Share

Bab 2. Fiona yang Bimbang

"Mas mau makan malam apa?" Aku bertanya pada suamiku yang tengah fokus menatap layar laptop yang ada di hadapannya. Kulihat banyak kertas-kertas berserakan di meja kerja.

Sudah kuputuskan melupakan kejadian tadi siang. Aku lebih percaya suamiku.

"Mas?"

"Eh, iya, Sayang. Maaf, kamu tadi bicara apa? Mas tidak mendengarnya." Lelaki itu akhirnya menoleh ke arahku dengan mengulas senyum yang selalu membuat hati ini terasa begitu sejuk.

"Mau makan malam apa?" Kuulangi pertanyaanku.

"Apapun hasil dari tanganmu, Mas akan selalu melahapnya, Sayang."

Aku memutar bola mata. Selalu itu jawabannya.

Akhirnya, tanpa melemparkan pertanyaan lagi aku melangkah menuju dapur. Menyiapkan menu makan malam untuk hidangan kami berdua.

Puluhan menit berkutat di dapur akhirnya pekerjaanku selesai. Aku pun kembali berjalan menuju kamar, ingin memanggil Mas Narendra yang masih disibukkan dengan segudang pekerjaannya.

"Berikan yang aku minta sekarang atau siap-siap terima akibatnya!"

Deg!

Seketika jantung seperti berhenti berdetak saat mendengar suara dari dalam sana.

Kuhentikan langkahku tepat di depan pintu. Setelahnya kutajamkan kedua telingaku. Perlahan aku sedikit membuka pintu kamar yang tak terkunci.

"Sekarang, Cit. Aku nggak mau tau, ya. Lima menit belum kamu transfer, siap-siap viral!" Lagi, suara Mas Narendra terdengar.

Setelah selesai berucap, lelaki itu lantas menatap layar ponsel yang baru saja ia jauhkan dari telinganya. Sepertinya Mas Narendra telah mematikan sambungan telepon itu.

"Siapa yang berbicara dengan suamiku? Transfer? Cit adalah Citra? Dan viral? Apa maksudnya?" batinku terus bertanya-tanya.

Apa tadi Mas Narendra sedang menghubungi wanita yang siang tadi kesini untuk meminta uang seperti yang dikatakan oleh wanita tadi? Apa benar Mas Narendra memeras wanita itu?

"Ah, ternyata wanita ini masih takut juga." Terlihat dengan jelas Mas Narendra tersenyum.

Cepat, kembali aku menutup pintu.

Setelahnya kusandarkan tubuhku di dinding kamar.

Kuhela napas dalam-dalam, kemudian aku kembali membuka pintu kamar dengan memasang wajah sebiasa mungkin.

"Sudah selesai, Sayang?"

"Sudah, Mas. Ayo makan." Kutarik kedua sudut bibirku.

Mendengar ucapanku, lelaki itu langsung beranjak dari tempat duduknya, setelahnya ia melangkah ke arahku.

"Mas ke ruang makan dulu, ya. Aku mau ganti baju, kena cipratan sambal soalnya tadi."

"Oke, Sayang."

Mas Narendra mengecup lembut keningku, setelahnya ia melangkah keluar kamar.

Setelah kupastikan tubuh Mas Narendra telah melangkah jauh, bergegas kututup kembali pintu kamar lalu menguncinya dari dalam. Berikutnya aku melangkah menuju meja kerja suamiku, meraih ponsel yang ia letakkan di atas meja.

Dengan jantung yang berdegup kencang, kududukkan tubuhku di tepi ranjang. Aku pun mulai mengoperasikan benda pipih milik suamiku itu dengan Sesekali aku melirik ke arah pintu yang masih tertutup dengan sempurna.

Entahlah, padahal pintu sudah kukunci, tapi aku masih khawatir jika Mas Narendra tiba-tiba masuk begitu saja.

Aku mulai membuka aplikasi berlogo telepon berwarna hijau itu. Akan tetapi, saat kulihat riwayat panggilan, tak ada nomor yang dihubungi oleh Mas Narendra dan tak ada yang menghubungi nomornya. Di situ hanya ada riwayat panggilan dariku, dan itu pun dua hari yang lalu.

"Apa aku tadi salah dengar? Tapi sepertinya tidak. Tadi jelas-jelas aku mendengar suara Mas Narendra. Atau, Mas Narendra sudah menghapus riwayat panggilan tersebut?" Kali ini, aku hanya mampu menerka-nerka.

Tak sampai di situ. Aku beralih membuka menu pesan. Namun, lagi-lagi tak ada pesan apapun dari nomor asing.

Hanya ada pesan dariku, ibu mertua dan juga beberapa rekan kerja Mas Narendra. Tak ada yang aneh.

Seketika ucapan wanita soal video seks kembali terngiang-ngiang di telingaku. Bergegas aku membuka galeri foto dan video. Puluhan menit aku menjelajahi ponsel itu, tetapi tak kutemukan apapun. Hanya ada foto kami berdua. Itu saja.

