Share

Bab 2

20 menit kemudian, sampailah aku di rumah Mas Ramdan. Perhatianku mengedar pada suasana sekitar.

"Kok sepi Mas?? Katanya mau syukuran??" tanyaku pada Mas Ramdan.

"Acaranya kan masih nanti sore Ris," sahut Mas Ramdan sembari mendahului langkahku.

"Ayo masuk, Zahra udah nunggu kamu!" seru Mas Ramdan yang telah sampai di pintu.

Ini sudah kesekian kalinya aku ke rumah Mas Ramdan. Sejak aku dan Zahra dekat 3 tahun yang lalu, aku sering diajak ke sini untuk sekedar makan-makan atau menemani Zahra yang kegabutan.

"aww awww!"

Jeritan Zahra dari dapur sontak membuatku menghampirinya.

"Ngapain sih Ra?" tanyaku pada Zahra yang tengah memegang spatula dengan kerutan mendalam di wajahnya.

Karena penasaran dengan apa yang ia goreng aku mendekat ke arah wajan.

"Jangan deket deket Ris, meletus tuh entar!" seru Zahra yang menarikku menjauh dari kompor.

"Goreng apa sih?" Tanyaku sambil mengintip penggorengan.

"Ohh ternyata cabe," ucapku menahan tawa.

"Mau masak apa aja nih Ra?"

Aku memilah-milah bahan mentah yang berjejer di meja dapur.

"Kamu baca aja note di sebelah toples gula, semua menu udah aku tulis di sana," ucap Zahra yang masih sibuk dengan cabainya.

Aku dan Zahra berkutat di dapur dengan diselingi obrolan kecil. Kadang sesekali kita melempar candaan satu sama lain.

"Assalamualaikum Zahra sayang?"

Sebuah suara mengalihkan fokus kami ke pintu dapur.

Seorang wanita paruh baya, yang tak lain adalah ibu Zahra tengah berdiri di sana dengan sebuah senyuman pada Zahra.

"Waalaikumsalam ma?" Sahut Zahra seraya menghampiri ibunya.

Aku pun ikut mendekat pada ibu Zahra, berniat menyalaminya juga.

"Hallo Tante?" Sapaku seraya mengulurkan tangan.

Sejenak ibu Zahra menoleh kepadaku, matanya memicing menelisikku dari atas ke bawah. Sedetik kemudian senyum sinis terbit di wajahnya.

"Ngapain kamu disini? Gangguin Zahra?" Ucap ibu Zahra.

Degg

Sedikit tersinggung menoreh hatiku. Ucapannya menyiratkan kebencian yang sengaja diutarakan.

"Mama kok bilang gitu!, Riska itu sahabat Zahra ma," bela Zahra.

"Sahabat dari mana?? Kalian kan nggak 1 sekolah!" Ucap ibu Zahra sinis.

Aku menghela napas panjang.

"Aku ke kamar mandi dulu ya Ra," tanpa menunggu jawaban Zahra, aku segera meninggalkan dapur.

Sedari awal aku bertemu ibunya Zahra, dia sudah tak menyukaiku, entah kenapa aku tak tau. Tapi sebisa mungkin aku mengabaikan sikap judesnya karena menghargai Zahra yang selalu berbuat baik padaku.

Jauh di lubuk hatiku aku heran mengapa bisa Zahra yang beretika lahir dari seorang ibu yang menyebalkan. Kalau saja dia bukan ibunya Zahra, mungkin sudah ku sumpal bibirnya yang tebal.

Setelah cukup lama menetralkan kesal. Aku kembali lagi ke dapur. Namun ketika langkahku hampir sampai, sebuah percakapan membuatku menegang. Ada kata yang memantik emosiku terbakar.

"Jangan deket- deket sama dia nak, penampilannya aja kayak gitu. Bisa bisa dia itu menggoda suamimu nanti. Apalagi dia itu perawan tua! Percaya deh sama mama dia itu munafik!" ucap ibu Zahra yang begitu jelas terdengar olehku.

Sontak aku menghampiri mereka dengan amarah yang membuncah.

"Jaga ucapan anda!" Sentakku pada ibu Zahra dengan telunjuk mengarah ke wajah tuanya.

"Saya bukan pelakor!" Teriakku lagi.

Zahra yang melihatku emosi segera menyandingiku.

"Ris, jangan salah paham!" ucap Zahra dengan raut gelisah.

"Salah paham katamu?? Jelas-jelas aku denger ibu kamu bilang aku munafik," sentakku pada Zahra.

