Share

4. Anakku Sudah Mati!

Author: desafrida
last update Last Updated: 2025-02-10 15:57:48

“Ibu Livy? Sebenarnya anak Ibu sakit apa?”

Livy yang tengah menunggu di depan ruang tindakan mendongak saat mendengar seseorang berhenti di hadapannya.

Dokter Rico, pria itu terlihat khawatir ketika menemukan Livy tengah menangis dengan kondisi yang memilukan seorang diri.

“Anak saya kritis, Dok….”

Livy pun akhirnya bercerita jujur pada Dokter Rico mengenai penyakit Fabian yang didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus.

Wajah Dokter Rico terlihat semakin khawatir. Untuk itu, tanpa Livy tahu, Rico mengambil jarak dan melaporkannya pada Kay.

Di rumah, Kay sempat terdiam setelah mendengar penjelasan mengerikan dari Rico

‘Jadi, sebenarnya dia membutuhkan uang untuk biaya operasi anaknya?’ batinnya. Kini dia paham, untuk apa Livy mengemis bantuannya berkali-kali.

“Temui dokternya dan katakan untuk segera lakukan operasi. Saya akan tanggung biayanya,” jelas Kay mengakhiri panggilan.

Tak lama setelah itu, dokter yang memeriksa Fabian keluar dari ruangan. “Fabian harus segera dioperasi, jika tidak, akan semakin fatal,” jelas dokter.

Livy masih menangis terisak. Dia benar-benar sudah kehilangan arah. Namun, tepat sebelum Livy mengeluarkan suara, Dokter Rico datang dan berujar, “Lakukan operasinya, Dok. Untuk dana dan administrasi akan segera diselesaikan!” jelas dokter Rico, sesuai perintah Kay.

Sementara Livy memutar tubuhnya dan menatap ke arah Rico dengan ekspresi bingung. “Dok? Tapi saya tidak punya uang. Bagaimana saya bisa membayarnya?”

“Tuan Kay yang memerintahkan saya, Bu Livy.”

Livy menangis. Akhirnya, dia merasa sebongkah batu besar terangkat dari dadanya yang sesak.

“Terima kasih, Dokter Rico,” ucap Livy tidak bisa menahan tangis harunya. Dia kemudian menoleh ke arah dokter yang menangani anaknya. “Bolehkah saya menemui Fabian sebelum dia memasuki ruang operasi?”

Livy langsung masuk ke dalam ruangan dan kembali memeluk anaknya usai diberikan izin.

“Ma?” suara Fabian sangat lemah. Mata bayi laki-lakinya itu sudah tidak kuat membuka.

“Iya, Sayang? Ini Mama, Nak….” Livy mencoba tersenyum walau air matanya berurai.

Berulang kali bayi kecil yang sedang merasakan sakit itu memanggil Livy dengan sebutan ‘Ma’. Dan setiap kali Fabian memanggilnya, hati Livy terasa semakin sakit. Dia merasa gagal menjadi seorang ibu untuk anaknya.

“Berjuanglah, Sayang. Kamu harus sembuh. Hanya kamu satu-satunya yang berharga di hidup Mama.”

Sembari menunggu persiapan operasi, Livy terus berada di sisi sang anak. Wanita itu bahkan tidak henti memberikan kecupan untuk sang anak, mencoba mencegah bayinya tidur.

Kondisi Fabian yang sudah sangat lemah membuat dokter melarang sang bayi untuk tertidur. Untuk itu, Livy terus berusaha menjaga kesadaran sang anak. Dia melakukan segala cara… mulai dari menciumi bayinya, hingga inisiatif menyusui Fabian.

Mulut mungil Fabian terbuka, menyambut dada Livy yang sudah penuh dengan ASI. Sayangnya, anak itu seolah kehilangan kemampuan untuk mencecap.

“Ayo, Nak. Hisap…” ujar Livy, terus berusaha memasukkan bagian payudaranya ke dalam mulut sang anak.

Keringat dingin disertai lelehan air mata sudah tidak bisa ditahan lagi. Terlebih, sentuhan Fabian yang berada di atas dadanya perlahan melemah.

“Tidak, Fabian!” Livy menegang. Tangan kecil yang tadi memegang dadanya kini terkulai lemah. “Nak, bangun! Jangan tinggalin Mama sendiri, Fabian… Dokter, tolong!”

