"Wooo, Uwoo! Karmilooong... Wooo, Uwoooh, Karmilooong!"
Ray Husodo— Daddy Vero, menutup telinganya saat suara sang putra mengalun indah bagai petir ditengah teriknya sinar matahari Jakarta.
"Karrr-mi-loooong, Wooooooo-Uwwoooo!"
"Mommy, itu si Kakak kenapa mulutnya kaya petasan banting?" tanya Ray yang baru saja bangun dari tidur lelapnya.
"Abaaaaaang Veroooo nyanyinya, Ya Allah! Mommy sakit kuping nih." teriak Mellia membuat adik perempuan Vero satu-satunya juga ikut menutup telinganya.
"Mommy, kuping adek sakit ini. Adek nanti nggak cantik lagi kalau budek." protes Vallery pada sang Mommy karena Mommy-nya juga ikut berteriak. Membuat pagi hari mereka semakin semarak.
"Mommmyyyyy." Vero yang masih memakai handuk, tiba-tiba saja menuruni tangga dengan langkah cepatnya, membuat Mommy dan Daddynya panik kalau-kalau itu handuk merosot turun dari pinggang anak itu.
"Bang, Bang! Handuk kamu awas melorot. Kok Daddy serem ya." peringat Ray, bergidik ngeri. Ia tidak bisa membayangkan itu handuk melorot. Ia tidak siap dengan sedekah yang akan anaknya berikan.
"Tenang Daddy, angry bird Abang aman sentosa. Nggak mungkin terbang kaya punya Daddy." kekeh Vero teringat masa kecilnya bersama Ray dulu.
"Apaan Bang, cepetan nanti telat ngampus kamu! Mommy nggak mau ya kamu ngulang mata kuliah dosen kamu lagi."
"Mommy celana dalem Abang yang warnanya pink mana? Kok nggak ada semua?" tanya Vero. Mellia memutar bola matanya. Ternyata itu yang membuat Vero sampai turun hanya menggunakan handuk.
"Em.. Mommy nggak tahu." jawab Mellia cepat lalu buru-buru berjalan kembali ke dapur sebelum anak pertamanya itu berteriak kencang, melukai indera pendengaran semua orang.
"Mommyyyyyyy, Mommy beneran bakar ya?" teriak Vero kencang membuat adik dan Daddynya menutup kuping bersamaan, "Mommyyyy angry bird, Abaaaaaaaaaaang!!"
"Daddyyyyy, Mommyyyy.."
*
Axel mengutuk Vero dalam hati. Pangeran Husodo itu memang sukanya cari ribut. Berasa laki-laki bayaran tahu dia nungguin sepupunya di pinggir jalan. Untung aja dari tadi dia enggak ditawar sama ibu-ibu komplek. Bakalan Axel gantung itu Vero kalau sampai ada yang melecehkan dirinya.
Tin.. Tiin..
"Ncong, masuk! Cepetan! Pak Zakri nih. Bisa diusir kita. Absen udah lemah nih kaya syahwat lo."
Sialan koreng babi, minta diculek matanya nih, gerutu Axel saat Vero datang tanpa dosa dengan mobil mewah anak itu.
Sialan! Kapan Axel dibeliin mobil kaya Vero. Yang ada baru minta udah dilelepin Mamanya di sepiteng dia.
"Ealah, malah diem di situ! Gue suruh razia juga nih ah bencong satu." kekeh Vero membuat Axel melayangkan tasnya ke arah Vero.
"Anjay, durhaka lo mentang-mentang lebih tua seminggu." omel Vero kencang tak terima atas ulah Axel.
"Jalan Pir."
"Bangke, Anjing! Gue tendang juga lo dari mobil gue."
"Apa salah dan dosaku Sayang, cinta suciku kau buang-buang. Lihat saja kan kuberikan, Vero ngebor-ngebor."
"Taik lagu lo Anjing, yang enakan dikit napa Ver."
Vero terkekeh saat melihat raut marah sang sepupu. Dibiarkannya Axel mengganti lagu di Audio Play.