Jangankan video mesum mereka, foto mereka berdua pun tak kutemukan. Lantas, apa kedatangan wanita itu hanya membawa fitnahan belaka?

"Ya, Tuhan! Apa yang harus kulakukan? Siapa yang harus kupercaya?"

Karena tak menemukan apapun, akhirnya kukembalikan ponsel itu ke tempat semula.

Namun, saat aku ingin melangkah pergi, tiba-tiba ekor mataku menangkap ada ponsel asing yang menyembul dari tas kerja milik suamiku.

Seketika perasaan menjadi tak enak. "Sejak kapan Mas Narendra memiliki 2 ponsel? Ya Allah, apa ini artinya memang ada sesuatu yang disembunyikan oleh suamiku?"

Rasa sesak seketika menyeruak.

Saat aku akan mengambil ponsel tersebut tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar.

"Iya, Mas. Sebentar." Kutarik kembali tangan yang terulur ingin mengambil ponsel asing itu. Setelahnya aku melangkah mendekat ke arah pintu.

"Kok lama banget? Sudah laper, Sayang," ucap Mas Narendra begitu pintu terbuka.

"Maaf, ya. Tadi masih benerin lipatan baju, soalnya ketarik dan jatuh berantakan ke lantai. Ini malah belum sempat ganti baju, Mas." Kutarik kedua sudut bibirku. Aku tersenyum. Tentu untuk menutupi bagaimana perasaanku saat ini.

"Oh, begitu. Yaudah, yuk makan. Lapar."

Aku mengangguk. Kemudian kami melangkah secara beriringan menuju ke ruang makan.

****

Sepanjang malam kedua netraku terus terjaga. Sedetik saja aku tak bisa memejamkan mataku. Ngantuk sebenarnya, akan tetapi pikiranku terus melalang buana.

Beberapa kali aku hanya bisa menghembuskan napas berat. Ingin sekali aku bertanya pada Mas Narendra, soal ponsel asing miliknya, soal wanita bernama Citra dan soal berita yang dibawa oleh wanita itu.

Sungguh, di satu sisi saat melihat wajah wanita itu, aku merasa percaya. Bahkan, sakit hati yang kurasa. Akan tetapi, saat aku mengingat kebaikan demi kebaikan yang dilakukan oleh suamiku, aku merasa jika wanita itu hanya sandiwara belaka.

Saat aku sedang memejamkan kedua netraku, tiba-tiba ponsel milikku bergetar. Ada pesan masuk. Bergegas kuraih ponsel itu, menekan menu power hingga membuat layar yang semula gelap menjadi terang.

Ponsel itu menyala, tertera ada dua pesan masuk dari nomor asing. Nomor yang tidak ada di daftar kontak milikku.

[Selamat malam, Mbak. Ini nomor saya Citra.]

Begitulah isi pesan pertama.

[Mbak, tolong pikirkan kembali permintaanku, Mbak. Tadi suami Mbak Fiona kembali mengancamku. Dia meminta uang 10 juta. Dan saat itu juga aku harus segera mentransfer ke rekeningnya.]

Pesan kedua yang kubaca, benar-benar membuat jantung terasa berdetak lebih kencang.

"Apa ini terjadi sewaktu aku mendengar Mas Narendra sedang berbincang dengan orang di telepon tadi?" Aku bermonolog dalam hati.

Saat aku sedang sibuk dengan pikiranku, ponsel kembali bergetar. Saat aku melihat layar ponsel, ternyata nomor itu kembali mengirimkan pesan.

[Apa Mbak Fiona masih tidak percaya denganku? Kalau memang iya, ini saya kirimkan bukti pesan yang dikirimkan oleh Mas Narendra ke nomorku.]

Berikutnya, wanita itu mengirimkan beberapa hasil tangkapan layar sebuah pesan.

Saat aku membaca pesan-pesan tersebut, memang benar nomor itu meminta wanita itu untuk mengirimkan sejumlah uang padanya. Akan tetapi, saat kulihat foto profil yang ada di sudut kiri atas, aku merasa yakin jika itu bukanlah nomor Mas Narendra. Sebab, foto profil yang tak sama dengan nomor Mas Narendra yang aku simpan di ponselku.

Cepat aku mengetik balasan pesan tersebut.

[Sudahlah, jangan mainkan drama murahan itu.]

Send.

Pesan itu langsung centang dua berwarna biru.

Ponsel bergetar. Ada pesan balasan. Saat kubuka pesan tersebut, tangan seketika gemetar. Bagaimana tidak, wanita itu mengirimkan hasil tangkapan layar transaksi mobile banking, dimana ia mentransfer sejumlah uang ke nomor rekening yang disana tertera nama Narendra Aditama.

"Lihat saja, setelah ini aku akan mencari kebenarannya. Jika yang dikatakan wanita ini hanya fitnah belaka, maka bersiap-siaplah menerima konsekuensinya."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
udah dikasih tau bukannya cari bukti malahan kau bilang orang yg drama njing.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status