POV Asep
"Dasar anak setan!" teriak Eka sembari melayangkan sebuah tamparan keras yang bunyinya sampai terdengar dari sini.Plakkk"Sakit ..." Suara Ais terdengar begitu lirih."Sakit!? Rasakan!" Suara istri baruku itu terdengar semakin nyaring saja. Dan, mulai terdengar Isak halus dari putriku itu.Hufft ...Pulang kerja disuguhi yang seperti ini saja tiap hari. Kulangkahkan kaki menuju ke sumber suara, dimana lagi kalau bukan di luar rumah."Ada apa lagi sih, Yank?" tanyaku sembari berdiri di ambang pintu.Wanita yang perutnya sudah semakin membuncit itu pun langsung menoleh ke arahku. "Ini ... Anak setan ini, selalu saja buat aku marah Mas!" tukasnya sembari menoyor kepala Ais, hingga gadis itu terjatuh ke belakang.Ais, putri dari pernikahan pertamaku itu, semakin deras menangis dan tak lagi bangkit. Dia hanya duduk sembari sesenggukan."Memangnya dia kenapa?"Mata bulat Eka masih memandang Ais dengan tatapan penuh kebencian. "Aku nyuruh dia dari tadi nyuci baju, eh malah nggak selesai selesai. Padahal kan cucian piring di belakang juga numpuk." Eka mulai nyerocos seperti biasanya. "Kamu tahu kan jika aku itu nggak suka rumah yang jorok?"Aku mendengus kasar. "Ais kan masih kecil, Ka. Dia belum bisa bekerja cepat."Mulut Eka nampak semakin mengerucut. "Masih kecil apa? Dulu saat aku masih berumur tujuh tahun, aku sudah mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan cepat. Harusnya Ais juga bisa dong!" Eka berucap masih dengan suara lantangnya.Alasan seperti ini yang selalu diucapkan oleh Eka. Kadang aku berpikir, dia trauma dengan masa kecilnya, dan saat ini malah ingin melampiaskannya pada Ais."Sudahlah, ngapain marah-marah. Nggak bagus buat kehamilan kamu juga.” Aku melirik Ais sesaat, lalu kembali pada Eka. “Udah, sekarang ayo kita masuk, aku tadi bawa makanan. Biarkan Ais lanjutin kerjanya," bujukku agar dia tak lagi berteriak. Pusing mendengarnya."Nggak ah, Mas. Aku malas makan nih, masih emosi sama anak setan ini!" Eka menggeleng dan malah kini menendang Ais yang masih terduduk menangis. "Heh pemalas. Jangan akting menangis ya kamu. Cepat kerja! Atau kamu nggak akan dapat makan hari ini!" Sontak saja tubuh Ais limbung, tetapi kemudian dia berusaha bangkit. "Jangan Tante ... Ais mau makan, Ais lapar sekali," ucap Ais lirih dan serak. "Dari kemarin malam belum makan."Sedikit kaget aku mendengar pengakuan Ais. "Kamu nggak ngasih Ais makan dari kemarin, Yank?""Nggak!" Eka menjawab dengan spontan. "Mending dimakan tikus dari pada dimakan dia!" ucap Eka sambil menjewer kuping Ais."Sakit ..." Kembali putri kecilku itu merintih.Meski setiap hari pulang ke rumah, tapi aku memang jarang perhatian pada Ais. Pulang kerja, capek, diservis sama Eka, sudahlah tidur. Menikmati hidup intinya."Tapi harusnya kamu tetap ngasih dia makan, Yank. Kalau dia sampai kenapa Napa gimana? Bisa kacau," ucapku kemudian.Ais adalah darah dagingku dengan Nisa, wanita yang aku nikahi karena dia punya rumah warisan dan juga jago cari uang.Akan tetapi, kemudian aku mengenal Eka dan jatuh cinta padanya yang lebih sexy, cantik serta pintar memanjakanku di ranjang. Karena aku begitu mencintai Eka, maka aku tak begitu menggubrisnya. Terserah saja Eka mau ngapain sama Ais. Tetapi jangan sampai keterlaluan, karena aku nggak mau berurusan dengan pihak berwajib.Eka kembali menoleh ke arahku dengan tatapan tajam."Kenapa memangnya Mas? Kamu takut dia kelaparan terus mati? Iya? Kamu takut kalau anak kamu mati?"Tatapan mata Eka seperti menantang ke arahku. "Biar saja dia mati. Biar kamu nggak terus mikiran si Nisa itu! Biar aja dia mati!"Sembari mengatakan hal itu, Eka malah seperti kesetanan, dia memukuli Ais dengan sandal.Jeritan dari mulut mungil Ais mulai terdengar, beradu dengan suara sandal karet yang menyapa tubuhnya.Haduh ... Eka memang