahan, tidak ada perdebatan. Tapi, diam dan kikuk.Kay dan Livy duduk berdampingan untuk pertama kalinya malam itu, bukan lagi berhadapan seperti sebelumnya. Jarak mereka dibatasi oleh Albern yang duduk di tengah. Tapi justru karena bersebelahan dan sama-sama menatap ke arah Albern, mata mereka malah sering bertemu.Kali ini kata-kata terasa tertahan di tenggorokan. Biasanya, mereka akan membahas Albern, membahas masakan yang disukai anak itu, atau sekadar berbagi tawa ringan
Tepat sebelum tangannya itu menyaantuh punggung Livy, Livy menoleh.“Ahm ya su- sudah…” ucap Kay gugup, langsung menyembunyikan tangannya ke belakang tubuhnya.“Aku… mandi dulu,” ucap Livy kemudian.Kay hanya mengangguk.Begitu Livy masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya, Kay duduk di sofa.Dia mengusap wajahnya. Ia menutup mulutnya dengan kepalan tangannya. ‘Kenapa rasanya sangat canggung?’ batinnya bingung. Padahal, mereka sudah pernah terlalu jauh. Tapi, kali ini terasa benar-benar berbeda. Jantungnya berdebar sangat cepat. Panas menjalar di sekujur tubuhnya.Sementara itu di dalam kamar mandi, Livy berdiri di balik pintu. Belum juga bergerak. Air hangat belum dinyalakan. Ia menatap wajahnya di cermin masih dalam kebisuan.‘Aku kenapa?’ batin Livy. Bukan karena dia baru pertama kali ke kamar mandi itu, tapi ia merasa ada yang tidak biasa di dalam hatinya. Canggung, gugup, padahal itu bukaan kali pertama.Tak lama, suara ketukan lembut terdengar dari luar. Malah membuat Livy menj
Hari yang ditunggu itu pun tiba.Livy dan Kay akan mengucap janji suci mereka.Tidak ada keramaian yang berlebihan, tidak ada hiruk-pikuk pesta besar. Hanya musik klasik yang mengalun lembut, tawa hangat keluarga, dan degup jantung dua orang yang telah memutuskan untuk saling menggenggam selamanya. Ya, selamanya. Setelah semua badai dan perpisahan yang mereka alami.Livy mengenakan gaun putih sederhana dengan lengan renda dan detail bunga di pinggangnya. Rambutnya ditata setengah sanggul, dihiasi jepit perak pemberian Richard.Richard menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kamu… cantik sekali, Livy. Sangat cantik!”Livy memeluk pria tua itu erat. “Terima kasih, Pa. Untuk semua yang Papa lakukan… yang membuat aku tetap kuat dan merasa hidup.”“Yah! Ayo… Papa antar kamu untuk Kay,” ucap Richard.Haru memenuhi hati Livy. “Hati Papa sebenarnya terbuat dari apa?” lirihnya.Richard hanya tersenyum.Kay sudah berdiri lebih dulu di altar yang berada di taman. Ia membalik badan saat Livy melang
“Hm…” jawab Livy.Kay tersenyum. “Ayolah, beri aku jawaban paling tulus.”“Ya…” jawab Livy.“Yaa...” ucap Albern pula seakan mengerti!Setelah masalah itu, keduanya pun serius untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Kay dan Livy mulai disibukkan kembali dengan persiapan pernikahan yang direncanakan dalam waktu dekat. Segalanya terasa mengalir dan indah.Namun, Livy mulai menyadari sesuatu yang lain di tengah kesibukan mereka. Apalagi Kay yang teramat sibuk karena membagi waktu ke perusahaan, pekerjaan dan persiapan pernikahan. Keanehan itu datang dari Albern.Tidak ada yang mempermasalahkan kedekatan Albern pada Livy, termasuk Kay ataupun Richard. Namun, Livy merasa janggal saat anak itu justru terlihat tidak mencari Kay lagi. Ketika Kay mencoba mengajaknya bermain, Albern kerap menolak. Ia malah memeluk Livy erat, atau pura-pura tidur saat Kay datang.Saat malam tiba, Livy memperhatikan Kay yang duduk termenung di ruang tengah. Dia menatap serius ke arah laptopnya.Livy datang memba
