KETIKA MAS GAGAH TIBA 7
“Andini…!” Bu Sumarni teriak.
“Tuh. Dia sudah manggil. Sana masuk?”
“Jadi Mas tidak mampir dulu.”
“Kapan-kapan saja.”
“Ya sudah, assalamualaikum.”
“Waalaikumsallam.”
Aku memperbaiki letak tas seraya berjalan ke teras. Menghampiri ibu tiri yang sudah pasang wajah garang. Saat ini mungkin giginya sudah bertaring untuk siap memaki lagi. Ini yang buat aku selalu enggan pulang ke rumah. Hari-hari serupa neraka.
‘Kamu punya garis teritorial yang tidak bisa sembarangan orang lain usik. Kamu berani. Kamu berhak bahagia. Allah sudah kasih kamu kekuatan. Melindungi diri bukan mengajak ribut.’
Sepanjang berjalan aku mengulang-ulang itu. Menanamkannya dalam hati.
Kelopak mata besar itu semakin merebak sempurna begitu aku menaiki teras.
“Assalamualaikum.” Aku melewatinya.
“Ini anak. Sudah dikasih peringatan masih melawan.” Dia berkata pelan, takut terdengar Nata yang masih berdiri di depan pagar mungkin.
Wulan muncul di pintu. Wajah cantik nan menyebalkan itu menatapku malas. Lalu matanya berbinar dan mengulas senyum ketika melihat Nata di sana.
“Mas Nata….”
Aku langsung masuk rumah dan diikuti ibu mertua. Tangan kasar dengan kukunya yang tajam itu langsung mencengkeram lengan atasku begitu melewati pintu. Serupa kemarin dan hari-hari biasanya, kuku-kuku panjangnya menancap kulit.
“Habis ngapain saja sama Nata, ha?”
Biasanya aku akan menunduk sambil melepaskan cengkeramannya karena sakit. Tapi hari ini aku balas menggenggam pergelangannya, menatap dua matanya, dan memaksa tangan itu terlepas dari lenganku. Aku punya garis teritorial yang tidak bisa diusik orang lain.
“Mas Nata mengantarkanku pulang.”
Bu Sumarni berkedip tiga kali. Agak kaget mungkin dengan perlawananku. Namun matanya buru-buru melebar lagi.
“Sudah kau putuskan pertunangan, hah?”
Aku menggeleng. “Tidak. Aku tidak berniat memutuskannya.” Baru kali ini rasanya aku melawan dengan nada setenang dan seyakin ini. Aku berhak bahagia.
“Oh, jadi kamu mau menentangku? Mau melawan sekarang?”
“Wulan itu bukan wanita tidak laku, Bu. Dia sering pulang pergi sama laki-laki, apa tidak bisa mencari lelaki lain saja. Kenapa harus merebut punyaku?”
Bersamaan dengan itu, Wulan menutup pintu dan bergabung dengan kami. Masuk kawasan pertengkaran.
“Hoo, jadi sudah memutuskan menentang sekarang? Bagus… merasa layak nikah sama Nata, hah? Bisa mikir enggak kamu.” Jarinya menunjuk jidatku. Aku lantas mundur menjauh dari jangkauannya.
“Kamu itu tidak layak sama Nata. Kamu itu jelek, buruk rupa, bodoh. Tidak pantas bersama Nata. Hanya Wulan yang pantas.”
Wulan melipat tangan di dada dan mengangkat dagunya tinggi. Memicing angkuh.
“Sadar. Gak pantes kamu itu sama dia. Lihat kaca yang besar. Punya apa yang bisa dibanggakan untuk hidup sama Nata? Ketinggian kalau kamu menikah sama dia.”
Setiap aku melawan sedikit saja, Bu Sumarni dan Wulan selalu playing victim kalau ada bapak. Kalau tidak ada bapak, mereka menunjukkan taringnya lebih garang. Seperti hari ini. Begitu aku melawan, mereka terus mencaci.
Bukan tidak pernah aku melawan, pernah juga. Tapi semakin mereka marah, semakin aku kalah karena mereka berani berbuat kasar.