"Memang kamu munafik! Wanita kayak kamu itu hanya memanfaatkan kebaikan anak saya! Saya tahu pasti kamu ngincer menantu saya kan?" Ucap ibu Zahra tanpa merasa bersalah.

Tanpa rasa hormat aku mendekat ke arahnya. Menatap nyalang dengan mataku yang memerah

"Kalau begitu mau anda, baiklah akan saya lakukan!" Ucapku penuh penekanan.

Tanpa berlama-lama aku segera mengambil tasku dan beranjak untuk pulang.

"Makasih Ra untuk paginya!" ucapku, kemudian berlalu dari Zahra .

"Riska denger dulu!"

Bisa kutangkap dengan jelas Zahra yang berusaha mencegahku, namun dihalangi oleh ibunya .

Tanpa memperdulikan mereka lagi aku berlari menjauh. Tak sengaja aku berpapasan dengan Ramdan yang baru turun dari lantai dua. Sejenak aku berhenti menatap Ramdan beberapa detik.

"Aku pulang mas," pamitku kemudian meneruskan langkah.

"Loh Ris mau ke mana??" Teriak mas Ramdan yang kuabaikan.

Sepulangnya dari rumah Zahra aku segera merendam badan. Niat hati meredam emosi sekalian.

Namun Semakin aku meredam, amarahku samkin terbakar. Rasa sakit dan tersinggung memicu bisikan jahat muncul ke permukaan. Perlahan kurasakan benih dendam mulai menyebar.

"Maafkan aku Zahra, aku harus mengambil suamimu," lirihku sembari memejamkan mata mengulang kejadian tadi yang membuatku geram.

***

Sekitar pukul 7 malam, Zahra dan Mas Ramdan datang ke rumahku. Bisa kupastikan kedatangan Zahra adalah untuk meminta maaf atas perlakuan ibunya tadi siang.

Sayangnya aku tak akan menoleransi ibunya Zahra kali ini, memangnya dia siapa yang menghakimiku seenak hati.

Ting Ting Ting!

"Riska... Buka pintunya Ris, kita perlu bicara!" Seru Zahra dari luar.

Itu adalah seruan kesekian kalinya yang tak kuhiraukan. Biar saja dia tahu kalau aku marah besar.

Setengah jam kemudian, Zahra masih enggan pulang. Dia tetap menantiku di luar. Seruannya yang tak berhenti, juga masih ku dengar dari kamar.

Aku pun beranjak, tentunya dengan pikiran jahat yang telah kutanam dalam benak. Sejak tadi siang aku memutuskan untuk mewujudkan tuduhan ibunya Zahra.

Sekalipun jauh di lubuk hati aku tak tega pada Zahra, aku akan tetap melakukannya. Biar saja , biar si wanita tua itu jera karena ulahnya.

Ceklek.

"Apa!! Mau minta maaf?? Aku nggak mau maafin!" ucapku tanpa basa basi.

Zahra menggenggam tanganku, wajahnya penuh sesal dan rasa bersalah.

"Plis jangan marah lagi Ris, omongan mama nggak usah di masukin hati ya??" pinta Zahra.

"Mendingan kita nggak usah deket lagi deh Ra, jauhin aku kayak kemamuan mamamu!" ucapku ketus.

Tentu saja itu hanya ucapan bibirku. Sedang di hati, aku tak ingin hubunganku dan Zahra merenggang. Karena jika Zahra dan aku berjauhan bagaimana caraku untuk mendapatkan Ramdan.

"Riska ... Dengerin aku, aku percaya sama kamu. Sekalipun mamaku bilang apapun aku tetep yakin kalau kamu nggak seperti yang mama tuduhkan, kamu itu sahabatku Ris, kamu yang paling ngerti aku," sahut Zahra.

Sudah kubilang bukan, Zahra tak akan mengikuti saranku untuk menjauhkan diri. Dia tipe orang yang tak suka permusuhan.

"Sekarang mungkin kamu percaya sama aku, tapi di masa mendatang bisa saja kamu percaya sama mamamu!" ucapku.

"Aku tau kamu Ris, aku yakin kamu nggak akan khianatin aku, aku percaya sama kamu!" jawab Riska.

Aku tersenyum dalam hati. Mungkin tadinya aku tak akan menghianati Zahra, tapi sekarang beda cerita. Aku akan dengan sengaja mengambil Ramdan.

"Plisss... Jangan marah lagi?" ucap Zahra dengan tatapan lekat yang mengarah padaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status