“Bukan apa-apa, Pa.” Kay memberikan gelas itu pada Livy. Ia menghampiri mertuanya dan mengajaknya menjauh dari Livy. “Kau tidak pernah semarah itu pada orang. Ada apa?” Richrd menatap Livy yang menunduk dan duduk mengambil nampan yang jatuh dari tangannya. “Dia Ibu Susunya Albern kan?” tanyanya. Kay mengangguk. Richard malah mendekati Livy. Dia berdiri tepat di hadapannya. “Aku tidak mengenalimu. Aku tidak tahu kau dari keluarga yang bagaimana. Aku tidak peduli. Yang pasti, aku berterima kasih padamu, karena sudah menyusui Cucuku. Terima kasih ya?” Livy tidak menyangka justru kalimat itu yang dia dapatkan dari tuan besar di rumah itu. Ia mengangguk sambil menunduk dengan perasaan sedikit haru. “Sudah menjadi tugas saya, Tuan.” Kay tidak nyaman jika sampai ayah mertuanya merasa Livy berjasa untuk anaknya. Bukankah itu memang sudah menjadi tugasnya? Dia dibayar untuk menjadi Ibu Susu. Bahkan dia yang mengemis untuk mendapat pekerjaan itu. “Permisi, Tuan.” Livy membalik badan dan m
Kay langsung menatap Livy yang menyentuh kakinya dan memohon. Matanya memerah dan sedikit basah. “Jadi benar?” tanyanya tidak menyangka. “Ahh!” Livy terjatuh, terduduk ke belakang, setelah Kay mengayun kakinya, melepas genggaman tangan Livy. Wanita itu terus menangis. Ia ketakutan dan terus meminta maaf. “Aku minta maaf, Kay. Ampuni aku…” Ia menyatukan kedua telapak tangannya di depan wajah. “Andai anakku tidak membutuhkanmu, aku tidak akan segan-segan membunuhmu detik ini juga! Setelah Albern tidak membutuhkan dirimu lagi, jangan pernah kau menunjukkan wajah di depanku! Atau kau akan menyesal! Seumur hidupku, aku tak akan memaafkanmu!” Wajah tegas dengan mata elang itu, tampak menyimpan kekecewaan yang dalam. Hatinya diselimuti dendam, kebencian dan amarah. Ia membenci takdirnya di masa lampau yang harus jatuh cinta pada wanita yang ternyata adalah iblis. “Takdir yang paling kubenci di hidupku adalah mengenalmu!” Kay berlalu, mengantam kuat pintu kamar itu. Livy menangis se
“Kenapa kau baru muncul sekarang? Apa maksudmu meninggalkan kami?!” Livy langsung mencengkeram kerah baju David dan mengguncang tubuhnya. “Aku frustrasi!” David malah kembali membentak Livy. Dia menangkap lengan Livy. “Mana Fabian?!” “Fabian sudah mati!” teriak Livy di wajah David, sekaligus meluapkan kekesalan dan derita yang dia tanggung sendirian. “A- apa?” David melepas Livy. Dia tampak bingung. Secepat itu pula dia membuka rumah dan menarik Livy masuk ke dalam. Ia menutup kembali pintu. Bersamaan dengan itu, sebuah video sampai pada Kay. Dari jauh, dia melihat ada perseteruan antara Livy dan suaminya. Namun, berakhir, keduanya masuk ke dalam rumah. Hal itu membuat Kay menghubungi anak buahnya. “Tinggalkan tempat itu. Tak perlu kau menyelidikinya lagi!” ujarnya. “Kau jangan berbohong, Livy! Jadi, kau sudah menjualnya?” David menuduh Livy. “GILA! KAU GILA! AKU SUDAH BILANG FABIAN SUDAH TIDAK ADA!” Livy berteriak frustrasi. Dia hampir gila dengan tuduhan tidak masuk akal suami
