"Hoekkk."
Sampai dirumah sakit pun Vero masih memuntahkan makanannya dari dalam perut. Ini semua efek Stefany yang tadi terus memukul punggung belakangnya. Gila sadis juga itu cewek, batin Vero.
"Ayang, bantuin. Perut aku masih nggak enak ini." Vero berteriak dari dalam kamar mandi ruang inapnya.
"Hoekk."
"Iyuh, lo jangan kenceng-kenceng. Alay tahu nggak! Kaya dibuat-buat muntah aja!" kesal Stefany. Meski begitu, Stefany tetap melangkahkan kakinya menuju wastafel yang ada di kamar mandi, disana ada Vero yang menelungkupkan kepala di lingkaran wastafel.
"Mau muntah lagi nggak?" tanya Stefany galak, Vero menggelengkan kepala lemah. Takut kalau-kalau lagi muntah malah ditoyor kepalanya oleh Stefany.
"Bantuin ke kasur Ayang." Vero merengek, menarik-narik kemeja Stefany. Tubuhnya ia sandarkan ke wastafel untuk mendukung akting lemah dihadapan gadis yang ia sukai.
Sabar Stef, sabar! Jangan sampai masuk penjara karena ancaman pangeran kodok ini, rapal Stefany yang sebenarnya ingin sekali mencekik batang leher Vero saat ini juga.
Stefany memapah tubuh Vero keluar. Dengan hati-hati ia membawa tubuh laki-laki yang sepertinya tengah melancarkan modus untuk menempel pada tubuhnya.
"Baringin Ayang."
"Allahuakbar, jang..." amuk Stefany namun terpotong oleh suara debuman pintu yang dibuka.
Brakk..
Stefany terlonjak saat pintu ruang perawatan Vero membentur tembok, "Vero anak Daddy kenapa?" tanya, seseorang dengan panik, membuat Stefany bergidik. Sebenarnya Stefany mual kala laki-laki tampan yang membuka pintu berlari lalu memeluk tubuh Vero. Adegan dramatis itu mengaduk isi perut Stefany.
"Huaaa Daddy, Vero diperkosa Daddy."
Mata Stefany membeliak. Di perkosa? Gila saja.
"What? Apa? Siapa yang perkosa anak Daddy? Siapa?" tanya Ray melepaskan pelukannya ditubuh Vero.
"Dia Daddy." tunjuk Vero ke arah Stefany.
Plak...
"Auh, Mommy. Sakit Abangnya." ringis Vero saat Mellia memukul kepalanya.
"Kupret, mana ada dia perkosa kamu, yang ada kamu perkosa dia." amuk Mellia galak, membuat Ray mendelik tajam ke arah sang istri. Beraninya sang istri menganiaya putra kesayangannya.
"Please Daddy, jangan belain Abang yang otaknya separo." bela Vallery yang tidak terima sang Mommy ditatap horor oleh sang Daddy.
"Kamu hamilin anak Saya?" tanya Mellia galak ke arah Stefany yang tengah memakan buah yang memang disediakan oleh pihak rumah sakit.
Stefany tersedak. Memang Vero bisa hamil, pikir gadis itu.
"Sorry, maksud saya anak saya hamilin kamu?" revisi, Mellia sadar jika kalimat yang ia utarakan salah.
"Amit-amit Tante, maaf Saya permisi dulu. Saya masih ada kelas nanti." pamit Stefany. Sebelumnya ia mengambil tiga jenis buah berbeda yang ia masukkan ke dalam tas ranselnya sebelum melangkahkan kaki untuk keluar dari kamar Vero.
"Huaaa Daddy, aku dihamilin dia, Daddy." jerit Vero saat melihat Stefany melangkahkan kaki pergi meninggalkan dirinya. Ia tak rela jika Stefany tak bertanggung jawab atas insiden masuknya dia ke rumah sakit
"Stefffanyyyy, aku masih mual Ayaaaang."
"Sssttt.. Vero, tenang, Sayang nanti anak kamu kenapa-napa." Ray mencoba menenangkan Vero. Jurus itu justru membuat istri dan anak perempuannya saling berpelukan. Menyayangkan dua manusia gila yang menjadi bagian hidup mereka.
"Huwaaa, Daddy pokoknya harus bantuin Vero dapetin dia, ya."
"Iya, Ver nanti Daddy bantuin."
"Pokoknya apapun caranya harus bantuin Vero ya Daddy. Vero tuh nggak like di tolak gini. Apa kata dunia." racau anak itu pada sang Daddy.
"Iya, Ver."
"Daddy harus hamilin dia biar dia jadi punya Vero."
"Iy.."
Plakk!
"Raynald Husodo!" jerit Mellia murka setelah memukul Ray.
