Mag-log in"Ennggggh sakit Mas," lenguhku dengan suara sexi yang kusengaja.
Sejenak Mas Ramdan tak menyahuti, dia hanya menggeleng-ngelengkan kepalanya sembari menepuk dahinya berkali-kali. Sepertinya dia sedang membayangkan yang tidak-tidak."Masss, bantuin berdiri dong," ucapku dengan suara manja.Mas Ramdan mengerjap. Bukannya beranjak, dia menatapku lebih lekat."Mas, bantuinn! bukan liatinn!" ucapku dengan bibir mengerucut."Eh, iya,"Mas Ramdan pun segera memegang pundakku dan menuntunku untuk berdiri."Aku jalan sendiri aja mas," ucapku seraya mendahului Mas Ramdan dengan langkah tertatih.Mas Ramdan pun segera menyusul, mempososikan diri di belakang kemudi.Ku tangkap Mas Ramdan yang mencuri-curi pandang padaku. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan ku selonjorkan kaki mulusku, hingga terpampanglah keindahan yang disukai kaum Adam. Kupastikan cepat atau lambat Mas Ramdan akan kudapatkan."Emmm...mau ke tukang urut dulu Ris?" tawar Mas Ramdan dengan masih melirik padaku."Nggak usah Mas, kasian Zahra udah nungguin kita," sahutku sambil memijit tungkak kaki.Sejujurnya aku tak benar-benar sakit, hanya saja kugunakan kesempatan dengan baik.15 menit kemudian kita sampai. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah sakit, karena jarak yang ditempuh tak begitu jauh. Aku pun menyuruh Mas Ramdan mendatangi Zahra lebih dulu, sedang diriku berjalan di belakangnya dengan berlagak tertatih-tatih."Mas ??"Bisa kudengar seruan Zahra sekalipun jarakku terpaut jauh. Dengan jelas kutangkap Zahra yang tengah mengatakan sesuatu pada Mas Ramdan. Detik selanjutnya Zahra melihat ke arahku, dia pun menghampiriku dengan setengah berlari."Kamu kenapa Ris?" tanya Zahra dengan raut cemas."Itu tuh, suamimu jalan kecepetan, jadinya aku kesandung gara-gara nyusul dia," ucapku merajuk pada Zahra."Aduuh, Mas Ramdan emang gitu... Maafin dia ya," sahut Zahra dengan rasa bersalah.Zahra pun menggandengku ke depan kamar rawat. Tampak bocah kecil sedang menangis dan Mas Ramdan yang tengah mengelus punggung si bocah."Ini namanya Adit Ris, aku tadi nemuin ibunya jadi korban tabrak lari, tanpa pikir panjang aku bawa ke sini...terus aku nyuruh kamu ke sini niatnya biar jagain Adit sementara, tapi tadi ayahnya Adit nelpon katanya udah ada di perjalanan," ucap Zahra panjang lebar.Aku manggut-manggut, selang beberapa waktu ayah bocah itu datang.•••Kesal rasanya saat harus jadi orang ketiga di antara mereka. Zahra dan Mas Ramdan yang tengah duduk di depan, membuatku gatal ingin melerai keharmonisan mereka.Bagaimana tidak, sepasang suami istri itu tengah bercanda seolah tak ada aku di sana. Menikmati kebersamaan dan mengabaikanku sendirian.Yang paling menyebalkan adalah saat Mas Ramdan meminta jatah pada Zahra dengan bahasa kiasan yang membuatku ingin turun saat itu juga."Nanti malam aku mau susu panas cap Nonya Zahra ya," ucap Mas Ramdan sembari mengerlingkan mata pada Zahra.Tentu saja aku cemburu, karena sekarang Mas Ramdan sudah kutargetkan. Tapi apalah dayaku, aku hanyalah pemirsa yang menyaksikan mereka."Lihat saja cepat atau lambat, Mas Ramdan akan kugenggam pada waktunya," ucapku dalam hati.