Share

Terusir

Bab 7

Terusir

Ucapan ibu mertuaku benar-benar keterlaluan Mas Ibra bahkan sampai melotot dengan wajah yang merah padam. 

Tentu saja pria itu tersinggung. 

Betapa tidak? Dia hanya seorang pria yang dengan tulus mengantarku pulang, ingin menolongku dengan Keisha, supaya kami bisa selamat sampai di rumah tanpa harus kehujanan. Akan tetapi malah dituduh sebagai pria hidung belang

"Kenapa Mama selalu berpikiran buruk tentangku? Jika aku memang memiliki pakaian bagus dan semua yang Mama katakan itu, di mana salahku? Bukannya Mama sendiri tahu berapa uang yang diberikan Mas Gilang kepadaku?!" sambutku dengan menekan intonasi suaraku supaya selembut mungkin. 

"Bukankah wajar jika aku mengeluh kekurangan uang? Gaji Mas Gilang itu berkali-kali lipat dibandingkan dengan uang yang diberikan Mas Gilang setiap bulan kepadaku. Semua orang juga tahu siapa yang paling banyak menggunakan uang gaji Mas Gilang!" ujarku lagi. Sekalian saja aku buka-bukaan soal kebobrokan ibu dan anak itu, biar semua orang disini tahu bagaimana buruknya mantan suami dan mertua memperlakukanku.

Namun suara tawa itu terdengar begitu membahana. 

"Saya adalah ibunya dan sangat wajar jika seorang anak laki-laki menafkahi ibunya sendiri. Bukankah apa yang kita berikan kepada seorang ibu akan menjadi jalan rezeki kita berikutnya?" balas mama Kumala tak mau kalah.

Wanita itu maju selangkah, mendekat kepadaku. Nafasku seketika turun naik. Dan dengan tangan gemetar, aku mendekap erat Keisha yang akhirnya terbangun lantaran keributan yang terjadi di teras, atau mungkin juga karena udara dingin yang tiba-tiba saja menyergap, meskipun tubuhnya dibalut oleh jaket dan selimut.

"Maaf Bu, jangan menuduh seseorang tanpa bukti. Memangnya ada buktinya jika Kayla ini perempuan yang nggak benar? Setahu saya, Kayla ini bekerja di sebuah cafe milik temannya dan saya adalah pengunjung di cafe itu yang kebetulan melihat dia gelisah lantaran tak bisa pulang. Saya menawarkan tumpangan karena kasihan dengan bayinya. Ibu bayangkan saja jika Kayla harus pulang dengan menggunakan motor, hujan-hujanan dengan membawa bayinya...." Suara mas Ibra kembali terdengar setelah cukup lama pria itu diam.

"Tutup mulutmu! Maling mana ada yang mau ngaku?!" bentak mama Kumala. Perempuan tua itu spontan menghadap mas Ibra lalu menunjuk-nunjuk pria itu. "Kamu itu juga lelaki enggak benar. Lagaknya sudah seperti pahlawan, padahal kamu baru saja dipuasin sama Kayla. Iya, kan?"

"Jangan coba-coba turut campur urusan keluarga saya. Saya ini sedang memberikan pelajaran kepada mantan menantu saya ini agar menjadi janda yang baik, bukan malah jadi janda kegatalan seperti ini!"

"Benarkah?" Aku mengangkat wajah. 

"Kenapa ya aku jadi berpikiran jika Mama tengah berusaha mempermalukanku di hadapan semua orang?"ucapku lagi. 

"Tetapi asal Mama tahu, aku tidak seburuk yang Mama pikirkan. Apa yang dikatakan oleh Mas Ibra itu benar. Sekarang aku bekerja di sebuah Cafe. Jika aku memang memiliki barang-barang yang bagus, itu karena aku bekerja, tetapi bukan melakukan pekerjaan haram seperti yang Mama tufuhkan." Aku menghela nafas.

"Lagi pula, semua barang-barang itu aku tinggal di rumahku yang lama. Selingkuhan anak mama itu yang melarangku untuk membawa barang-barangku sendiri. Jangan mencoba memutar balikkan fakta, Ma. Sebaiknya Mama memberi pelajaran kepada anak mama sendiri, kenapa dia bisa sampai selingkuh, bahkan tega menelantarkan anaknya sendiri!"

Kalimat demi kalimat meluncur dari mulutku dan itu membuat mama Kumala menggeram. "Kurang ajar! Dasar tidak tahu sopan santun! Sudah salah, masih ngeles lagi! Kamu itu sudah salah karena jadi perempuan nggak bener, nggak punya moral, malah menuduh Gilang yang enggak-enggak!"

"Aku tidak menuduhnya, tetapi aku menyaksikan sendiri Mas Gilang bergumul bersama Anggi, rekan kerjanya di ranjang kami dan aku percaya itu bukan pertama kalinya terjadi. mereka sudah menjalin hubungan sejak lama." Kali ini suaraku sengaja dibuat lantang, biar semua orang tahu perselingkuhan Mas Gilang. Tidak ada gunanya aku menutup aib itu  Ibunya saja begitu keterlaluan kepadaku, apa aku salah jika membalas kebusukannya dengan membeberkan fakta perselingkuhan anaknya? 

"Tidak mungkin! Anak saya adalah pria setia. Justru kamu yang selingkuh, mencari para pria kaya untuk di poroti uangnya!" Mama Kumala menunjuk mobil mas Ibra, lalu beralih menatap pria itu, memindai penampilannya dari atas sampai bawah.

