Mag-log in20 menit kemudian, sampailah aku di rumah Mas Ramdan. Perhatianku mengedar pada suasana sekitar.
"Kok sepi Mas?? Katanya mau syukuran??" tanyaku pada Mas Ramdan."Acaranya kan masih nanti sore Ris," sahut Mas Ramdan sembari mendahului langkahku."Ayo masuk, Zahra udah nunggu kamu!" seru Mas Ramdan yang telah sampai di pintu. Ini sudah kesekian kalinya aku ke rumah Mas Ramdan. Sejak aku dan Zahra dekat 3 tahun yang lalu, aku sering diajak ke sini untuk sekedar makan-makan atau menemani Zahra yang kegabutan."aww awww!"Jeritan Zahra dari dapur sontak membuatku menghampirinya."Ngapain sih Ra?" tanyaku pada Zahra yang tengah memegang spatula dengan kerutan mendalam di wajahnya.Karena penasaran dengan apa yang ia goreng aku mendekat ke arah wajan."Jangan deket deket Ris, meletus tuh entar!" seru Zahra yang menarikku menjauh dari kompor."Goreng apa sih?" Tanyaku sambil mengintip penggorengan."Ohh ternyata cabe," ucapku menahan tawa."Mau masak apa aja nih Ra?"Aku memilah-milah bahan mentah yang berjejer di meja dapur."Kamu baca aja note di sebelah toples gula, semua menu udah aku tulis di sana," ucap Zahra yang masih sibuk dengan cabainya.Aku dan Zahra berkutat di dapur dengan diselingi obrolan kecil. Kadang sesekali kita melempar candaan satu sama lain."Assalamualaikum Zahra sayang?"Sebuah suara mengalihkan fokus kami ke pintu dapur.Seorang wanita paruh baya, yang tak lain adalah ibu Zahra tengah berdiri di sana dengan sebuah senyuman pada Zahra."Waalaikumsalam ma?" Sahut Zahra seraya menghampiri ibunya.Aku pun ikut mendekat pada ibu Zahra, berniat menyalaminya juga."Hallo Tante?" Sapaku seraya mengulurkan tangan. Sejenak ibu Zahra menoleh kepadaku, matanya memicing menelisikku dari atas ke bawah. Sedetik kemudian senyum sinis terbit di wajahnya."Ngapain kamu disini? Gangguin Zahra?" Ucap ibu Zahra.Degg Sedikit tersinggung menoreh hatiku. Ucapannya menyiratkan kebencian yang sengaja diutarakan."Mama kok bilang gitu!, Riska itu sahabat Zahra ma," bela Zahra."Sahabat dari mana?? Kalian kan nggak 1 sekolah!" Ucap ibu Zahra sinis.Aku menghela napas panjang."Aku ke kamar mandi dulu ya Ra," tanpa menunggu jawaban Zahra, aku segera meninggalkan dapur. Sedari awal aku bertemu ibunya Zahra, dia sudah tak menyukaiku, entah kenapa aku tak tau. Tapi sebisa mungkin aku mengabaikan sikap judesnya karena menghargai Zahra yang selalu berbuat baik padaku. Jauh di lubuk hatiku aku heran mengapa bisa Zahra yang beretika lahir dari seorang ibu yang menyebalkan. Kalau saja dia bukan ibunya Zahra, mungkin sudah ku sumpal bibirnya yang tebal. Setelah cukup lama menetralkan kesal. Aku kembali lagi ke dapur. Namun ketika langkahku hampir sampai, sebuah percakapan membuatku menegang. Ada kata yang memantik emosiku terbakar."Jangan deket- deket sama dia nak, penampilannya aja kayak gitu. Bisa bisa dia itu menggoda suamimu nanti. Apalagi dia itu perawan tua! Percaya deh sama mama dia itu munafik!" ucap ibu Zahra yang begitu jelas terdengar olehku. Sontak aku menghampiri mereka dengan amarah yang membuncah."Jaga ucapan anda!" Sentakku pada ibu Zahra dengan telunjuk mengarah ke wajah tuanya."Saya bukan pelakor!" Teriakku lagi.Zahra yang melihatku