•••"Jadi, kalian pura -pura mau merkosa gue, nah ntar kalo cowo yang gue maksud Dateng kalian lari gitu ya," ucapku pada 2 cowok bayaran itu.Malam ini aku telah merencanakan sesuatu yang besar. Aku akan menjebak Mas Ramdan ke dalam permainanku. Aku tidak mau menunggu terlalu lama, Mas Ramdan harus segera menjadi milikku.Setelah dua lelaki itu mengerti apa yang harus mereka lakukan, aku segera menelpon Mas Ramdan. Kemarin aku sudah meminta nomornya pada Zahra, dengan alasan jika Zahra tak bisa dihubungi aku akan menghubungi Mas Ramdan.Tuuut tuuuut"Hallo? Ada apa Ris?" Sapa Mas Ramdan dari seberang."M-mas, to-tolongg..." Ucapku dengan nada takut."Kenapa kamu Ris?"Bisa kutangkap respon Mas Ramdan mulai khawatir."Pergi?!! Jangan ganggu aku! Tolonggg!" teriakku seolah terkesan diganggu."Riska! Kamu di mana??, Aku akan ke sana, beritahu posisimu!" Seru Mas Ramdan yang kini benar-benar khawatir."Ja-jalan pelita Mas..." Ucapku seraya mematikan telpon.Tak lama kemudian kulihat mobil Mas Ramdan dari kejauhan, aku pun segera berakting ketakutan, sedang dua orang suruhanku mulai melakukan tugasnya dengan baik."Tolongg!! Hiks hiks tolong?!!" Ucapku seraya berjongkok dengan tangisan rekayasa."Mari kita senang-senang sayang," ucap salah satu bayaranku."Tolongg!!" Teriakku lebih kencang"Jangan takut cantik," timpal suruhanku yang lain.Bisa kurasakan ada tangan yang mulai menyentuh lenganku yang tak berlapis kain."Hei! Enyahkan tangan kotormu!" Teriak Mas Ramdan yang sudah berada di antara kami."Siapa lu? Cari mati lu?" Teriak si pemuda bayaran.Tanpa menjawab Mas Ramdan segera menyerang pemuda bayaranku.BuuggbrakkkSatu Bogeman dan satu tendangan mendarat di masing masing pemuda bayaranku.Tanpa melawan, dua orang itu segera lari, meninggalkanku yang tengah berjongkok di tepi jalan dengan menggigit jari."Riska , kamu nggak papa?" Tanya Mas Ramdan yang telah menghampiriku.Segera saja kupeluk dia , sembari menangis histeris."Mas,, aku takutt," isakku dalam pelukannya.Tanpa ku kira sebelumnya, Mas Ramdan membalas pelukanku, dan mengelus pelan punggungku. Kalau saja tak dalam keadaan seperti ini, aku yakin Mas Ramdan akan mendorongku, sayangnya Mas Ramdan Dengan mudah tertipu oleh rencanku."Aku anter kamu pulang ya?" Ucapnya dengan masih memelukku.Aku menggeleng, dan terus terisak dalam dekapannya."Udah nggak papa ada aku," ucap Mas Ramdan lembut.Dia pun menuntunku ke dalam mobilnya, membiarkan aku duduk di kursi depan agar aku merasa aman."Lain kali, jangan pulang malam," ucap Mas Ramdan di perjalanan."Dan jangan kebiasaan pake baju terbuka, tubuhmu itu menggoda kaum pria," ucap Mas Ramdan lagi.Aku tersenyum dalam hati, ternyata Mas Ramdan mengakui keindahan tubuhku."Aku nggak mau pulang Mas," ucapku dengan menunduk,"Aku takut sendirian" ucapku lagi.Mas Ramdan diam tak memberiku jawaban."Atau aku nginep di rumah kamu aja Mas, biar Zahra nemenin aku," ucapku masih memandang ke bawah."Jangan Ris, aku takut Zahra berfikir yang tidak -tidak kalau membawamu pulang,'' sahut Mas Ramdan."Tapi aku takut sendirian Mas, kejadian tadi masih terngiang," ucapku bohong."Biar aku yang temenin, tadi siang aku udah izin lembur ke Zahra,"ucap Mas Ramdan.Sejenak aku ternganga, ini di luar rencanaku, padahal tadi aku berniat tidur di rumah Zahra dan menggoda Mas Ramdan di sana. Tapi sekarang Mas Ramdan menawari diri tidur di rumahku.Apa dia tak berfikir waras? Bukankah itu berisiko? Ahh entahlah aku tak peduli jalan pikiran mas Ramdan, kuiyakan saja ucapnya."Nanti aku di ruang tamu, jadi kamu nggak usah khawatir," ucap Mas Ramdan kemudian melajukan mobil lebih cepat.