Mag-log inHari kini aku memanjakan diri di beauty day spa. Bagiku spa adalah kewajiban yang harus disempatkan. Sesibuk apapun diriku, aku akan selalu punya waktu untuk mempercantik diri.
Tentang semalam, aku dan Zahra telah berbaikan. Kini aku tinggal menyusun pergerakan untuk menggapai misi, yakni mendapatkan Ramdan, si pengusaha tampan yang menggoda iman. Kutuntun pikiranku ke alam hayalan. Membayangkan Ramdan yang suatu saat bisa kujadikan tempat sandaran. Pijatan pelayan membuat anganku berandai-andai jika Ramdan yang melakukan. Ahh Ramdan...Kringggg kringgggg! Buyar sudah imajinasi yang mulai meliar. Kulirik ponselku yang mengganggu otak kotorku."Hallo Ra? Ada apa?" tanyaku pada Zahra.Bisa kutangkap suara bising di seberang sana. Sayup-sayup ku dengar tangisan bocah yang menggema."Ris, aku boleh minta tolong nggak?" tanya Zahra dengan nada khawatir."Aku lagi body massage Ra, ntaran aja ya minta tolongnya," sahutku pada Zahra."Tapi ini penting Ris, aku lagi di rumah sakit!" ucap Zahra."Rumah sakit??" tanyaku memastikan."Iya, aku nolongin orang kecelekaan. Trus inikan harus bayar administasi, sedangkan dompetku ketinggalan!" ucap Zahra panjang lebar."Trus mau minjem uangku, gitu?? Budgetku udah habis buat pijat- pijat cantik," sahutku jujur."Kamu datengin Mas Ramdan ya, ajak dia ke sini ntar aku kirim alamat rumah sakitnya," ucap Zahra kemudian mematikan sambungan sepihak. Aku mengerjap, mencerna ucapan Zahra. Sedetik kemudian aku baru sadar bahwa ini adalah kesempatanku mendekati Ramdan.Tanpa mengulur waktu, aku pun mengakhiri kegiatanku. Butuh waktu setengah jam untuk sampai di kantor Mas Ramdan, terlebih aku harus menunggu taksi online yang kupesan."Mbak, ruangan Mas Ramdan di mana?" tanyaku pada bagian resepsionis."Emmm, sebelumnya sudah ada janji apa belum Mbak?" tanya pegawai cantik sembari tersenyum ramah padaku."Bilang saja sama Mas Ramdan, Riska mau ketemu gitu!" pintaku pada si pegawai.Dengan segera staf resepsionis itu menghubungi Mas Ramdan dengan telepon duduk."Mari Mbak, saya antar ke ruangan Pak Ramdan," ucap pegawai itu sembari berjalan lebih dulu. Ruang Mas Ramdan yang merupakan pemilik perusahaan berada di lantai 5. Untuk sampai ke sana hanya perlu menggunakan lift yang telah tersedia."Ini ruangannya Pak Ramdan mbak, saya tinggal dulu ya," ucap staf resepsionis sembari meninggalkanku. Tanpa menunggu jeda, aku segera mengetuk pintu ruangan si pengusaha muda.Tok tok tok."Masuk!" ucap Mas Ramdan dari dalam.Sejenak aku membenahkan penampilanku. Merapikan mini dress yang mebalut tubuhku.Ceklek."Hallo Mas?" sapaku pada Mas Ramdan.Sontak Mas Ramdan yang tadinya berkutat dengan berkas-berkas menoleh ke arahku."Emm... Pintunya jangan ditutup Ris!" cegah Mas Ramdan saat aku memegang gagang pintu.Aku pun mengangguk, kulempar senyum manis seraya melangkahkan kaki mendekat ke arahnya."Ada apa?" tanya Mas Ramdan. Sejenak kuperhatikan mata Mas Ramdan yang tadinya menatapku beralih pada dada. Diteguknya saliva, pertanda dia sedikit tergoda."Mas jangan liatin gitu!" ucapku berpura-pura ketus.Tanganku sengaja kuletakkan di depan dada agar terkesan aku tak berniat menggoda."Ahh maaf!" ucap Mas