Livy cepat-cepat beranjak. Meninggalkan Kay dan Albern di atas kasur. Ia berjalan keluar kamar untuk mengejar Richard. Dia tidak ingin berlama-lama lagi dalam candaan Kay yang membuat jantungnya seakan tak ingin berdetak santai. Belum lagi pipinya yang memerah. Tubuhnya yang panas. Kay pun langsung menggendong Albern, masih dengan wajah tersenyum puas. Ia benar-benar bahagia. Tak ada kata yang bisa mengungkapkan betapa bersemangat dan bahagianya hidupnya saat ini. “Ayo Sayang! Kita kejar Mama!” ucap Kay, menggendong anaknya. ** Restoran bergaya semi-outdoor itu memiliki suasana intim dengan lampu gantung berbentuk lentera dan suara deburan ombak dari kejauhan. Albern duduk di kursi bayi, memainkan sedotan sambil sesekali menyembur air ke bajunya sendiri. “Baju Al basah. Sebaiknya langsung diganti. Aku bawa Al ke kamar dulu,” ucap Livy. “Tenang, biar aku saja yang ambilkan,” ucap
Kay masih tertawa lepas dan puas. Ia menangkap bantal yang Livy lempar ke wajahnya. Lekas ia duduk untuk bisa menghindar.Saat itu justru Albern berdiri dan melompat-lompat di atas kasur dengan girangnya. Ia terlihat bahagia melihat kekompakan orang tuanya.Seketika Livy dan Kay terdiam melihat Albern. Mereka sama-sama tersenyum haru melihat anak itu.“Al senang ya kita bercanda seperti ini,” ucap Kay, tenang.“Bercanda? Aku marah!” tegas Livy, tapi tersenyum.Kay kembali tertawa kecil.“Artinya Al senang kamu marah padaku. Yaudah, aku siap menerima kemarahan Mamanya! Ayo lempar lagi!” ucap Kay, menyerahkan wajahnya.Namun, Livy tak melakukannya lagi. Dia malah geleng kepala.Suasana kamar itu benar-benar hangat. Kay menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya lega. Dia menatap Albern yang begitu bahagia. Dia mengusap kepala anaknya.Livy memperhatikan. Hatinya juga ikut menghangat. Itu adalah sosok Kay yang sudah dia prediksi jauh sebelum mereka berpisah. Dia tahu Kay akan menjadi sos
Mereka mendarat untuk transit di Logan International Airport, Boston. Penerbangan pertama yang memang singkat namun nyaman. Saat mendarat di Boston, mereka berganti pesawat untuk tujuan akhir.“Ini lebih kecil dari sebelumnya,” ucap Livy sambil menggenggam tangan Albern erat saat naik tangga pesawat kecil.Kay menatap Livy dan berkata tenang, “Tapi tujuannya lebih indah.”Livy tersenyum.Tk lama, mereka pun mendarat di Hancock County, Bar Harbor Airport (BHB), Trenton, Maine.Saat pesawat kecil itu menyentuh landasan dengan lembut, udara laut yang bersih menyambut dari jendela. Bandaranya kecil, tenang, dan dikelilingi pepohonan pinus serta nuansa khas pesisir timur laut yang belum tersentuh terlalu banyak oleh hiruk-pikuk kota.“Ini bandara?” tanya Livy pelan, kagum.“Yang paling dekat dengan Bar Harbor,” jawab Richard. “Dan bandara yang sangat tenang.”Mereka turun dan langsung disambut sopir hotel yang memegang papan bertuliskan “The Eden Cliffs Resort, Mr. Richard & Family.”Sebua
“Kau ada-ada saja!” celetuk Livy, segera masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Kay di sana sendirian.Kay menunduk lalu tersenyum. Dia geleng kepala melihat tingkahnya sendiri. ‘Bodoh! Kalau kau memang cemburu, memang takut kehilangan, bukan begini caranya!’ batinnya pula merutuki dirinya sendiri di dalam hati.Setelah itu, Kay memanggil Pak Sopir. Ia segera meminta bantuannya untuk membawakan hasil belanja mereka dari mobil.Livy yang berjalan ke kamarnya, merasa panas dingin dengan pertanyaan dan sikap Kay. Ada-ada saja! Kalaupun itu bercanda, dia mencoba mengabaikan, meskipun hatinya penuh mendengarnya.**Tidak terasa, waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Mereka akan segera berangkat liburan, sesuai janji Richard.Pagi itu, rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Matahari baru saja menyembul di balik tirai jendela, menyinari koper-koper yang sudah tertata rapi.Livy meraih tas kecil sambil memastikan botol susu dan selimut kesayangan Albern sudah masuk ke dalamnya. Suara langkah
Livy melihat Kay yang ingin mendekat, namun akhirnya pergi. Ia menarik tangannya pelan. “Rei? Sebenarnya ada apa?” tanyanya hati-hati.Reino pun sempat menoleh ke belakang. Ia juga melihat Kay yang pergi. Bukannya tersinggung, dia justru tersenyum. “Kamu sangat menjaga perasaannya, ya? Lalu, kalau begitu… apa yang kalian tunggu?” tanyanya. “Kalau masih sama-sama ada rasa, masih saling menjaga hati, kenapa tidak bersatu kembali?”Pertanyaan itu menggantung begitu saja. Tak dapat Livy jawab. Semua tidak semudah itu.Ternyata dari balik tembok penyekat ruang tamu itu, Kay mendengar ucapan Reino. Dia cukup terkejut karena awalnya pikirannya sudah jauh mengarah pada marah sebab cemburu. Nyatanya Rei memberi pukulan yang berbeda.Livy terdiam.““Aku ke sini bukan untuk mengusikmu, Livy. Bukan juga ingin membujukmu atau menawarkan waktu tunggu. Tidak. Aku mau minta maaf.”Livy menatapnya, bingung. “Kamu tidak salah apa-apa, Rei. Kenapa harus meminta maaf?”“Entahlah, aku merasa aku membawa s