Dokter sigap datang dan mengambil Fabian dari dekapan Livy. Dia meletakkannya di atas ranjang rumah sakit.

Livy berdiri dengan perasaan resah. Terlebih, kala dia melihat gelengan kepala dokter usai memeriksa seluruh tanda vital sang anak.

Ternyata, hari itu menjadi hari terakhir Livy mendengar Fabian memanggilnya Mama. Dan ternyata, meski hari itu Livy berhasil membuat operasi Fabian dijadwalkan, sang anak sudah lebih dulu berpulang.

Tubuh Livy ambruk seketika. Dia kehilangan kesadaran, dengan kalimat terakhir yang memanggil sang anak. “Fabian…”

Entah berapa lama Livy pingsan, tetapi setelah sadar… dia terus menangis. Dokter Rico sudah tidak seorang diri. Kay terlihat datang, meski Livy sudah tidak peduli pada apa pun selain rasa penyesalan usai kehilangan Fabian.

Livy masih berharap kalau semua hanyalah mimpi. Namun nyatanya, sore itu dia sudah benar-benar berada di pemakaman. Batu nisan bertuliskan nama Fabian, dengan gundukan tanah yang masih basah menjadi jawaban, jika semua adalah kenyataan.

Bayi mungilnya telah tiada. Fabian, satu-satunya semangat Livy untuk hidup kini telah berbaring tak bernyawa di bawah liang lahat yang sempit.

‘Maafkan Mama, Fabian… Mama memang gagal menjadi Mama yang baik. Mama payah! Mama tidak bisa apa-apa.'

Wanita itu tidak berhenti menyalahkan dirinya. Dia terus meminta maaf seraya memeluk nisan sembari menangis. “Tapi sekarang, Fabian sudah tenang, sudah senang, tidak perlu menderita lagi. Tunggu Mama ya, Nak. Maafin Mama…”

“Ibu Livy… mari kami antar pulang,” ucap sopir dan dokter Rico yang masih mendampinginya.

Livy menoleh ke belakang. Dia melihat Kay yang juga baru saja pergi.

Diantar Rico dan sopir, Livy bergerak menuju rumahnya yang sangat sederhana. Jauh dari kata mewah.

“Ibu Livy, ini ada sedikit dari Tuan Kay.” Dokter Rico memberikan sebuah amplop padanya lalu pergi bersama sopir.

Tangis yang tadi sudah berhenti langsung pecah lagi usai Livy memasuki rumah seorang diri. Kini, di rumah yang kecil ini… hanya ada Livy yang terus menangisi kematian sang anak, juga ketidakbecusannya sebagai seorang ibu.

***

“Siapa yang menyuruhmu datang hari ini?”

Suara dingin Kay menyambut kedatangan Livy sehari setelah jenazah Fabian dikebumikan. Wanita itu tahu jika Kay telah memberinya izin dua hari. Akan tetapi, tangisannya tidak mau berhenti jika dia hanya berdiam di rumah.

Rumah kecilnya itu mengingatkannya akan Fabian. Berdiam diri di sana lama-lama membuat dada Livy semakin sesak oleh luka kehilangan anak.

“Saya yang ingin datang sendiri, Tuan.” Livy menepis air matanya yang mengalir begitu saja.

“Karena saya tidak bisa berhenti menangisi anak saya jika hanya berdiam diri di rumah,” jelasnya.

Kay membuang wajahnya sembari membuang napas. “Di mana suamimu? Dia harusnya bertanggung jawab untuk semuanya, kan?”

Livy terdiam. Dia tidak punya jawaban tepat untuk dibagi dengan Kay.

“Di mana lelaki pilihanmu itu?! Kenapa dia membiarkanmu merasakan kehilangan dan sendirian?!” bentak Kay geram.

Livy mengangkat wajahnya dengan geram. “Kay, itu sudah dua tahun lebih yang lalu. Aku tidak menyangka kau masih menyimpan dendam—”

“Panggil aku Tuan Kay!” potong pria itu arogan.

“Maaf, Tuan Kay…” Livy menunduk sembari mengusap air matanya. Mengingat tujuannya kemari bukan hanya untuk membahas masa lalu, dia merogoh sakunya dan mengangsurkan sebuah amplop putih pada Kay. “Ini uang yang Tuan berikan. Saya tidak membutuhkannya lagi,” ucapnya lemah.