selalu cemburu pada Nisa. Jika tak aku selamatkan, bisa bisa Ais mati beneran ini."Sudah, Yank. Sudah."Kutarik dengan lembut tangan Eka. "Wanita yang hamil tua, nggak boleh terlalu emosi ya," bujukku. "Aku nggak mau anak kita kenapa-napa."Beberapa saat Eka masih kekeuh, namun akhirnya istri mudaku itu mau berhenti juga setelah aku berkata, “Daripada marah-marah, mending kamu pikirin mau cincin seperti apa. Dikit lagi jadwal Nisa kirim uang, jadi aku ada uang lebih. Kamu ingat ‘kan aku mau beliin kamu cincin baru?”Eka langsung melirikku. "Serius, Sayang?" Suara Eka kembali terdengar manja."Iya Sayang, setelah ini kita berangkat ya," ucapku sembari melirik ke arah Ais yang nampak ketakutan."Mauu!" Eka yang beberapa detik tadi emosi, sekarang sudah berubah.Tak masalah, apa sih yang nggak buat Eka? Toh jika uangku habis, kan bisa minta kiriman dari Nisa lagi?Hidup ini memang begitu indah, punya dua istri. Yang satu jadi pohon uang, yang satu jadi pemuas ranjang. Nikmat mana yang kau dustakan?DrrtBaru saja ingin masuk rumah dengan Eka dalam pelukan, mendadak ponsel di sakuku berdering.Kulihat layar, dan wajahku pun berubah keruh. “Dari siapa, Mas?” Eka melirik layar ponselku, lalu mukanya berubah masam lagi. "Ish! Dari si Babu." Eka langsung mencebik.Ya … pesan yang baru saja kuterima, berasal dari Nisa.Aku pun langsung membukanya, lalu membaca isi pesannya. Seketika, aku pun melotot.[Mas, aku dalam perjalanan pulang.]“Kenapa dia mendadak pulang!?”“Ryan, aku nggak tahu apakah ini keputusan yang benar,” Nisa membuka percakapan sambil menggenggam secangkir teh di tangannya. Mereka duduk di teras rumah Nisa, suasana malam yang tenang membuat percakapan mereka terdengar lebih dalam.Ryan menatapnya lembut, senyum kecil terlukis di wajahnya. “Apa yang membuatmu ragu, Nisa? Aku pikir kita sudah melewati begitu banyak hal bersama.”Nisa menghela napas, menatap lurus ke depan. “Aku khawatir tentang Ais. Dia sudah terlalu banyak melihat perubahan dalam hidupnya. Aku nggak ingin membuat keputusan yang salah dan menyakitinya lagi.”Ryan mengangguk, memahami sepenuhnya perasaan Nisa. “Aku mengerti, Nisa. Ais adalah prioritas kita. Aku juga sudah memikirkan ini dengan sangat hati-hati. Aku ingin memastikan bahwa kita semua, termasuk Ais, siap untuk melangkah ke tahap ini.”Nisa terdiam sejenak, merenung. Ryan selalu membuatnya merasa aman, dan Ais pun tampak begitu dekat dengan Ryan. Sejak mereka kembali dari Taiwan, Ais tidak henti-hentiny
Sore itu, suasana desa terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari mulai tenggelam, menciptakan pemandangan yang indah di atas sawah-sawah yang hijau. Nisa dan Ryan duduk di bawah pohon besar dekat rumah Nisa, menikmati teh hangat sambil memandangi Ais yang bermain dengan anak-anak desa lainnya. Suasana damai ini adalah sesuatu yang sudah lama dirindukan oleh Nisa."Aku nggak percaya kita sudah melalui semua ini, Ryan," kata Nisa dengan senyum kecil di wajahnya. "Rasanya seperti mimpi."Ryan tersenyum, menatap Nisa dengan penuh kasih sayang. "Aku juga, Nisa. Tapi ini nyata. Kita di sini, bersama-sama, dan itu yang paling penting."Nisa mengangguk pelan. "Ya, kamu benar. Aku bersyukur atas semua ini."Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kedamaian yang jarang mereka rasakan. Namun, suasana itu tiba-tiba terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat. Nisa menoleh dan melihat Andi berjalan ke arah mereka, wajahnya tampak sedikit canggung."Selamat sore," sapa Andi sambil tersenyum
