“Jen?” Kay menatap Jenna dengan penuh kebingungan. “Bagaimana kamu bisa tahu?”“Aku pernah mendengarnya. Hubungan Kakak dengan Livy bahkan sudah jauh. Makanya aku berusaha untuk membuatnya tidak bernilai lebih di mata Kakak dan Om Richard.”Kay gelagapan. Dia tidak menyangka Jenna mendengar sebanyak itu. Dia pun panik saat menatap wajah Richard yang masih bertanya-tanya.“Pa, semua yang Jenna bilang memang benar. Tapi, aku sudah selesai dengannya sebelum menikah dengan Selina. Aku bahkan membencinya! Kenapa aku memilih dia menjadi Ibu Susu Albern karena hanya dia yang cocok menyusui Albern. Papa bisa tanya pada Dokter Rico dan Suster Merry.”Richard terdiam. Tidak ada yang tahu apa yang ada di pikirannya.“Jen… Kamu jangan khawatir. Kalau kamu pernah mendengar semuanya, kamu juga pasti dengar kalau aku membencinya. Aku muak dengannya. Selama dia berada di sini, aku selalu emosi. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena Albern membutuhkan dia,” jelas Kay, berusaha meyakinkan Jenna.
Richard menghubungi Livy setelah meminta kontaknya dari ART. Apa yang dilakukannya sama sekali tidak diketahui oleh Kay. Dia ingin bertemu dengan ibu susu cucunya itu untuk meminta maaf. Bagaimana pun dia merasa bersalah karena sudah menganggapnya rendah.‘Semoga saja Ibu Livy mau bertemu. Aku juga jadi penasaran sebenarnya sejauh apa hubungannya dengan Kay di masa lalu.’ Richard berbicara di dalam hati.[Maaf Tuan, ini tentang apa?]Richard langsung mengirimkan alamat sebuah kafe pada Livy. [Jika Ibu Livy berkenan, saya tunggu sore ini jam 5 di kafe ini.]Sebenarnya Livy bimbang. Apakah dia harus datang atau tidak. Tetapi, dia pun penasaran hal penting apa yang Richard ingin sampaikan padanya.Setelah berpikir matang, akhirnya Livy menemui Richard sore itu.“Saya senang Ibu Livy datang. Silakan duduk Ibu Livy.” Richard menyambutnya.Livy bisa saja berpikiran yang bukan-bukan pada Richard, tapi selama ini pun dia tidak pernah menunjukkan sikap yang kurang enak atau melebihi batas.“Ad
“Pertanyaan apa itu, Tuan?” balas Livy.Richard tersenyum simpul. Dia menggeleng. “Maaf Ibu Livy… Tapi, yang saya tahu ketika seseorang itu benar-benar jahat, dia tidak akan mengakui kalau dia jahat, kejam dan pantas dibenci.”Livy terdiam.“Di sini saya tidak mengundang Ibu Livy untuk pernikahan Kay dan Jenna bulan depan, tapi saya meminta Ibu Livy datang untuk menjaga cucu saya, Albern. Hanya Ibu yang bisa saya percaya untuk menjaganya seharian penuh.”Wajah Albern berlarian di pandangan Livy. Dia sangat merindukan anak susunya tersebut. Dia ingin sekali memeluknya, mendekapnya dan menciumnya. Ia pun berpikir, mungkin hanya dengan begitu dia bisa bertemu lagi dengan Albern dan akan benar-benar menjadi momen terakhirnya.“Baiklah Tuan,” ucap Livy lirih.Richard tersenyum lebar. “Terima kasih, Ibu Livy. Terima kasih!”“Tapi… saya tidak akan bergabung di dalam acara, Tuan. Saya hanya ingin bersama Albern,” jelas Livy.“Baik, Ibu Livy.”Setelah pertemuan Livy dan Richard hari itu, Livy