“Kau akan membutuhkannya. Bukankah kau gila harta dan uang? Tidak perlu jual mahal! Ambil saja!” ujar Kay enteng.

Livy langsung menaikkan pandangannya. Wanita itu menatap Kay tepat di manik mata pria itu. Lalu dengan berani, ia melemparkan amplop itu tepat ke wajah Kay, hingga membuat uang di dalamnya berhamburan.

“Aku tidak butuh lagi! Anakku sudah mati!”

Bersambung…

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yulia
kasian livy...tp sekarang fabian tdk mrskn sakit lg...
goodnovel comment avatar
Evi Erviani
kasian bgd livy ... hancur bgd lihat anak sakit, apalagi sampe kaya Fabian gini
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   215. TAMAT Season 2 (Cinta yang Sempurna)

    Setelah penantian panjang. Hari itu datang juga. Matahari bersinar lembut ketika Livy terbangun dengan rasa yang tak asing namun tetap menggetarkan, kontraksi. Namun, ia dan Kay tetap tenang. Tak ingin membuat anak-anak kepikiran dan ikut panik.Sampai mereka berangkat ke sekolah, barulah Kay memanggil Bibi Eden, dan dalam waktu singkat mereka sudah dalam perjalanan ke rumah sakit.Prosesnya tak seberat yang dulu, tapi Livy tetap memeras tenaga dan air mata untuk menghadirkan buah hati mereka ke dunia. Kay menggenggam tangannya erat, mencium keningnya berulang kali dan membisikkan dukungan. Penuh cinta. “Kita akan segera bertemu dengan putri kecil kita…”Dan akhirnya, suara tangis nyaring pecah di ruang operasi bersalin. Seorang bayi mungil dengan pipi kemerahan dan rambut hitam lebat lahir dengan sehat. Dokter mengangkatnya, menunjukkan pada Livy dan Kay yang sudah berlinang air mata. “Selamat, anak perempuannya sehat,” ucap sang dokter.Kay tersenyum lega, menatap Livy yang juga men

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   214. Memberitahu Kabar Bahagia

    Kay berdiri di ambang pintu kamar matanya bertemu dengan Livy yang sedang bersandar di sandaran tempat tidur. Wajah istrinya itu tampak lelah, namun tetap bersinar. Senyuman lembut tersungging di bibirnya begitu melihat Kay muncul.“Kamu ya?” ucap Kay menggoda. “Sudah sakit, masih saja menggoda. Masih saja tersenyum.”Kay terkekeh. Dia menghampiri, duduk di sisi tempat tidur dan menggenggam tangan istrinya. “Sudah sarapan?” Tangannya mengusap pipi Livy dengan lembut. “Aku sudah pulang, ayo kita ke rumah sakit.”Livy mengangguk pelan. “Aku sudah makan, kok. Tapi… sebelum kita pergi, ada sesuatu yang ingin aku berikan ke kamu dulu.”Kay mengernyit. “Apa Sayang?” tanyanya dengan mata menyipit penuh tanya.Livy tersenyum penuh misteri. “Ambil deh sesuatu di laci nakas. Di dalam kotak obat.”Kay pun bangkit, membuka laci kecil di samping tempat tidur. Ia melihat sebuah kotak obat mungil dan mengangkatnya. Saat dia hendak bertanya lagi, Livy hanya menunjuk, menyuruhnya membuka sendiri.Deng

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   213. Memberanikan untuk Test Pack

    Waktu berjalan, hari berganti.Di suatu pagi, berbeda dari biasanya. Rumah yang biasanya dipenuhi keceriaan Livy dan langkah sibuknya menyiapkan sarapan, kini terasa sedikit hening. Livy masih terbaring di tempat tidur, tubuhnya terasa lemas sejak dini hari. Ia sempat bangun untuk memastikan anak-anaknya siap, tapi Kay memintanya untuk tetap beristirahat.“Aku akan urus semuanya,” ucap Kay seraya menyelimutinya lebih rapat. “Kalau masih belum enak badan, nanti aku bawa ke dokter.”Livy hanya mengangguk pelan. Wajahnya sedikit pucat, dan napasnya terdengar berat, meski ia terus memaksakan senyum agar tidak membuat Kay khawatir. Tapi Kay tahu—istrinya itu sedang tidak baik-baik saja.Kay pun turun ke bawah, memastikan semuanya siap. Bibi Eden sudah mengambil alih dapur dan menyajikan sarapan untuk mereka.“Bi… tolong bantu anak-anak, ya?” ucap Kay.“Bagaimana kabar Nyonya Livy, Tuan?”“Mudah-mudahan baik-baik saja. Mungkin butuh istirahat lebih,” jawab Kay.Albern yang kini duduk di kel