Sejenak Vero menikmati alunan musik yang hanya instrumental belaka itu. Hingga akhirnya suaranya pecah kala mendengar bibir Axel yang berteriak lantang menyanyikan lagu yang katanya enak.
"Wes tak tukokne tali kotaaang sak isssiiiine."
Ciiiitttt..... Bruuukkkkkk......
"Jidaaat gue bencooong!" amuk Axel karena terbentur dashboard mobil Vero.
"KELUAAAAR DARI MOBIL GUEEE, KUTAAAAAAANG!"
"Canda lo, Ver?! Nggak asik lo, ah! Bercandaan kan?"
"Enggakkkkkkk!!!"
Brakk!!!
Blitz kamera para wartawan langsung bermunculan menyambut kedatangan tiga keluarga besar yang memasuki ballroom hotel milik salah satunya. Para wartawan seakan berlomba untuk mengambil gambar dari tempat mereka. Mengabadikan sebanyak-banyaknya momen langka yang baru saja tercipta.Husodo, Darmawan dan Dirgantara– Ketiga nama itu terlalu besar untuk dilewatkan. Kapan lagi mereka bisa menangkap dalam satu acara yang memang ditujukan untuk ketiganya.Malam ini, pesta akbar digelar untuk memperkenalkan pasangan muda yang resmi bergabung pada ketiganya. Memamerkan ikatan erat yang terjalin tidak hanya sebagai rekanan semata, melainkan sebagai keluarga besar utuh yang kelak tak dapat dipisahkan oleh apapun– termasuk itu maut. Katakanlah, Husodo pemenang dari segalanya. Keluarga bertamengkan baja berlapiskan emas tersebut mendapatkan menantu spektakuler– berasalkan putri-putri yang kekayaannya bahkan sebanding dengan milik mereka. Ini merupakan durian runtuh yang nilainya tidak terkira mesk
“Anak kesayangan Papa, mentang-mentang udah jadi bagian Husodo nggak pernah sekali-kalinya nengokin!” Melihat Princess berada di ruang keluarga rumahnya– Justine yang baru saja pulang dari kantor langsung melancarkan sindiran keras. Sebagai ayah, hatinya terluka. Putrinya seakan lupa jika dia memiliki orang tua setelah menikah. Jujur Justin kecewa, tapi dirinya juga tak dapat melakukan apa-apa. Jika saja bisa– Justine ingin protes. Menggerakkan massa untuk demo besar-besaran di depan rumah Vero. Berorasi agar Keluarga Husodo mau mengembalikan putri kesayangannya. Terdengar gila memang– Namun begitulah adanya. Justine ingin membuat keributan supaya putrinya di depak dan kembali padanya. Ia belum siap kehilangan Princess. Rasanya baru kemarin putrinya terlahir ke dunia.Seharusnya Justine telah terbiasa dengan alpanya Princess dari kehidupannya. Hampir empat tahun lamanya Princess tinggal memisahkan diri, memilih apartemen sebagai tempat bernaung. Namun kini kasusnya berbeda. Raga dan
“Jesseeeen!! Musuh bebuyutan gue!!” Mian berjalan cepat, ia menangkap pergelangan tangan Princess. “You are a pregnant woman! Nggak usah lari-lari. Jessen nggak akan kemana-mana!” Peringat Mian dengan wajahnya yang memerah.“Sorry..” Lirih Princess– menyesal karena tak mengingat keadaannya. “Thank you for reminding me, Buy.”“It’s okay. Jangan diulangi. Sini gandengan aja turunnya.” Mian menyatukan tangan mereka dalam genggaman. Ia tidak bisa memarahi Princess karena istrinya terlalu excited setelah bangun tidur. Ketika pertama kali membuka mata– Princess mencari-cari adiknya. Mungkin efek pemberitaan yang Oma Buyutnya sampaikan. Semalam Princess dan Marchellia diantarkan langsung oleh Marchellino. Keduanya terlelap begitu damai, sampai-sampai tak terusik pada pergerakannya dengan Jessen yang memindahkan tubuh mereka.“Sarapan Ces.. Papi denger kamu hari ini ada jadwal bimbingan? Isi tenaga dulu.” Ucap Vero sembari memindahkan sayuran ke piring Marchellia, “harus dimakan. Untuk keseh