Hatinya tidak kuat mendengar percakapan mereka. Ia segera menjauh. Livy pun membenarkan ucapan Richard, Kay berhak bahagia. Tangan Albern bergerak-gerak, seakan ingin menyentuh wajah Livy. “Albern… Sayang… Benar kata Kakekmu. Kamu dan Papa kamu berhak bahagia. Iya kan?” Livy mengajak bayi berusia dua bulan itu berbicara. Takdirnya benar-benar malang. Siap atau pun tidak, waktu itu pasti akan datang. Kay pasti akan menikah. Livy percaya semua kepahitan itu, mungkin memang karma untuknya. Ditambah setelah tidak sengaja bertemu suaminya hari ini, Livy menjadi sering melamun, berpikir yang bukan-bukan, hingga ingin mengakhiri hidup. Namun, dia sudah sayang akan Albern. Semua beban batin dan pikirannya itu membuat Livy sakit keesokan harinya. Livy sulit untuk bangkit dari kamarnya. Dia demam. Suhu tubuhnya tinggi. Tak ada yang menyadari. Namun, Livy tahu diri. Dia sadar akan tugas dan statusnya. Perlahan, sambil meraba dinding, ia berjalan keluar kamar. Melewati lorong, berjalan
Air mata Livy kembali berjatuhan saat ia kembali membaringkan tubuhnya. Ia menyalahkan dirinya atas apa yang sudah dia katakan pada Kay. 'Kenapa hatiku berkata kalau dia benar mengingat kalau aku tidak bisa minum obat? Dan hatiku sedikit senang jika itu benar. Setidaknya dia masih mengingatku.' Hatinya terbolak-balik mengingat Kay. 'Tidak... Apa yang sudah aku pikirkan? Mana mungkin Kay mengingatku. Dia sangat membenciku. Bahkan, aku sudah dianggap mati,' batinnya pilu. Selama Livy sakit, ASI-nya dipompa untuk memenuhi kebutuhan Albern. Bayi Susunya itu juga seakan mengerti kondisinya. Dia tidak rewel selama Livy sakit. Walau Suster Merry tetap harus membawa Albern ke kamar Livy agar Albern bisa tenang setelah mendengar suara ibu susunya. Kay tidak dapat melarang. Anaknya benar-benar sudah ketergantungan dengan Livy. Dia bahkan tidak menyangka walau hanya mendengar suara Livy, anaknya bisa tenang. 'Bagaimana kalau sampai Albern tidak bisa berpisah dengan Livy? Tidak! Tidak b
Kay ingin turun dari mobilnya, mendekati rumah itu dan mencaritahu apa yang terjadi di dalam. Namun, pikirannya sudah telanjur jauh. Dia malah merasa jijik jika harus mendengar percintaan Livy dan David. Tepat saat Kay ingin kembali memajukan mobilnya, dia malah melihat Livy keluar dari rumah itu dan ingin berteriak. Sigap David membekap mulutnya dan memeluk Livy untuk kembali masuk ke dalam rumah. “Lepaskan! Aku ke sini bukan untuk melayanimu! Aku mau kita bercerai!” teriak Livy. Plak! David tak segan-segan menamparnya. “Aku tidak mau! Kau bisa apa?!” bentak David. Kay langsung turun dari mobilnya. Dia mendekati rumah itu. Saat yang bersamaan, Livy kembali berusaha kabur setelah mendorong tubuh David sekuat yang dia mampu. Saat ia lari terbirit, tak sengaja dia menabrak tubuh Kay. “To- tolong aku!” ucap Livy yang panik. Namun, saat itu pula dia terdiam setelah melihat wajah pemilik dada yang bidang itu. Mata Kay menyala menatap Livy. David pun muncul. Dia terkejut setelah mel
Kay tiba-tiba memberhentikan mobilnya. Hingga Livy terguncang dan terkejut. Tatapan Kay semakin tajam padanya. “Di matamu kau hanya menyoroti dendamku saja? Bagaimana dengan kelicikan dan kekejianmu?!” bentak Kay. Livy menatap tepat di mata Kay. Dia memandangnya dengan kelembutan. Dengan mata yang basah. “Arghh!” Kay memukul setir mobilnya. Ia frustrasi sendiri dengan kebenciannya. “Kapan Albern akan tidak membutuhkanmu lagi! Aku benar-benar muak dengan semua aktingmu ini!” Livy menunduk. Dia membuang pandangannya ke sisi kanan jendela. Mencoba mengalihkan wajahnya dari Kay. Ia sedang mengumpulkan keberanian, ingin mengatakan yang sejujurnya. “Kay… sebenarnya…” “Diam!” potong Kay. “Kau tidak perlu berkata apa-apa lagi! Apa masih kurang jelas, aku ini Tuanmu!” Livy menunduk. Tangisannya yang di atahan membuat tubuhnya bergetar. Dia menutup wajahnya. “Maaf Tuan…” ucapnya pula. Kay kembali memajukan mobilnya. ‘Aku tidak akan berusaha menjelaskan apapun lagi, Kay. Memang, aku yan
