“Loh Pak, itu obat siapa?” Bi Sumi sedikit terkejut, sampai-sampai bola matanya nyaris saja keluar.
“Ini obat Khalid Bi, kayaknya sakit deh. Pantas rewel. Nih kasih aja, saya menemukan obat ini di tumpukan pakaiannya.” Bi sumi segera mengambil obat yang aku sodorkan. Terlihat dia membolak-balikkan lembar demi lembar obat-obatan itu. Wajahnya terlihat bingung hingga sesekali melihat ke arahku, kemudian dia membaca lagi tulisan yang tertera dalam obat-obatan itu. Kali ini dia meraba kening bayiku. Hingga bisa kulihat dia mengerutkan dahinya. Lagi-lagi ekspresi heran dia tunjukkan padaku.
“Kenapa, Bi?”
“Maaf Pak, ini kayaknya bukan obat Khalid.”
“Loh, tahu dari mana? Memangnya dia itu dokter. Kenapa yakin sekali kalau itu bukan obat untuk Khalid?
“Saya juga punya anak di rumah. Waktu anak saya sakit pasti obatnya di kasih yang sirop, kalau pun ada yang tablet pasti sudah dalam bentuk serbuk.”
“Kalau bukan punya Khalid terus ini punya siapa?”
“Kali aja punya Ibu.”
“Masa udah 3 bulan masih juga minum obat sebanyak ini?”
“Saya kurang tahu kalau soal itu. Walaupun saya perempuan, tapi ‘kan enggak bisa dipukul rata. Apa lagi Ibu, punya dua balita kembar yang sedang aktif-aktifnya. Saya sering lihat Ibu kerepotan. Bisa juga itu ngaruh kejaitannya. Nanti coba aja Bapa tanya sama ibu langsung.” Ah kalau ujung-ujungnya suruh tanya Nisa, saya juga tahu enggak usah di ajarkan. Akhirnya kutaruh saja obat itu di meja ruang tamu. Nanti kutanyakan pada Nisa kalau dia sudah kembali.
Bi Sumi terlihat sangat cekatan mengurus si Bungsu. etelah sekujur tubuh Khalid dibalurkan minyak telon dan digantikan bajunya dengan yang bersih, bayi kecil itu langsung digendong. Tak lama tangisnya berangsur mereda.
“Kalau Bapa mengizinkan, Den Khalid mending sama saya aja. Nanti kalau pun bangun Bapak enggak perlu repot-repot ke kamar saya lagi,” tawar Bi Sumi. Bagai mendapat angin segar. Tentu saja aku menyetujui permintaannya, dari pada harus kerepotan merawatnya sendirian. Mending kalau dia mau diam saat kugendong. Kenyataannya malah bertambah keras dan terus memberontak. aku benar-benar kewalahan. Setelah Khalid di bawa masuk. Aku kembali ke tempat tidur untuk mengistirahatkan badanku yang sudah lelah.
Keesokan paginya Bi Sumi mengetuk pintu. Rasanya baru saja mata ini terpejam. Kenapa harus di bangunkan secepat ini? Tidak bisakah dia membiarkan aku tidur lebih lama sebentar saja.
“Ada apa?” Aku menyembulkan kepala keluar pintu.
“Ada Bu Erna Pak di luar. Katanya, mau jemput Den Khalid.” Bu Erna. Aku mengucek mataku berkali-kali, lalu melihat ke arah jam yang menempel di dinding kamar. Pukul 6 lebih 25 menit. Memang harus datang sepagi ini?
Mataku masih mengantuk. Meski begitu kupaksakan berjalan keluar kamar. Berkali-kali kubasuh wajahku dengan air mengalir. Namun, percuma saja hal itu tak mampu mengusir kantukku sama sekali.
Di ruang tamu Ibu datang sendirian. Tumben sekali tak di antar Bapak mertua. Biasanya mereka selalu bersama. Kucium tangannya dengan takzim. Meski aku bukan ahli agama tapi setidaknya aku cukup tahu sopan santun.
“Ibu sendiri?”
“Iya Bapa lagi jaga Nisa.”
“Loh, kenapa juga Nisa harus di jagain?” Ekspresi Ibu langsung berubah, seperti orang yang panik.
“Memang Nisa kenapa?” bukannya menjawab Ibu malah diam saja membuatku semakin penasaran.
“Ya, ‘kan kasihan Nisa sendirian di rumah. Enggak ada yang nemenin.”
“Oh ya sudah, tapi benar ‘kan Nisa di rumah?” Lagi-lagi ekspresi Ibu seperti orang yang terkejut. Apa yang salahkah dengan pertanyaanku?