emosi segera menyandingiku."Ris, jangan salah paham!" ucap Zahra dengan raut gelisah."Salah paham katamu?? Jelas-jelas aku denger ibu kamu bilang aku munafik," sentakku pada Zahra."Memang kamu munafik! Wanita kayak kamu itu hanya memanfaatkan kebaikan anak saya! Saya tahu pasti kamu ngincer menantu saya kan?" Ucap ibu Zahra tanpa merasa bersalah.Tanpa rasa hormat aku mendekat ke arahnya. Menatap nyalang dengan mataku yang memerah"Kalau begitu mau anda, baiklah akan saya lakukan!" Ucapku penuh penekanan. Tanpa berlama-lama aku segera mengambil tasku dan beranjak untuk pulang."Makasih Ra untuk paginya!" ucapku, kemudian berlalu dari Zahra ."Riska denger dulu!" Bisa kutangkap dengan jelas Zahra yang berusaha mencegahku, namun dihalangi oleh ibunya . Tanpa memperdulikan mereka lagi aku berlari menjauh. Tak sengaja aku berpapasan dengan Ramdan yang baru turun dari lantai dua. Sejenak aku berhenti menatap Ramdan beberapa detik."Aku pulang mas," pamitku kemudian meneruskan langkah."Loh Ris mau ke mana??" Teriak mas Ramdan yang kuabaikan. Sepulangnya dari rumah Zahra aku segera merendam badan. Niat hati meredam emosi sekalian. Namun Semakin aku meredam, amarahku samkin terbakar. Rasa sakit dan tersinggung memicu bisikan jahat muncul ke permukaan. Perlahan kurasakan benih dendam mulai menyebar."Maafkan aku Zahra, aku harus mengambil suamimu," lirihku sembari memejamkan mata mengulang kejadian tadi yang membuatku geram.*** Sekitar pukul 7 malam, Zahra dan Mas Ramdan datang ke rumahku. Bisa kupastikan kedatangan Zahra adalah untuk meminta maaf atas perlakuan ibunya tadi siang. Sayangnya aku tak akan menoleransi ibunya Zahra kali ini, memangnya dia siapa yang menghakimiku seenak hati.Ting Ting Ting!"Riska... Buka pintunya Ris, kita perlu bicara!" Seru Zahra dari luar. Itu adalah seruan kesekian kalinya yang tak kuhiraukan. Biar saja dia tahu kalau aku marah besar. Setengah jam kemudian, Zahra masih enggan pulang. Dia tetap menantiku di luar. Seruannya yang tak berhenti, juga masih ku dengar dari kamar. Aku pun beranjak, tentunya dengan pikiran jahat yang telah kutanam dalam benak. Sejak tadi siang aku memutuskan untuk mewujudkan tuduhan ibunya Zahra. Sekalipun jauh di lubuk hati aku tak tega pada Zahra, aku akan tetap melakukannya. Biar saja , biar si wanita tua itu jera karena ulahnya.Ceklek."Apa!! Mau minta maaf?? Aku nggak mau maafin!" ucapku tanpa basa basi. Zahra menggenggam tanganku, wajahnya penuh sesal dan rasa bersalah."Plis jangan marah lagi Ris, omongan mama nggak usah di masukin hati ya??" pinta Zahra."Mendingan kita nggak usah deket lagi deh Ra, jauhin aku kayak kemamuan mamamu!" ucapku ketus. Tentu saja itu hanya ucapan bibirku. Sedang di hati, aku tak ingin hubunganku dan Zahra merenggang. Karena jika Zahra dan aku berjauhan bagaimana caraku untuk mendapatkan Ramdan."Riska ... Dengerin aku, aku percaya sama kamu. Sekalipun mamaku bilang apapun aku tetep yakin kalau kamu nggak seperti yang mama tuduhkan, kamu itu sahabatku Ris, kamu yang paling ngerti aku," sahut Zahra. Sudah kubilang bukan, Zahra tak akan mengikuti saranku untuk menjauhkan diri. Dia tipe orang yang tak suka permusuhan."Sekarang mungkin kamu percaya sama aku, tapi di masa mendatang bisa saja kamu percaya sama mamamu!" ucapku."Aku tau kamu Ris, aku yakin kamu nggak akan khianatin aku, aku percaya sama kamu!" jawab Riska. Aku tersenyum dalam hati. Mungkin tadinya aku tak akan menghianati Zahra, tapi sekarang beda cerita. Aku akan dengan sengaja mengambil Ramdan."Plisss... Jangan marah lagi?" ucap Zahra dengan tatapan lekat yang mengarah padaku.