Share

Ketika Pelakor Menggoda
Ketika Pelakor Menggoda
Author: Tinta cinta

bab 1

~POV Riska~

Aku fariska , gadis 27 tahun yang tak kunjung menikah. Sebutan perawan tua pun sudah sering kudengar dari olokan para tetangga.

Ingin rasanya kugunting bibir bibir mereka yang tak punya etika. Tapi apalah daya, mulut yang berkata terlalu banyak, sedang tanganku hanya dua.

Sebenarnya aku sendiri heran mengapa hingga saat ini aku tak menemukan lelaki yang mau serius denganku. Padahal aku gadis cantik yang memiliki body menarik.

•••••••

-Bab 1.

Sebagai pelayan cafe, aku harus memastikan memberi pelayanan terbaik dan menjaga kebersihan agar pengunjung cafe merasa nyaman. Maka di sinilah aku sekarang, mengelap meja bundar yang baru saja dibuat tongkrongan.

"Riska??!"

Sontak aku menoleh ke asal suara. Ada Zahra yang tengah berjalan ke arahku. Hijab panjangnya sesekali berkibar saat hembusan angin menerpa.

"Mau minum apa?" Tanyaku pada Zahra yang telah duduk di depanku.

"Capuccino dingin aja."

Akupun mengangguk, kemudian berlalu untuk membuat pesanannya.

Dia adalah Zahrana, sahabatku yang telah berstatus sebagai istri.

Di penilaianku, Zahra adalah gadis paling beruntung sedunia. Bagaimana tidak, suaminya adalah pengusaha biskuit terbesar di Jakarta.

"Nih , untuk nyonya Ramdan," ucapku sembari meletakkan capuccino dingin di meja Zahra.

Berhubung tidak ada pengunjung lagi, aku pun duduk untuk menemani Zahra.

"Riska... Produknya mas Ramdan udah bisa expor keluar negeri," ucap Zahra berbinar-binar.

"Oh ya? Bagus dong!"

Sejujurnya aku iri pada pernikahan Zahra. Suaminya, Ramdan adalah pemuda tampan yang nyaris sempurna dengan kekayaan yang melengkapinya.

Bagiku Ramdan adalah idaman yang menggiurkan. Seringkali pikiran buruk berkelebat, seolah mendorong sisi jahatku tuk mendekap Ramdan yang begitu memikat.

Untung saja akalku masih sehat, sehingga aku tak pernah sekalipun berbuat bejat. Karena bagaimanapun juga aku dan Zahra adalah sahabat.

"Emmm, besok kamu libur dulu ya?" Ucap Zahra dengan senyum antusias.

"Ogah ah, ntar gaji gue dipotong gara-hara libur Mulu."

Sudah sering aku mengambil cuti hanya untuk menemani Zahra yang sengaja menyibukkan diri.

Sebagai nyonya harusnya ia bersantai. Sayangnya Zahra tak suka berleha, dia selalu mencari kegiatan yang mengisi waktu luangnya.

"Entar aku kasih 2x lipat dari gajianmu deh," bujuk Zahra.

Aku bergeming, hanya memandangnya dengan mengangkat alis sebelah.

"Ayolah Ris... aku mau ngadain syukuran buat pencapaiannya Mas Ramdan... Dan aku mau semua menu itu buatan tanganku sendiri, jadi kamu bantuin aku ya?" Kini raut Zahra memlas padaku.

"Kalau aku bantuin kamu, kan jadinya bukan tanganmu tapi tangaku," sahutku kesal.

Di sinilah letak kekurangan Zahra. Dia tidak pandai memasak. Setiap racikan tangannya akan berakhir hambar atau asin berlebihan.

"Hehe, ntar aku bantuin kok Ris," sahut Zahra cengengesan.

"Catering aja napa sih, Ra!"

"Nggak mau Ris, aku itu maunya tangan yang terjamin dan satu-satunya tangan yang paling kupercaya adalah tanganmu!"

•••

Ting Ting Ting!

"Enggggh... Siapa sih?? ganggu banget!"

Kesal rasanya hati, saat masih pagi tapi sedari tadi bel berbunyi.

Dengan malas ku buta mata dan mengambil jam Beker di atas meja. Waktu masih menunjukkan pukul 6 tapi bel rumah tak kunjung diam.

"Tangan siapa sih yang iseng!!" Sungutku seraya berjalan menuju pintu.

Ceklek

"Apa?!" Teriakku kencang saat pertama kali pintu terbuka.

"Eh kok kamu, Mas?" Sontak aku malu sendiri melihat mas Ramdan Dengan setelan kemejanya yang rapi.