Sudah diputuskan, lima persen saham Darmawan diakuisisi oleh Husodo. Saham itu diberikan secara khusus beratasnamakan Jessen Husodo sebagai pemilik saham yang sah. Saham tersebut didapatkan dari milik Ardira Darmawan yang mempunyai lebih dari dua puluh persen saham di perusahaan suaminya. Meski berita resmi dan berkas perpindahan belum diselesaikan secara legal– keluarga besar Darmawan telah mengetahui bergulirnya saham tersebut ke tangan Jessen. “Pilihan yang sangat baik Bu Dira.. Saya mengapresiasi pengorbanan Ibu untuk cucu-cucu kita.” Ucap Mellia. Michell yang mengantarkan Mamanya, memainkan kaki. Mamanya sedang diberikan lawan yang tangguh dalam bermain peran kehidupan. Baru kali ini Michell melihat Mamanya kalah selain dari Mami istri kakaknya.“Di keluarga Darmawan pantang hukumnya menceraikan atau diceraikan oleh pasangan, Merlliana Haryo. Sesuatu yang dipersatukan Tuhan, tidak sepantasnya dipisahkan manusia. Terlebih dalam kasus ini, anak dan cucu saya memang keterlaluan. M
Jessen terengah. Dadanya naik turun karena napas yang tak berjalan mulus keluar dari paru-parunya. Pria muda yang melarikan diri dari jerat saudara, papi dan sahabatnya tersebut mendudukan diri pada sebuah pohon besar dipinggir lapangan bola. Jessen merasa telah berlari sangat jauh, jadi kemungkinan untuk ditangkap sangatlah tipis.“Tega bener mereka,” hela Jessen sembari meluruskan kaki-kakinya. Kepalanya mengadah, bersandar pada batang pohon dengan mata terpejam.Tidak.. Jessen tak mau pernikahannya hancur. Sekuat hati ia memaklumi tingkah Papi dan Abang Marchellia. Menahan letupan amarah yang kadang singgah karena perkataan menjatuhkan mereka. Ia tidak ingin usahanya sia-sia.Jessen sendiri bukannya tidak mengetahui jika kata-kata sinis yang kerap kali ditujukan padanya merupakan bentuk ketidaksukaan mereka. Jessen mengetahuinya. Ia juga memiliki perasaan sama seperti kebanyakan orang. Terlebih mereka menunjukkannya tanpa aling-aling— tidak ditutup-tutupi atau diperhalus. Mereka m
“Kedainya masih lurus lagi Pi. Belokan pertama ke kanan,” Mian memberikan arahan kepada Vero. Mereka berniat untuk menjemput Jessen setelah mengetahui keberadaan anak itu dari balasan pesan Dodit.“Ini kalian seriusan kenapa kalau cari basecamp ngumpul! Nggak habis thinking Papi.” Omel Vero. Ia mengenal baik lingkungan yang sedang mereka lalui. Vero sendiri tidak akan pernah melupakan jalanan menuju indekos yang sempat ia tinggali. “Ini area kos-kosan, Yan! Papi belum pernah liat kedai bintang lima juga di area ini.”“Nggak ada yang namanya kedai berbintang, Papi. Ini warung yang sempet Papi liat pas VCall-an sama Jess.” Terang Mian agar Vero tidak salah paham kemana tujuan mereka yang sebenarnya. Papinya yang kasta bangsawan tidak boleh terkejut karena itu akan menggagalkan misi mereka untuk ke rumah Opa Ray.“Kalian kebanyakan ngumpul sama di Dodit, Dodit itu! Begini jadinya.” Vero melirik gerbang rumah berlantai dua di sisi kanan yang baru saja ia lewati. Pria itu tersenyum, ‘kosan