"Nggak bisa Ver, Daddy takut diceraikan Mommy kamu." ujar, Ray. Laki-laki itu memegangi kepalanya yang terasa berdenyut.
"Yaudah, Vero aja yang hamilin ya Dad."
"Boleh."
Yes, dalam hati Vero memekik senang karena diizinkan oleh Daddy nya untuk menghamili Stefany.
"Alvero Husodo! Mommy bunuh kamu sampai iya!"
Vero mengerucutkan bibir, sebal. Ia merubah posisinya membelakangi keluarga, lalu membaringkan tubuh ke ranjang pertanda bahwa ia sedang ngambek pada sang Mommy yang tak memberikan restu.
"Pokoknya, Vero mau ngambek. Titik!"
***
Stefany bergidik saat mengingat kejadian siang tadi di rumah sakit. Amit-amit sama kelakuan si Vero; Pangeran Husodo itu. Bisa-bisanya jadi kaya, padahal orang kurang otak begitu.
"Lah ngapain gue mikirin dedengkot satu itu." ujar Stefany bermonolog sembari melempar puntung rokoknya ke bawah lantai bawah.
"Ayang, kebiasan kalau lempar puntung rokok. Ayang mau aku hukum?" teriak Vero berkacak pinggang di lantai bawah yang dijadikan tempat parkir kos Stefany.
"Mau apa lo?" tanya Stefany dari atas balkon.
"Bawain coklat, kan tadi Babang udah bilang mau bawain coklat." Vero menggoyangkan kantong plastik di tangannya. Menunjukkan pada Stefany jika dia benar membawakan coklat yang ia janjikan.
"Gue mau tidur, balik deh sana."
"Apa? Ayang ajakin aku tidur?" teriak Vero membuat anak-anak kos yang berada diluar memperhatikan mereka.
"Mati ae sono lo." kesal, Stefany.
"Jangan! Nanti yang kelonin Ayang siapa?"
Ya Allah bisa gila gue, jerit hati Stefany.
"Ayang, jadi bobo barengnya? Abang perlu beli karet nggak?" tanya, Vero ambigu.
"Gue mau tidur, balik deh sana."
Suara tawa menggelegar saat orang-orang yang tadinya berbisik membicarakan Vero dan Stefany, melihat tampang polos Vero yang kelewat menggemaskan.
"Lo mau gue karetin apanya? Mulut laknat lo?" hardik Stefany sambil melotot tajam ke arah Vero yang justru duduk santai di dekat tanaman kos Stefany.
Stefany menghembuskan nafas, ia meraih kotak rokoknya yang ia letakkan di atas meja. Menyalakan satu batang rokok, dengan tangan yang bertumpu di besi pembatas balkon kamarnya. Mata mereka saling menyorot satu sama lain.
"Ayang, udah rokoknya. Kata Daddy rokok buat cewek nggak baik loh." kata Vero mengajak Stefany komunikasi. Emang dikira Stefany sesosok makhluk di salah satu reality hantu apa, pake diajak komunikasi segala.
Tidak diperhatikan, Vero kembali berujar, "Mommy aja uang jajannya dipotong sama Daddy karena ketahuan ngerokok, kamu mau lima milyar kamu aku potong Ayang?" teriak Vero pada akhirnya gemas karena mulut Stefany hanya digunakan untuk mangap, membuang asap rokok yang ia hisap.
Lima milyar, gundulmu.
"Ayang, asep itu nggak baik." tidak ada jawaban, Stefany masih asik dengan rokok ditangannya dibandingkan mengurusi Vero yang tengah meracau sembari membalikkan tubuh, mencabik-cabik tumbuhan yang tadi berada di belakangnya. Kesal, laki-laki muda itu mengalihkan emosinya dengan menghancurkan tanaman dibandingkan lari ke atas kamar wanita yang diincarnya itu. Bisa mendesah nanti Stefany kalau Vero lari ke kamar.
Eh!
Astaga,
Vero khilaf. Maafin!
ya Allah otak gue, kenapa kaya Daddy kalau lagi pas deket Mommy sih, batin Vero.
Kesel, kesel. Kan gue tajir nih, kok si Stefany nggak mau sama gue sih.
Hih, bulu kuduk gue.
"Astaga!" pekik Vero kaget saat mendapati teman satu kos Stefany memperhatikan tepat disampingnya.
"Weh, cabe-cabean! Ngapain lo keluar kamar. Masuk sana, gue alergi cabe busuk." hardik Vero kencang membuat Stefany terkekeh diatas.
Lucu, batin Stefany melihat tingkah Vero.
"Ke kamar gue aja, gue juga ada karet." Stefany semakin mencondongkan tubuhnya, ia ingin tahu reaksi Vero jika ditawari ikan segar macam Anin.
