Selesai marah-marah di tempat praktek Dokter Lucky. Sisca melanjutkan perjalanan menggunakan mobil hadiah sang suami, menuju rumah sakit.
Selama dua tahun menikah, entah barang apa yang tidak dibelikan oleh Barta untuk hadiah anniversary dan ulang tahun. Semua Sisca dapatkan, meskipun harganya tidak semahal barang-barang milik Istri Pejabat. Namun, mendapatkan apresiasi seperti itu sudah cukup membuat Sisca merasa beruntung memiliki suami sebaik Barta. Dari semua kelebihan Barta, hanya satu kekurangan lelaki tampan itu, penyakit reproduksi. "Mas, aku udah ada di parkiran. Aku bawa makan siang untuk kamu," ucap Sisca di dalam telepon. "Makasih By, aku jemput kamu di parkiran ya. Jangan turun dari mobil dulu. Cuaca hari ini panas, nanti kulit kamu rusak." "Apaan sih Mas! Lebay banget. Kamu lupa ya kalau aku ini cuma gadis Desa yang kebetulan dinikahin sama Dokter dari Kota? Jangan berlebihan deh, biasanya di kampung, jam segini tuh aku nyuci baju di sungai." Barta terkekeh pelan. "Itu 'kan dulu, By. Sebelum kamu nikah sama aku. Sekarang setelah kita nikah, aku ngga mau kamu kepanasan. Apalagi kamu mau bawain makan siang buat suami. Harusnya aku yang nyempetin pulang ke rumah." "Ck!" Sisca berdecak sambil membuka sabuk pengaman di pinggang. "Kamu 'kan sibuk, gimana mau pulang ke rumah? Udah tugas aku nganter makan siang buat kamu. Lagian aku 'kan ngga ada kerjaan di rumah." "Makasih banyak, By. Love you," ucap Barta sambil mencium ponsel. "Love you to, Mas." Sisca bergegas turun dari mobil. Ia mengambil rantang yang diletakkan di jok sebelah lalu membuka pintu. Deg! Sisca terhenyak kaget melihat suaminya sudah berdiri di luar pintu mobil sambil tersenyum manis. "Mas, kamu .... " Cup! Barta mendaratkan kecupan lembut di kening sang istri. "Makan di mobil aja ya." Ia menutup pintu lalu berlari memutari mobil dan masuk. "Kenapa ngga makan di ruangan kamu aja, Mas?" tanya Sisca, bingung. "Banyak pasien baru masuk. Sekarang lagi musim virus flu dan demam. Aku takut kondisi tubuh kamu lagi kurang fit, nanti kamu ketularan." Sisca mengangguk paham. Sebenarnya sejak tadi ia sudah melihat banyak petugas medis yang berlalu lalang menurunkan pasien dari mobil ambulans. Pantas saja Barta tidak memakai jas Dokter, hanya menggunakan kemeja putih dan celana hitam panjang. Sepertinya Dokter Bedah itu juga sudah membersihkan diri sebelum masuk ke mobil. "Kamu masak apa, By?" tanya Barta sambil membuka rantang yang dibawa Sisca satu per satu. "Nanti juga kamu tahu, ngapain nanya." Barta menyeringai. "Aku mau dengar dari mulut Istri aku sendiri, By." "Manja banget sih suami aku." Sisca membantu membuka tiga rantang yang dibawa. "Aku masak rendang sama sayur buncis kesukaan kamu. Ada buah juga dan susu biar stamina kamu tetap terjaga. Kamu 'kan sering lembur." Barta tersenyum sambil menatap istrinya. Makanan di depannya teralihkan tidak menarik lagi. Semua tidak menarik lagi saat ada Sisca di depan mata. "Makasih Istri Solehaku," puji Barta. Sisca tersenyum kecil. "Aku belum pantas dapat predikat Istri Soleha, Mas. Kurang pantas aja kedengarannya. Aku belum sesempurna itu. Masih belajar." "Tapi aku yakin kamu bisa menjadi Istri Soleha, By. Aku bimbing kamu, ya." Barta menggenggam jemari lentik Sisca, erat. "Makasih, Mas," ucap Sisca. Ia kembali membuka kotak makan siang untuk suaminya. "Makan yang banyak, ya." Barta mengangguk, mulai menikmati makan siang yang dibawa istri Kesayangan. "Ngomong-ngomong soal obat itu, kamu ngga usah mempermasalahkan lagi ya. Obatnya lagi aku coba tawarin ke teman dekat aku, katanya dia punya saudara yang memiliki masalah reproduksi juga," ujar Barta