“Ya Allah… apa kecurigaanku benar?”Zahra terisak dalam mobil, bahunya bergetar pelan. Pikiran kacau berputar tanpa arah, menusuk dada dengan rasa sakit yang tak sanggup ia jelaskan. Padahal Ramdan belum terbukti mengkhianatinya… tapi anting itu, tatapan Ramdan tadi, alasan yang terasa dipaksakan—semuanya bercampur menjadi badai yang menghimpit.“Bu… Anda baik-baik saja?” tanya Pak Ujang, supir tua yang sudah seperti keluarga sendiri. Suaranya lembut, penuh kekhawatiran.“Nggak apa-apa kok, Pak.” Zahra menyeka air matanya cepat-cepat, mencoba memaksa senyum yang tak berhasil. Ia menarik napas dalam, menahan gemuruh di dadanya. “Aku cuma… capek.”“Kita pulang sekarang, Bu?” tanya Pak Ujang hati-hati.“Nggak, Pak. Ke Café Mentari aja. Aku mau ketemu Riska.”Suaranya parau, namun tegas.Riska adalah sahabat terdekatnya—tempatnya bercerita, tempat ia mencari pelukan saat dunia terasa berantakan. Zahra butuh Riska sekarang. Butuh seseorang yang bisa menenangkannya… atau setidaknya membuatn
Zahra masuk ke ruangan suaminya. Di sana, Ramdan sudah duduk di kursi kerjanya, tersenyum begitu melihatnya muncul di ambang pintu.“Sayang, tumben banget datang?” ucap Ramdan sambil berdiri dan menghampirinya.“Iya, lagi pengin aja ke sini. Kayaknya sudah lama aku nggak mampir ke kantor,” jawab Zahra.Ramdan mengangguk, lalu keduanya berjalan menuju sofa, duduk berdampingan.“Kok tumben nggak jemput aku di lobi? Biasanya kamu turun,” tanya Zahra dengan nada penasaran yang halus, tapi cukup membuat Ramdan menegang sepersekian detik.“Eh—itu… aku lagi nyelesain laporan. Tinggal sedikit lagi tadi. Pas mau nyusul kamu, eh kamu keburu naik,” sahut Ramdan, terdengar agak tergesa.Zahra mengangguk, mencoba menerima alasan itu. Ia membuka tas dan mengeluarkan kotak bekal.“Aku masak ini buat kamu. Buat makan siang.”“Makan siang kan masih dua jam lagi, Yang.”“Ya nggak apa-apa. Biar kamu nggak usah makan di luar.”Ramdan tersenyum kecil. “Makasih, Sayang.”“Ya sudah, kamu lanjutin kerja. Aku
Ramdan membeku saat Riska mendekat. Rok mini berpadu tank top yang dikenakannya benar-benar membuat Riska terlihat terlalu indah untuk diabaikan. Kini jarak mereka hanya tinggal beberapa senti.Riska menatap intens ke dalam netra Ramdan, menguncinya dengan gaya yang jelas menggoda.“Mas, kok nggak kangen aku?” ucap Riska, suaranya rendah sebelum ia memulai mencium Ramdan lebih dulu.Ramdan tak mampu lagi berpikir apa pun. Ia terbuai oleh godaan Riska, membuatnya mengimbangi tempo ciuman yang Riska berikan.“Mmmh…”Desahan Riska membuat sisi liar Ramdan bangkit. Dengan gerakan refleks, ia membopong tubuh Riska ke sofa, menelantangkannya, lalu melanjutkan permainan panas mereka—Kringgg…Di tengah adegan yang memanas itu, ponsel Ramdan berbunyi. Keduanya yang sedang tenggelam dalam suasana intens sontak menjeda aktivitas.“Mas… lanjutin dulu…” ucap Riska terengah.“Itu telepon dari Zahra,” jawab Ramdan, kemudian melepaskan diri dari Riska.“Tapi aku hampir…” Riska menahan kata-katanya,