Livy tak tahu harus menjawab apa dengan pernyataan Kay yang mengaku cemburu. Hingga pada akhirnya Kay yang kembali berbicara, “Ah, sudahlah lupakan. Kamu tidak apa-apa kan?” tanyanya.“Ya, aku tidak apa-apa,” jawab Livy pelan. Ia pun tidak tahu harus bereaksi seperti apa.“Oh ya, setelah ini, kita jadi ke salon?” tanya Kay.“Apa aku terlihat menyedihkan?” Cepat Livy merespon, membuat Kay menatapnya terdiam dan sedikit bingung.“Ke- kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Kay.“Kamu menyarankan aku ke salon, apa aku terlihat sudah sejelek itu ya?” tanya Livy pula, bingung.Kay tiba-tiba tertawa. Cemburu yang tadi mengganggu hatinya kini berubah menjadi lucu. Ia sampai mengusap wajahnya untuk menahan tawa lalu menatap Livy tersenyum.Livy yang mendapat respon seperti itu tiba-tiba jengkel. “Kenapa kamu tertawa? Apa yang lucu?” tanyanya dengan nada sedikit tidak suka.“Maaf maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu. Bukan. Bukan begitu. Aku hanya bingung kenapa kamu bisa berpikiran seper
“Ahm, ti- tidak usah,” ucap Livy.Kay pun mengangguk.Livy masuk ke dalam kamar. Dia berdiri di depan cermin. ‘Apa aku dekil? Jelek? Sampai Kay menawarkan untuk ke salon? Apa aku benar-benar terlihat tidak b isa mengurus diri sendiri?’ batinnya overthinking. Namun, saat itu pula dia menepis pikirannya. “Kenpa aku ini?! Aku berpikir apa!” celetuknya pula.Setelah sarapan pagi itu, mereka pun siap-siap untuk pergi.“Hati-hati ya… cucu Kakek!” seru Richard, mengusap kepala Albern.“Kalian juga… selamat bersenang-senang!” ucapnya tersenyum menatap Livy dan Kay.“Kami pergi dulu, Pa.”**Hari itu mall terlihat ramai, tapi tidak sesak. Musik lembut mengalun dari pengeras suara pusat perbelanjaan, aroma kopi dari kafe-kafe menyatu dengan semilir wangi parfum dari toko-toko di sekitarnya. Kay menggendong Albern, sementara Livy berjalan di sisi mereka sambil membawa tas kecil berisi peralatan anak itu. Sesekali Albern menunjuk ke arah stan ice cream, namun Kay mengalihkannya agar mereka lebih
Hari-hari berikutnya berlalu dengan baik dan nyaman. Tidak ada masalah, tidak ada yang menyesakkan dada. Albern tumbuh semakin ceria, dan Livy menjadi lebih sering tersenyum dan tertawa, tanpa beban. Bahkan Kay, tanpa sadar, seringkali tersenyum sendiri hanya karena melihat atau hanya mengingat Livy. Hatinya sangat hangat saat mengingat Livy begitu dekat dengan Albern. Suatu pagi, di akhir pekan, di tengah suasana rumah yang damai, setelah sarapan Richard memanggil semua orang ke ruang tamu. Ia berdiri dengan map cokelat di tangannya, seolah hendak menyampaikan sesuatu yang resmi. “Papa punya ide,” ujarnya sambil menatap mereka satu per satu. “Bagaimana kalau kita liburan bersama?” Livy yang tengah menemani Albern bermain langsung menoleh. Kay yang baru duduk pun mengangkat alis. “Liburan, Pa?” sahut Kay. Richard mengangguk semangat. “Iya. New York terlalu padat. Papa pikir kita harus tenang dan menjauh dari kesibukan kota ini. Menghirup udara baru, melihat hal-hal yang indah, y
Livy menoleh. Menatap tangan Kay yang menahan lengannya. “Ah, ma- maaf. Maaf,” ucap Kay. “Ya?” sahut Livy dengan nada bertanya. “Kalu kamu tidak keberatan, bolehkah kapan-kapan kita mengobrol lagi? Ka- kalau kamu mau sih. Aku senang sekali bisa berbagi cerita denganmu. Bukan berarti aku mengabaikan semua luka yang ada, tapi memiliki waktu bersama seperti ini bersamamu benar-benar menenangkan hatiku.” Kay berkata dengan tulus dari hatinya, yang juga berhasil sampai tepat di hati Livy. Livy menunjukkan senyum simpul dan mengangguk pelan. Walau canggung, ia tetap meresponnya. Karena tidak ada alasannya untuk menolak. Sebab sebenarnya ia pun merasakan hal yang sama, yaitu kenyamanan. “Ya, boleh. Sudah malam. Kamu beristirahatlah. Selamat malam,” ucapnya lebih lembut. Kay tersenyum. Lega menghampiri hatinya. “Yaa, selamat malam Livy. Mi- mimpi indah,” lanjutnya, untuk pertama kali berani berkata seperti itu. “Kamu juga,” balas Livy. Ia pun melangkah pergi, meninggalkan dapur lebih d