Malam itu, Nisa sedang duduk di teras rumah keluarga Ryan di Taiwan. Angin sejuk berhembus pelan, membawa aroma bunga-bunga yang mekar di taman. Ais sedang bermain di dekat kolam ikan, tertawa ceria sambil menunjuk-nunjuk ikan-ikan yang berenang. Nisa merasa damai, seolah-olah semua beban hidupnya mulai berkurang sejak dia tiba di tempat ini. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu oleh dering telepon di sakunya.Nisa mengambil ponsel dan melihat nama yang terpampang di layar. Asep. Hatinya seketika merasa tidak nyaman. Dia tahu, setiap kali Asep menghubunginya, selalu ada masalah yang dibawanya.Dengan sedikit ragu, Nisa mengangkat telepon itu. “Halo?”Suara Asep terdengar dingin di seberang sana. “Nisa, kamu di mana sekarang? Aku tahu kamu sama Ryan di luar negeri. Jangan berpikir kamu bisa lari dari aku.”Nisa menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. “Asep, aku sedang bersama Ais. Aku nggak lari dari siapa pun. Aku hanya ingin tenang dan fokus merawat anak kita.”“Apa maksud
“Ais, udah siap? Nanti kita terlambat!” Nisa memanggil putrinya sambil melipat beberapa pakaian terakhir ke dalam koper. Suaranya terdengar setengah berteriak, mencerminkan kegugupan yang dirasakannya sejak pagi.“Iya, Bu! Sebentar lagi!” sahut Ais dari kamar sebelah. Suara ceria anaknya menenangkan sedikit kekhawatiran di hati Nisa. Meskipun ini bukan perjalanan pertamanya ke Taiwan, kali ini terasa berbeda. Kali ini, dia tidak berangkat sebagai seorang pekerja migran, tetapi sebagai tamu istimewa keluarga Ryan, orang yang semakin dekat dengannya setiap hari.Ryan muncul di pintu, senyum khasnya menenangkan Nisa yang masih sibuk memastikan semuanya tertata rapi. “Jangan khawatir, Nisa. Kita punya banyak waktu sebelum pesawat lepas landas. Kamu udah siap?”Nisa mengangguk, meski masih ada rasa cemas di wajahnya. “Aku cuma nggak mau ada yang ketinggalan, Ryan. Ini perjalanan yang penting, aku harus memastikan semuanya sempurna.”Ryan tertawa kecil dan berjalan mendekat, meletakkan tang
Suasana sore yang cerah menyelimuti desa, membuat pepohonan yang rindang tampak lebih hijau dari biasanya. Di sebuah rumah sederhana di ujung desa, Nisa sedang duduk di ruang tamunya, memandangi secangkir teh yang mulai mendingin di tangannya. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk sejak pesta desa beberapa hari yang lalu. Andi sudah mengungkapkan perasaannya, dan meskipun Nisa menghargai kejujurannya, dia masih belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.Tiba-tiba, pintu rumahnya diketuk. Nisa segera berdiri dan membuka pintu, menemukan Ryan berdiri di ambang pintu dengan senyuman ramah."Ryan? Silakan masuk," ujar Nisa, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.Ryan tersenyum lebar, mengangguk sopan sebelum melangkah masuk. "Terima kasih, Nisa. Aku nggak ganggu, kan?"Nisa menggeleng cepat. "Nggak sama sekali. Ada yang bisa aku bantu?"Ryan duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Matanya yang biru menatap Nisa dengan lembut. "Sebenarnya, aku datang un
Mentari pagi mulai menyinari desa, menerangi pepohonan dan rumah-rumah yang masih tampak tenang. Di sudut desa, di sebuah warung kecil yang dikelola oleh Bu Sri, Andi duduk sambil menikmati secangkir kopi hitam yang baru saja diseduh. Pikirannya melayang, memikirkan Nisa dan bagaimana akhir-akhir ini dia merasa semakin jauh dari wanita yang diam-diam dia cintai sejak lama.Setelah melihat kedekatan Nisa dengan Ryan, Andi mulai merasa tersisih. Dia melihat bagaimana Nisa tersenyum lebih sering saat bersama Ryan, bagaimana matanya berbinar saat Ryan berbicara dengannya, dan bagaimana Nisa tampak nyaman berada di dekat pria itu. Hati Andi mencelos setiap kali dia melihat itu, tapi dia bukan tipe orang yang mudah menyerah.Andi tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu, sesuatu yang besar dan tidak biasa, jika dia ingin mendapatkan hati Nisa. Selama ini, dia hanya diam dan mengamati dari jauh, tetapi kali ini dia bertekad untuk bertindak. Dia tidak bisa membiarkan Ryan merebut Nisa begitu sa