tiba-tiba. Sisca tertegun, mendadak gugup mendengar ucapan sang suami. "Kata teman aku, saudaranya itu pasti mau, meskipun aku ngga jual obatnya dengan harga yang sama, tapi lumayan lah daripada obatnya kita buang," lanjut Barta. Sisca bergeming, reflek menundukkan kepala sambil memainkan tutup rantang. Ia kembali mengingat soal Dokter Lucky tadi, yang meminta Barta datang ke tempat praktek untuk membicarakan soal obat tersebut. "Kenapa, By? Kok kamu diam?" tanya Barta, menatap bingung. "Kamu sakit?" Sisca menggeleng cepat. "Ngga Mas, aku ngga apa-apa," dustanya, tersenyum canggung. "Ngga usah mempermasalahkan uang itu ya. Aku tahu kamu kecewa sama aku karena aku beli tanpa ijin kamu, tapi aku melakukan itu demi kebahagiaan rumah tangga kita. Meskipun akhirnya obat itu ngga boleh aku minum." "Ngga apa-apa Mas, aku udah ngga mempermasalahkan soal itu lagi kok. Aku tahu niat kamu baik." Sisca memegang lengan suaminya. Dring! Suara deringan ponsel terdengar. Keduanya saling tatap sambil mendengar suara ponsel siapa yang berbunyi. "Kayaknya hape kamu deh, Mas," kata Sisca, melihat cahaya yang menyala dari ponsel di saku kemeja suaminya. Barta menundukkan kepala, merasakan benda itu bergetar. "Iya hape aku." Ia mengeluarkan ponsel dari saku dan melihat satu panggilan dari ... 'Dokter Lucky.' "Siapa Mas?" tanya Sisca. "Dokter Lucky," jawab Barta, menerima telepon. Sisca membulatkan kedua matanya lebar~Sisca menunggu balasan chat dari Dokter Lucky, namun pesannya hanya dibaca, tidak dibalas.Kesal! Sisca menghubungi nomor ponsel itu, namun tidak diangkat oleh sang Dokter. "Darimana dia tahu nomor hape aku?" gumam Sisca mengingat-ingat.Sekian menit berdiri di depan pintu rumah sambil mengingat tentang nomor ponselnya, Sisca mengingat darimana Dokter Lucky mendapatkan nomor ponselnya.Saat berbicara dengan petugas resepsionis di tempat praktek tadi, ia diminta untuk menuliskan nomor ponsel dan data diri. "Apa maksudnya ngirim chat itu?" Sisca membaca kembali pesan yang dikirim oleh Dokter Lucky.Beberapa kali ia baca, tetap saja tidak menemukan jawaban kenapa Lucky mengatakan itu.Malas meladeni kegilaan Dokter Lucky, Sisca mengabaikan pesan tersebut lalu masuk ke dalam rumah.Dring! Suara ponselnya berdering, Sisca menerima telepon itu tanpa melihat siapa yang menghubungi. "Mau
Wajah Sisca terlihat ketakutan, tapi penasaran. Ia pun menguping pembicaraan suaminya dengan Dokter Lucky."Halo. Selamat siang Dokter, ada apa menghubungi saya di jam makan siang?" tanya Barta dengan nada ramah. "Selamat siang Dokter Barta, maaf menggangu waktu makan siang Anda. Kalau boleh tahu, apa Anda punya waktu untuk menemui saya sore ini?"Barta mengangkat kedua alisnya. Pandang matanya beralih pada jam di atas dasbor mobil. Biasanya dia pulang pukul lima sore, kalau tidak lembur. Jika hari ini dia diminta lembur, kemungkinan jam pulangnya lebih malam."Bagaimana Dok? Bisa?" tanya Dokter Lucky, menunggu jawaban. "Hmm, kalau sore sekitar jam berapa ya Dok?" tanya Barta. Seingatnya, praktek Dokter Lucky tutup jam lima sore. "Jam empat, atau jam lima pas, bisa Dok?" Barta menggaruk alis yang tidak gatal. "Kalau jam empat saya tidak bisa Dokter. Kalau jam lima pas juga sepertinya tidak bisa karena saya pulang sekitar jam lima sore.""Oh begitu, oke .... ""Maaf sebelumnya, Do