Sigap Kay meninggalkannya di sofa itu sebelum Livy terbangun. Ia kembali ke samping Albern dan tidur di sana.Tangisan dan rengekan Albern pagi itu membuat Livy terbangun. Saat dia ingin segera beranjak, dia pun sadar ada selimut yang menghalanginya. Dia juga sadar ada bantal di bagian kepalanya. Belum sempat dia bengong dan bertanya-tanya, tangisan Albern langsung mengalihkannya. Livy langsung menggendong anak susunya, menjauhkannya dari Kay, agar pria yang terlihat lelah itu tidak terbangun. Saat yang bersamaan, dia pun menduga, ‘Dia yang memberiku selimut dan bantal?’ batinnya. Ia pun berniat untuk mengucapkan terima kasih nanti.“Iya Sayang… Ibu di sini… Kamu tenang ya? Selamat pagi ganteng…” Livy menimang-nimang Albern untuk menenangkannya. Dia bahkan membawanya jalan-jalan untuk menikmati pagi yang cerah dari teras rumah megah itu.Kay terbangun. Dia langsung terduduk saat menyadari tidak ada Albern di sebelahnya. Dia juga melihat jam dan menyadari kalau dia akan terlambat ke k
Kay kembali masuk ke dalam kamar Albern. Di sana ia kembali duduk di pinggiran tempat tidur. Ia tersenyum. “Makasih Nak, sudah membuat Papa dekat dengan Mama. Kamu bantu Papa ya? Supaya Mama Livy selamanya akan menjadi Mama kamu…” ucapnya berbicara sendiri dengan nada pelan.Setelah memastikan anaknya benar-benar lelap, Kay pun melangkah perlahan untuk keluar dari kamar Albern. Sebelum menjauh dari sana, ia sempat melihat pintu kamar Livy. Hatinya menghangat.Lampu-lampu lorong rumah sudah diredupkan. Suasana terasa sunyi, namun sangat tenang. Kay ingin pergi menuju kamarnya, namun saat melewati ruang tengah, ia melihat Richard duduk sendirian di sofa dengan secangkir air putih di meja.Richard menatap ke arah Kay. “Kay,” sapanya.“Papa? Kenapa tidak di kamar? Kenapa tidak langsung tidur?” tanya Kay.Richard mengangguk, mempersilakan Kay duduk di sampingnya dengan menepuk bagian sofa yang kosong itu.Kay menurut, tanpa banyak tanya. Beberapa detik keheningan menyelimuti mereka sebelum
Usai makan malam yang hangat itu, mereka tidak lupa mengabadikan momen dengan berfoto bersama. Richard pun memberikan ruang untuk mereka berfoto tanpa dirinya.“Papa? Kenapa pergi?” tanya Livy.“Kan tadi sudah? Sekarang… giliran kalian bertiga!” ucapnya tersenyum semangat. “Rapat-rapat!” ucapnya pula menggeser Livy pada Kay. Membuat jarak di antara mereka terpotong. Sempat mata mereka saling menatap, hingga akhirnya tersenyum menatap kamera.Setelah itu, Kay pun menarik tangan Richard. “Sekarang, giliran kita berdua, Pa.”Ada rasa bangga dan haru tersendiri di dalam diri Richard saat Kay merangkulnya dan berfoto berdua dengannya. Ia tidak salah memilih lelaki untuk mendiang anaknya. Ia juga tidak salah mempercayakan perusahaan padanya. Ia benar-benar tidak gelap mata.Malam itu benar-benar memberikan momen yang tidak akan terlupakan untuk mereka.Waktu berlalu… sudah waktunya mereka pulang. Ditambah Albern yang terlihat sudah bosan karena mulai mengantuk. Akhirnya mereka meninggalkan