“Iya di rumah, kamu enggak percaya sama Ibu?”
“Percaya kok Bu. Irwan cuma memastikan aja.” Lagi pula kalau di rumah kenapa juga Ibu harus menunjukkan ekspresi keterkejutan seperti itu.
“Khalidnya mana, Wan?”
“Ada sama Bi Sumi.” Ibu tiba-tiba saja tertawa kecil, melihatku yang terus menguap menahan kantuk.
“Semalam Khalid ganggu tidur kamu, ya?”
“Gak apa-apa. Udah biasa kok.” Kupaksakan untuk sedikit tersenyum meski kenyataannya sangat mengganggu malah. Ini saja kepalaku masih sakit karena terus-terusan di paksa terbangun, tapi tak mungkin juga kukatakan semua itu pada mertuaku. Bisa turun pamorku nanti.
“Syukurlah, Ibu jadi enggak enak takut bikin kamu repot. Beruntung Nisa punya suami yang pengertian. Mau gantiin jaga Khalid yang masih merah, padahal repot, loh.” Apakah wanita di hadapanku ini sedang menyindirku, tetapi kalau di lihat-lihat sepertinya Ibu benar-benar tulus mengatakannya. Padahal kalau saja dia tahu yang sebenarnya. Cara menggendong bayiku pun aku tak tahu. Ah, biarkan saja Ibu berpikir begitu. Agar aku tetap menjadi menantu terbaik baginya. Cukup senyumku saja yang menjawab pertanyaan Ibu, tak perlu lagilah aku sesumbar.
“Besok Nisa bakal pulang lagi, biar Khalid sama Ibu dulu.” Da meraih Khalid dari gendongan Bi Sumi.
“Iya salam buat Nisa. Oh iya, ini mau sekalian titip hape Nisa barangkali dia butuh. Biar gampang komunikasinya.”
“Sini biar Ibu bawa.”
“Kok buru-buru?”
“Iya enggak apa-apa. ‘kan kamu juga mau kerja.”
“Iya sih.” Kuantar Ibu sampai keluar, tapi baru saja sampai pintu, Reina dan Raina malah berteriak memanggil neneknya belum sampai situ, mereka juga memaksa minta ikut, kalau sudah begini, aku bisa apa? Selepas kepergian Khalid bersama ke dua kakaknya. Aku segera bersiap untuk ke kantor. Baru juga ingin pergi ke kamar mandi Bi Sumi malah mengajakku bicara.
“Pak, saya mohon izin ya hari ini gak masuk dulu, soalnya anak saya sakit, mau saya bawa ke puskesmas.”
“Oh gitu ya sudah, tapi besok masuk ‘kan?”
“Iya Pak, insyaallah.”
“Ya sudah.” Sekarang rumahku benar-benar sepi. Hanya tinggal aku seorang diri.Tak terlalu buruk juga setidaknya tak ada lagi teriakan tiba-tiba yang mengganggu tidurku. Di kantor semua berjalan seperti biasa. Hingga saat aku pergi ke Pantry, kebetulan di sana juga ada Santi, dia tengah menyeduh kopi.
“Ngopi, Pak?”
“Iya nih,” jawabku canggung, berdekatan dengan wanita muda lagi pakaiannya yang sedikit terbuka atas bawah seperti ini. Sungguh menggoda imanku yang hanya setipis kelambu.
“Mau saya bikinin?”
“Enggak usah, nanti malah ngerepotin.”
“Enggak apa-apa kok.” Gadis muda itu malah tersenyum padaku. Manis sekali. Benar kata orang daun muda hadirnya saja selalu lebih menggoda. Santi begitu sigap mengambil cangkir kosong lalu menuangkan kopi beserta gulanya. Menuangkan air panas. Setelah diaduk dia pun segera memberikan cangkir itu padaku.
Aroma kopi yang wangi seketika menyeruak ke indra penciuman. Kutiup sebentar lalu tak lama menyesapnya perlahan.
“Panas!” lirihku. Santi malah tertawa melihatku kepanasan begini, tawanya itu seakan menyalurkan bahagia ke dalam hatiku, aku pun akhirnya ikut larut di dalamnya.