Kay dan Jenna sudah berada di altar. Janji suci pernikahan mereka akan segera dimulai. Namun, Livy yang panik langsung berlari mencari Richard.“Tuan Richard!!!” teriak Livy memanggil dengan panik.Seluruh mata tertuju pada Livy. Termasuk tatapan Kay dan Jenna.Kebencian masih terlihat jelas di wajah Kay. Pikiran penuh tanya, mengapa Livy bisa ada di sana.“Li vy?” Richard mendekati. “Ada apa? Kenapa kamu keluar?” tanyanya.“Al… Albern, Tuan. Tangannya dingin. Dari tadi saya coba bangunkan dia tidak merespon. Saya sangat khawatir,” jelas Livy panik.Gedung yang tiba-tiba hening, membuat Kay mendengar pengaduan Livy pada ayahnya. Ia berjalan cepat untuk menghampiri.Jenna sempat mencegah Kay untuk pergi meninggalkan Altar. Dia sangat kesal karena seharusnya sebentar lagi mereka akan sah menjadi suami istri. Namun, kemunculan seseorang yang tidak dia inginkan tersebut telah mengacaukan semuanya.“Kaak…” Jenna mencoba mengejar Kay.“Apa maksudmu?! Kenapa kau ada di sini?!” bentak Kay pad
Kay melepas cengkeramannya dari leher Livy dengan cara mendorongnya. Livy terpental jatuh ke belakang dan terduduk.“Ahh!” Livy kesakitan dan reflek menekuk perutnya karena terasa sakit. Ia menangis dan merintih kesakitan.“Kay! Kau keterlaluan!” ucap Richard.“Aku keterlaluan, Pa? Dia sudah berusaha membunuh Albern!” bentak Kay.Mulut Livy masih ternganga sambil merintih menahan sakit di bokong dan perut bawahnya. Ia tidak kepikiran untuk membela dirinya lagi. Dia terus menekuk dan memegang perutnya.“Aku akan penjarakan kau!” tuduh Kay pada Livy dengan sangat kejam.Livy menggeleng. Dia berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri. Tidak akan ada yang peduli rasa sakit yang dialaminya.Saat Livy mencoba berdiri, tiba-tiba cairan merah mengalir di kakinya hingga menetes ke lantai. Ia masih merintih. Bahkan tidak tahu apa yang terjadi padanya.Livy kembali terjatuh berlutut sambil menahan sakit yang luar biasa. “To long…” Livy meminta tolong.“Ibu Livy…” Richard ingin mendekat.“Papa! Ja
Kay baru saja keluar dari kantor polisi. Saat akan masuk ke dalam mobilnya, ada panggilan dari ayah mertuanya.“Halo, Pa?”“Kay… Bukan Ibu Livy. Bukan dia pelakunya. Pelakunya Jenna!” Richard langsung memberi tahu.“A- apa? Maksud Papa?” Kay masih berusaha mencerna laporan ayah mertuanya.Richard menjelaskan semuanya.Kay frustrasi dia menekan pelipisnya lalu menutup mulutnya. “Arggh! Sialan! Bagaimana bisa?” pekiknya emosi.“Bawa Ibu Livy kembali, Kay. Dia tidak bersalah! Sementara itu Papa akan tetap berpura-pura tidak tahu kalau Jenna adalah pelaku yang sesungguhnya. Papa tunggu kamu. Cepat!” ucap Richard. Dia pun bergerak cepat untuk mendapatkan bukti penguat yanag lain.Kay teringat pada Livy. Ia pun mulai kepikiran bagaimana kalau yang dia katakan benar? Kalau dia benar-benar keguguran anaknya? Tapi kebenciannya pada wanita itu dan mengetahui di mana dia tinggal belakangan ini, membuatnya ragu. Ia tidak bisa percaya semudah itu.Dengan cepat dia kembali masuk ke dalam kantor pol
Kay menatap dokter. Dia terlihat bingung dan terdiam.Melihat respon Kay yang begitu lambat, Richard lanagsung bertindak tegas. “Lakukan apa pun yang terbaik untuk Ibu Livy, Dok. Lakukan yanag terbaik. Selamatkan dia.”Setelah dokter pergi. Richard menatap Kay. Dia geleng kepala. “Apa dengan keadaannya begini membuatmu sudah puas?”Kay terdiam. Dia tidak bisa memisahkan antara benci dan ibanya pada ibu susu anaknya itu.“Papa tidak tahu bagaiamana hubungan kalian di masa lalu dan bagaimana sakit hatimu di masa lalu. Tapi, yang Papa lihat sekaranag, kau benar-benar puas dengan apa yang menimpa Ibu Livy,” tuding Richard.“Bu- bukan begitu, Pa.”“Lalu apa? Bagaimana?” tanya Richard.Kay terdiam.“Sudahlah! Kau jaga saja Albern. Biar Papa yang menunggu Livy,” jelas Richard. Dia meninggalkan menantunya itu.Kay masih bengong. Dia masih tidak bisa memisahkan rasa benci dan dendamnya pada wanita itu walau mata dan telinganya sudah melihat dan mendengar bagaimana keadaan mantan kekasihnya itu