“Mau?” tanya Kay pula terang-terangan menatap Livy. Ia terkekeh.Livy langsung keluar dari mobil dan membiarkan Kay menggendong Albern.“Ada-ada saja!” celoteh Livy pelan.“Aku cuma bercanda…” ucap Kay.“Papa kamu memang kadang suka banyak gaya, Al. Memangnya sanggup?” cibirnya pelan, sambil mengibas rambutnya ke belakang.“Sanggup! Mau coba?” balas Kay yang mendengar omelan itu.Livy memelototinya.Kay malah tertawa lebar. “Kamu cantik kalau lagi marah,” ucapnya.“Ya! Aku tahu!” balas Livy arogan, berjalan lebih depan dan meninggalkan Kay juga Albern.Kay sama sekali tidak mati kutu dengan jawaban judes itu. Dia malah senang, karena perlahan sisi Livy yang dulu, mulai kembali ia tunjukkan. Sisinya yang manja, bawel namun tetap penuh perhatian.Restoran itu tidak terlalu ramai, namun suasananya hangat dan nyaman. Cahaya lampu-lampu gantung yang temaram memantulkan kilau lembut ke meja-meja kayu yang ditata elegan. Aroma roti panggang dan rempah-rempah menyambut mereka begitu pintu kac
Mata Livy melotot.Kay terkekeh. Membuat Livy akhirnya tersenyum. Merah di pipinya itu tidak dapat dia sembunyikan.“Baiklah, nanti aku akan siap-siap,” ucap Livy mengalihkan.“Lalu jawabannya?” tanya Kay.“Jawaban apa lagi? Aku sudah bilang ya,” balas Livy, bingung.“Aku pikir kamu jawab ‘baiklah’ kamu akan memanggilku dengan sebutan ‘Sayang’ hehe…” Kay merasa konyol. Dia mengusap kepalanya.Livy sejenak terdiam. “Hm... sudah dulu,” ucapnya, mengakhiri panggilan.Kay masih tersenyum. Sampai dia menyandarkan punggungnya ke kursinya yang empuk, mendongakkan wajah, bibirnya itu masih tersenyum lebar. Jantungnya berdebar.Sementara itu, Livy di kamarnya, mengelus dada. Dia mengatur napasnya. Kenapa hanya pertanyaan bercanda seperti itu berhasil membuatnya tersipu? Jiwanya benar-benar terasa kembali hidup, untuk hal lain, perasaan yang sudah lama tidak diarasakan.**Sore itu, suara mobil Kay terdengar lebih cepat dari biasanya. Jam belum menunjukkan pukul lima, namun deru mesinnya sudah
Cahaya matahari siang menembus tirai tipis di balik jendela kantor Kay yang terletak di lantai tertinggi gedung. Di balik meja panjang dan layar monitor yang menyala, Kay duduk dengan jas setengah dibuka dan dasi yang mulai ia longgarkan sejak satu jam lalu setelah dia selesai meeting. Di tangannya ada laporan bulanan yang belum sepenuhnya ia baca, karena pikirannya melayang terlalu jauh.Terlalu jauh... ke rumah. Ya, bukan hanya sekadar bangunan megah, mewah dan indah, tetapi benar-benar menjadi tempat pulang yang ia rindukan. Anaknya, Ayah mertuanya dan Livy.Bukan pertama kali ia begini. Sejak Livy kembali dan tinggal bersama mereka, wajah perempuan itu tak pernah absen dari benaknya. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang terasa mengganjal—bukan karena rasa bersalah, tapi karena harapan yang mulai tumbuh diam-diam. Harapan yang perlahan membesar dan membentuk sebuah impian.Ia menatap keluar jendela. Di sana, langit tampak cerah. Begitu pun isi kepalanya sa
Kay mati kutu menatap Albern yang terus memintanya untuk mencium Livy.Kay terdiam.Livy membeku.Richard, yang tengah mengaduk teh hangat, hanya tertawa pelan di balik cangkirnya. “Wah, anak kecil memang tulus.”Namun Kay hanya mengusap kepala putranya perlahan. Ia menunduk lalu berbisik, “Papa tidak boleh mencium Mama sekarang, nanti Mama marah. Papa mencium Mama di depan rumah saaja ya?”Bisikannya itu terdengar oleh Livy.Albern menatap Kay. Mengerti ataupun tidak, yang jelas anak itu terlihat mengangguk.“Ayo Mama!” ucap Kay pula pada Livy.Livy panik, namun mengikut juga.“Pa, tolong jaga jagoanku ini sebentar, Pa. Aku mau pamit ke depan…” ucapnya.Richard hanya tersenyum lalu mengangguk. Ia memahami bahwa itu bukan sekadar alasan biasa.Kay lalu menatap Livy dengan tatapan yang tak bisa ia artikan. “Antar aku sebentar ke depan ya?”Livy sempat ragu, t