“Bapa lucu. Orang baru jadi masa langsung di minum.” Gadis itu masih saja terus menertawakanku. Meski dalam nuraniku terus menjerit bahwa yang kulakukan bukanlah suatu hal yang di benarkan oleh agama pun masyarakat, tapi naluri laki-lakiku lagi-lagi memaksa untuk meneruskannya. Seandainya Nisa bisa semanis ini padaku. Mungkin tak akan ada cerita seperti ini. Dia yang lebih memilih pergi meninggalkanku sendirian di rumah, padahal tahu dengan benar kalau aku sedang sangat membutuhkan pelukannya. Jangan salahkan aku Nisa. Ini semua salahmu. Kamu yang memberi jalan. Maka aku hanya akan menurutinya meneruskan langkah kaki sesuai arah yang kau tunjukan.
Sepulang kerja penyakit vertigoku sepertinya kambuh lagi, pasti karena semalam tidak bisa tidur, dan tadi pagi lupa sarapan di tambah lagi aku malah mengambil lembur. Aku berpegangan pada dinding, terus berjalan perlahan menuju area parkir.Di sana aku lagi-lagi bertemu dengan Santi, rupanya dia juga lembur. Area parkir sudah sepi hanya tinggal beberapa karyawan yang masih di dalam, wanita itu sepertinya sadar dengan keadaanku yang tak baik-baik saja. Santi dengan sigap menghampiriku, lalu memapah sampai ke mobil.“Saya antar Bapak pulang, ya. Saya bisa nyupir kok.”“Terus motor kamu?” Seingatku dia biasa pergi ke kantor dengan scooter matic merah muda.“Enggak apa-apa saya tunda saja di sini.”“Terus nanti kamu pulangnya bagaimana, saya enggak bisa nganter kamu lagi?”“Banyak ojek Pak, lagian baru jam 8. Belum terlalu malam. Mari biar saya bantu!”Aku hanya mengangguk semba
“Kenapa melihatku seperti itu, Nisa. Mau marah?” tanyaku hati-hati, sakit di kepalaku belum reda sepenuhnya akan bertambah runyam urusannya kalau sampai Nisa marah-marah.“Enggak.” Nisa malah menggeleng pelan suaranya tak kalah lembut dengan Santi, bibirnya bahkan tersenyum lagi. Kali ini terlihat ada ketulusan di dalamnya. Meski tidak bisa di bohongi matanya berkaca-kaca.“Terima kasih sudah membantu suami saya,” ucap Nisa sembari menatap Santi.“Oh iya Mbak, sama-sama.”“Lain kali anda tidak perlu repot-repot membukakan kancing bajunya, masih gadis ‘kan? Perbuatan yang kamu lakukan bisa mengundang syahwat?”“Hmm iya Mbak, saya minta maaf.” Santi langsung tertunduk malu, suaranya tercekat dia terlihat sangat gugup, hingga kulihat berkali-kali jarinya bergerak-gerak tanpa kontrol, gerakan khas seseorang
“Apa syaratnya?” Nisa terdiam entah syarat apa yang akan dia berikan, tapi apakah aku tidak sedang bermimpi dia benar-benar mengizinkanku untuk menikah lagi?“Menikahlah bulan depan, jangan sekarang!” kata Nisa setelah itu dia meninggalkanku begitu saja, tanpa penjelasan apa pun lagi. Hanya itu syarat yang dia ajukan. Itu artinya tinggal 20 hari lagi. Aku menghentikan langkahnya yang semakin menjauh.“Kamu mengikhlaskanku menikah lagi?”“Iya.”“Apa alasannya?”“Apa itu perlu dijelaskan, bukannya Abang yang terus memaksaku buat setuju?” Nisa melepaskan lenganku dengan perlahan.“Khalid nangis, aku ke atas duluan. Telepon saja calon istri Abang, pastikan dia bersedia.” Nisa mengusap pundakku dengan lembut. Senyumnya lagi-lagi mengembang sempurna. Aku tahu itu hanya senyum palsu,
“Belum tentu juga Santi mau jadi istri ke dua.” ucap istriku.“Siapa bilang?” Tentu saja dia mau kulihat dia sepertinya menyukaiku.“Kalau Santi malah menyuruh Abang menceraikanku. Apa yang bakal Abang lakukan?” Pertanyaan macam apa ini. Meski rasa cintaku pada Nisa kian memudar, tapi tak sampai hati kalau harus berpisah dengannya, terlebih anak-anakku.“Ah sudahlah enggak usah dibahas. Kemarin Abang menemukan obat di tumpukan baju Khalid, itu punya siapa?”“Obatku, Bang.”“Oh.”“Cuma Oh?”“Syukurlah Abang pikir Khalid yang sakit.”“Abang enggak mau tanya aku sakit apa?”“Bukannya kamu memang sering minum obat itu sejak melahirkan?” Nisa malah tersenyum, tapi di sana ada garis kecewa yang terukir jelas. Apa lagi ini, kenapa dia jadi begitu emosional?“Iya.”“Memangnya kam
