"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?!" seru Rani kaget. Bagaimana tidak kaget jika melihat suami tercinta sedang disuapi oleh wanita lain yang notabene adalah mantan kekasihnya. Sementara Gea dan Adit terkejut saat melihat Rani yang masuk melalui pintu sambil membawa rantang berisi makanan.Tetapi, keterkejutan Gea hanya beberapa saat. Gadis itu sangat pintar menguasai keadaan. Dengan gayanya yang sangat elegan Ia pun tersenyum dan menghampiri Rani."Eh kamu, Ran ... ayo masuk. Aku kebetulan masak banyak dan ibuku menyuruhku membawakan ini untuk Adit. Kebetulan ini masakan kesukaan Adit, kamu mau cicip?" kata Gea sambil menggandeng tangan Rani untuk masuk.Sebenarnya Rani sangat muak sekali kepada wanita di hadapannya itu. Rasanya ingin sekali ia mencakar dan mencabik-cabik wajah cantik Gea yang tersenyum penuh kepalsuan di hadapannya."Aku masak susah-susah ternyata kamu sudah makan. Hmm ... ya udah makanan ini untuk karyawan kamu aja, Mas," kata Rani sambil menaruh rantang ber
“Loh, kenapa isi rantangnya masih penuh?Bukannya tadi kamu membawakan Adit makan siang. Lalu kenapa ini isinya masih utuh?” tanya Bu Ana kepada Rani.Rani hanya tersenyum kepada mertuanya itu. Kemudian Ia pun mengeluarkan isi rantang dan menaruh ke sebuah piring.“Tadi, sewaktu saya ke sana Mas Adit sedang ada tamu, dan dia sedang makan bersama tamunya. Mas Adit mengatakan supaya saya membawa makanan ini kembali. Katanya, nanti pulang kerja dia bisa makan lagi,” jawab Rani.Mendengar suara Rani menahan tangis membuat Bu Ana mengerutkan dahinya. Ia menatap menantunya itu dan melihat sisa-sisa air mata di pipi sang menantu. “Apa tamunya Gea?” tanya Bu Ana kepada Rani.Rani tersenyum kemudian menganggukkan kepalanya.“Iya Bu, tamunya Mbak Gea,” jawab Rani.Bu Ana menghela nafas panjang kemudian menghembuskann
“Kamu mau mandi atau makan dulu?” tanya Rani saat Adit baru saja pulang. Seperti kata mertuanya. Ia mencoba untuk bersikap tenang dan elegan menghadapi Adit. Ia tidak mau Adit makin menjauh darinya. “Kamu nggak mandi? Perasaan, kamu sekarang jadi kucel. Padahal dulu aku suka sama kamu karena kamu itu cantik dan bersih. Meski nggak perawatan mahal tapi kamu menarik untuk dilihat,” kata Adit alih-alih menjawab pertanyaan Rani. Rani menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Sakit sekali mendengar kalimat itu keluar dari mulut sang suami.“Mas, aku kan sedang hamil. Jadi-““Jangan kamu jadikan alasan. Banyak wanita hamil di luar sana yang masih tampak sangat cantik dan menarik. Coba kamu lihat ini jerawat dan Flex hitam di wajahmu,” kata Adit sambil memegang pipi Rani. Rani hanya bisa menundukkan kepalanya menahan supaya air matanya tidak jatuh menetes. Bagaimana mungkin seorang suami yang sangat ia cintai begitu tega mengatakan hal seperti itu padahal saat ini ia sedang men
“Mas, hari ini sudah sebulan kan kita tinggal di rumah ini. Apa aku boleh minta uang? Kamu pasti sudah gajian, kan?” kata Rani kepada Adit malam hari itu. Adit menatap istrinya kemudian mengerutkan dahi.“Iya, aku sudah gajian, sih. Biasanya setiap bulan aku menyetorkan uang penjualan kepada ayah. Kemudian ayah akan memotongnya dan memberikan kepadaku sebagian dari keuntungan. Karena, aku yang sudah mengelola toko itu, memangnya kenapa?” kata Adit.“Ya, aku minta uang ... wajar kalau aku minta uang. Aku kan istrimu. Aku perlu membeli kebutuhan untuk kita,” kata Rani.Mendengar perkataan istrinya, Adit sedikit meradang.“Kamu nggak usah macam-macam deh, kita ini tinggal di rumah Ayah dan Ibuku. Mau makan apa saja tinggal ambil. Ibu selalu berbelanja untuk kita semua, kamu tinggal makan, tinggal mengolah. Lalu minta uang untuk apa lagi? Kita juga tidak perlu membayar listrik, tidak perlu membayar biaya sewa rumah. Jadi untuk apa aku memberimu uang?” kata Adit.Rani terbelalak kaget, ia