“Aku juga cantik kalau mau dandan setiap waktu. Aku punya badan sehat. Aku bisa jadi istri yang bisa dibanggakan di kasur, di dapur, di sumur. Dan yang jelas aku dan Nata berteman sejak kecil. Aku sudah jadi cinta pertamanya. Lalu apa lagi? Wulan boleh saja sempurna, tapi dia tidak bisa mengambil cinta Nata.”
Tangan Wulan terjulur seperti ingin menarik rambut. “Apa kam—“ Aku menangkap tangannya dengan pasti sebelum dia menyentuh satu helai pun rambutku dan itu membuatnya memutus kalimat.
“Kalau kamu bisa merebut cinta Nata dariku. Coba saja. Tidak perlu meminta aku yang jelek dan bodoh ini mengalah. Kamu punya segalanya kan? Kamu gadis sempurna? Berhentilah memohon untuk aku melepaskan Nata. Malu… sungguh… di mana kualitas dirimu?!”
Kalimatku tampaknya membuat kemarahan Bu Sumarni sampai pada puncaknya. Tangan wanita itu melayang tepat di ujung kalimatku. Dan Masya Allah, aku sendiri tidak menyangka. Bahkan diluar kesadaran, tangan kiriku berhasil menangkapnya dengan cepat. Kini dua tanganku memegang tangan Wulan dan ibunya tanpa bergetar sedikit pun. Allah kasih semua makhluknya kekuatan membela diri, jangankan manusia, tumbuhan pun punya perlindungan diri.
“Mau melukaiku? Apa ini karena ibu tidak yakin kalau Wulan bisa merebut Mas Nata dariku. Ibu juga tidak percaya pada kualitas diri Wulan? Lalu untuk apa, cantik, pintar, dan mapan itu?”
Mereka bersama-sama melepas tangannya.
“Hooh, jadi kamu mau mengibarkan bendera perang?”
Aku memperbaiki posisi tas. “Terserah apa pikir kalian.”
“Biarkan saja, Ma. Dia pikir aku tidak bisa merebut Nata. Itu sangat mudah kalau aku mau.”
“Lakukan, kenapa harus memelas kalau memang bisa.”
“Benar-benar sekarang kau melawanku, Andini!” timpal Bu Sumarni.
“Pasti karena kepedean baru dilamar Nata. Biarkan saja, Ma. Biarkan dia dengan ketidak tahu diriannya. Nanti saat sadar bagaimana posisinya di kehidupan Nata. Hancur kamu, Andini!”
“Lihat saja.” Aku berlalu menuju kamar paling belakang—kamar dekat dapur. Sebelum meninggalkan mereka aku baru teringat sesuatu.
“Oh, iya. Kalian boleh berbahagia di rumah ini, tapi jangan mengusik kebahagiaanku. Lakukan apa yang kalian mau, tapi tidak perlu menggangguku.” Aku berlalu dan masuk kamar.
Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah. Apa benar tadi aku melawan mereka? Ini nyatakan? Atau hanya mimpi?
Aku bersandar pada pintu begitu menutupnya. Kucubit tangan sendiri untuk memastikan.
“Aw. Sakit.”
Betulan bukan mimpi ternyata.
Sungguh, ini pertama kalinya dalam hidup. Aku bisa melawan mereka tanpa gentar sedikit pun. Tanpa tangisan.
Kamu bisa, Andini Larasati. Kamu bisa. Kamu bukan mau ngajak ribut. Kamu hanya membela diri untuk tidak diusik. Untuk tidak direbut kebahagiaan.
Aku menutup wajah dan berlutut. Menangis.
Membela diri. Jangan diam saja. Ini rumahmu, bukan rumah mereka. Kalimat Nata terlintas kembali.
Aku diam selama belasan tahun. Mengalah lebih dari satu dekade. Bagai terkukung dalam cengkeraman setan selama itu. Dan sekarang aku bisa melawan mereka. Allahu Akbar. Tangan ini. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya menahan tamparan yang tentunya dilakukan dengan gerak cepat.
