Share

Mas Gagah 8

KETIKA MAS GAGAH TIBA 8

“Sudah kubilang, Bu. Ibu boleh bahagia di rumah ini. Melakukan apa pun yang membahagiakan ibu. Tapi jangan mengusik kebahagiaanku. Kalau mau makan, suruh saja anak ibu. Jangan aku!”

“Apa? Jadi sekarang kamu sudah tidak mau melayaniku lagi.”

“Melayani sebagai apa?”

“Kamu!” Tangan Bu Sumarni sudah terangkat. Mungkin mau menunjuk kening tapi aku segera menarik wajah sehingga tangan itu hanya terangkat di udara.

“Bener-bener ya sekarang. Gara-gara dilamar Nata. Hiiiiii! Kau bikin gemas saja.”

Aku mengangkat alis dan pundak. Menunggu reaksinya mau apa.

“Baik kalau kamu tidak mau menyiapkan makan malamku. Jangan harap kau bisa makan malam ini.” Bu Sumarni balik badan. Aku kembali menutup pintu. Terserah, aku sudah makan bakso.

***

Menjelang tidur. Nata kembali mengirim pesan. Sepertinya dia tipe laki-laki yang jarang memainkan ponsel. Jeda dari chat pertamanya cukup lama. Saat di perjalanan tadi, dia bahkan tidak mengeluarkan ponselnya sama sekali kecuali saat minta nomor.

[Burik]

[Ya. Mas]

[Belum tidur?]

[Baru mau.]

[Mau lanjut yang tadi?]

[Iya.]

Nata kemudian melakukan panggilan. Aku lantas mengangkatnya. Kami ngobrol cukup lama. Dia banyak menjelaskan tentang afirmasi. Semacam motivasi positif yang dikatakan pada diri sendiri. Agar masuk ke alam bawah sadar dan itu bisa menghalau pikiran negatif. Jika pikiran kita positif, itu akan menarik hal-hal positif untuk datang. Namun jika pikiran kita sudah negatif, maka tak heran jika hal negatif yang datang. Begitu jelasnya.

“Coba kamu ngaca depan cermin. Terus bicara sama diri sendiri. Apa perubahan yang kamu mau?” titahnya.

“Aku bodoh, aku jelek, aku tidak punya apa yang bisa dibanggakan. Aku tidak mau seperti itu lagi.”

“Siapa yang bilang begitu?”

“Hm…? Aku.”

“Tidak. Kamu bodoh, jelek, tidak punya apa yang bisa dibanggakan itu menurut siapa?”

“Oh, Bu Sumarni.” Nadaku kembali melemah. Itu memang hinaannya setiap hari.

“Sering, ya, dikatai begitu?”

“Setiap hari, Mas.”

“Pantas saja kamu insecure, Burik. Setiap hari dengar kalimat negatif yang diulang-ulang. Akhirnya menjadi sebuah mindset. Terpuruk kamu di rumah itu dan tak bisa berkembang lagi.”

Aku mendengarkan Nata dengan saksama. Penjelasannya semakin menarik saja. Boleh saja dia buruk nilainya dalam mata pelajaran di sekolah. Tapi sekarang sudah jauh berbeda. Pantas saja, Nata sudah melanglang buana sampai ke luar negeri. Pasti bertemu dengan orang-orang hebat.

“Dengar, Andini Larasati. Kamu tidak jelek, tidak bodoh, kamu punya apa yang bisa dibanggakan. Mulai sekarang kamu harus ubah minset itu. Coba sering-sering ngomong di cermin dengan kalimat-kalimat positif.”

“Gitu ya, Mas?”

“Iya. Aku pindah ke VC, boleh? Sekalian lihat kamu praktek atau enggak.”

“Boleh.”

Panggilan VC masuk, aku menggesernya dan terlihatlah wajah Nata.

“Aduh, cantik banget.” Dia mengusap wajah. Dan aku malah menjauhkan HP karena malu.

“Jangan bilang begitu ih, malu.”

“Iya. Enggak. Mana sini!”

“Langsung praktek saja, ya.” Aku masih enggan menampakkan wajah.

“Ya…”

Aku mendekati lemari. Memosisikan ponsel agar dilihat Nata kalau aku melakukan apa yang dia perintahkan. Di layar sana, pria hitam manis itu menunggu.

Aku mulai melihat diri sendiri di cermin. Lalu bilang, “Andini… kamu tidak bodoh. Tidak jelek. Kamu punya apa yang bisa dibanggakan.”

“Bukan begitu.” Nata berseru.

“Salah, ya?”

“Jangan pakai kata tidak, jangan, enggak, atau semacam itu. Katakan saja aku cantik, aku pintar. Lah kok jadi aku. Eh, kamu maksudnya.” Nata menggeleng dan mengacak rambut. “Gitu lah maksudnya, ngerti kan?”