“Ibu Livy menunjukkan kemajuan. Dia belum sadar tapi detak jantung dan napasnya sudah mulai normal. Jika terus seperti ini dan diberi kata-kata penyemangat, mudah-mudahan Ibu Livy bisa segera pulih.” Kay menghela napas yang begitu besar. Seperti sesak yang berubah menjadi suatu kelegaan. Begitu juga dengan Richard. “Tuhan… Syukurlah…” Richard mengusap wajahnya. “Ma.. Vy..” Albern menunjuk ke jendela ruangan. “Iya Al… Doakan Mama Livy ya?” ucap Kay pada anaknya. “Apa pasien boleh dijenguk, Dok?” tanya Richard. “Boleh, tapi sebaiknya dalam keadaan bersih dan tidak beramai-ramai. Hindari membahas hal-hal yang sekiranya tidak baik untuk didengar oleh pasien. Sebaliknya, bahas hal-hal yang mungkin menguatkan pasien,” pesan Dokter. Kay begitu kaku. Dia canggung ingin mendekati Livy. Dia tidak yakin dia bisa membawa pengaruh baik untuknya. Itu sebabnya dia masih hanya melihat dari jendela. Richard mendekati Kay. Dia mengambil Albern darinya. “Sebaiknya kamu meminta maaf atas apa yang
Livy menoleh. Menatap tangan Kay yang menahan lengannya. “Ah, ma- maaf. Maaf,” ucap Kay. “Ya?” sahut Livy dengan nada bertanya. “Kalu kamu tidak keberatan, bolehkah kapan-kapan kita mengobrol lagi? Ka- kalau kamu mau sih. Aku senang sekali bisa berbagi cerita denganmu. Bukan berarti aku mengabaikan semua luka yang ada, tapi memiliki waktu bersama seperti ini bersamamu benar-benar menenangkan hatiku.” Kay berkata dengan tulus dari hatinya, yang juga berhasil sampai tepat di hati Livy. Livy menunjukkan senyum simpul dan mengangguk pelan. Walau canggung, ia tetap meresponnya. Karena tidak ada alasannya untuk menolak. Sebab sebenarnya ia pun merasakan hal yang sama, yaitu kenyamanan. “Ya, boleh. Sudah malam. Kamu beristirahatlah. Selamat malam,” ucapnya lebih lembut. Kay tersenyum. Lega menghampiri hatinya. “Yaa, selamat malam Livy. Mi- mimpi indah,” lanjutnya, untuk pertama kali berani berkata seperti itu. “Kamu juga,” balas Livy. Ia pun melangkah pergi, meninggalkan dapur lebih d
Livy membuka lemari gelas dan menuangkan air putih dari botol ke gelas kaca. Tepat saat ia hendak meminumnya, suara langkah kaki menyusul pelan dari arah lorong.“Kay?” Livy menoleh, sedikit heran melihat pria itu hadir di dapur.Kay menggaruk tengkuknya, ekspresi gugup jelas terlihat di wajahnya. “Aku… juga haus,” katanya sambil mencoba tersenyum, padahal jelas-jelas itu bukan alasannya datang ke dapur.Livy mengangkat alis, tapi tak berkomentar. Ia hanya memalingkan wajah dan membuka botol air lagi, lalu menuangkan air ke gelas kedua dan menyodorkannya tanpa banyak kata.Kay menerimanya, jari mereka nyaris bersentuhan. Dan lagi-lagi, itu cukup membuat jantung Kay memompa darahnya lebih cepat.Mereka duduk di dua kursi berhadapan di meja makan kecil dapur. Hening.Sesekali pandangan mereka saling bertemu, lalu sama-sama buru-buru berpaling seolah takut ketahuan sedang saling mengamati.Kay memutar gelasnya pelan dengan jemari, mencoba mencari topik pembicaraan. Tapi entah kenapa, sem
