“Terima kasih! Terima kasih, Kay!”
Karena terlalu senang, Livy sampai melonjak kegirangan usai seorang perawat memberikannya sebuah kontrak kerja. Kay langsung menatap Livy dengan tatapan yang tajam. “Ingat statusmu, dan panggil aku Tuan Kay!” Hal itu membuat Livy seketika terdiam. “Maaf. Ba- baik, Tuan Kay!” Livy menunduk, tanda memahami dan menghormati Kay sebagai majikannya. Pria itu berlalu, sementara Livy masih berhadapan dengan dokter dan suster anak yang menangani Albern secara khusus. Sembari mengantar Livy pulang kembali ke rumah sakit, dokter anak pribadi Albern itu menanyakan sesuatu yang membuat Livy terhenyak sesaat. “Anak Ibu sakit apa?” tanya Dokter Rico. “Anak saya…” Awalnya Livy ingin jujur. Tetapi, dia khawatir jika memberi tahu penyakit anaknya akan berakibat pemutusan kontrak, Livy pun memutuskan untuk berbohong. “Anak saya demam, Dok.” Livy berani berbohong, sebab dia tahu betul penyakit anaknya bukanlah penyakit menular. Sehingga, pun dia menyembunyikan kebenaran ini, tidak ada seorang pun yang dirugikan. Justru, Livy berpikir jika dia jujur, bisa jadi kredibilitasnyalah yang akan dipertanyakan. “Umur berapa Bu?” “Dia baru tujuh bulan…” “Bagaimana kata dokter?” “Semua baik-baik saja,” jelas Livy mencoba tenang. “Dia hanya harus dipantau beberapa hari.” Dokter Rico menganggukkan kepala. Dia turut berempati pada keadaan bayi Livy. “Lalu, bagaimana dengan keluarga dan suami? Apakah mereka setuju jika Ibu menjadi Ibu Susu?” Sebelum menjawab, Livy mengulas senyum tipis. Binar matanya sepersekian detik terlihat meredup, memancarkan pedih. “Terima kasih, Dok. Tapi, saya sudah tidak punya keluarga,” jelas Livy, pandangannya menunduk. “Saya hanya tinggal berdua dengan anak saya. Orang tua saya sudah meninggal, sementara suami saya pergi. Jadi, jadi tidak ada yang menghalangi saya untuk menjadi Ibu Susu. Sejak memiliki anak, dokter juga mengatakan kalau saya memang hiperlaktasi, itu sebabnya saya memberanikan diri untuk melamar menjadi Ibu Susu,” jelas Livy dengan jujurnya. “Ohh ya, saya mengerti,” sahut dokter. Setelahnya, tidak banyak lagi percakapan antara mereka, hingga tiba di rumah sakit. Mulai besok, Livy diharuskan datang setiap pagi. Seorang sopir akan menjemput dan mengantarnya kembali ke rumah sakit ketika dia selesai dengan tugasnya. Apa pun Livy lakukan untuk mengumpulkan uang demi operasi anaknya. Meskipun setiap pagi dia harus menyusui Albern dan meninggalkan anaknya, Fabian. “Bu? Bagaimana? Apa Fabian sudah bisa dioperasi?” tanya dokter pada Livy, begitu dia memasuki ruangan anaknya. “Dok, bisakah tunggu beberapa minggu lagi?” tanya Livy. “Saya baru dapat pekerjaan, jadi mungkin baru bisa dapat uang di akhir bulan.” “Sebaiknya secepatnya, Bu. Kondisi Fabian semakin lemah. Keaktifannya juga semakin berkurang. Saya yakin, Ibu juga merasakan,” jelas dokter. Livy mengangguk. Dia sadar apa yang dikatakan dokter adalah kebenaran. Gerakan Fabian tidak sekuat anak seusianya. Bahkan, perlambatan pertumbuhan sudah terlihat akibat dari berat badan bayi itu yang stagnan dan cenderung turun karena Fabian terus muntah. Tahu dirinya diburu waktu, Livy yang merupakan seorang ibu sudah punya rencana. Dia berpikir untuk meminjam uang pada Kay. Kalau perlu, meminta belas kasihan, merendahkan dirinya di hadapan Kay demi pria itu mau memberikan gajinya selama setahun di awal. “Eh Mama