Pagi itu matahari bersinar hangat, cahayanya jatuh dengan lembut ke rerumputan taman yang masih segar usai disiram embun. Kay bangun lebih awal di hari itu. Hari Minggu.Ia berolahraga di taman belakang. Sampai napasnya ngos-ngosan. Seban sudah lama dia meninggalkan aktivitasnya itu sejak dia gelisah karena bayang-bayang yang tidak ada.Karena memang tidak kesibukan hari itu, di berniat membawa Livy dan Albern bersantai di taman kota. Tau ke mana mereka mau. Yang jelas, Kay ingin quality time dengan keluarga kecilnya.Livy pun bangun. Dia melihat sisi tempat tidur yang kosong. Ia berdiri di dekat jendela dan melihat Kay ternyata berada di taman belakang. Dia tersenyum. Kay tidak menyadari kalau dia sedang diperhatikan.“Giliran diperhatikan seperti ini dia tidak peka. Ada orang asing, dia malah curiga dan selalu kepikiran. Aneh.” Livy berkomentar lalu terkekeh sendiri.Albern pun sudah bangun. Livy mendatanginya di kamarnya.“Hari ini hari Minggu yeay! Papa akan di rumah seharian!” u
Malam terasa semakin sunyi ketika akhirnya Kay menarik napas panjang, mencoba menyusun pikirannya. Albern sudah tidur di kamarnya. Malam juga memang sudah cukup larut. Ia tahu ini saatnya bersikap jujur—meski ia sendiri belum yakin sepenuhnya apa yang tengah ia hadapi.“Jadi, apa yang sebenarnya yang selama ini sudah mengganggu pikiranmu?” tanya Livy. Dia duduk di pinggiran tempat tidur. Menatap Kay yang berdiri membelakanginya, lalu segera membalik badan menatapnya."Aku cuma merasa… sejak kita ke mall waktu itu, ada seseorang yang seperti memperhatikan kita," kata Kay, perlahan. "Lalu beberapa hari kemudian, aku lihat lagi… mobil yang berhenti di depan rumah. Aku tidak yakin, apa itu orang yang sama, tapi rasanya... wajah orang di dalam mobil itu sama. Menurut firasatku."Livy menatap Kay, diam sejenak. Ia pikir Kay akan bicara tentang sesuatu yang jauh lebih serius. Tapi nyatanya, hanya soal firasat dan perasaan diawasi. Bukan menyepelekan, tapi mendengar penjela
Beberapa hari berlalu. Rutinitas berjalan seperti biasa. Kay tetap terlihat hangat, mencintai Livy dan Albern sepenuh hati. Meskipun kabar tentang pria yang dicurigainya itu sudah jelas, dia hanyalah pria biasa, tapi di balik semua senyum Kay, dia masih menyimpan gumpalan resah yang tak pernah reda.Setiap malam sebelum tidur, Kay selalu memastikan kabar dari anak buahnya. Ia masih terus membahas walau anak buahnya terasa sudah mulai jengah dengan pikiran Kay yang dianggap berlebihan. Hal itu selalu membuatnya kesulitan untuk tidur pada malam hari.Hingga malam ini, saat mereka baru saja menyelesaikan makan malam, Albern tertawa-tawa menonton kartun di ruang keluarga, sementara Livy dan Kay duduk bersantai menemani Albern sembari sama-sama membaca ilmu parenting. Suasana hangat, nyaris sempurna, hingga handphone Kay berbunyi.Livy menatapnya. Siapa pun yang menelepon di malam itu, membuat Livy sedikit terusik. Bahkan walaupun itu pekerjaan, apa tidak bisa menunggu besok?“Sebentar, Sa
Kay menarik napas dalam, mencoba menetralisir suasana. Ia tahu Livy belum sepenuhnya percaya. Tatapan perempuan itu masih menyelidik, meskipun tidak diucapkan dengan gamblang. Namun, Kay juga tidak mau membebani Livy yang sedang mengandung. Ia harus menyusun cara untuk mengalihkan perhatian tanpa menumbuhkan lebih banyak kecurigaan.“Kenapa kamu curigaan sih Sayang?” gumamnya sambil mengusap lembut punggung Livy. “Apa kita harus liburan? Atau butuh hiburan?” tanyanya. Sambil membawa Livy melangkah kembali masuk ke dalam ruangan.Livy menatapnya bingung. “Liburan? Hiburan apa?”Kay tersenyum kecil dan melirik ke arah Albern yang sudah sibuk menyusun puzzle kecil di lantai. “Ayo kita main-main saja,”“Ke mana?”“Ke kamar,” jawab Kay, mengalihkan perhatian Livy. Ia membawa istrinya itu mendekati dinding kamuflase yang menjadi pintu menuju kamar rahasia di ruangan Kay.Penerangan lembut dari lampu gantung bercahaya kekuningan menyinari ranjang luas dan empuk. “Ke sini. Sudah lama ya kita
Setelah Kay mengirim pesan perintah tersebut pada anak buahnya, dia pun tetap bersikap biasa di hadapan istri dan anaknya. Walaupun di kantor itu sebenarnya suasana berbeda dari biasanya. Kalau bukan karena kehadiran Livy dan Albern, pasti Kaay sudah sangat tegang sekarang.Albern duduk di sofa yang biasa dipakai tamu, dengan krayon dan kertas gambar. Sementara Livy duduk di kursi kerja Kay, yang untuk hari itu sengaja dia relakan untuk istrinya. Kay sendiri berdiri di dekat jendela, memperhatikan dua manusia yang membuat hidupnya lebih berarti.“Wah! Kursinya enak sekali. Cocok untuk ibu hamil yang mau bersandar,” ucap Livy.Kay terkekeh. Sambil melirik layar handphone-nya. Menunggu notifikasi dari anak buahnya. “Kamu suka? Oke, kita langsung beli kursi seperti ini untuk di kamar,” jelasnya.Livy terkekeh. “Ah tidak usah, Kay. Kan sudah ada juga di ruang kerjamu. Aku baru sadar aja, ternyata enak pakai kursi kerja seperti ini,” jelas Livy.“Tidak apa-apa, Sayang. Kalau kamu mau, kita
Kay meletakkan Livy di atas tempat tidur dengan lembut dana tatapan yang tidak putus. Dia tersenyum saat sengaja menyentuhkan ujung hidungnya ke hidung Livy. “Hm… aku senang karena akhirnya kamu mau dekat denganku lagi.”“Terima kasih anak Papa!” Kay membelai perut Livy dan mengecupnya.Livy mengelus kepala Kay yang mendarat di perutnya. “Malam ini Papa mau tidak mengelus-elus kami?” tanya Livy manja.“Ha? Ya tentu saja mau! Papa akan elus sampai pagi…” jawab Kay senang, tak keberatan sama sekali. Dia langsung melompat dan merebahkan diri di sebelah istrinya. Tangannya mulai mengelus punggung dana perut Livy dari belakang.Malam itu udara terasa lebih hangat dari biasanya. Livy pun membalik badan. Dia mendekap tubuh Kay erat—lebih erat dari malam-malam sebelumnya. Ia menyelipkan dirinya ke dalam dekapan Kay seperti anak kecil mencari kehangatan ibunya. Piyamanya longgar, aromanya masih segar dari mandi sore tadi. Ia menyandarkan pipinya di dada Kay, dan menggumam kecil, “Tangannya jang