Ramdan seraya memalingkan wajahnya. Saat Zahra memintaku datang pada mas Ramdan, aku sengaja mengganti pakaian. Karena Mas Ramdan lelaki normal, maka kugunakan keindahan tubuhku yang ideal untuk menggoda iman Mas Ramdan."Ada perlu apa kamu ke sini Ris?" tanya Mas Ramdan yang tak lagi menatapku."Zahra di rumah sakit!" ucapku singkat.Sontak Mas Ramdan melotot ke arahku."Rumah sakit? Kok bisa? Dia kenapa? Tadi pagi baik-baik aja kok, atau...""Zahra nggak papa, dia nolongin orang kecelakaan trus katanya lupa bawa dompet," ucapku dengan jelas. Sedikit iri menyelinap, saat ekspresi Mas Ramdan yang begitu khawatir pada Zahra. Sebegitu cintakah ia pada Zahra?, hingga saat aku mengatakan rumah sakit dia begitu panik."Zahra nyuruh kamu berangkat ke rumah sakit bareng aku Mas," ucapku lagi.Sejenak, Mas Ramdan menghela napas lega."Kirain Zahra yang kenapa-napa...tapi, kenapa Zahra nggak bilang langsung ke aku?" tanya Mas Ramdan menatapku curiga."Ih, mana aku tahu, tadi tuh dia nelpon aku pas aku lagi body massage, tanya aja langsung ke dia!" ucapku ketus.Mas Ramdan pun tampak mencari ponselnya."Pantesan nelpon kamu, hpku low batt!" ucap Mas Ramdan seraya menunujukkan layar ponselnya yang mati.Segera kusodorkan ponselku."Nih, telpon aja Zahra. Bilang kamu mau berangkat sendiri gitu!" ucapku masih dengan nada ketus."Loh, tadi katanya Zahra nyuruh berangkat bareng kamu?" tanya Mas Ramdan seraya mengernyitkan alis. Aku mendengus , tentu saja aku tersinggung saat Mas Ramdan menatapku dengan sorot curiga, tanpa dia jelaskan aku bisa membaca pikirannya yang berprasangka buruk padaku."Emang iya, tapi akunya udah nggak mau. Kamu pikir aku sengaja dateng ke sini buat goda kamu apa? Kalau bukan disuruh Zahra aku juga nggak mau!" Tanpa peduli pada ekspresi Mas Ramdan, aku segera berbalik dan melangkah ke luar."Loh loh Ris, kok jadi ngambek sih!" seru Mas Ramdan.Aku tak memggubris, ku ayunkan terus kaki jenjangku menuju pintu."Riska!" Tanpa kusangaka, Mas Ramdan menarikku hingga tubuhku menabrak tubuhnya. Untuk sepersekian detik kami menatap lekat dalam jarak yang dekat."Apaan sih mas!" ucapku seraya mendorong tubuh Mas Ramdan. Sejujurnya dalam hati aku merasa senang, posisi kami yang dekat pasti menimbulkan kesan untuk Mas Ramdan. Hanya saja untuk menarik perhatian Mas Ramdan lebih dalam aku harus terlihat jual mahal."Maaf, bukan maksudku ..." ucapan Mas Ramdan terhenti. Dia tampak salah tingkah."Ahh sudahlah, ayo kita berangkat ke rumah sakit," ucap Mas Ramdan seraya mendahuluiku. Mas Ramdan berjalan dengan langkah lebar, membuatku kewalahan menyejajarkan jalan agar beriringan."Aku kan udah bilang nggak mau berangkat bareng kamu," ucapku saat kita sudah berada dalam lift."Udahlah Riska, kalau Zahra nyuruh kamu nemenin aku, ya udah ikutin aja!" ucap Mas Ramdan.Aku pun diam. Sesekali mataku melirik Mas Ramdan yang lebih tinggi dariku."Godain ahh," bisikku dalam hati.TingAku berdecak dalam hati, baru saja aku akan menggoda Mas Ramdan tapi lift sudah terbuka. Aku pun memutar otak, mencari cara agar bisa lebih dekat dengan Mas Ramdan."Arrrgh..."Tiba-tiba aku terjungkal karena tangga teras yang tak kuperhatikan."Loh Ris, kok bisa?" tanya Mas Ramdan yang telah berbalik ke arahku.Aku meringis, sambil memijat pergelangan kakiku."Sakit??" tanya Mas Ramdan yang sudah berjongkok seraya memandang kakiku. Oh tidak, kurasa Mas Ramdan tak fokus pada kaki yang kupijat, matanya mengarah pada paha yang terbuka."Eggghh, sakit masss," lenguhku dengan suara sexi yang kusengaja.