kamu sudah datang, Fabian!” seru suster ketika Livy mengahampiri ranjang sang anak. “Terima kasih Sus, apa Fabian rewel?” tanya Livy dengan senyuman. “Tidak Bu, Fabian baru saja bangun.” Livy mengangguk, bangga pada bayinya yang pintar. Melihat mamanya, Fabian tampak menghentak-entak kakinya karena senang. Livy pun menggendong bayi itu dan memeluknya dengan erat. ‘Kamu pasti sembuh Sayang…’ ucapnya dalam hati. ‘Mama akan lakukan apa pun, meski harus mengemis…’ batin Livy menahan air matanya. Keesokan harinya, Livy memberanikan diri. Usai menyusui Albern dan memompa ASInya untuk stok, dia menyusul Kay yang ingin menuju kamar Albern. “Tu-Tuan Kay?!” Livy menyapanya, tepat saat Kay akan masuk ke kamar Baby Al. Kay menoleh. Dia menatap dingin. Livy menunduk, melarikan pandangannya dari mata elang pria itu. “Maaf Tuan, bolehkah saya berbicara sebentar?” “Apa ini soal Albern?” tanya Kay berbalik. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, tanda kuasa dan arogannya. Livy menggeleng. “Maaf kalau lancang. Bo-bolehkah saya meminjam uang sepuluh ribu dollar?” Sebelum Kay memberikan respons, Livy yang mengetahui Kay terkejut buru-buru melanjutkan kalimatnya. “Untuk sepuluh bulan ke depan, Tuan tidak usah lagi memberikan saya gaji. Atau selama satu tahun, juga tidak apa-apa.” Terdengar decihan pelan sebelum Kay berbicara. “Belum satu minggu, kau sudah berani meminta uang sebanyak itu? Apa yang kau pikirkan? Kau sedang mencoba mengerukku? Mengambil keuntungan?” Nada geram pria itu tertangkap oleh telinga Livy. Dia menggeleng. “Bu-bukan begitu, ta-tapi saya memerlukan uang itu untuk…” Livy ragu mengatakannya. Dia pun akhirnya berkelit lagi, “Ada hal mendesak yang harus saya segera lunaskan, Tuan…” “Kau pikir aku peduli?” ucap Kay dingin. “Saya mohon!” Livy menyatukan telapak tangannya. Seperti janjinya pada Fabian, tidak peduli jika harus mengemis, maka dia pun mengemis di hadapan Kay saat ini. “Saya benar-benar membutuhkan uang itu, Tuan.” “Kau benar-benar mata duitan! Kau tidak bisa melihat pria kaya dan akan langsung memanfaatkannya! Mana suamimu yang kaya itu, ha?!” Kay memberikan sarkasmenya. Livy terdiam. Dia tidak berani menjawab lagi. Hari itu pun dia gagal mendapatkan pinjaman dari sang mantan kekasih. Setelah hari itu, setiap meninggalkan Fabian di rumah sakit, Livy selalu merasa bersalah pada anaknya. Dia tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk mendapatkan biaya operasi. Hingga tidak terasa, Livy sudah menjadi Ibu Susu untuk Albern selama 1 minggu. Desakan dari dokter yang menangani Fabian, juga kesehatan Fabian yang semakin melemah membuat dia kembali memberanikan diri untuk memohon pada Kay. Namun lagi-lagi yang dia dapatkan hanya sarkasme dari sang majikan. “Kubilang tidak, tetap tidak. Pria miskin ini tidak bisa membantumu!” jawab Kay dengan sarkasnya. “Pergi dari hadapanku, atau kau akan kuberhentikan jadi Ibu Susu anakku?!” Livy benar-benar putus asa. Akhirnya, lagi dan lagi dia kembali tanpa hasil. Dia menangis putus asa ketika kembali ke rumah sakit dan menemui Fabian. Gerakan anaknya semakin lemah, meski tidak hilang kesadaran. “Maafkan Mama Sayang… Mama tidak tahu lagi harus apa? Mama adalah orang tua yang tidak berguna,” isak Livy memeluk Fabian. “Tolong bertahanlah, Nak. Mama sangat mencintaimu… Kita pasti bisa melewati semuanya.” Livy berbicara pada Fabian