Tanganku bergetar. Tidak percaya pada hal yang baru saja terjadi.
Ponselku berdering di dalam tas. Aku segera mengambilnya dan memeriksa notifikasi. Ada sebuah pesan dari nomor baru.
[Burik]
[Ini nomor Mas]Aku segera mengetik balasan. Masih dengan tangan yang bergetar.
[Iya, Mas. Aku save.]
[Bagaimana tadi? Dimarahi tidak?]
[Dimarahi, Mas. Tapi aku lawan.]
[Bagus.]
[Makasih, Mas.]
[Sering-sering kasih diri sendiri dengan afirmasi positif.]
[Apa itu?]
[Nanti Mas jelaskan. Sekarang mau mandi dulu.]
[Eh, iya. Aku juga belum.]
[Sama-sama belum. Kalau sudah nikah asyik tuh.]
[Kenapa memang?]
[Enggak ah.] Dia kasih emot tertawa. Hatiku berbunga-bunga. Kupeluk benda 7 inci ini dengan bahagia yang membuncah.
Ibu… apa kebahagiaan hidup seperti engkau masih ada bisa terulang kembali. Disayangi, dicintai oleh seseorang dengan sangat tulus seperti kasih sayang ibu.
Mataku menggenang. Haru.
.
Selang setengah jam, setelah aku mandi dan berbenah. Pintu kamar diketuk kasar.
“Andini… Andini…!
Berisik. Aku segera membukanya.
“Siapkan makan malam.”
Aku menatap mata Bu Sumarni. “Sudah kubilang, Bu. Ibu boleh bahagia di rumah ini. Melakukan apa pun yang membahagiakan ibu. Tapi jangan mengusik kebahagiaanku. Kalau mau makan, suruh saja anak ibu. Jangan aku!”
Bersambung ….
KETIKA MAS GAGAH TIBA 8“Sudah kubilang, Bu. Ibu boleh bahagia di rumah ini. Melakukan apa pun yang membahagiakan ibu. Tapi jangan mengusik kebahagiaanku. Kalau mau makan, suruh saja anak ibu. Jangan aku!”“Apa? Jadi sekarang kamu sudah tidak mau melayaniku lagi.”“Melayani sebagai apa?”“Kamu!” Tangan Bu Sumarni sudah terangkat. Mungkin mau menunjuk kening tapi aku segera menarik wajah sehingga tangan itu hanya terangkat di udara.“Bener-bener ya sekarang. Gara-gara dilamar Nata. Hiiiiii! Kau bikin gemas saja.”Aku mengangkat alis dan pundak. Menunggu reaksinya mau apa.“Baik kalau kamu tidak mau menyiapkan makan malamku. Jangan harap kau bisa makan malam ini.” Bu Sumarni balik badan. Aku kembali menutup pintu. Terserah, aku sudah makan bakso.***Menjelang tidur. Nata kembali mengirim pesan. Sepertinya dia tipe laki-laki yang jarang memainkan ponsel. Jeda dari chat pertamanya cukup lama. Saat di perjalanan tadi, dia bahkan tidak mengeluarkan ponselnya sama sekali kecuali saat minta
ETIKA MAS GAGAH TIBA 9“Kalau menikah dengan Nata hanya membuatmu tinggi hati, sombong, dan semakin kualat pada orang tua. Lebih baik tidak usah menikah dengannya. Atau bila perlu bapak saja yang putuskan!”Aku mendekati meja makan. Memandang raut bapak dengan saksama. Hitam kulit dan keriput wajahnya bukti kerasnya bekerja di jalanan.“Pak… nangis loh ibu di sana dengar bapak bicara seperti itu. Baru sekali Andini mempertahankan ego sendiri bapak sudah bilang aku tinggi hati, sombong, dan kualat sama orang tua. Anak-anak saja marah direbut mainannya, Pak. Apa lagi aku sudah dewasa. Masa diam saja harus direbut cinta. Bapak harusnya tahu, selama ini aku tidak pernah punya pacar sementara Wulandari gonta-ganti laki-laki. Kalau masalah bantu-bantu orang tua, apa bapak juga lupa kalau selama ini aku yang selalu bangun paling pagi. Hanya aku yang selalu menemani bapak buat siap-siap kerja. Bapak jangan menghapus semua kerja kerasku hanya karena aku tidak menyiapkan Bu Sum makan satu malam