“Ya Allah… apa kecurigaanku benar?”Zahra terisak dalam mobil, bahunya bergetar pelan. Pikiran kacau berputar tanpa arah, menusuk dada dengan rasa sakit yang tak sanggup ia jelaskan. Padahal Ramdan belum terbukti mengkhianatinya… tapi anting itu, tatapan Ramdan tadi, alasan yang terasa dipaksakan—semuanya bercampur menjadi badai yang menghimpit.“Bu… Anda baik-baik saja?” tanya Pak Ujang, supir tua yang sudah seperti keluarga sendiri. Suaranya lembut, penuh kekhawatiran.“Nggak apa-apa kok, Pak.” Zahra menyeka air matanya cepat-cepat, mencoba memaksa senyum yang tak berhasil. Ia menarik napas dalam, menahan gemuruh di dadanya. “Aku cuma… capek.”“Kita pulang sekarang, Bu?” tanya Pak Ujang hati-hati.“Nggak, Pak. Ke Café Mentari aja. Aku mau ketemu Riska.”Suaranya parau, namun tegas.Riska adalah sahabat terdekatnya—tempatnya bercerita, tempat ia mencari pelukan saat dunia terasa berantakan. Zahra butuh Riska sekarang. Butuh seseorang yang bisa menenangkannya… atau setidaknya membuatn
Zahra masuk ke ruangan suaminya. Di sana, Ramdan sudah duduk di kursi kerjanya, tersenyum begitu melihatnya muncul di ambang pintu.“Sayang, tumben banget datang?” ucap Ramdan sambil berdiri dan menghampirinya.“Iya, lagi pengin aja ke sini. Kayaknya sudah lama aku nggak mampir ke kantor,” jawab Zahra.Ramdan mengangguk, lalu keduanya berjalan menuju sofa, duduk berdampingan.“Kok tumben nggak jemput aku di lobi? Biasanya kamu turun,” tanya Zahra dengan nada penasaran yang halus, tapi cukup membuat Ramdan menegang sepersekian detik.“Eh—itu… aku lagi nyelesain laporan. Tinggal sedikit lagi tadi. Pas mau nyusul kamu, eh kamu keburu naik,” sahut Ramdan, terdengar agak tergesa.Zahra mengangguk, mencoba menerima alasan itu. Ia membuka tas dan mengeluarkan kotak bekal.“Aku masak ini buat kamu. Buat makan siang.”“Makan siang kan masih dua jam lagi, Yang.”“Ya nggak apa-apa. Biar kamu nggak usah makan di luar.”Ramdan tersenyum kecil. “Makasih, Sayang.”“Ya sudah, kamu lanjutin kerja. Aku
Ramdan membeku saat Riska mendekat. Rok mini berpadu tank top yang dikenakannya benar-benar membuat Riska terlihat terlalu indah untuk diabaikan. Kini jarak mereka hanya tinggal beberapa senti.Riska menatap intens ke dalam netra Ramdan, menguncinya dengan gaya yang jelas menggoda.“Mas, kok nggak kangen aku?” ucap Riska, suaranya rendah sebelum ia memulai mencium Ramdan lebih dulu.Ramdan tak mampu lagi berpikir apa pun. Ia terbuai oleh godaan Riska, membuatnya mengimbangi tempo ciuman yang Riska berikan.“Mmmh…”Desahan Riska membuat sisi liar Ramdan bangkit. Dengan gerakan refleks, ia membopong tubuh Riska ke sofa, menelantangkannya, lalu melanjutkan permainan panas mereka—Kringgg…Di tengah adegan yang memanas itu, ponsel Ramdan berbunyi. Keduanya yang sedang tenggelam dalam suasana intens sontak menjeda aktivitas.“Mas… lanjutin dulu…” ucap Riska terengah.“Itu telepon dari Zahra,” jawab Ramdan, kemudian melepaskan diri dari Riska.“Tapi aku hampir…” Riska menahan kata-katanya,