Stefany tidak heran, jika Anin teman kosnya menaruh hati pada Vero. Sejak kedatangan laki-laki itu di kos, Anin yang dulu pendiam sedikit bertingkah aneh, jika ada Vero datang. Terlebih gadis itu suka sekali memakai pakaian terbuka sekarang.
"Ayang, ikan cue ini ngapain. Hih, geli. Gigi lo tuh ada lipstiknya." teriak Vero mendorong tubuh Anin membuat Stefany terbahak-bahak melihat Vero yang sepertinya anti dengan gadis itu.
"Naik, sini." teriak Stefany membuat mata Vero berbinar, senang. Rejeki nggak mungkin ditolak kan? Dosa!
"Bener boleh? Nggak mau di dorong dari balkon lagi kan?" Stefany menggelengkan kepala, membuat Vero melompat saking senangnya.
Baru anak dari Ray Husodo itu akan berlari menuju tangga yang berada di dekat kamar Anin, langkah kaki Vero terhenti.
"Verooo, Verooo, ayo pulang Daddy kamu marah-marah ini. Cepetan weh."
Axel sialan!
Daddy Kangcut!
"Ver cepetan, lo jangan bikin gue kena semprot Tante Mel ya. Ayo balik."
"Abang Axel." rengek Vero, dengan gaya andalannya. Mengguncangkan tangan Axel yang kini ada dihadapan anak itu. Axel menggeleng cepat, "No.. No, kata bokap lo kalau gue bisa bawa lo balik, gue boleh liat lo di rukiyah."
Ingin ku berkata kasar, batin Vero geram. "Ayang, nggak usah ikut campur ini urusan laki-laki. Papah kerja dulu ya, nanti lima milyarnya Papa transfer. Mama ngrokok ngopi aja, urusan uang, Papa yang jamin."
"Lah, tuh bocah ngomong apa yak?" decak Stefany tak mengerti kemana arah pembicaraan Vero.
"Axel, ayo! Kerjaan udah menunggu kita." tarik Vero, membuat Axel mengumpat dalam hati. Sedangkan Stefany membuka mulutnya tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan.
"Sarap ya tuh bocah." gumam Stefany sembari menggelengkan kepalanya, takjub.
"Huaaa, padahal gue bentar lagi bisa masuk kamar dia huaaaaa." teriak Vero menghentakkan kakinya di dalam mobil.
"Axel ayo cepetan, gue mau protes ke Daddy."
Blitz kamera para wartawan langsung bermunculan menyambut kedatangan tiga keluarga besar yang memasuki ballroom hotel milik salah satunya. Para wartawan seakan berlomba untuk mengambil gambar dari tempat mereka. Mengabadikan sebanyak-banyaknya momen langka yang baru saja tercipta.Husodo, Darmawan dan Dirgantara– Ketiga nama itu terlalu besar untuk dilewatkan. Kapan lagi mereka bisa menangkap dalam satu acara yang memang ditujukan untuk ketiganya.Malam ini, pesta akbar digelar untuk memperkenalkan pasangan muda yang resmi bergabung pada ketiganya. Memamerkan ikatan erat yang terjalin tidak hanya sebagai rekanan semata, melainkan sebagai keluarga besar utuh yang kelak tak dapat dipisahkan oleh apapun– termasuk itu maut. Katakanlah, Husodo pemenang dari segalanya. Keluarga bertamengkan baja berlapiskan emas tersebut mendapatkan menantu spektakuler– berasalkan putri-putri yang kekayaannya bahkan sebanding dengan milik mereka. Ini merupakan durian runtuh yang nilainya tidak terkira mesk
“Anak kesayangan Papa, mentang-mentang udah jadi bagian Husodo nggak pernah sekali-kalinya nengokin!” Melihat Princess berada di ruang keluarga rumahnya– Justine yang baru saja pulang dari kantor langsung melancarkan sindiran keras. Sebagai ayah, hatinya terluka. Putrinya seakan lupa jika dia memiliki orang tua setelah menikah. Jujur Justin kecewa, tapi dirinya juga tak dapat melakukan apa-apa. Jika saja bisa– Justine ingin protes. Menggerakkan massa untuk demo besar-besaran di depan rumah Vero. Berorasi agar Keluarga Husodo mau mengembalikan putri kesayangannya. Terdengar gila memang– Namun begitulah adanya. Justine ingin membuat keributan supaya putrinya di depak dan kembali padanya. Ia belum siap kehilangan Princess. Rasanya baru kemarin putrinya terlahir ke dunia.Seharusnya Justine telah terbiasa dengan alpanya Princess dari kehidupannya. Hampir empat tahun lamanya Princess tinggal memisahkan diri, memilih apartemen sebagai tempat bernaung. Namun kini kasusnya berbeda. Raga dan