“Sayang enggak boleh begitu, anak-anak saliha Mamah, harus berbakti sama siapa ya?”“Orang tua.” Mereka serentak menjawab.“Nah, orang tua Reina sama Raina siapa?”“Mamah sama Papah,” jawab mereka lagi.“Kalau begitu dijawab dong pertanyaan Papah. Dosa loh, masa orang tua lagi ngomong ditinggal. Nanti Allah enggak sayanglagi sama Reina dan Raina mau?”“Enggak mau.” Mereka langsung tertunduk lagi.“Sayang, Reina sama Raina memangnya kenapa kok enggak mau kalau salatnya diimami Papah?” Aku sudah gemas, langsung saja kutanyakan langsung. Si kembar ini bukannya cepat menjawab malah saling sikut satu sama lain“Kamu aja!”“Kamu aja!”“Aku enggak suka Papah dekat sama tante baju merah.” Tante baju merah … apakah yang dia maksud Santi? Dia menggunakan setelan merah waktu itu. Pandanganku
“Makan Bang, cobain!” Nisa menaruh potongan roti bakar di dekatku.“Enak.” Apa pun yang dia buat selalu enak. Semuanya sesuai dengan seleraku. Wanita di hadapanku hanya mengulum senyum. Kini tangannya beralih pada buah jeruk yang sudah terpotong jadi dua. Tangannya cekatan memeras buah jeruk itu hingga keluar sarinya.“Jus jeruknya Bang, bibirmu sariawan.”“Dari mana kamu tahu?”“Kita ini suami istri Bang, hal kecil kayak begitu aku pasti tahu.”“Perasaan aku enggak pernah kasih tahu kamu.”“Waktu tidur semalam mulut Abang terbuka. Aku jadibisa lihat ada luka di bibir Abang.” Refleks aku mengatupkan kedua bibirku yang kebetulan memang tengah terbuka.“Mangapnya ‘kan semalam Bang, bukan sekarang.” Kumakan saja roti bakar di depanku, dari pada jadi salah tingkah. Nisa hanya tersenyum melihatku yang makan sepotong roti dalam satu k
“Sa, beneran deh, nanti Abang susul kamu.” “Wassalamualaikum.” Telepon pun ditutup oleh Nisa. Aku tahu dia pasti kecewa, apa aku sudah keterlaluan? Ah sudahlah lebih baik segera pamit dan menyusulnya ke sana, lagi pula Santi juga tidak apa-apa. Aku pikir sakitnya parah. Aku segera kembali ke kamar Santi untuk mengambil tas kerjaku yang tertinggal di sana, sekalian pamit pulang juga, tapi sepertinya ada Ibunya Santi di dalam sana. Aku menghentikan langkah, tertahan di balik daun pintu saat melihat Santi dan Ibunya yang tengah berseteru. “Bagaimana sih Bu, aku jadi jatuh ‘kan?” Nisa terduduk di lantai, sepertinya dia terjatuh karena lantai yang licin. “Ibu ngepelnya sudah kering kok San.” Raut wajah sedih seorang Ibu terukir jelas di wajah tua perempuan itu. Tangannya berusaha membantu Santi berdiri tapi karena lantai yang licin Santi jadi terjatuh lagi. Aku refleks memajukan kakiku melangkah mendekati mereka tapi begitu Santi bersuara lagi
“Apa bener bini gue sakit, Ris?” Lagi-lagi Haris berdecak kesal.“Bisa-bisanya serumah sampai enggak ketahuan bini lu sakit, pada ngapain aja lu di rumah, heran gue!” Bukannya langsung menjawab saja pertanyaanku. Haris malah terus mengumpat. Membuatku semakin terpojok. Tidak bisa aku ungkiri perkataannya memang benar. Aku tidak bisa lagi buang waktu. Rasa khawatirku semakin memuncak, mengabaikan hujan lebat lengkap dengan angin yang bertiup kencang. Aku menerobos jalanan yang tampak sepi.“Di rumah sakit mana dia periksa?”“Ah, bodoh!” Saking emosinya kupukul setir mobil, merutuki kebodohanku yang lupa menanyakan alamat rumah sakit tempat dia check up. Mungkin di Mitra Sehat? Rumah sakit itu yang terdekat dari rumah. Kususuri jalanan barangkali Nisa ada di sana. Entah kenapa firasatku mendadak tak enak begini, entah karena khawatir atau merasa bersalah rasanya tak karuan. Sampai di rumah sakit. Aku l