Hari ini Riska bangun lebih pagi dari biasanya. Ia segera bersiap dan berangkat ke kafe tempatnya bekerja.“Saya kira kamu bakal bolos lagi,” sindir Pak Romi ketika Riska tiba.“Kalau Bapak nggak suka, ya pecat saja,” jawab Riska tanpa menoleh.Pak Romi mendelik tajam. Sejak awal ia memang menyukai karakter Riska: ceria, aktif, dan menarik. Saat Riska masih rajin bekerja, pengunjung kafe tak pernah sepi. Namun belakangan, setelah Riska sering izin, pelanggan pun ikut menghilang. Pak Romi merasa rugi besar.“Kamu pikir saya nggak berani mec—” belum selesai ia bicara, Riska memotong.“Ya sudah pecat saja saya sekarang.”Nada Riska penuh muak. Ia lelah pada bosnya yang selalu mengomel seolah kehadirannya tak punya arti. Padahal setiap izin, Zahra selalu mengganti kerugian pada pihak kafe.“Baik!” bentak Pak Romi. “Mulai hari ini jangan pernah datang lagi. Kamu saya pecat!”Riska mengangguk acuh. Ia melepas celemek yang baru saja ia kenakan, lalu melemparnya ke arah bosnya.“Sekarang mana
Ramdan mengecupi Zahra tanpa henti sambil membuka pakaian yang dikenakan sang istri. Kini Zahra sudah tak mengenakan selembar pun kain. Sejenak, Ramdan terdiam, memandangi tubuh istrinya—spontan bayangan Riska terlintas di pikirannya."Ramdan, apa yang kamu pikirkan!" gerutunya dalam hati.Zahra yang kini tanpa busana segera menarik selimut, rasa malu menyergap meski di hadapan suaminya sendiri. Selama lima tahun pernikahan mereka, Zahra masih sering merasa tak percaya diri saat tubuhnya terbuka tanpa helai kain, takut kalau bentuk tubuhnya tak lagi seindah dulu."Kenapa ditutup, sayang?" tanya Ramdan sambil menyingkap selimut dan mulai menciumi setiap inci tubuh Zahra.Namun malam ini terasa berbeda. Ritme yang biasanya penuh keintiman dan sabar terasa tergesa. Bayangan Riska terus mengusik benaknya. Semalam, dia baru saja melewati sebuah adegan panas bersama wanita itu—sesuatu yang luar biasa berani, bahkan untuk dirinya."Hisap lebih kuat, Mas," suara itu terdengar jelas di telinga
Ceklek.Pintu terbuka. Seketika Ramdan tertegun, tubuhnya mematung saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu.“Riska?”...Siang tadi, sepulang dari taman kota, Riska tiba-tiba mendapat pesan dari Ramdan. Sayangnya, bukan kabar gembira, melainkan pembatalan makan malam yang sudah direncanakan.“Dih, enak aja semaunya sendiri. Pasti Mas Ramdan mau makan malam sama Zahra,” gumam Riska kesal.Meski hanya istri kedua, Riska merasa dirinya juga berhak atas Ramdan. Apalagi, Ramdan sudah lebih dulu mengajaknya. Sekarang, setelah semua bahan makanan ia beli, Ramdan seenaknya membatalkan begitu saja.Riska menutup ponsel tanpa membalas. Ia lalu meletakkan semua bahan di kulkas, kemudian memesan taksi online.“Aku bakal bikin kejutan buat kamu, Mas,” seringainya penuh rencana....Dan di sinilah Riska sekarang, berdiri di depan pintu kediaman keluarga Ramdan.“Eh, Mas Ramdan! Zahra mana, Mas?” sapa Riska ceria.“Kamu ngapain ke sini?” bisik Ramdan tak suka.Riska tak menanggapi. Ia mendoro