"Diam! Mau sampai kapan perdebatan ini terus berlangsung?! Kaki saya sudah pegal dari tadi!" lerai Bu RT seraya menatap ibu Riana, pemilik rumah kontrakan yang aku tempati saat ini

"Saya tidak mau ada perempuan yang nggak benar tinggal di lingkungan ini, karena akan membawa dampak buruk. Dia memang baru sekali diantar oleh laki-laki, tapi bukan berarti ini tidak akan terjadi lagi!"  Bu RT menunjuk kepadaku.

Aku menatap Mas Ibra. Pria itu tidak menunjukkan ekspresi apapun selain hanya tersenyum samar.

"Iya, Bu RT. Saya juga tidak mau ada perempuan yang nggak benar tinggal di tempat ini. Saya baru tahu siapa Kayla dari cerita Ibu Kumala yang kebetulan memang menginap di rumah Bu Susi, tetangga sebelah rumah saya. Saya nggak nyangka saja jika selama ini saya menerima perempuan nggak bener untuk menempati rumah kontrakan saya. Kemarin saya terima karena penampilannya yang seperti perempuan baik-baik. Eh, nggak tahunya...."

Aku sebenarnya masih ingin protes, tetapi aku tahan. Netraku menatap mantan ibu mertuaku yang tampak tersenyum, senyum sinis. Sesaat kemudian aku menyadari, tampaknya ini memang sudah direncanakannya. Apakah mama Kumala punya mata-mata di lingkungan ini, mengingat posisi rumah kontrakan ini dengan rumahku yang lama jaraknya cukup jauh?

Ibu Riana menatapku dalam-dalam.

"Saya tidak ingin berbuat jahat sama kamu, tetapi tolong kerjasamanya. Tolong segera kemasi bareng-bareng kamu dan segera angkat kaki dari rumah kontrakan saya malam ini juga. Saya tidak mau bermasalah dengan orang-orang yang tinggal di lingkungan ini," putus perempuan setengah baya itu.

"Tapi Bu!" Aku tersentak kaget. Hujan masih belum berhenti, bahkan pakaianku sudah basah karena aku berdiri di pinggir teras dan kena terpaan air hujan.

"Tidak ada bantahan, Kayla. Tolong segera pergi dari rumah kontrakan saya malam ini juga. Saya beri waktu kamu satu jam untuk berkemas, setelah itu pergilah. Uang yang kamu berikan untuk mengontrak rumah ini akan saya kembalikan separuh." Ibu Riana segera mengambil dompet dan memberikan beberapa lembar uang berwarna merah kepadaku. 

Dan lantaran aku tidak kunjung menerimanya, beliau menjejalkan lembaran merah itu ke dalam selimut Keisha.

Aku menatap nanar. Aku menghitung sekilas, lembaran uang itu hanya beberapa lembar, padahal aku sudah membayar uang sewa selama 6 bulan ke depan. Sementara aku baru menempati rumah ini selama dua bulan dan ibu Riana hanya memberikan uang beberapa ratus ribu kepadaku dari harga sewa yang ditetapkan oleh beliau dulu.

Ini tidak adil!

Janjinya memberikan separuh uangku. Tapi kenapa hanya mengembalikan beberapa ratus ribu?

Tampaknya ibu Riana dan mantan ibu mertuaku ini sama saja!

"Sudahlah, Kayla. Lingkungan disini tampaknya bukan lingkungan yang baik untuk kamu dan Keisha. Ada baiknya kamu memang harus meninggalkan tempat ini. Aku akan membantumu mencari tempat tinggal yang baru." Suara mas Ibra terdengar lagi di saat bibirku bergetar ingin mengucapkan sesuatu untuk memprotes keputusan ibu Riana yang sepihak dan uang yang beliau berikan.

"Mohon izin untuk masuk ke rumahmu. Mas akan bantu membawa barang-barangmu, bawa barang yang penting saja ya. Nanti di tempat yang baru kita bisa membelinya lagi," ujar mas Ibra.

Tanpa menunggu persetujuanku, Mas Ibra menadahkan tangan, meminta kunci. Aku terpaksa memberikan kunci yang ku ambil dari dalam tas selempangku.

Orang-orang itu, termasuk mama Kumala masih saja berdiri di teras sampai akhirnya Mas Ibra keluar lagi dari rumah dengan membawa beberapa koper. Setelah Mas Ibra keluar, aku segera masuk ke dalam rumah, menuju kamar tidur kami dan membuka sebuah lemari. Lemari itu memang terkunci, sehingga Mas Ibra tidak bisa membukanya. Masih dengan menggendong Keisha, aku mengambil satu tas dari dalam lemari. Aku memasukkan satu kotak perhiasan emas dan barang-barang berharga lainnya milikku ke dalam tas. Setelah menutup tas berukuran sedang itu, akhirnya aku pun keluar.

"Sudah siap, Kayla?" tanya Mas Ibra.

Aku mengangguk. Diiringi dengan derasnya hujan, akhirnya mobil pun keluar dari halaman rumah. Sempat kulihat dari balik kaca mobil, orang-orang yang menatap kepergianku, terutama mama Kumala yang nampak tersenyum puas. 

Kedua tanganku seketika mengepal.

"Jangan merasa menang dulu, Ma. Ingat, karma itu akan berlaku," ucapku dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status