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   212. Projek Membuat Adik

    Kay masih tergelak, namun ia kembali mengalihkan pandangannya pada Albern. "Tapi Alice memang cantik, ya?" godanya lagi, mencoba memancing reaksi putranya. Albern hanya diam, sibuk mengunyah makanannya. Elian yang melihat kakaknya bungkam, langsung meledek. "Cieee, Kakak Albern malu-malu mau ngaku!" Livy tersenyum melihat interaksi mereka. Ia memutuskan untuk menengahi. "Berteman baik sama orang yang baik itu sangat boleh, kok. Mau laki-laki ataupun perempuan, yang penting kalian harus tetap fokus belajar, ya? Kalian masih terlalu kecil untuk cinta-cintaan." Livy memberikan nasihat dengan lembut. “Iya Ma. Nih si Dino banyak bicara!” gumam Albern menatap adiknya kesal. Elian pun hanya tertawa. Kay yang tampaknya terinspirasi dari percakapan itu, tiba-tiba melontarkan pertanyaan. "Oh ya, kalau semisal kalian punya adik perempuan, bagaimana?" Albern langsung menatap ayahnya datar, ekspresinya sulit dibaca. Sementara Elian menjawab cepat dan penuh semangat, "Mauuuu!" Albern kemudi

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   211. Ayah VS Anak

    Langit di luar jendela mulai bersemburat jingga, perlahan berubah menjadi gelap. Lampu-lampu di dalam rumah sudah dinyalakan, memancarkan kehangatan. Di ruang tamu, tawa renyah Alice dan teman-teman Albern mulai terdengar, menandakan bahwa tugas kelompok mereka akhirnya selesai.Albern muncul di dapur, di mana Livy dan Bibi Eden sedang sibuk menyiapkan makan malam. Aroma masakan yang sedap memenuhi ruangan. Livy sedang mengaduk sayur di wajan, sementara Bibi Eden sibuk memotong-motong bahan."Ma," panggil Albern, suaranya sedikit lega. "Tugasnya sudah selesai. Teman-temanku sudah mau pulang," ucapnya.Livy menoleh, tersenyum melihat putranya. "Oh, sudah selesai? Baguslah," katanya. "Sebentar ya, Mama panggil Papa dulu,” ucapnya.“Tidak usah, Ma. Mama saja,” ucap Albern.“Kenapa?” tanya Livy.“Papa rese!” jawab Albern pelan.Livy pun terkekeh. Dia langsung merangkul bahu Albern, untuk melangkah menemui teman-temannya. "Baiklah, baiklah. Kalau gitu, ayo kita temui teman-temanmu."Saat L

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   210. Gosip tentang Albern dan Alice

    Livy tersenyum tipis, matanya lekat mengamati Albern, putra sulungnya, yang sedang serius dengan kerja kelompok. Suasana di antara Albern dan teman-temannya agak canggung, terutama saat Alice, teman perempuannya yang tampak paling dominan, mulai menjelaskan tugas mereka. Albern terlihat tenang, sesekali mengangguk, namun Livy bisa melihat ada sedikit kegugupan yang coba disembunyikan putranya.Ketika Alice tiba-tiba menyebut nama Albern dan mengajukan pertanyaan, Livy melihat bahu putranya sedikit menegang. Albern menjawab dengan suara yang sedikit lebih pelan dari biasanya, sesekali melirik Alice lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Rasanya lucu melihat putra remajanya yang biasanya tegas dan berani mendadak jadi salah tingkah.Tiba-tiba, sebuah suara kecil mengagetkan Livy. Elian, sudah berdiri tepat di belakangnya, entah sejak kapan. "Mama sedang apa?" bisik Elian, membuat Livy sedikit terlonjak.Livy menoleh sambil tersenyum. "Eh, kamu. Mama lagi lihat Kak Albern kerja kelompok,"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status