KETIKA MAS GAGAH TIBA 10Nata bukan tipe laki-laki yang banyak gombal. Tidak juga berlebihan dalam menunjukkan perasaan. Dia menghargaiku dengan caranya.Kami sedang dalam penjajakan menjelang pernikahan, tapi dia tidak pernah berkirim pesan sebatas omong kosong. Nata hanya chat atau telepon seperlunya. Jam makan siang, adiknya Nata datang ke toko. Dia memberikan sekantung makan siang, susu, dan beberapa camilan.“Loh, kenapa kirim ini, Guntur?” tanyaku pada remaja 17 tahun itu.“Disuruh Mas, buat makan siang Mbak.”Aku terpana melihat keresek putih berlabel mart itu. Baru kali ini merasa dipedulikan oleh seseorang dengan sungguh-sungguh. Caranya membuatku merasa sangat tersanjung. Sejumput demi sejumput dia mengambil hatiku.Ya Allah, apa dia buah dari kesabaranku selama ini. Semoga saja iya.[Makasih, Mas, makan siangnya.][Sama-sama.]Sudah chat-nya begitu saja, tidak ada sambungannya lagi sampai sore. Jam lima, Nata stand by di depan toko untuk mengantar pulang.Kami tak lantas me
KETIKA MAS GAGAH TIBA 11Aku menunggu bapak pulang sampai larut. Jam sepuluh malam baru terdengar ketukan pintu. Aku buru-buru membukanya. Pada jam ini, Bu Sum dan Wulandari masih menonton TV.Aku mencium tangan bapak. Dan dia masih mendiamiku, tidak bicara sepatah kata pun. Malah berlalu menemui istrinya.Aku penasaran sekali apa yang akan terjadi. Akankah Bu Sum langsung membahas kehamilan?Mataku mengikuti pergerakan bapak. Terus mengamatinya dari meja makan yang ada tepat di depan pintu kamar. Sudah kusiapkan mental untuk mendengar hal terburuk sekalipun.Bapak menyimpan topi di meja ruang TV. Menghempaskan diri pada sofa dengan raut lelah. Bu Sumarni lantas menyambutnya, bertanya hari ini banyak penumpang atau tidak dan dapat uang berapa. Lalu mulai mengeluhkan mobil Wulan yang mogok. Tanpa melihat kondisi bapak yang kelelahan, dia menyuruh bapak untuk segera memperbaiki.Wulan serupa anak bungsu yang manja, dia mengeluhkan hal serupa. Merengek meminta mobilnya dibetulkan malam i
Nata mengajakku berkunjung ke rumahnya agar lebih dekat dengan Bu Hamidah. Saat dia pergi tanding nanti, aku harus sering datang ke rumahnya untuk merempungkan acara pernikahan. Nata maunya begitu selesai tanding, kami langsung nikah.Sabtu dan minggu sebenarnya toko cukup sibuk. Namun untuk hari ini, aku sengaja ambil cuti di hari minggu karena hanya pada hari itu keluarga Nata berkumpul semua.Minggu pagi, Bu Sumarni sibuk masak di dapur. Dia masak banyak dan tampaknya enak-enak. Setelah selesai makanan itu dikemas menggunakan bok. Dimasukkan pada kantung rapi.“Ini berikan untuk calon mertuamu,” katanya pada Wulan sambil menyerahkan kantong.“Siap. Makasih Mama sayang.” Wulan mencium pipi ibunya, dan tak lama kemudian Wulan pergi memakai mobil. Calon mertua, siapa yang dimaksud calon mertua?Selang beberapa menit setelah kepergian Wulan, Nata datang untuk menjemputku. Nata mengucapkan salam dan mau masuk rumah kali ini.“Nak, Nata. Di sini?” Bu Sum menatapnya antusias.“Ya, Bu. Say
