Bab 6
Kepergok Mantan Mertua
Tingkah Keisha benar-benar menggemaskan. Dia bahkan menatap tanpa berkedip punggung lelaki tinggi besar itu yang dengan segera menjauh menghampiri teman-temannya. Aku mengusap pipi Keisha sekilas, lalu kembali fokus dengan pekerjaanku. Ada beberapa orang pengunjung yang tengah antre untuk membayar. Aku berusaha melakukan pekerjaanku sebaik mungkin, meski sebenarnya masih ingin nenowel-nowel pipi Keisha.Putriku penyemangatku. Kehadirannya membuatku semangat dalam hidup, meski papanya sudah menyakitiku, bahkan juga keluarganya.
Hari masih sore. Cafe ini biasa tutup pukul 10.00 malam. Namun mas Dicky memberikan keringanan kepadaku agar aku pulang jam 09.00 malam, karena dia tahu jika aku memiliki bayi dan tidak mungkin pulang larut malam.
Terkadang Icha datang menjemputku, lalu mengantarku pulang. Tapi lebih sering aku pulang sendiri dengan menggunakan motor pinjaman dari mas Dicky. Tidak enak merepotkan Icha terus-menerus. Aku cukup tahu diri. Aku berteman dengan Icha sejak masih sekolah, bahkan kami kuliah di jurusan yang sama, tapi bukan berarti lantas aku memanfaatkan kebaikan Icha.
Aku masih sibuk bekerja. Para pengunjung datang silih berganti. Aku melirik sekilas ke arah pria yang barusan meminta nomor teleponku. Bayangan pria itu sudah tak nampak.
Diam-diam aku menghela nafas.
***Aku berjalan mondar-mandir, sesekali melongok keluar. Hujan semakin deras. Para pengunjung di cafe sudah mulai sepi. Waktu memang sudah menunjukkan pukul 10.00 malam. Seharusnya aku sudah sampai di rumah. Hujan yang teramat deras membuatku tidak mungkin pulang dengan mengendarai motor. Kasihan Keisha. Aku sudah berupaya untuk memesan taksi, tapi sampai sekarang taksi yang aku pesan belum juga datang. Icha juga tidak bisa diharapkan. Tidak mungkin Icha membawa Gian menerobos hujan deras begini. meskipun dengan menggunakan mobilnya. Sementara mas Dicky sedang tidak ada di tempat. Pria muda itu memang seringkali melakukan inspeksi mendadak ke cafe-cafe miliknya serta outlet Gian parfum.
"Kay...."
"Ya." Segera aku menoleh. "Mas Ibra?"
Pria itu menatapku dalam-dalam. Dia tampak gugup.
"Ada apa, Mas?"
"Apa Mas ingin memesan makanan dan minuman? Maaf, cafe kami sudah tutup." Aku menunjuk beberapa karyawan yang tengah sibuk membereskan segala sesuatunya.
Pria itu buru-buru menggeleng.
"Tidak, Kay. Bukannya barusan aku sudah menyelesaikan pembayaran denganmu?" Bibir pria itu sedikit bergetar.
"Kay, sepertinya hujan tidak akan segera berhenti, malah semakin deras. Bagaimana jika kamu aku antar pulang?" Aku menangkap jelas mas Ibra mengucapkan kalimat itu dengan susah payah.
"Maaf Mas, aku sudah pesan taksi," jawabku.
"Tapi mau sampai kapan kamu menunggu?" Pria itu melihat arlojinya. "Ini sudah lewat jam 10.00 malam. Kasihan putrimu."
Dia melangkah menuju stroller. Keisha memang sudah tertidur sejak tadi dibalik selimut yang menutupi tubuh mungilnya.
Aku benar-benar bimbang. Mas Ibra benar. Malam sudah semakin larut dan hujan pun begitu deras, sementara taksi tidak kunjung datang, entah apa sebabnya.
Namun jika aku menerima tawaran Mas Ibra, sama saja dengan membawa seorang lelaki datang ke rumahku.
Ingat, statusku sekarang sudah janda, meskipun aku dan mas Gilang belum bercerai secara resmi, tapi tetap saja di mata orang lain aku masih istri mas Gilang. Dan jika membawa seorang laki-laki ke rumah kontrakanku, maka aku akan dianggap wanita peselingkuh.
"Sudahlah, Kay. Jangan banyak mikir. Aku benar-benar tulus ingin membantumu. Aku berjanji, aku hanya akan mengantarmu di depan rumah, kemudian langsung pulang." Pria itu seolah tahu kegalauanku dan tanpa bicara apa-apa lagi Mas Ibra langsung saja menghampiri stroller tempat Keisha tidur. Dia mengangkat tubuh mungil itu tanpa bisa aku cegah, lalu menggendongnya.
Keisha masih lelap tertidur. Mas Ibra menggunakan jaketnya untuk menutupi tubuh Keisha dari air hujan yang membasahi tubuh kami. Jarak antara pelataran cafe dengan mobil mas Ibra hanya sekitar 15 meter, tetapi itu cukup membuat basah pakaian.