Lekas-lekas kubalikkan badan karena kuyakin wajahku yang baru bangun tidur sangat acak-acakan.

"Ahh, pasti si Ramdan ilfill!" Gerutuku dalam hati.

"Eh Ris mau kemana??" Cegah mas Ramdan saat aku hendak masuk meninggalkannya.

"Mau mandi dulu" seruku kemudian setengah berlari.

Bagiku penampilan di depan lelaki menyangkut harga diri, karena itu aku selalu menampakkan kecantikan dan keindahan yang kumiliki.

Kutatap lekat pantulan diriku di depan cermin, dress selutut dengan rambut terikat tinggi membuat percaya diriku kembali.

Dengan sengaja Kupoles bibirku dengan lipstik tipis. Niat hati ingin membuat Ramdan sedikit terpana, agar dia melupakan penampilanku yang tadi pagi keluar seperti singa.

"Lama ya mas??" Ucapku pertama kali saat melihat mas Ramdan telah menantiku di serambi.

"Ha? Oh enggak kok," sahut mas Ramdan.

Bisa kupastikan penampilanku sedikit menggelitik hingga Mas Ramdan tak berkedip sepersekian detik.

"Kok sendiri Zahra mana??" Tanyaku dengan suara yang kubuat seanggun mungkin.

"Ha? oh itu, dia udah sibuk di dapur. Makanya aku suruh jemput kamu sendiri," sahut Mas Ramdan dengan gelagat salah tingkah.

Aku tersenyum dalam hati, melihat reaksi Mas Ramdan yang seperti itu menimbulkan kepuasan tersendiri bagiku.

"Ya udah, ayo cepetan!" ucapku seraya berjalan lebih dulu ke mobil Mas Ramdan.

Kuposisikan dudukku di kursi penumpang. Karena jika aku mengambil posisi di depan, akan terkesan seolah diriku jalang yang tengah merebut suami orang.

Perjalanan terasa mencanggungkan. Berdua dengan Mas Ramdan dalam 1 mobil, membuat pikiran-pikiran nakalku berloncatan.

Terlebih berkali-kali kutangkap mata Mas Ramdan yang melihatku lewat spion depan. Ada glenyar aneh saat mataku dan tatapan mas Ramdan bertuburukan.

Ahhh, seprtinya bisikan-bisikan syetan mulai mengacau pikiran.

"Emmmm... selamat ya Mas, produknya udah bisa ekspor," ucapku memulai pembicaraan, berusaha mencairkan susana yang terasa menegang.

Namun, respon yang kudapatkan sedikit mengesalkan. Mas Ramdan hanya menanggapiku dengan sebuah senyuman.

"Ihh, Nyahut dong Mas!" ketusku pada Ramdan.

Hal yang paling tak ku suka adalah diabaikan. Bagiku, suatu senyuman adalah simbol dari enggannya seseorang beinteraksi dengan si lawan.

"Kan aku udah senyum Ris," sahut Mas Ramdan.

"Cihh, sok kegantengan banget sih Mas!" ucapku seolah merajuk.

"Lah, kok jadi ngambek sih Ris."

Mas Ramdan melihatku dari spion, dia mengerutkan kening karena aku yang kesal pada responnya.

"Aku itu nggak suka direspon senyuman Mas," ucapku masih dengan nada merajuk.

"Senyum ganteng gini masa nggak suka?" ucap Mas Ramdan terkekeh.

deggg!

Sontak hatiku berdebar, ucapan Mas Ramdan yang menggodaku membuat asumsi negatif bertebaran di pikiran.

Sedang Mas Ramdan, seketika berhenti dari kekehannya. Mungkin dia sadar kalau ucapannya sedikit mengusik.

"Eh, maaf Ris, kata- kataku kurang sopan," ucap Mas Ramdan, dengan raut menyesal di wajahnya.

"Santai aja Mas," sahutku berusaha menetralkan degupan nakal.

Setelah itu, tak ada percakapan lagi antara kami. Aku memilih diam untuk menghindari 'rasa nyaman'. Aku takut lupa jika Mas Ramdan adalah milik Zahra.

Begitu juga dengan Mas Ramdan, dia kembali memfokuskan diri pada kemudi. Matanya tak lagi mencuri- curi pandang pada diriku yang duduk di bekakang.

Jujur saja ada kekhawatiran kalau sewaktu-waktu aku tergelincir pada kekhilafan.

Karena Bukan suatu hal yang mustahil jika aku dan Ramdan melakukan penghianatan. Kita sama- sama manusia, punya hasrat yang kadang melenceng dari jalannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status