Kay kembali masuk ke dalam kamar Albern. Di sana ia kembali duduk di pinggiran tempat tidur. Ia tersenyum. “Makasih Nak, sudah membuat Papa dekat dengan Mama. Kamu bantu Papa ya? Supaya Mama Livy selamanya akan menjadi Mama kamu…” ucapnya berbicara sendiri dengan nada pelan.Setelah memastikan anaknya benar-benar lelap, Kay pun melangkah perlahan untuk keluar dari kamar Albern. Sebelum menjauh dari sana, ia sempat melihat pintu kamar Livy. Hatinya menghangat.Lampu-lampu lorong rumah sudah diredupkan. Suasana terasa sunyi, namun sangat tenang. Kay ingin pergi menuju kamarnya, namun saat melewati ruang tengah, ia melihat Richard duduk sendirian di sofa dengan secangkir air putih di meja.Richard menatap ke arah Kay. “Kay,” sapanya.“Papa? Kenapa tidak di kamar? Kenapa tidak langsung tidur?” tanya Kay.Richard mengangguk, mempersilakan Kay duduk di sampingnya dengan menepuk bagian sofa yang kosong itu.Kay menurut, tanpa banyak tanya. Beberapa detik keheningan menyelimuti mereka sebelum
Usai makan malam yang hangat itu, mereka tidak lupa mengabadikan momen dengan berfoto bersama. Richard pun memberikan ruang untuk mereka berfoto tanpa dirinya.“Papa? Kenapa pergi?” tanya Livy.“Kan tadi sudah? Sekarang… giliran kalian bertiga!” ucapnya tersenyum semangat. “Rapat-rapat!” ucapnya pula menggeser Livy pada Kay. Membuat jarak di antara mereka terpotong. Sempat mata mereka saling menatap, hingga akhirnya tersenyum menatap kamera.Setelah itu, Kay pun menarik tangan Richard. “Sekarang, giliran kita berdua, Pa.”Ada rasa bangga dan haru tersendiri di dalam diri Richard saat Kay merangkulnya dan berfoto berdua dengannya. Ia tidak salah memilih lelaki untuk mendiang anaknya. Ia juga tidak salah mempercayakan perusahaan padanya. Ia benar-benar tidak gelap mata.Malam itu benar-benar memberikan momen yang tidak akan terlupakan untuk mereka.Waktu berlalu… sudah waktunya mereka pulang. Ditambah Albern yang terlihat sudah bosan karena mulai mengantuk. Akhirnya mereka meninggalkan
“Mau?” tanya Kay pula terang-terangan menatap Livy. Ia terkekeh.Livy langsung keluar dari mobil dan membiarkan Kay menggendong Albern.“Ada-ada saja!” celoteh Livy pelan.“Aku cuma bercanda…” ucap Kay.“Papa kamu memang kadang suka banyak gaya, Al. Memangnya sanggup?” cibirnya pelan, sambil mengibas rambutnya ke belakang.“Sanggup! Mau coba?” balas Kay yang mendengar omelan itu.Livy memelototinya.Kay malah tertawa lebar. “Kamu cantik kalau lagi marah,” ucapnya.“Ya! Aku tahu!” balas Livy arogan, berjalan lebih depan dan meninggalkan Kay juga Albern.Kay sama sekali tidak mati kutu dengan jawaban judes itu. Dia malah senang, karena perlahan sisi Livy yang dulu, mulai kembali ia tunjukkan. Sisinya yang manja, bawel namun tetap penuh perhatian.Restoran itu tidak terlalu ramai, namun suasananya hangat dan nyaman. Cahaya lampu-lampu gantung yang temaram memantulkan kilau lembut ke meja-meja kayu yang ditata elegan. Aroma roti panggang dan rempah-rempah menyambut mereka begitu pintu kac
