Udara di dalam tenda begitu pengap. Aroma herbal bercampur darah kering menusuk hidungku, membuat napas serasa berat. Aku masih menggenggam tangan Qingyu erat-erat, merasakan jemarinya yang dingin bergetar samar."Xi'er …," suara itu lirih, serak, hampir hilang ditelan dentuman jauh di luar perkemahan. Matanya terbuka hanya setipis celah, tapi cukup untuk menusuk dadaku dengan tatapan yang rapuh. "Xi'er, kenapa …, kau ada di sini?"Aku menunduk, air mataku jatuh satu-persatu ke perban yang melilit dadanya. "Aku tidak mungkin duduk diam di kediaman, YeQingyu. Aku istrimu. Tempatku ada di sini, bahkan jika dunia di luar runtuh sekalipun."Dia tersenyum tipis, tapi segera terbatuk. Darah merembes di sudut bibirnya. Tabib yang berdiri di dekat ranjang segera maju, melotot padaku."Nyonya Muda, saya menyarankan untuk tidak membiarkan Tuan Muda banyak bicara. Luka di dadanya terlalu dalam. Paru-parunya tertusuk. Setiap kata bisa memperburuk pendarahan."Aku tersentak. Tanganku refleks menut
Kereta kuda itu melaju kencang meninggalkan kediaman Ye. Angin malam memukul wajahku, menusuk kulit, tapi sama sekali tidak mampu membekukan pikiranku yang mendidih. Chunhua duduk di hadapanku dengan wajah tegang, kedua tangannya menggenggam erat sisi kursi seolah takut aku sewaktu-waktu meloncat keluar."Nyonya Muda, perjalanan ini sangat berbahaya. Yangzhou sedang kacau. Bagaimana kalau kita tetap menunggu di kediaman saja? Saya yakin Tuan Muda Ketiga dan Nyonya Besar tidak akan suka melihat Anda berada di sana, Nyonya Muda," suaranya penuh kekhawatiran.Aku memejamkan mata, menahan sesak yang terus menghantam dadaku. "Kalau aku hanya duduk diam berpangku tangan di kediaman, aku hanya akan hidup dalam penyesalan karena tidak melakukan hal yang kumampu dalam hal ini.. Aku tidak bisa berdiam diri, Chunhua.""Tapi—""Tidak ada tapi!" aku menajamkan suara, membuka mata dan menatap lurus ke arahnya. "Aku adalah istri Jenderal Ketiga Ye. Jika aku gentar hanya untuk menempuh perjalanan ke
"Selamat malam, Nyonya Muda Ye." "Yu Yan?!" aku mengepalkan tangan untuk menutupi perasaan panikku. Kenapa orang yang selama ini selalu bersembunyi dan menghindariku ini …, tiba-tiba muncul di hadapanku dan menyapa dengan santainya? "Oh? Anda sudah tahu nama saya, ya?" pria itu berkata seolah ia terkejut. Tampak sekali dia sedang meremehkanku. Dia sedang meremehkan seorang wanita yang sama sekali tidak pernah menemukan jejaknya meski mencari ke seluruh Beizhou sekali pun. Dia meremehkanku sampai merasa kasihan padaku sehingga memutuskan untuk menunjukkan diri di hadapanku. Aku tersenyum tipis dan memberi salam layaknya seorang wanita penuh etika. "Tentu saja saya ingat nama Anda. Anda adalah musisi berbakat dari Gedung Meihua yang disewa adik saya, Chuanyan. Jadi, ini adalah pertemuan kita yang kedua kali." Aku menjawab dengan penuh percaya diri. "Hahaha." Dia tertawa renyah sambil mendongakkan kepala. "Anda memang seorang Nyonya Muda yang berbakat. Bahkan memiliki ingatan yang
Aku tetap duduk tegak di kursiku, tidak bergerak sedikit pun. Ruangan restoran Maoxian kini begitu sunyi, seakan udara sendiri enggan bernapas. Dari luar, riuh jalanan sudah mereda, orang-orang mulai kembali ke rumah masing-masing. Lampion-lampion berayun ditiup angin malam, membuat bayangan temaram menari di dinding.Di hadapanku, Adipati Agung Zhou masih menimbang-nimbang. Rahangnya mengeras, matanya berkilat tajam, namun ada kegamangan yang tak bisa ia sembunyikan. Aku tahu pikirannya masih sibuk mencari celah, menimbang apa yang bisa ia gunakan untuk menekanku balik.Meski saat ini dia mulai terpojok, aku tidak boleh merasa menang terlalu awal. Ayah adalah pejabat yang cerdas dan licik, perangai ini sudah kupahami sejak kecil. Bahkan saat mata itu menatap pun, selalu terlihat penuh perhitungan dan kehati-hatian yang tinggi. Aku bersandar tipis, menyandarkan siku di meja. "Yang Mulia," ucapku datar, suara rendah yang menusuk. "Saya tidak bisa menunggu lebih lama. Waktu tidak ber
Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana tubuh Ayah menegang. Selama beberapa detik, ia tidak bergerak sama sekali, seolah-olah tubuh besarnya membatu di kursinya. Sorot matanya kosong, bibirnya terkatup rapat, hanya ada rahang yang semakin mengeras. Jelas sekali, ia benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kata-kataku.Aku tidak membuang waktu. Setiap detik hening hanya akan membuatku semakin yakin bahwa aku sudah menekan titik lemahnya. Aku menahan napas. Di titik ini, tidak ada jalan mundur lagi. Semuanya tergantung keberanian dan kehati-hatianku sendiri. Aku menatap lurus dengan datar. "Saya …, memegang banyak sekali bukti perselingkuhan Yang Mulia Adipati Agung dengan penghibur rendahan itu." Suaraku rendah, terdengar menusuk di setiap katanya. Suara kayu berderak keras. BRAK! Telapak tangan Ayah menghantam meja dengan kekuatan penuh. Gelas teh di atasnya berguncang, isinya tumpah, dan kayu meja seolah ikut menjerit karena benturan itu.Jantungku meloncat ke kerongkong
Aku sengaja menyebutkan kata itu dengan lirih, seolah hanya gumaman tak berarti. Namun dampaknya langsung terlihat pada wajah pria yang duduk di hadapanku. Sorot matanya, yang biasanya dingin dan tak terbaca, kali ini berkedip sekejap sebelum kembali datar. Sungguh reaksi yang hanya bisa ditangkap oleh mata seorang anak yang sudah terbiasa membaca raut wajah ayahnya.Aku menatap wajahnya dengan mantap. Mari kita lihat jawaban seperti apa yang akan keluar dari mulutnya yang terbiasa berhati-hati itu. "Xibei…?" akhirnya dia bertanya, dengan nada yang terlalu tenang untuk dianggap wajar. "Ada apa dengan Xibei?"Aku menahan senyum. Tidak, aku malah menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak begitu mendengar pertanyaan kolot itu. Pertanyaan itu separuh bodoh separuh licik. Bodoh karena seolah-olah ia tidak tahu apa pun tentang tempat yang kusebut. Licik karena ia menganggap aku masih bocah naif yang bisa diombang-ambingkan hanya dengan kepura-puraan.Lucu sekali. Tindakannya ketik