“Jesseeeen!! Musuh bebuyutan gue!!” Mian berjalan cepat, ia menangkap pergelangan tangan Princess. “You are a pregnant woman! Nggak usah lari-lari. Jessen nggak akan kemana-mana!” Peringat Mian dengan wajahnya yang memerah.“Sorry..” Lirih Princess– menyesal karena tak mengingat keadaannya. “Thank you for reminding me, Buy.”“It’s okay. Jangan diulangi. Sini gandengan aja turunnya.” Mian menyatukan tangan mereka dalam genggaman. Ia tidak bisa memarahi Princess karena istrinya terlalu excited setelah bangun tidur. Ketika pertama kali membuka mata– Princess mencari-cari adiknya. Mungkin efek pemberitaan yang Oma Buyutnya sampaikan. Semalam Princess dan Marchellia diantarkan langsung oleh Marchellino. Keduanya terlelap begitu damai, sampai-sampai tak terusik pada pergerakannya dengan Jessen yang memindahkan tubuh mereka.“Sarapan Ces.. Papi denger kamu hari ini ada jadwal bimbingan? Isi tenaga dulu.” Ucap Vero sembari memindahkan sayuran ke piring Marchellia, “harus dimakan. Untuk keseh
Sudah diputuskan, lima persen saham Darmawan diakuisisi oleh Husodo. Saham itu diberikan secara khusus beratasnamakan Jessen Husodo sebagai pemilik saham yang sah. Saham tersebut didapatkan dari milik Ardira Darmawan yang mempunyai lebih dari dua puluh persen saham di perusahaan suaminya. Meski berita resmi dan berkas perpindahan belum diselesaikan secara legal– keluarga besar Darmawan telah mengetahui bergulirnya saham tersebut ke tangan Jessen. “Pilihan yang sangat baik Bu Dira.. Saya mengapresiasi pengorbanan Ibu untuk cucu-cucu kita.” Ucap Mellia. Michell yang mengantarkan Mamanya, memainkan kaki. Mamanya sedang diberikan lawan yang tangguh dalam bermain peran kehidupan. Baru kali ini Michell melihat Mamanya kalah selain dari Mami istri kakaknya.“Di keluarga Darmawan pantang hukumnya menceraikan atau diceraikan oleh pasangan, Merlliana Haryo. Sesuatu yang dipersatukan Tuhan, tidak sepantasnya dipisahkan manusia. Terlebih dalam kasus ini, anak dan cucu saya memang keterlaluan. M
Jessen terengah. Dadanya naik turun karena napas yang tak berjalan mulus keluar dari paru-parunya. Pria muda yang melarikan diri dari jerat saudara, papi dan sahabatnya tersebut mendudukan diri pada sebuah pohon besar dipinggir lapangan bola. Jessen merasa telah berlari sangat jauh, jadi kemungkinan untuk ditangkap sangatlah tipis.“Tega bener mereka,” hela Jessen sembari meluruskan kaki-kakinya. Kepalanya mengadah, bersandar pada batang pohon dengan mata terpejam.Tidak.. Jessen tak mau pernikahannya hancur. Sekuat hati ia memaklumi tingkah Papi dan Abang Marchellia. Menahan letupan amarah yang kadang singgah karena perkataan menjatuhkan mereka. Ia tidak ingin usahanya sia-sia.Jessen sendiri bukannya tidak mengetahui jika kata-kata sinis yang kerap kali ditujukan padanya merupakan bentuk ketidaksukaan mereka. Jessen mengetahuinya. Ia juga memiliki perasaan sama seperti kebanyakan orang. Terlebih mereka menunjukkannya tanpa aling-aling— tidak ditutup-tutupi atau diperhalus. Mereka m
“Kedainya masih lurus lagi Pi. Belokan pertama ke kanan,” Mian memberikan arahan kepada Vero. Mereka berniat untuk menjemput Jessen setelah mengetahui keberadaan anak itu dari balasan pesan Dodit.“Ini kalian seriusan kenapa kalau cari basecamp ngumpul! Nggak habis thinking Papi.” Omel Vero. Ia mengenal baik lingkungan yang sedang mereka lalui. Vero sendiri tidak akan pernah melupakan jalanan menuju indekos yang sempat ia tinggali. “Ini area kos-kosan, Yan! Papi belum pernah liat kedai bintang lima juga di area ini.”“Nggak ada yang namanya kedai berbintang, Papi. Ini warung yang sempet Papi liat pas VCall-an sama Jess.” Terang Mian agar Vero tidak salah paham kemana tujuan mereka yang sebenarnya. Papinya yang kasta bangsawan tidak boleh terkejut karena itu akan menggagalkan misi mereka untuk ke rumah Opa Ray.“Kalian kebanyakan ngumpul sama di Dodit, Dodit itu! Begini jadinya.” Vero melirik gerbang rumah berlantai dua di sisi kanan yang baru saja ia lewati. Pria itu tersenyum, ‘kosan