Mereka lima orang berpamitan untuk pulang. Aji mencari istrinya yang tak kunjung menampakkan diri setelah tadi pamit untuk beristirahat dan rupanya ketika Aji menyusul ke dalam kamar, istrinya itu tengah tertidur di atas ranjang.Aji mendengus kesal. Inginnya membangunkan Ajeng, tapi ia urungkan. Pria itu menutup kembali pintu kamar lalu menemui para stafnya yang bersiap untuk pulang."Maaf, ya! Istri saya sedang tidur. Lagi kurang sehat. Maklumlah hamil muda. Bawaan bayi mungkin," ucap Aji memberitahu akan kondisi sang istri."Oh, Bu Ajeng sedang hamil? Selamat, ya, Pak Aji. Sebentar lagi Pak Aji dan Bu Ajeng akan menjadi orang tua," ucap Narnia memberikan selamat pada sang atasan. Lalu diikuti oleh yang lainnya, juga saling bergantian memberikan selamat pada Aji."Jika begitu kami permisi dulu, Pak. Terima kasih untuk makan malamnya dan sampaikan salam kami pada Bu Ajeng."Aji mengikuti mereka sampai depan pintu. Narnia sudah dijemput oleh suaminya. Tedy pun masuk ke dalam mobilnya
“Ajeng, berhentilah bekerja. Aku ingin kamu berada di rumah sebagai ibu rumah tangga saja yang nantinya mampu mengurusku dan anak-anak kita kelak,” pinta Aji penuh harap agar istrinya berhenti bekerja dari sebuah bank swasta ternama.Baru satu minggu mereka menikah, sebuah keputusan besar yang Aji buat, menjadikan Ajeng berpikir sangat panjang. Bagaimana mungkin sang suami meminta padanya untuk berhenti bekerja. Padahal untuk bisa di posisi pekerjaan Ajeng yang sekarang, membutuhkan waktu juga perjuangan yang panjang. Belum lagi karir yang telah dirintis Ajeng kali ini, merupakan salah satu dari perwujudan mimpi yang ingin Ajeng raih.Bahkan ini belum sepenuhnya Ajeng gapai. Apa yang ingin dia wujudkan, tapi Aji telah mendoktrinnya demikian. “Tapi, Mas.” Ajeng ingin membantah, tapi tidak sanggup karena Aji kembali menyela. “Kenapa? Kamu tidak mau? Ingat, Ajeng! Perempuan yang telah menikah dan memiliki seorang suami, harus menurut dengan apa kata suami. Tidak boleh membantah. Lagipula
Malam ini dengan penampilan yang sangat rapi, hasil dari omelan juga paksaan sang suami. Bagaimana mungkin setelah Aji meminta pada Ajeng memasak sepuluh jenis makanan, dan baru selesai di jam setengah tujuh malam. Pria itu pulang ke rumah, mendapati Ajeng yang belum mandi dan masih bau asap. Ketidaksukaan Aji lontarkan dari setiap kata yang mengatakan, “Sebagai istri harusnya kamu bisa menjaga penampilan. Jangan seperti ini. Suami pulang kerja bukannya bau wangi, yang ada justru bau ayam panggang. Buruan mandi karena setengah jam lagi Mama akan sampai.” Sebenarnya Aji hanya ingin memberikan masukan, tapi gaya bahasa Aji terlalu kasar dan tidak berperasaan. Tak peduli apakah Ajeng akan sakit hati atau tidak. Tidak berhenti sampai di situ saja ketika Ajeng sedang merias diri dengan cukup tergesa-gesa, kembali Aji berucap, “Kamu ini belum punya anak saja tidak bisa memanagement waktu dengan sebaik-baiknya. Bagaimana nanti jika sudah ada anak? Yang ada suamimu tak akan terurus. Padahal a
"Aku hamil, Mas!" Dengan mata berbinar Ajeng keluar dari dalam kamar mandi, mengulurkan sebuah benda pipih bernama test pack pada sang suami. Aji yang pagi ini baru saja membuka mata, dengan kening mengernyit heran menerima apa yang istrinya berikan. Dua garis merah yang Aji lihat, itu artinya adalah Ajeng positif hamil. Karena seringnya dia meminta pada Ajeng untuk selalu melakukan tes kehamilan di pagi hari, membuat Aji sudah paham akan apa arti dari benda keramat yang sejak mereka menikah sudah tak lagi asing baginya. Senyum Aji mengembang. Mengucek matanya berharap apa yang sedang ia lihat memang nyata. Dan yah, dua garis merah masih terlihat olehnya. "Jadi benar kamu hamil?" tanyanya sembari mendongak menatap pada Ajeng yang berdiri di sisi ranjang. Istrinya itu menganggukkan kepala dengan senyum tak pernah lepas dari bibirnya, tanda jika sedang bahagia. "Itu artinya aku positif hamil, Mas. Tapi ... untuk memastikannya kita harus mendatangi dokter kandungan," jelas Ajeng. Se