KETIKA MAS GAGAH TIBA 12POV WulandariPikiranku kacau belakangan ini. Tidak bisa fokus, kerja pun jadi bermasalah. Ini gara-gara lelaki teledor itu. Namanya Burhan. Pemuda kampung sini. Kami melakukan hubungan tanpa pengaman sebulan yang lalu. Dia memang ceroboh, atau mungkin malah sengaja.Sekitar dua bulan yang lalu. Aku dan teman-teman staf bank mengikuti konser musik di alun-alun kota kabupaten. Lagi asyik teriak, nyanyi, sambil loncat-loncat terjadi kericuhan di depan panggung. Semua pengunjung mundur. Kacau. Banyak yang berlari dan melindas orang lain. Seseorang memegangi pundakku, membawa mundur dari pusat keributan. Saat aku menengok ke belakang ternyata itu Burhan. Alfian Burhanudin namanya, dipanggil Burhan karena dia merasa itu paling keren.“Mas.”“Jangan terlalu dekat, nanti sampean terlindas,” pesannya. Bau alkohol tercium dari mulutnya. Sudah biasa dalam acara seperti ini pemuda minum-minum. Aku pun sama, meski tak banyak.“Sama siapa?”“Teman-teman.”“Di mana mereka?”
Aku hilir mudik di kamar. Memikirkan solusi lain atas nasib benih di perut ini. Ada dua hal yang terlintas dalam benak. Pertama, aku minta saja Andini menggagalkan pertunangan dengan Nata. Dan setelahnya aku bisa menjadi peri penghibur yang akan membuatnya melupakan si bodoh itu. Tentu saja dengan begitu pernikahan aku dengannya bisa dipercepat.Solusi yang kedua, aku harus menggugurkan benih ini. Hanya saja tidak boleh ketahuan Burhan. Aku agak sangsi dengan ide kedua ini. Selain takut, tidak semua kehamilan bisa digugurkan.“Pokoknya aku mau Nata hanya menikah denganku. Suruh Andini memutuskan pertunangan mereka, Ma.” Aku merengek pada Mama. Bahkan pada bapak juga. Apapun caranya, mereka harus pisah.Aku, Mama, dan bapak merongrong Andini untuk memutus pertunangan itu. Sayangnya gadis bodoh itu malah melawan. Entah apa yang dikasih Nata. Andini malah menantangku untuk merebut cinta Nata. Sungguh kurang ajar. Wanita yang kemarin tunduk di depan kakiku itu kini berdiri tegak dengan me
KETIKA MAS GAGAH TIBA 13POV AndiniLagi enak-enaknya makan, Wulandari lari-lari ke dapur, lalu dia muntah-muntah di sana. Menghilangkan selera makan semua orang. Aku segera beranjak dari duduk, mengikuti Wulandari. Adik tiriku itu sedang menumpahkan isi perutnya di wastafel. Semakin meruncing saja kecurigaanku.“Kamu kenapa Wulan?” Aku mendekatinya. Dia tidak menjawab hanya menunjukkan telapak tangan.“Diam di sana! Aku mual melihatmu,” serunya kemudian. Bersamaan dengan itu, Bu Hamidah menghampiri. Mengernyit atas kalimat Wulan barusan.“Kenapa, Wulan?” Raut ramah yang diperlihatkannya pada Wulan sejak tadi jadi berubah datar.“Aku sepertinya masuk angin, Bu.” Dia mulai menguasai diri.“Kamu tidak sedang hamil kan Wulan?” Aku menyelidik.“Ngaco kamu, Mbak,” katanya dengan nada sengit.Wulandari mengusap wajahnya dan menempelkan telapak di jidat.“Sini pakai minyak angin kalau kamu sakit.” Bu Hamidah jalan ke depan. Wulandari dan aku mengikuti.“Diolesi pakai minyak angin adikmu, And