Mata Livy melotot.Kay terkekeh. Membuat Livy akhirnya tersenyum. Merah di pipinya itu tidak dapat dia sembunyikan.“Baiklah, nanti aku akan siap-siap,” ucap Livy mengalihkan.“Lalu jawabannya?” tanya Kay.“Jawaban apa lagi? Aku sudah bilang ya,” balas Livy, bingung.“Aku pikir kamu jawab ‘baiklah’ kamu akan memanggilku dengan sebutan ‘Sayang’ hehe…” Kay merasa konyol. Dia mengusap kepalanya.Livy sejenak terdiam. “Hm... sudah dulu,” ucapnya, mengakhiri panggilan.Kay masih tersenyum. Sampai dia menyandarkan punggungnya ke kursinya yang empuk, mendongakkan wajah, bibirnya itu masih tersenyum lebar. Jantungnya berdebar.Sementara itu, Livy di kamarnya, mengelus dada. Dia mengatur napasnya. Kenapa hanya pertanyaan bercanda seperti itu berhasil membuatnya tersipu? Jiwanya benar-benar terasa kembali hidup, untuk hal lain, perasaan yang sudah lama tidak diarasakan.**Sore itu, suara mobil Kay terdengar lebih cepat dari biasanya. Jam belum menunjukkan pukul lima, namun deru mesinnya sudah
Cahaya matahari siang menembus tirai tipis di balik jendela kantor Kay yang terletak di lantai tertinggi gedung. Di balik meja panjang dan layar monitor yang menyala, Kay duduk dengan jas setengah dibuka dan dasi yang mulai ia longgarkan sejak satu jam lalu setelah dia selesai meeting. Di tangannya ada laporan bulanan yang belum sepenuhnya ia baca, karena pikirannya melayang terlalu jauh.Terlalu jauh... ke rumah. Ya, bukan hanya sekadar bangunan megah, mewah dan indah, tetapi benar-benar menjadi tempat pulang yang ia rindukan. Anaknya, Ayah mertuanya dan Livy.Bukan pertama kali ia begini. Sejak Livy kembali dan tinggal bersama mereka, wajah perempuan itu tak pernah absen dari benaknya. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang terasa mengganjal—bukan karena rasa bersalah, tapi karena harapan yang mulai tumbuh diam-diam. Harapan yang perlahan membesar dan membentuk sebuah impian.Ia menatap keluar jendela. Di sana, langit tampak cerah. Begitu pun isi kepalanya sa
Kay mati kutu menatap Albern yang terus memintanya untuk mencium Livy.Kay terdiam.Livy membeku.Richard, yang tengah mengaduk teh hangat, hanya tertawa pelan di balik cangkirnya. “Wah, anak kecil memang tulus.”Namun Kay hanya mengusap kepala putranya perlahan. Ia menunduk lalu berbisik, “Papa tidak boleh mencium Mama sekarang, nanti Mama marah. Papa mencium Mama di depan rumah saaja ya?”Bisikannya itu terdengar oleh Livy.Albern menatap Kay. Mengerti ataupun tidak, yang jelas anak itu terlihat mengangguk.“Ayo Mama!” ucap Kay pula pada Livy.Livy panik, namun mengikut juga.“Pa, tolong jaga jagoanku ini sebentar, Pa. Aku mau pamit ke depan…” ucapnya.Richard hanya tersenyum lalu mengangguk. Ia memahami bahwa itu bukan sekadar alasan biasa.Kay lalu menatap Livy dengan tatapan yang tak bisa ia artikan. “Antar aku sebentar ke depan ya?”Livy sempat ragu, t
Kay refleks mundur, lalu buru-buru menahan tawa.Livy pun mengecup kening Albern. Pelan dan lembut. Ia tidak ingin membangunkannya. Kemudian barulah Kay yang mengecup Albern.Melihat adegan itu, senyuman Livy terukir walau tipis. Senyum yang tak bisa ia tahan saat melihat mata Kay yang jernih di bawah lampu temaram dan mengecup anaknya dengan penuh kasih saayang.Kay melirik Livy sejenak. Lalu, dengan gerakan lembut, ia mengelus rambut Albern sekali lagi, lalu berdiri. “Ayo, aku antar kamu ke kamar.”Livy sempat ragu. “Ti- tidak usah,” ucapnya.“Kamu mau tidur di sini?” tanya Kay, memastikan.“Bu- bukan. Yaudah, ayo keluar,” ajak Livy pula.Mereka berjalan perlahan keluar dari kamar Albern, pintu ditutup dengan sangat hati-hati. Langkah mereka menuju ke pintu di sebelah, yaitu kamar Livy.Di depan pintu itu, mereka berdiri berhadapan. Kay menatapnya, sementara Livy memegang gagang pintu. Cahaya remang lorong menyapu wajah mereka, membentuk siluet yang tenang dan samar-samar namun ada