Hari ini Riska bangun lebih pagi dari biasanya. Ia segera bersiap dan berangkat ke kafe tempatnya bekerja.“Saya kira kamu bakal bolos lagi,” sindir Pak Romi ketika Riska tiba.“Kalau Bapak nggak suka, ya pecat saja,” jawab Riska tanpa menoleh.Pak Romi mendelik tajam. Sejak awal ia memang menyukai karakter Riska: ceria, aktif, dan menarik. Saat Riska masih rajin bekerja, pengunjung kafe tak pernah sepi. Namun belakangan, setelah Riska sering izin, pelanggan pun ikut menghilang. Pak Romi merasa rugi besar.“Kamu pikir saya nggak berani mec—” belum selesai ia bicara, Riska memotong.“Ya sudah pecat saja saya sekarang.”Nada Riska penuh muak. Ia lelah pada bosnya yang selalu mengomel seolah kehadirannya tak punya arti. Padahal setiap izin, Zahra selalu mengganti kerugian pada pihak kafe.“Baik!” bentak Pak Romi. “Mulai hari ini jangan pernah datang lagi. Kamu saya pecat!”Riska mengangguk acuh. Ia melepas celemek yang baru saja ia kenakan, lalu melemparnya ke arah bosnya.“Sekarang mana
Ramdan mengecupi Zahra tanpa henti sambil membuka pakaian yang dikenakan sang istri. Kini Zahra sudah tak mengenakan selembar pun kain. Sejenak, Ramdan terdiam, memandangi tubuh istrinya—spontan bayangan Riska terlintas di pikirannya."Ramdan, apa yang kamu pikirkan!" gerutunya dalam hati.Zahra yang kini tanpa busana segera menarik selimut, rasa malu menyergap meski di hadapan suaminya sendiri. Selama lima tahun pernikahan mereka, Zahra masih sering merasa tak percaya diri saat tubuhnya terbuka tanpa helai kain, takut kalau bentuk tubuhnya tak lagi seindah dulu."Kenapa ditutup, sayang?" tanya Ramdan sambil menyingkap selimut dan mulai menciumi setiap inci tubuh Zahra.Namun malam ini terasa berbeda. Ritme yang biasanya penuh keintiman dan sabar terasa tergesa. Bayangan Riska terus mengusik benaknya. Semalam, dia baru saja melewati sebuah adegan panas bersama wanita itu—sesuatu yang luar biasa berani, bahkan untuk dirinya."Hisap lebih kuat, Mas," suara itu terdengar jelas di telinga
Ceklek.Pintu terbuka. Seketika Ramdan tertegun, tubuhnya mematung saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu.“Riska?”...Siang tadi, sepulang dari taman kota, Riska tiba-tiba mendapat pesan dari Ramdan. Sayangnya, bukan kabar gembira, melainkan pembatalan makan malam yang sudah direncanakan.“Dih, enak aja semaunya sendiri. Pasti Mas Ramdan mau makan malam sama Zahra,” gumam Riska kesal.Meski hanya istri kedua, Riska merasa dirinya juga berhak atas Ramdan. Apalagi, Ramdan sudah lebih dulu mengajaknya. Sekarang, setelah semua bahan makanan ia beli, Ramdan seenaknya membatalkan begitu saja.Riska menutup ponsel tanpa membalas. Ia lalu meletakkan semua bahan di kulkas, kemudian memesan taksi online.“Aku bakal bikin kejutan buat kamu, Mas,” seringainya penuh rencana....Dan di sinilah Riska sekarang, berdiri di depan pintu kediaman keluarga Ramdan.“Eh, Mas Ramdan! Zahra mana, Mas?” sapa Riska ceria.“Kamu ngapain ke sini?” bisik Ramdan tak suka.Riska tak menanggapi. Ia mendoro