yang kini gumamannya sudah tidak seceria biasa. Keesokan harinya, Livy benar-benar tidak berani meninggalkan anaknya. Hatinya tidak tenang. Hal itu membuatnya berinisiatif menghubungi dokter Rico untuk izin tidak bisa datang. Firasat Livy ternyata benar. Sejak pagi, kondisi Fabian semakin menurun. Seluruh asupan, baik itu MPASI, maupun ASI yang diberikan Livy tertolak. Anaknya itu tidak berhenti muntah. “Tidak, Fabian!” jerit Livy ketika tubuh sang anak yang semakin kurus sudah tidak merespons guncangannya. Dia pun berlari dengan menggendong Fabian. Jeritan juga air mata yang tidak berhenti menetes membuat suasana lorong rumah sakit saat itu begitu pilu, “Dokter, tolong anak saya! Selamatkan anak saya….” Bersambung…Setelah penantian panjang. Hari itu datang juga. Matahari bersinar lembut ketika Livy terbangun dengan rasa yang tak asing namun tetap menggetarkan, kontraksi. Namun, ia dan Kay tetap tenang. Tak ingin membuat anak-anak kepikiran dan ikut panik.Sampai mereka berangkat ke sekolah, barulah Kay memanggil Bibi Eden, dan dalam waktu singkat mereka sudah dalam perjalanan ke rumah sakit.Prosesnya tak seberat yang dulu, tapi Livy tetap memeras tenaga dan air mata untuk menghadirkan buah hati mereka ke dunia. Kay menggenggam tangannya erat, mencium keningnya berulang kali dan membisikkan dukungan. Penuh cinta. “Kita akan segera bertemu dengan putri kecil kita…”Dan akhirnya, suara tangis nyaring pecah di ruang operasi bersalin. Seorang bayi mungil dengan pipi kemerahan dan rambut hitam lebat lahir dengan sehat. Dokter mengangkatnya, menunjukkan pada Livy dan Kay yang sudah berlinang air mata. “Selamat, anak perempuannya sehat,” ucap sang dokter.Kay tersenyum lega, menatap Livy yang juga men
Kay berdiri di ambang pintu kamar matanya bertemu dengan Livy yang sedang bersandar di sandaran tempat tidur. Wajah istrinya itu tampak lelah, namun tetap bersinar. Senyuman lembut tersungging di bibirnya begitu melihat Kay muncul.“Kamu ya?” ucap Kay menggoda. “Sudah sakit, masih saja menggoda. Masih saja tersenyum.”Kay terkekeh. Dia menghampiri, duduk di sisi tempat tidur dan menggenggam tangan istrinya. “Sudah sarapan?” Tangannya mengusap pipi Livy dengan lembut. “Aku sudah pulang, ayo kita ke rumah sakit.”Livy mengangguk pelan. “Aku sudah makan, kok. Tapi… sebelum kita pergi, ada sesuatu yang ingin aku berikan ke kamu dulu.”Kay mengernyit. “Apa Sayang?” tanyanya dengan mata menyipit penuh tanya.Livy tersenyum penuh misteri. “Ambil deh sesuatu di laci nakas. Di dalam kotak obat.”Kay pun bangkit, membuka laci kecil di samping tempat tidur. Ia melihat sebuah kotak obat mungil dan mengangkatnya. Saat dia hendak bertanya lagi, Livy hanya menunjuk, menyuruhnya membuka sendiri.Deng
Waktu berjalan, hari berganti.Di suatu pagi, berbeda dari biasanya. Rumah yang biasanya dipenuhi keceriaan Livy dan langkah sibuknya menyiapkan sarapan, kini terasa sedikit hening. Livy masih terbaring di tempat tidur, tubuhnya terasa lemas sejak dini hari. Ia sempat bangun untuk memastikan anak-anaknya siap, tapi Kay memintanya untuk tetap beristirahat.“Aku akan urus semuanya,” ucap Kay seraya menyelimutinya lebih rapat. “Kalau masih belum enak badan, nanti aku bawa ke dokter.”Livy hanya mengangguk pelan. Wajahnya sedikit pucat, dan napasnya terdengar berat, meski ia terus memaksakan senyum agar tidak membuat Kay khawatir. Tapi Kay tahu—istrinya itu sedang tidak baik-baik saja.Kay pun turun ke bawah, memastikan semuanya siap. Bibi Eden sudah mengambil alih dapur dan menyajikan sarapan untuk mereka.“Bi… tolong bantu anak-anak, ya?” ucap Kay.“Bagaimana kabar Nyonya Livy, Tuan?”“Mudah-mudahan baik-baik saja. Mungkin butuh istirahat lebih,” jawab Kay.Albern yang kini duduk di kel