Selesai marah-marah di tempat praktek Dokter Lucky. Sisca melanjutkan perjalanan menggunakan mobil hadiah sang suami, menuju rumah sakit.Selama dua tahun menikah, entah barang apa yang tidak dibelikan oleh Barta untuk hadiah anniversary dan ulang tahun. Semua Sisca dapatkan, meskipun harganya tidak semahal barang-barang milik Istri Pejabat. Namun, mendapatkan apresiasi seperti itu sudah cukup membuat Sisca merasa beruntung memiliki suami sebaik Barta. Dari semua kelebihan Barta, hanya satu kekurangan lelaki tampan itu, penyakit reproduksi."Mas, aku udah ada di parkiran. Aku bawa makan siang untuk kamu," ucap Sisca di dalam telepon."Makasih By, aku jemput kamu di parkiran ya. Jangan turun dari mobil dulu. Cuaca hari ini panas, nanti kulit kamu rusak.""Apaan sih Mas! Lebay banget. Kamu lupa ya kalau aku ini cuma gadis Desa yang kebetulan dinikahin sama Dokter dari Kota? Jangan berlebihan deh, biasanya di kampung, jam segini tuh aku nyuci baju di sungai."Barta terkekeh pelan. "Itu
"Bagaimana, Bu Sisca? Apa Anda yakin ingin melaporkan saya ke Polisi dengan tuduhan tanpa bukti seperti itu? Saya tunggu laporan Anda," tantang Dokter Lucky sambil tersenyum kecil. Ia menatap wajah Sisca yang pucat. Wanita itu hanya diam, kehabisan kata-kata mendengar tantangan sang Dokter.Bukan Lucky yang takut, justru malah sebaliknya ... nyali Sisca menciut.Dokter Lucky menghela napas panjang, masih menyunggingkan senyuman manis dengan kedua tangan bertumpu di atas meja sambil menopang dagunya.Ia menatap Sisca tanpa berkedip. Entah mengapa, semakin ditatap wajah Sisca terlihat semakin cantik dan memesona. Beruntung laki-laki seperti Barta memiliki istri spek bidadari seperti Sisca, pikir Lucky."Saya hanya menjalankan tugas saya sebagai Dokter. Tidak ada yang salah dengan hal itu," lanjut Lucky.Wanita yang terus ditatap Dokter tampan itu, menarik napas panjang. Sadar apa yang dilakukan akan menjadi bumerang untuk rumah tangganya.Kalau dia menuruti ego, bukan tidak mungkin Ba
Seperti keinginan sebelumnya, Sisca akan mengambil uang itu dari Dokter Lucky. Berbekal alamat yang dia dapat dari amplop berisi kertas persetujuan, Sisca mendatangi praktek Dokter andrologi itu. Sebenarnya Dokter Lucky sudah dua tahun ini menangani Barta, tepatnya setelah Barta menikahi Sisca. Biasanya obat dari Lucky tidak terlalu mahal dan tidak memiliki efek samping yang berat sampai kematian. Namun sekarang, obat yang diberikan justru membuat Sisca overthinking, takut suaminya pindah alam. "Maaf Bu, Anda sedang mencari siapa?" tanya petugas resepsionis pada Sisca yang datang di jam makan siang.Ya, sebelum mengantar makan siang untuk suaminya di rumah sakit umum, Sisca menyempatkan diri datang ke tempat praktek Dokter Lucky. Biasanya Barta hanya datang seorang diri, dengan alasan pasien di sana hanya laki-laki. Takut Sisca menjadi pusat perhatian. "Saya ingin bertemu dengan Dokter Lucky! Saya Istri dari salah satu pasien Dokter penipu itu!" kata Sisca dengan nada angkuh dan
"Kamu beli obat itu? Harganya dua puluh juta?"Sisca melepas pelukan setelah mendengar pengakuan sang suami tentang pembelian obat kuat itu.Ia menatap suaminya dengan sorot mata kecewa berat.Bukan hanya karena nominalnya sama seperti uang belanja yang diberikan Barta untuknya setiap bulan, tetapi soal kejujuran sang suami.Semalam Barta hanya menjelaskan ingin membeli obat kuat yang direkomendasikan oleh Dokter Lucky, tanpa memberitahu berapa harga obat itu. Andai dia tahu dari awal, pasti dia tidak akan mengijinkan suaminya datang ke sana. Apalagi setelah melihat efek samping obat yang bisa membunuh tanpa menyentuh. "Dua puluh juta itu duit belanja aku yang kamu kasih untuk sebulan, Mas," engah Sisca. Kedua manik matanya berkaca-kaca. Kesal, kecewa, sedih, bercampur menjadi satu seperti adonan kue. "Maaf, By. Aku cuma mau sembuh dan aku mau menjadi suami yang bisa menafkahi kamu seperti suami pada umumnya." Barta merosot turun dari sofa, berlutut di depan kedua kaki istrinya.Me