“Ya Allah… apa kecurigaanku benar?”Zahra terisak dalam mobil, bahunya bergetar pelan. Pikiran kacau berputar tanpa arah, menusuk dada dengan rasa sakit yang tak sanggup ia jelaskan. Padahal Ramdan belum terbukti mengkhianatinya… tapi anting itu, tatapan Ramdan tadi, alasan yang terasa dipaksakan—semuanya bercampur menjadi badai yang menghimpit.“Bu… Anda baik-baik saja?” tanya Pak Ujang, supir tua yang sudah seperti keluarga sendiri. Suaranya lembut, penuh kekhawatiran.“Nggak apa-apa kok, Pak.” Zahra menyeka air matanya cepat-cepat, mencoba memaksa senyum yang tak berhasil. Ia menarik napas dalam, menahan gemuruh di dadanya. “Aku cuma… capek.”“Kita pulang sekarang, Bu?” tanya Pak Ujang hati-hati.“Nggak, Pak. Ke Café Mentari aja. Aku mau ketemu Riska.”Suaranya parau, namun tegas.Riska adalah sahabat terdekatnya—tempatnya bercerita, tempat ia mencari pelukan saat dunia terasa berantakan. Zahra butuh Riska sekarang. Butuh seseorang yang bisa menenangkannya… atau setidaknya membuatn
Zahra masuk ke ruangan suaminya. Di sana, Ramdan sudah duduk di kursi kerjanya, tersenyum begitu melihatnya muncul di ambang pintu.“Sayang, tumben banget datang?” ucap Ramdan sambil berdiri dan menghampirinya.“Iya, lagi pengin aja ke sini. Kayaknya sudah lama aku nggak mampir ke kantor,” jawab Zahra.Ramdan mengangguk, lalu keduanya berjalan menuju sofa, duduk berdampingan.“Kok tumben nggak jemput aku di lobi? Biasanya kamu turun,” tanya Zahra dengan nada penasaran yang halus, tapi cukup membuat Ramdan menegang sepersekian detik.“Eh—itu… aku lagi nyelesain laporan. Tinggal sedikit lagi tadi. Pas mau nyusul kamu, eh kamu keburu naik,” sahut Ramdan, terdengar agak tergesa.Zahra mengangguk, mencoba menerima alasan itu. Ia membuka tas dan mengeluarkan kotak bekal.“Aku masak ini buat kamu. Buat makan siang.”“Makan siang kan masih dua jam lagi, Yang.”“Ya nggak apa-apa. Biar kamu nggak usah makan di luar.”Ramdan tersenyum kecil. “Makasih, Sayang.”“Ya sudah, kamu lanjutin kerja. Aku
Ramdan membeku saat Riska mendekat. Rok mini berpadu tank top yang dikenakannya benar-benar membuat Riska terlihat terlalu indah untuk diabaikan. Kini jarak mereka hanya tinggal beberapa senti.Riska menatap intens ke dalam netra Ramdan, menguncinya dengan gaya yang jelas menggoda.“Mas, kok nggak kangen aku?” ucap Riska, suaranya rendah sebelum ia memulai mencium Ramdan lebih dulu.Ramdan tak mampu lagi berpikir apa pun. Ia terbuai oleh godaan Riska, membuatnya mengimbangi tempo ciuman yang Riska berikan.“Mmmh…”Desahan Riska membuat sisi liar Ramdan bangkit. Dengan gerakan refleks, ia membopong tubuh Riska ke sofa, menelantangkannya, lalu melanjutkan permainan panas mereka—Kringgg…Di tengah adegan yang memanas itu, ponsel Ramdan berbunyi. Keduanya yang sedang tenggelam dalam suasana intens sontak menjeda aktivitas.“Mas… lanjutin dulu…” ucap Riska terengah.“Itu telepon dari Zahra,” jawab Ramdan, kemudian melepaskan diri dari Riska.“Tapi aku hampir…” Riska menahan kata-katanya,