“Oh, iya. Aku coba lagi.”

Aku kembali menatap diri di cermin. Mengamati dari ujung rambut sampai kaki. Lalu berkata dan meyakini. “Andini… kamu cantik.” Aku memindai mata, hidung bibir dan rambut. Tidak ada yang kurang. Semua dalam bentuk normal, maka aku cantik.

“Andini… kamu tidak bodoh.” Dulu aku selalu rangking satu terus. Di toko pun aku yang paling cepat menghitungnya. Paling cekatan mengatur orderan. Aku yang paling dipercaya Mbak. Maka aku pintar.

“Andini… kamu punya apa yang bisa dibanggakan.” Ini aku belum punya jawaban apa yang bisa dibanggakan, tapi katakan saja.

Lantas aku menambahkan hal lain yang tak kalah penting. “Kamu berani, Andini. Kamu layak bahagia.” Aku mengatakan itu dengan mantap.

“Bagus.” Nata kembali berkomentar.

“Sekarang apa lagi?”

“Sekarang sudah dulu. Ada Pak Kades bertamu.”

“Beda kalau orang penting. Pak Kades saja nyamperin.”

“Aku orang penting.” Dia menepuk dada. “Assalamualaikum.” Nata mengakhiri telepon.

“Waalaikumsallam,” balasku sambil berucap banyak-banyak terima kasih dalam hati.

***

Pagi seperti biasa, aku bangun jam tiga untuk menyiapkan bapak kopi dan sarapan. Keadaan cukup berbeda hari ini—tidak sehening biasanya. Di dapur, terdengar suara berisik orang bekerja yang sepertinya memang sengaja dientak-entakkan.

Aku ke luar kamar sambil mengikat rambut. Ada bapak baru keluar dari kamar mandi. Bu Sumarni yang sedang cuci piring dan sepertinya masak air juga.

“Tidur lagi saja, Nyonya. Tidak perlu bangun.”

Aku mendekati galon. Mengambil air putih dan mengaliri tenggorokan.

“Tumben bangun, Bu.”

“Ya, harus bangun. Bagaimana lagi, punya anak gadis sudah seperti Nyonya. Tidak mau bantu orang tua.”

Bu Sumarni udah datang penyakitnya. Kalau ada bapak sok jadi orang tua.

“Ya sudah, aku tidur lagi.”

Aku balik kanan dan kembali ke kamar. Di pintu, bapak memanggil. “Andin. Kenapa kamu begitu?” tanya itu membuatku menghentikan langkah. Bu Sumarni tentunya sudah melaporkan pertengkaran semalam dengan ditambah-tambah pastinya.

“Begitu bagaimana, Pak.”

Aku ingin menjadi jiwa yang berani dan bisa membela sendiri. Tapi tidak mau durhaka pada orang tua yang memang tinggal satu-satunya itu.

“Kamu melawan sama ibumu sekarang? Apa karena sudah punya Nata. Merasa bisa hidup tanpa kami. Sukses saja kamu belum, Andini. Sudah begitu. Pantas saja Gusti Allah tidak melancarkan semua urusanmu. Baru mau diangkat derajat hidupnya sedikit saja sudah sombong.”

Aku teringat perkataan Nata semalam. Pantas saja kamu insecure, Burik. Setiap hari dengar kalimat negatif yang diulang-ulang. Akhirnya menjadi sebuah mindset. Terpuruk kamu di rumah itu dan tak bisa berkembang lagi.

“Maksud bapak melawan itu yang mana? Apa karena aku pulang di antar Nata? Atau karena aku tidak mau memutus pertunangan? Aku hanya ingin mempertahankan kebahagiaanku kali ini, Pak. Aku tetap tidak akan mundur.”

“Kau semalam memarahi ibu gara-gara dia minta kau putus dengan Nata. Kau juga memarahi adikmu dan menantangnya. Kau bahkan sudah tidak mau bantu beres-beres sekarang. Apa perubahan sikapmu itu bukan karena sombong? Bapak itu kerja banting tulang buat kamu, Andini. Kalau bukan karena ibumu siap menjagamu di rumah ini. Dari dulu bapak tidak bisa pergi dari rumah untuk mencari nafkah. Sekarang kau sudah besar bisa mandiri di rumah. Saat kau kecil dulu memang siapa yang menjagamu? Meski dia hanya ibu tiri. Durhaka kamu bersikap begitu!”

“Kalau menikah dengan Nata hanya membuatmu tinggi hati, sombong, dan semakin kualat pada orang tua. Lebih baik tidak usah menikah dengannya. Atau bila perlu bapak saja yang putuskan!”

Bersambung ….

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Lv Ana
suka jalan cerita nya mengalir alami
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status