Usia Albern sudah genap 4 tahun. Elian pun hampir satu tahun. Namun, mereka belum merencanakan membuat acara ulang tahun untuknya, mengingat mereka masih sangat sibuk. Apalagi mereka baru saja memutuskan kalau Albern akan masuk sekolah taman kanak-kanak.Pagi ini langit pagi itu bersih. Matahari belum terlalu terik, namun cahayanya cukup hangat untuk menyambut langkah kecil Albern yang begitu semangat. Hari itu adalah hari pertama Albern sekolah—sebuah tonggak besar bagi bocah laki-laki yang dulu hanya bisa mengeja satu dua huruf, kini sudah tumbuh percaya diri, ceria, dan penuh rasa ingin tahu.Kay, Livy, dan Elian ikut mengantarnya. Elian duduk tenang di stroller, sesekali menatap kakaknya sambil berseru, “Ba! Ba! Ta!”Livy mengenakan pakaian kasual namun rapi, dan Kay berdiri gagah di sampingnya, sesekali merapikan kerah kemeja Albern yang tampak kebesaran tapi membuatnya terlihat semakin menggemaskan.“Siap sekolah, Nak?” tanya Kay sambil menatap mata putranya.Albern mengangguk c
Beberapa bulan telah berlalu.Musim mulai berganti. Angin pagi tak lagi dingin menusuk seperti dulu, melainkan membawa aroma embun dan bunga yang segar. Di dalam rumah yang hangat itu, suasana pun berubah.Elian, bayi kecil mereka, kini bukan lagi hanya tidur dan menyusu. Ia sudah bisa duduk sendiri, merangkak cepat seperti serdadu kecil yang mengejar apa saja yang menarik di lantai. Suaranya juga makin nyaring. Tidak hanya tertawa, tapi juga berteriak keras saat mainannya direbut atau saat lapar menyerang.Siang itu…“EEEEAAA!” jeritannya menggema dari ruang tengah.Livy yang sedang mencobakan sepatu untuk Albern hanya bisa menoleh dan mendesah. “Tuh, adeknya marah lagi,” gumamnya sambil tersenyum lelah.Albern, yang kini sudah besar dan lebih mandiri, melirik adiknya. “Adik galak, Mama…” katanya sambil tertawa kecil.“Dia bukan galak, Sayang. Dia cuma cerewet seperti kamu dulu,” jawab Livy sambil mengecup pipi sulungnya. Ia pun beranjak dan mendapatkan Elian.“Apa Sayang? Sudah mula
Jam dinding menunjukkan pukul 2 lewat lima belas menit. Cahaya redup dari lampu tidur memantul lembut di dinding kamar yang hangat. Bayi kecil dalam box bayi yang langsung menyambung ke tempat tidur, menggeliat pelan, mengeluarkan suara rengekan lirih yang membuat Livy segera terbangun. Ia mengerjapkan mata, mengatur napas, lalu dengan sabar duduk meraih anaknya dan menyusui buah hatinya yang baru lahir.Suasana hening. Hanya terdengar suara napas bayi yang perlahan tenang saat menemukan kehangatan ibunya.Selesai menyusui, Livy membenamkan hidungnya di rambut bayinya, menciuminya dengan lembut. Lalu, setelah memastikan si kecil tidur lagi, ia membaringkannya kembali ke boks bayi tepat di sisi tempat tidur. Tapi matanya belum ingin terpejam.Dia menoleh ke sisi lain tempat tidur. Di sana, Albern masih terlelap, tidur miring menghadap dirinya. Kedua tangannya seperti ingin merangkul, walau tubuh mungil itu masih terlalu kecil untuk dipeluk. Livy tersenyum haru, lalu membungkuk memeluk
Beberapa hari kemudian, Livy akhirnya pulang dari rumah sakit.Langit siang itu cerah. Matahari tidak terik, tapi cukup hangat untuk menyambut kedatangan ibu dan bayi dari sebuah perjalanan berharga. Kay yang menggendong bayi mereka, membuka pintu mobil pelan-pelan, sementara Livy turun perlahan dibantu Bibi Eden. Tak ada yang lebih melegakan selain menginjak pelataran rumah dengan status baru, sebagai ibu dari dua anak.Tapi mereka tidak menyangka, di depan rumah ternyata sudah dipenuhi dengan rangkaian bunga dan ucapan selamat. Dari kolega-kolega Kay, rekan bisnis, hingga beberapa nama yang tidak mereka duga, termasuk dokter yang menangani kehamilan dan persalinan Livy, hingga dari pihak rumah sakit.Livy menatap kagum. Dia menatap Kay yang kini berdiri di sampingnya, sambil menggendong bayi kecil mereka. Kay membalas tatapannya dengan senyuman hangat, lalu merangkulnya pelan.“Kay… ini banyak sekali...” bisik Livy lirih.Kay hanya mengangguk. “Mereka semua ikut senang. Kita sudah m
Pagi mulai menyingsing di balik tirai rumah sakit. Sinar lembut matahari menyusup perlahan ke ruang rawat yang masih dipenuhi kehangatan dan sisa-sisa tangis haru. Livy membuka mata dengan senyum yang masih samar, tubuhnya lelah tapi wajahnya damai. Dia menoleh ke samping dan menemukan Kay masih duduk di sana, menggenggam tangannya erat, seolah tak ingin melepas walau sedetik.Mata mereka sama-sama menatap ke arah bayi mereka yang berada di tempat ranjangnya. Bibir mereka tersenyum.“Kamu masih lelah Sayang, tidak apa lanjut istirahat. Biar aku yang menjaga anak kita dan kamu,” ucap Kay.“Albern… bagaimana?” tanya Livy pelan, suaranya masih serak karena efek obat bius dan kelelahan luar biasa.Kay menatapnya, tersenyum, lalu mengangguk. “Bentar ya, aku hubungi Bibi Eden.”Dia meraih ponsel, melakukan panggilan. Tak butuh waktu lama sebelum suara lembut Bibi Eden menyahut di ujung sana.“Bibi, anak kita sudah lahir. Dia dan Livy sehat,” kata Kay dengan nada haru.“Wah! Terima kasih Tuh
Beberapa hari dari hari tersebut, di suatu malam, dini hari, Livy merasa perutnya mules. Dia terbangun dan memegangi perutnya. Rasanya begitu sakit.“Kay! Ka- Kay!” panggilnya pelan, menahan sakit.Untungnya Kay yang selalu siaga sejak awal, membuat alam bawah sadarnya cepat membangunkannya.“Sayang? Kamu kontraksi?” tanyanya.Matanya melirik jam di atas nakas. Menunjukkan pukul 3 pagi.Livy mengangguk, bibirnya bergetar. “Sakit sekali… lebih dari waktu aku melahirkan Fabian…”Kay melompat dari tempat tidur.“Tenang… aku di sini, Sayang… Aku akan siapkan semuanya. Kamu tahan, ya?”Namun Livy menggeleng pelan. Wajahnya mulai dipenuhi air mata. Ia mencengkeram lengan Kay sekuat tenaga saat kontraksi berikutnya datang menyerang. Tubuhnya ingin melengkung menahan nyeri. Rintihannya lebih terdengar seperti tangis.“Aku takut… Kay, aku takut…,” bisiknya.Kay menahan napas. Suara Livy terdengar seperti perempuan yang sedang kehilangan harapan. Ia kembali duduk di sisi ranjang, merangkul Livy