Setelah suara musik terakhir berhenti berdenting dan kudapan manis terakhir diletakkan di atas piring giok, para tamu mulai bersiap untuk meninggalkan aula. Namun, sesuai tradisi keluarga bangsawan, tak seorang pun diperkenankan pergi sebelum satu sesi terakhir diumumkan—pembacaan daftar hadiah, simbol pertautan rasa dan kekuasaan.Bibi Chun, selaku Kepala Pelayan Kediaman Ye, melangkah maju ke panggung kecil di sisi kanan aula. Gaunnya menjuntai rapi, suara langkahnya tenang, namun tegas. Di tangannya, ia membawa gulungan kain merah berbordir bunga lotus keemasan—samar berkilau di bawah cahaya lampu gantung di atasnya, seperti bunga suci yang tumbuh dalam bisu.'Sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi dan untuk mencatat silaturahmi yang terjalin malam ini," ucapnya lantang, suaranya jernih dan datar namun memuat otoritas bertahun-tahun dalam mengatur ritus keluarga, "berikut adalah daftar hadiah yang diterima oleh Nyonya Muda keluarga Ye dari para tamu undangan yang terhormat."
Saat penari-penari mulai masuk dan melenggak-lenggok anggun di tengah aula, Chunhua menuangkan teh di cangkirnya, tapi setelah itu tidak menyentuhnya sama sekali.Zhou Chenxi meletakkan teko berisi arak dengan sedikit tenaga, dia melirikku dengan tatapan tajam. "Aku tak menyangka kau bisa menyusun pesta sebesar ini. Bahkan aku mendengar dari kepala pelayanmu bahwa tamu yang hadir hampir melebihi pesta ulang tahun Adipati Agung dua tahun lalu."Zhou Chenxi. Suaranya tenang, tapi tidak bisa menyembunyikan kegetiran.Aku menoleh padanya, senyumku lembut seperti gula. "Ah, benar. Mungkin karena tamu-tamuku kali ini datang bukan karena kewajiban …, melainkan karena ingin."Tawa kecil dari kalangan tamu terdengar, halus tapi menampar."Aku yakin semua ini hasil kerja kerasmu," ibuku akhirnya bicara. "Kau memang selalu punya bakat menyenangkan orang lain."Aku tersenyum padanya. "Ibu terlalu memuji. Tapi memang, menyenangkan orang lain itu lebih baik daripada menghancurkan mereka, bukan?"Ma
"Betul," sahut Bibi Chun dengan suara cukup lantang. "Resep khusus dari dapur Istana Dinasti Dayu. Dikirim langsung sebagai bentuk penghormatan untuk Nyonya Muda Ye."Terdengar gumaman tak percaya dari berbagai sudut ruangan. Semua mata kini padaku.Aku tersenyum hangat. "Semuanya berkat Ayah dan Ibu Mertua yang sangat menyayangiku, sehingga sempat memberikan hadiah yang sangat bagus ini untuk tamu-tamuku." "Padahal beliau baru kembali dari inspeksi di perbatasan. Saya sungguh mengucapkan terima kasih yang berkali-kali lipat untuk Ayah dan Ibu Mertua saya." Aku membungkuk di depan Nyonya Besar Ye yang selalu berdiri di dekatku. "Tidak perlu formalitas seperti itu, Nak. Ibu membantumu karena kamu sudah banyak membantu Ayah dan Ibu. Nasihat untukmu di tahun yang baru ini, tetaplah menjadi istri yang berbakti pada suami, dan menjadi menantu yang menghormati orang tua suami."Aku mengangguk senang. "Terima kasih atas kebaikan hati Ibu Mertua."Bisik-bisik kembali terdengar. "Padahal sel
Ketika matanya kembali bertemu dengan mataku, seberkas cemooh muncul dari sorot matanya, begitu cepat, hanya satu detik, tapi cukup untuk membuatku ingin menertawakannya keras-keras di hadapan semua orang."Sepertinya Kakak sudah tidak bisa menjawab lagi, ya …," ucap Chuanyan lembut, tapi nadanya mengiris. "Tapi mari melupakan dendan masa lalu. Sudah lama kita tidak bertemu dalam suasana bahagia, kan?"Aku tersenyum sopan. "Tentu. Rasanya seperti mimpi bisa menyambutmu …, dengan posisi yang terbalik."Chuanyan memiringkan kepala. "Maksudmu?""Aku yang berdiri di atas pelaminan," jawabku ringan. "Dan kau yang menjadi tamu undangan."Senyumnya menegang sesaat, tapi ia segera terkekeh pelan. "Tentu saja. Dan aku harap kau menikmatinya, karena tidak semua mimpi indah berlangsung lama."Sungguh, jika bukan karena aturan etiket, aku ingin melemparkan bunga giok dari meja persembahan ke wajahnya.Aku memperhatikan Chuanyan yang berjalan ringan di atas permadani merah dengan sikap yang dibuat
Malam Perayaan.Musik petik bersenandung lembut di udara yang mulai dipenuhi wangi lilin bunga persik. Langit Beizhou menjingga, dan aula utama kediaman Jenderal Ye telah bersolek sepenuhnya, lampion-lampion merah digantung rendah, taburan bunga liar menghiasi pilar, serta hiasan emas dan hijau giok menyelubungi meja persembahan di pusat aula.Aku berdiri di sisi aula dengan gaun merah yang menonjolkan keanggunan khas seorang Nyonya Muda, menyambut para tamu yang akan berdatangan dengan iringan suara petasan dan denting lonceng kecil di setiap sudut."Pesta ini terlihat lebih megah dari semua pesta yang pernah digelar di Beizhou," komentar Bibi Chun lirih di sampingku.Aku hanya tersenyum. "Aku tidak ingin mengecewakan siapa pun malam ini.""Ini pertama kalinya Kediaman Jenderal Ye mengadakan perayaan yang semeriah ini. Saya senang sekali dengan kehadiran Nyonya Muda." Bibi Chun tak habis-habisnya memujiku, aku jadi hanya bisa tersenyum canggung menanggapinya. Dan tepat saat itu, su
Dua belas jam sebelum perjamuan.Langit Beizhou masih diselimuti embun pagi ketika aroma wangi dupa merah muda perlahan memenuhi halaman depan kediaman Jenderal Ye. Pelayan-pelayan tampak sibuk menyiapkan penyambutan sederhana—bunga plum digantung di depan aula utama, dan teko-teko teh baru dipanaskan di dapur barat.Aku sudah berdiri di depan pintu aula utama sejak matahari mulai naik. Gaun sederhanaku bergoyang pelan tertiup angin, dan Chunhua membenarkan selendang tipisku sambil berbisik, "Nyonya Muda terlihat sangat anggun hari ini."Aku tersenyum, gugup. Ini pertama kalinya aku akan menyambut langsung Ibu dan Ayah Mertua setelah resmi menjadi bagian keluarga ini."Apakah aku terlalu mencolok?" tanyaku pada Ye Qingyu yang berdiri tak jauh dariku, dengan jubah hitamnya yang rapi dan rambut diikat tinggi."Sedikit," sahutnya pelan, "tapi Ibu pasti suka. Beliau suka warna merah marun. Kau tampak seperti menantu teladan."Aku mencibir kecil, "Kau bisa memuji lebih manis lagi, Tuan Mu