Kay masih tergelak, namun ia kembali mengalihkan pandangannya pada Albern. "Tapi Alice memang cantik, ya?" godanya lagi, mencoba memancing reaksi putranya. Albern hanya diam, sibuk mengunyah makanannya. Elian yang melihat kakaknya bungkam, langsung meledek. "Cieee, Kakak Albern malu-malu mau ngaku!" Livy tersenyum melihat interaksi mereka. Ia memutuskan untuk menengahi. "Berteman baik sama orang yang baik itu sangat boleh, kok. Mau laki-laki ataupun perempuan, yang penting kalian harus tetap fokus belajar, ya? Kalian masih terlalu kecil untuk cinta-cintaan." Livy memberikan nasihat dengan lembut. “Iya Ma. Nih si Dino banyak bicara!” gumam Albern menatap adiknya kesal. Elian pun hanya tertawa. Kay yang tampaknya terinspirasi dari percakapan itu, tiba-tiba melontarkan pertanyaan. "Oh ya, kalau semisal kalian punya adik perempuan, bagaimana?" Albern langsung menatap ayahnya datar, ekspresinya sulit dibaca. Sementara Elian menjawab cepat dan penuh semangat, "Mauuuu!" Albern kemudi
Langit di luar jendela mulai bersemburat jingga, perlahan berubah menjadi gelap. Lampu-lampu di dalam rumah sudah dinyalakan, memancarkan kehangatan. Di ruang tamu, tawa renyah Alice dan teman-teman Albern mulai terdengar, menandakan bahwa tugas kelompok mereka akhirnya selesai.Albern muncul di dapur, di mana Livy dan Bibi Eden sedang sibuk menyiapkan makan malam. Aroma masakan yang sedap memenuhi ruangan. Livy sedang mengaduk sayur di wajan, sementara Bibi Eden sibuk memotong-motong bahan."Ma," panggil Albern, suaranya sedikit lega. "Tugasnya sudah selesai. Teman-temanku sudah mau pulang," ucapnya.Livy menoleh, tersenyum melihat putranya. "Oh, sudah selesai? Baguslah," katanya. "Sebentar ya, Mama panggil Papa dulu,” ucapnya.“Tidak usah, Ma. Mama saja,” ucap Albern.“Kenapa?” tanya Livy.“Papa rese!” jawab Albern pelan.Livy pun terkekeh. Dia langsung merangkul bahu Albern, untuk melangkah menemui teman-temannya. "Baiklah, baiklah. Kalau gitu, ayo kita temui teman-temanmu."Saat L
Livy tersenyum tipis, matanya lekat mengamati Albern, putra sulungnya, yang sedang serius dengan kerja kelompok. Suasana di antara Albern dan teman-temannya agak canggung, terutama saat Alice, teman perempuannya yang tampak paling dominan, mulai menjelaskan tugas mereka. Albern terlihat tenang, sesekali mengangguk, namun Livy bisa melihat ada sedikit kegugupan yang coba disembunyikan putranya.Ketika Alice tiba-tiba menyebut nama Albern dan mengajukan pertanyaan, Livy melihat bahu putranya sedikit menegang. Albern menjawab dengan suara yang sedikit lebih pelan dari biasanya, sesekali melirik Alice lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Rasanya lucu melihat putra remajanya yang biasanya tegas dan berani mendadak jadi salah tingkah.Tiba-tiba, sebuah suara kecil mengagetkan Livy. Elian, sudah berdiri tepat di belakangnya, entah sejak kapan. "Mama sedang apa?" bisik Elian, membuat Livy sedikit terlonjak.Livy menoleh sambil tersenyum. "Eh, kamu. Mama lagi lihat Kak Albern kerja kelompok,"