Tanpa menunggu respons Kay, Livy langsung melangkah mundur, membalik badan dan meninggalkan Kay di kamarnya.Kay masih mematung. Menyerap semua ucapan Livy. Seketika ketakutan muncul di hatinya. Sekaligus kesadaran setelah apa yang Livy ucapkan menghantam hatinya.Livy menuruni tangga dengan langkah lambat. Ia merasa bersalah pada Richard. Pria tuaa itu, yang kini sebatang kara, sudah ditinggal anak perempuan satu-satunya, kini harus menyaksikan suami anaknya mencintai wanita lain. Betapa luasnya hati pria itu.Bahkan… Livy juga terpikir. Richard sangat tulus menyayangi Kay. Tetapi, kenapa Kay begitu semangat mengubur kenangannya bersama Selina? Putri satu-satunya yang Richard cintai. Bahkan mungkin sampai akhir hidupnya.“Livy? Ada apa?” Richard yang berada di bawah, menatap Livy yang menuruni tangga dengan tatapan sendu.Livy mencoba tersenyum lalu menggeleng. “Tidak ada apa-apa, Pa.”“Kamu yakin?” Richard mengalihkan tatapan, meski kamar Kay tidak terlihat dari bawah, namun dia mer
Setelah perjalanan panjang yang terasa seperti mimpi, akhirnya mereka benar-benar tiba kembali di rumah. Namun segalanya terasa berbeda. Bukan hanya karena suasana hati yang berubah, tapi karena kini mereka kembali membawa harapan baru perasaan baru yang tidak lagi menggantung.“Tuan! Nyonya! Albern!” sambut Bibi Eden dan ART yang lain saat menyambut mereka. Bahkan Pak Sopir pun semangat melihat mereka yang kembali dengan wajah yang terlihat mendamaikan hati.Livy berdiri di depan pintu rumah, ia tersenyum. Kehangatan itu terasa berbeda. Tidak ada hal yang mengganjal di hatinya.“Bibi… Pak… apa kabar?” ucapnya ramah.“Semuanya baik!” sahut mereka hampir bersamaan.“Nyonya dan Tuan apa kabar semua?” tanya mereka pula.“Semuanya baik,” jawab Livy.“Sangaaat baik! Sesuai harapan!” kekeh Richard, yang melangkah masuk ke dalam rumah.Albern sudah dibawa Bibi Eden ke kamarnya, karena anak itu mengantuk. Kay menggenggam tangan Livy dengan erat dan melangkah bersama masuk ke dalam rumah. Ia m
Cincin itu sudah melingkar di jari manis Livy. Air matanya bahkan menetes tepat di tangan Kay.“Kamu menangis?” tanya Kay.Livy mengangkat wajahnya. “Kamu juga,” ucapnya tersenyum.Kay terkekeh. Dia pun menyentuh wajah Livy, mengusap pipi sampai sudut matanya. “Mulai hari ini, aku tidak akan biarkan kamu menangis, selain karena tangisan kebahagiaan,” ucapnya lembut.“Makasih…” ucap Livy haru.“Sssst!” Kay menempelkan telunjukya di bibir Livy. “Aku yang harus berterima kasih karena kamu sudah memberikanku kesempatan satu kali lagi. Ini akan menjadi kesempatan terakhirku. Aku akan buktikan keseriusanku dan cintaku padamu yang kali ini lebih besar lagi.”“Ya, kita pulang bersama, sebagai keluarga…” sahut Livy lembut.“Terima kasih…” ucap Kay. Dia memeluk Livy.Di malam yang semakin larut itu, mereka duduk bersampingan, memandang laut dan merasakan angin malam yang segar menyejukkan.Livy menyandarkan kepalanya di bahu Kay dan Kay pun meletakkan kepalanya di atas kepala Livy. Tangannya