Kay refleks mundur, lalu buru-buru menahan tawa.Livy pun mengecup kening Albern. Pelan dan lembut. Ia tidak ingin membangunkannya. Kemudian barulah Kay yang mengecup Albern.Melihat adegan itu, senyuman Livy terukir walau tipis. Senyum yang tak bisa ia tahan saat melihat mata Kay yang jernih di bawah lampu temaram dan mengecup anaknya dengan penuh kasih saayang.Kay melirik Livy sejenak. Lalu, dengan gerakan lembut, ia mengelus rambut Albern sekali lagi, lalu berdiri. “Ayo, aku antar kamu ke kamar.”Livy sempat ragu. “Ti- tidak usah,” ucapnya.“Kamu mau tidur di sini?” tanya Kay, memastikan.“Bu- bukan. Yaudah, ayo keluar,” ajak Livy pula.Mereka berjalan perlahan keluar dari kamar Albern, pintu ditutup dengan sangat hati-hati. Langkah mereka menuju ke pintu di sebelah, yaitu kamar Livy.Di depan pintu itu, mereka berdiri berhadapan. Kay menatapnya, sementara Livy memegang gagang pintu. Cahaya remang lorong menyapu wajah mereka, membentuk siluet yang tenang dan samar-samar namun ada
Usai makan malam yang hangat itu, Bibi Eden sedang membereskan meja dibantu Livy, sementara Albern sudah berjalan ke arah ruang tengah, mencaari mainannya dan menyibukkan diri. Kay berdiri mematung di teras depan, menghirup udara malam. Langit bersih malam itu, bintang-bintang menggantung tenang. Langkah Richard pelan-pelan mendekat. Richard berdiri di sampingnya, memandang langit yang sama. Hening sejenak di antara mereka, hingga akhirnya Richard membuka percakapan. “Kamu tahu, sudah lama rumah ini tak sehangat ini...” Kay menoleh sedikit, mengangkat alis. Ia membenarkan. “Suara anak kecil, tawa makan malam, kehangatan orang-orang yang saling peduli... Itu tak bisa dibuat-buat, Kay. Rumah ini... terasa hidup kembali sejak Livy ada bersama kita, menemani Albern. Lebih tepatnya melengkapi kita.” Kay mengangguk pelan, memandangi bayangan rumah di bawah cahaya bulan. Richard melanjutkan, “Kamu masih mencintainya, bukan?” Butuh beberapa saat sebelum Kay menjawab. Nadanya nyaris se
Tak berkata apa-apa lagi, setelah terkejut, Livy langsung berjalan cepat, seakan tidak tejadi apa-apa. Langkahnya cepat meninggalkan bagian depan kamar Kay, dan berlari cepat menuruni tangga. Kay masih terkekeh melihat ekspresi Livy. Ia pun tersenyum dan terdiam sambil menggelengkan kepala. Sayangnya, kebahagiaan itu masih terasa jauh. Entah bisa dicapai atau tidak. Mungkinkah ia bisa membangunnya kembali. Ia pun masuk kembali ke dalam kamarnya. Di pinggiran tempat tidurnya, dia duduk. Tubuhnya masih hanya dibalut handuk. Ia meraih gelas yang berisi teh buatan Livy. Aromanya menyeruak menggoda penciuman Kay. Segar dan menyehatkan. Ia menghirupnya dengan senyuman. Ia memejamkan mata lalu perlahan menyesapnya. Seketika Kay merasa lebih kuat. Bukan karena minuman itu berisi ramuan ajaib seperti di cerita-cerita fiksi, melainkan karena ia teringat akan siapa yang membuatnya. Seorang wanita yang sangat dicintainya. Ia merasa teh jahe itu jauh lebih hangat lagi. Livy yang sudah sampai