Siang itu Rani terpaksa harus ke toko, karena ia diminta Bu Ana untuk mengantarkan pesanan orang yang lupa dibawa oleh Adit tadi pagi.“Tolong Ibu ya, Ran. Pesanan ini akan diambil oleh Bu Destri, dan dia akan ke toko karena jika ke rumah tidak akan sempat. Siang ini dia akan berangkat. Jadi dia terburu-buru, kamu bawakan ini ke tokonya Adit biar nanti Bu Destri bisa mengambil barang ini di toko Adit,” kata Bu Ana.“Apa di toko Mas Adit tidak ada lagi barang seperti ini, Bu?” tanya Rani. Bu Ana menggelengkan kepalanya.“Tidak ada, stok ini sudah habis dan ini hanya tinggal sisa. Makanya kemarin Adit bawa pulang, supaya tidak dijual oleh karyawannya kepada orang lain. Kamu ke sana, ya, sekalian bawakan suamimu makan siang,” kata Bu Ana. Rani mengganggukan kepalanya.Sebenarnya ia malas untuk ke toko Adit, karena beberapa kali Rani ke sana membawakan makan siang tidak pernah dimakan oleh Adit. Bahkan, dua kali terpergok olehnya Gea sedang berada di toko itu. Sebagai wanita biasa, Rani
"Mas, tolong taroin dong. Pelan-pelan ya, nanti kebangun," pinta Rani pada Adit. Adit dengan senang hati menuruti. Digendongnya bayi mungil berbedong warna merah biru, direngkuhnya secara lembut, kemudian ia hirup wanginya dengan hidung. Jika pada awalnya Adit ingin marah kepada Rani karena wanita itu terpaksa cesar, saat melihat wajah putrinya hanya ada perasaan bahagia. Begitu pula dengan Rani. Lupa sudah ia dengan kejadian sebelum operasi. Lupa juga ia dengan adegan mesra Adit dan Ghea. "Mas, jangan diciumin. Dia baru tidur. Nanti kebangun," protes Rani yang melihat Adit malah menggoda Tasya.Adit nyengir saja ketika mendengar protes Rani. "Wanginya enak, Sayang," sahutnya.Ya, siapa orang yang nggak suka wangi bayi? Everyone would love it. Bayi belum mandi, baru bangun tidur saja wangi, apalagi ini—mereka habis mandi pagi.Tak lama, Adit benar-benar menaruh Tasya kembali di box bayi yang sudah disediakan pihak rumah sakit."Kamu mau sarapan sekarang, Sayang?" Adit sudah duduk
"Wajar, kan nge-ASI-innya? ASI kamu lancar?" kata Ulfa menanggapi sebelum kemudian mendekatkan dirinya ke ranjang Rani. "Aku nggak tepat banget ya, dateng jelang sore gini? Harusnya kamu kan banyak istirahat apa lagi kamu lahirannya cesar."“Ya, aku tidur sebentar aja ya, kalo gitu.” kata Rani. Ulfa mengangguk dan membiarkan sahabatnya itu tidur. Ya, Rani memang sulit tidur. Tadi, beberapa belas menit yang lalu, Adit memaksanya untuk tidur. Rani butuh istirahat juga kan, supaya kondisinya lekas pulih.Sementara itu, Tatia sudah meronta ingin diturunkan dari gendongan papanya, "Daddy, aku mau liat dedek bayinya!" pintanya agak sedikit keras. Ulfa melihat ke arah anaknya itu kemudian membuat gestur 'jangan berisik' dengan satu jarinya yang ia taruh di depan bibir. "Jangan teriak-teriak, Tatia. Nanti Tante Rani sama dedek bayinya bangun!" peringat Ulfa pada Tatia. Bocah itu mengangguk, mengerti, hingga akhirnya diturunkan Bima. Bersama Ulfa, Tatia melihat dengan takjub bayi mungil y
"Kenapa, sih? Kok kamu nggak ngantuk-ngantuk?" tanya Adit kepada RaniRani tersentak saat lengan Adit mengelilingi perutnya. Dagu suaminya itu juga ditumpukan di pundak Rani. Seperti malam kemarin, di malam kedua ini Rani masih saja sulit terpejam. Kantuk pun tidak kunjung datang. Minum susu hangat, sudah. Makan manis, sudah. Perut sudah kenyang. Tapi, masih saja segar matanya.Rani menghela napasnya kasar. "Ada yang kamu pikirkan, ya? Apa kamu masih memikirkan tentang Ghea?" Adit dengan sabar memancing Rani untuk menceritakan kegundahannya. Walau bagaimana, saat ini menjaga perasaan Rani jauh lebih penting untuk Adit. Ia memang masih mencintai Ghea, tapi ia tidak mau kehilangan Rani dan Tasya."Sekarang aku jadi tau, gimana perasaan Ibu, Mas," sahut Rani lirih."Hmm. Bagaimana?""Aku bisa bayangin, bagaimana dulu Ibu melahirkan aku. Ibu adalah seorang ibu yang sangat baik dan karena itu ayah terlalu mencintai sehingga saat Ibu tidak ada, Ayah begitu terpuruk hingga pada akhirnya-"Ra