Hari ini Riska bangun lebih pagi dari biasanya. Ia segera bersiap dan berangkat ke kafe tempatnya bekerja.“Saya kira kamu bakal bolos lagi,” sindir Pak Romi ketika Riska tiba.“Kalau Bapak nggak suka, ya pecat saja,” jawab Riska tanpa menoleh.Pak Romi mendelik tajam. Sejak awal ia memang menyukai karakter Riska: ceria, aktif, dan menarik. Saat Riska masih rajin bekerja, pengunjung kafe tak pernah sepi. Namun belakangan, setelah Riska sering izin, pelanggan pun ikut menghilang. Pak Romi merasa rugi besar.“Kamu pikir saya nggak berani mec—” belum selesai ia bicara, Riska memotong.“Ya sudah pecat saja saya sekarang.”Nada Riska penuh muak. Ia lelah pada bosnya yang selalu mengomel seolah kehadirannya tak punya arti. Padahal setiap izin, Zahra selalu mengganti kerugian pada pihak kafe.“Baik!” bentak Pak Romi. “Mulai hari ini jangan pernah datang lagi. Kamu saya pecat!”Riska mengangguk acuh. Ia melepas celemek yang baru saja ia kenakan, lalu melemparnya ke arah bosnya.“Sekarang mana
Ramdan mengecupi Zahra tanpa henti sambil membuka pakaian yang dikenakan sang istri. Kini Zahra sudah tak mengenakan selembar pun kain. Sejenak, Ramdan terdiam, memandangi tubuh istrinya—spontan bayangan Riska terlintas di pikirannya."Ramdan, apa yang kamu pikirkan!" gerutunya dalam hati.Zahra yang kini tanpa busana segera menarik selimut, rasa malu menyergap meski di hadapan suaminya sendiri. Selama lima tahun pernikahan mereka, Zahra masih sering merasa tak percaya diri saat tubuhnya terbuka tanpa helai kain, takut kalau bentuk tubuhnya tak lagi seindah dulu."Kenapa ditutup, sayang?" tanya Ramdan sambil menyingkap selimut dan mulai menciumi setiap inci tubuh Zahra.Namun malam ini terasa berbeda. Ritme yang biasanya penuh keintiman dan sabar terasa tergesa. Bayangan Riska terus mengusik benaknya. Semalam, dia baru saja melewati sebuah adegan panas bersama wanita itu—sesuatu yang luar biasa berani, bahkan untuk dirinya."Hisap lebih kuat, Mas," suara itu terdengar jelas di telinga
Ceklek.Pintu terbuka. Seketika Ramdan tertegun, tubuhnya mematung saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu.“Riska?”...Siang tadi, sepulang dari taman kota, Riska tiba-tiba mendapat pesan dari Ramdan. Sayangnya, bukan kabar gembira, melainkan pembatalan makan malam yang sudah direncanakan.“Dih, enak aja semaunya sendiri. Pasti Mas Ramdan mau makan malam sama Zahra,” gumam Riska kesal.Meski hanya istri kedua, Riska merasa dirinya juga berhak atas Ramdan. Apalagi, Ramdan sudah lebih dulu mengajaknya. Sekarang, setelah semua bahan makanan ia beli, Ramdan seenaknya membatalkan begitu saja.Riska menutup ponsel tanpa membalas. Ia lalu meletakkan semua bahan di kulkas, kemudian memesan taksi online.“Aku bakal bikin kejutan buat kamu, Mas,” seringainya penuh rencana....Dan di sinilah Riska sekarang, berdiri di depan pintu kediaman keluarga Ramdan.“Eh, Mas Ramdan! Zahra mana, Mas?” sapa Riska ceria.“Kamu ngapain ke sini?” bisik Ramdan tak suka.Riska tak menanggapi. Ia mendoro