Derit kursi yang beradu dengan lantai menimbulkan bunyi yang mampu mengalihkan perhatian Ajeng. Wanita itu tengah menata sandwich di atas piring, menolehkan kepala melewati bahu hingga dia dapat melihat suaminya yang menarik kursi makan untuk dia duduki.Buru-buru Ajeng menyelesaikan pekerjaannya. Mengelap pinggiran piring yang terkena noda mayonaise. Hal kecil seperti ini terkadang menjadi debat panjang lagi. Aji benar-benar tidak suka jika ada hal yang tak mengena di hatinya. Maunya dia, selalu perfect baik soal makanan atau pun segala hal. Dengan cekatan Ajeng membawa dua porsi menu sarapan mereka pagi ini. Lalu dengan hati-hati meletakkan piring di atas meja makan. Satu bagian untuk Aji, Ajeng sodorkan di hadapan suaminya itu. Tak lupa menyiapkan sekalian garpu dan pisau pemotong sandwich di sebelah piring milik Aji. Kopi hitam pekat tanpa gula juga sudah tersaji. Namun, rupanya Aji tak langsung menyantap makanannya, melainkan menatap tajam pada Ajeng. "Baju yang aku pakai ini,
"Kau ini mandi lama sekali!" Cecar Aji begitu mendapati Ajeng keluar dari dalam kamar mandi, dengan rambut basah yang dibungkus dengan handuk. "Maaf, Mas. Aku sekalian keramas tadi," jawab Ajeng berlalu menuju meja riasnya. Belum juga wanita itu duduk, Aji sudah kembali memberikan perintah padanya. "Sudah tahu aku gerah dan tubuhku lengket oleh keringat, kamunya malah semedi di dalam kamar mandi. Buruan ambilkan baju ganti!" "I-iya, Mas." Ajeng berjalan menuju lemari pakaian, membukanya dan baru teringat jika malam ini mereka berencana untuk pergi ke dokter. Memeriksakan kehamilannya. Ajeng melongokkan kepala, melihat Aji yang sedang membuka pintu kamar mandi. "Mas!" Aji yang sudah melangkah masuk ke dalam kamar mandi menoleh, "Apa?" "Kita jadi ke dokter?" "Ya, jadi!" Aji menjawab malas setelahnya menutup pintu kamar mandi. Setidaknya jika mereka jadi pergi, Ajeng akan menyiapkan baju yang sesuai untuk sang suami. Jangan sampai Ajeng salah menyiapkan kostum, jika tidak ingin
Ajeng benar-benar hamil. Keluar dari ruang pemeriksaan dokter dengan senyuman lebar serta perasaan yang tak mampu dilukiskan karena rasa bahagia yang membuncah. Ya, penantiannya selama beberapa bulan usia pernikahan tidak lah sia-sia karena sekarang saatnya bagi Ajeng untuk menunjukkan pada Aji bahwa dia tidak pernah yang namanya menunda kehamilan. Apalagi sampai mengkonsumsi pil pencegah kehamilan tanpa sepengetahuan sang suami. Tuduhan yang sempat mengarah padanya dan sempat membuat Ajeng sakit hati dibuatnya.Melirik lelaki yang berjalan di sampingnya. Siapa lagi jika bukan Aji. Ajeng mengulas senyuman, lalu meraih tangan Aji, membuat pria itu tersentak. Menoleh sekilas pada sang istri."Mas, aku beneran hamil," ucapnya dengan penuh semangat."Iya, aku juga tahu. Bukankah tadi dokter sudah menunjukkan padaku," jawab Aji biasa saja. "Apa kamu bahagia, Mas?" tanyanya. Ajeng mendongakkan kepala ingin melihat ekspresi wajah suaminya."Tentu saja aku bahagia. Terlebih jika anak itu nan
Pintu kamar terbuka, Ajeng muncul di ambang pintu. "Ada apa, Mas?" tanya wanita itu pada suaminya."Dasiku mana? Kamu menyiapkan bajuku tanpa dasi!" Protes Aji sembari mengenakan kemeja. Mengancingkannya cepat karena diuber waktu yang membuatnya hampir terlambat masuk kerja.Ajeng menghela napas melewati mulut. Ini hanya masalah dasi. Sebenarnya suaminya ini bisa mengambilnya sendiri tanpa harus berteriak-teriak memanggilnya yang sedang terburu-buru membuat sarapan. Namun, seperti inilah sifat Aji yang mulai dapat Ajeng pahami. Tidak pernah mandiri dan selalu banyak mau.Dengan langkah cepat Ajeng menuju lemari baju. Memilihi dasi pun dengan cekatan karena dia masih ada tugas di dapur yang belum diselesaikan."Ini, Mas," ucap Ajeng menyerahkan dasi pada suaminya."Pakaian sekalian!" titah pria itu. Ingin menolak, tapi tak jadi Ajeng lakukan. Lebih baik menurut saja agar Aji tak lagi banyak bicara.Ajeng mendekati Aji yang kini mendongakkan kepalanya. Jangan harap kejadiannya seperti d