Aku bahkan mengibas-ngibaskan pakaian dan juga kerudungku begitu sampai di mobil.
"Sebutkan alamat rumahmu, Kay," pinta mas Ibra setelah menyerahkan tubuh Keisha kepadaku.
Aku mengucapkan beberapa kata yang disambut anggukan kepala oleh pria itu. Mesin mobil dinyalakan dan kendaraan roda empat itu segera meluncur keluar dari halaman cafe, melaju di jalan raya. Jarak antara cafe dan rumahku hanya 5 km. Namun jika aku memaksa pulang dengan menggunakan motor dan hujan-hujanan, pasti akan membuat Keisha demam.
Aku mendesah resah, tak tahu lagi harus berkata apa. Kesehatan bayiku memang yang utama. Namun pulang dengan di antar Mas Ibra juga punya resiko.
Bagaimana jika ada orang yang melihat aku di antar laki-laki ini?
Wajar jika aku cemas. Rumah yang jadi tempat tinggalku berada di pemukiman padat penduduk dengan para tetangga yang selalu kepo dengan urusan orang lain. Satu orang saja melihat keberadaanku diantar oleh seorang lelaki, maka akan heboh satu RT.
Waktu menunjukkan hampir jam 11.00 malam saat mobil berhenti di halaman rumahku. Lagi-lagi mas Ibra meraih tubuh Keisha dan memayunginya dengan jaket yang sebenarnya sudah setengah basah. Pria itu berlari kecil menerobos derasnya hujan menuju teras rumah, sementara aku menyusulnya di belakang.
"Maaf Mas Ibra, di rumahku tidak ada laki-laki, jadi aku tidak bisa mempersilahkan mas Ibra untuk masuk. Maaf sekali," ujarku lirih meminta pengertian lelaki itu.
Pria itu tersenyum. "Tidak apa-apa, Kay. Aku mengerti. Bukankah aku sudah berjanji untuk tidak akan meminta masuk ke dalam rumahmu?"
Senyum itu tersungging begitu manis dari bibir Mas Ibra, membuatku seketika terpana. Aku baru tersadar saat lelaki itu sudah berbalik, mengayunkan langkah menuju mobilnya.
Namun baru saja dia sampai di depan pintu mobil, tiba-tiba saja sebuah benda jatuh dan tempat mengenai kaca mobil, sehingga membuat suara gaduh.
"Awas Mas Ibra!" pekikku saat sebuah batu hampir saja mengenai kepala mas Ibra andai saja pria itu tidak menunduk.
Lalu beberapa detik kemudian sebuah cahaya menyorot. Beberapa orang berdatangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Tubuhku seketika gemetar. Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi juga. Sepertinya memang ada mata-mata yang mengawasi dan info soal aku diantar oleh seorang pria menyebar dengan cepat.
"Jadi begini kelakuanmu di luaran, Kayla? Pantas saja Gilang menceraikanmu." Suara cempreng seorang wanita tua terdengar dan aku menoleh. Bibirku seketika terkunci saat tahu siapa pemilik suara itu.
Mama Kumala, ibu mertuaku yang kini sudah menjadi mantan!
"Bapak-bapak, ibu-ibu, lihat sendiri kelakuan mantan menantu saya ini. Dia belum bercerai secara resmi dengan anak saya, tapi kelakuannya begini. Pantas kan jika anak saya menceraikannya? Dia ini perempuan enggak benar. Dulu saat masih menjadi istri anak saya, dia selalu mengeluh kekurangan uang kepada anak saya, bahkan anak saya seringkali kasbon di kantor. Tapi di balik itu, dia selalu mengenakan pakaian-pakaian bagus, tas, sepatu, semua pakaiannya adalah barang bermerek. Bahkan bayinya saja diberikan susu dan popok mahal. Bapak dan ibu pikir saja sendiri, uang dari mana coba?!" Suara tua itu terdengar berapi-api.
Mama Kumala menatap orang-orang yang ada di tempat itu secara bergantian lalu menunjuk kepada Mas Ibra.
"Pria ini pasti pria hidung belang yang baru saja memakai jasa Kayla. Heran, Kayla itu baru saja melahirkan. Apa enaknya, coba? Itunya juga pasti masih longgar...."
"Cukup, Ma! Cukup!" Aku berteriak seraya menghentakkan kaki ke lantai. Posisi kami saat ini tengah berada di teras, bahkan Mas Ibra ikut-ikutan diseret seperti pesakitan saja. Aku menatap sekelilingku. Ada dua orang lelaki yang berdiri di samping kiri dan kanan Mas Ibra, lalu seorang wanita yang kukenal sebagai ibu RT, kemudian ibu pemilik rumah ini dan mama Kumala.
Aku menaik-turunkan alisku saat menyadari sesuatu hal.
Dari mana wanita tua ini tahu jika aku tinggal di sini?
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu