Kamu ke mana, Nisa? Kenapa selalu membuatku kesal! Ada baiknya kutelepon Nisa saja, tapi dering ponselnya malah terdengar di telinga. Dia bahkan meninggalkan ponselnya di rumah. Bisa-bisanya dia pergi seperti ini. Sial, aku tidak henti-hentinya mengumpat. Segera kucari ponsel Nisa. Kuperiksa saja sekalian barangkali saja dia meninggalkan jejak di sana. Di mana ponselnya aku terus mencari ponsel itu mengikuti nada deringnya. Di lemari? Sejak kapan dia menyembunyikan ponsel di lemari? Aneh. Gegas kuperiksa ponselnya. Pesannya kosong. Tidak ada riwayat chat sama sekali. Hanya ada 5 panggilan tak terjawab dari Indri. Setahuku dia tak pernah punya teman dengan nama Indri. Tidak ada salahnya bukan, kalau aku melakukan panggilan dengan Indri. Mungkin saja dia tahu sesuatu tentang Nisa.
“Hallo selamat malam, maaf mengganggu waktunya sebentar,” ucapku. Ini memang sudah larut malam aku tahu ini bukan waktu yang baik untuk menelepon.
“Selamat malam juga, maaf ini dengan siapa?” Suara Indri di ujung telepon.
“Ini suaminya Nisa. Saya cuma mau tanya apa Mbak tahu keberadaan Nisa di mana?” Hening melanda, perempuan itu bukannya menjawab malah memilih diam.
“Hallo Mbak, masih tersambung ‘kan?”
“Oh iya Pak, mau tanya Nisa, ya?”
“Iya Nisa. Mbak tahu di mana dia sekarang?”
“Saya kurang tahu.”
“Kalau Mbak enggak tahu kenapa melakukan panggilan sebanyak itu dengan istri saya? Ada perlu apa?” Lagi-lagi perempuan itu terdiam sejenak, membuatku malah semakin penasaran.
“Biasalah Pak, urusan perempuan. Saya cuma mau curhat sama Nisa. Kita teman lama.”
“Oh ya sudah maaf sudah mengganggu waktunya, kalau gitu saya tutup ya.”
“Oke, enggak apa-apa.” Mencurigakan sekali. Dia temannya bukan, menapa dia malah terlihat tidak khawatir saat kuberitahu Nisa tak ada di rumah selarut ini?
“Pak maaf, ini Khalidnya mau ditidurin di mana?” Suara Bi Sumi tiba-tiba saja terdengar.
“Di kamar saya saja. Terima kasih ya,rena istri saya yang pergi enggak jelas, Bibi jadi harus nginep.”
“Enggak apa-apa. Mungkin Ibu memang lagi ada perlu. Saya taruh Khalid sekarang, ya.”
Ada perlu sih boleh, tetapi kalau sampai selarut ini harusnya izin dulu sama suami. Memang apa susahnya? Dia itu perempuan yang mengerti agama. Kenapa tingkah lakunya akhir-akhir ini malah membuat emosiku. Semua berubah semenjak melahirkan Khalid. Sungguh aku seakan tak mengenal lagi Nisa. Sosoknya telah berubah sepenuhnya tak lagi menentramkan hati seperti dulu. Ponselku tiba-tiba berdering. Kulihat di layar di sana bertuliskan Ibu Nisa. Gegas kuterima panggilan itu.
“Assalamu’alaikum, Nak Irwan.”
“W*’alaikumussalam, ada apa tumben telepon malam-malam, Bu?”
“Begini Ibu cuma mau kasih kabar kalau Nisa ada di rumah. Katanya mau nginap dua hari di sini.”
“Jadi Nisa di rumah Ibu, kenapa dia enggak kasih kabar dulu?”
“Katanya hapenya ketinggalan, kamu enggak usah nyusul ya. Besok Ibu ke rumah bawa Khalid. Nisa biar di sini dulu.”
“Enggak bisa gitu dong, Irwan ‘kan suaminya.”
“Bukan Ibu mau ikut campur, tapi Nisa bilang mau tenangin diri dulu.”
“Boleh Irwan bicara sama Nisa?”
“Nisanya udah tidur Wan, hubungan kalian baik-baik aja ‘kan?”
“Baik kok. Besok Irwan aja yang temuin Nisa. Sekalian antar Khalid ke rumah. Kalau perlu malam ini juga.”
“Jangan, kasihan Nisa.”
“Loh, memangnya Nisa kenapa?”
“Sudah biar Ibu yang jemput Khalid besok pagi, biarin Nisa tenang dulu.”
“Ya sudah, kalau begitu salam buat Nisa.”
“Satu lagi Wan, kalau ada masalah di selesaikan baik-baik. Ajak Nisa bicara pelan-pelan, jangan terus mengedepankan emosi ya.” Kenapa juga jadi aku yang di nasihati, jelas-jelas anaknya yang salah. Apa Nisa mengadu pada orang tuanya. Menyebalkan sekali dia ini.
“Wan, masih tersambung ‘kan?”
“Oh iya, masih kok.”
“Kamu jangan salah paham. Selama ini Nisa enggak pernah cerita macam-macam tentang rumah tangganya, tapi kan Ibu ini yang merawat dia dari kecil, jadi Ibu bisa tahu kalau anak Ibu punya masalah. Tolong jaga Nisa baik-baik. Ibu enggak tahu apa masalah kalian, tapi kalau boleh Ibu minta, jangan sakitin hati anak Ibu.” Terdengar sedikit isak tangisnya di ujung telepon, Ibu mertuaku menangis?
“Insyaallah kami baik-baik saja kok. Ya sudah besok biar Nisa di sana dulu, mungkin kami perlu waktu untuk sendiri.”
“Makasih ya Wan, Khalid bagaimana rewel enggak?”
“Agak rewel sih mungkin nyariin Ibunya, tapi sekarang sudah ditidurin sama Bi Sumi.”
“Maaf ya, bikin kamu repot.”
“Ah enggak apa-apa Irwan ‘kan juga orang tuanya.”
“Ya sudah wassalamualaikum.”
“Waalaikummussalam.”
Selepas panggilan telepon berakhir, Bukannya tambah tenang pikiranku malah tambah kalut. Ada apa sebenarnya dengan istriku, dia tak pernah kabur seperti ini. Hari sudah lewat tengah malam, kantukku juga mulai melanda, lebih baik tidur dari pada kepalaku sakit gara-gara memikirkan istriku yang kabur dari rumah. Sejenak kutatap Khalid yang tertidur di ranjang kami. Mengingat rewelnya dia tadi siang, rasanya aku benar-benar tak berguna jadi Ayahnya. Dia bahkan tak mau kugendong, jangan kan mau didiamkan yang ada tangisnya malah bertambah keras. Aku memang belum pernah menggendongnya sejak dia lahir. Berat badannya terlalu kecil tak seperti waktu Reina dan Raina yang berat badan dari lahirnya pun besar. Aku jadi tak berani untuk menggendongnya takut tulang-tulangnya patah. Meskipun Nisa sering meminta tolong untuk bergantian, tapi lagi-lagi selalu kutolak. Tidak menyangka menjaga bayi kecil ini sangat merepotkan. Dulu saat si kembar lahir ada Ibu mertua yang ikut menjaganya, tapi sekarang Nisa memilih merawatnya sendirian.
“Apa karena ini kamu tak kenal Papah, Nak? Papah cuma takut menyakiti kamu.” Kucium kening bayi kecil itu, membuatnya sedikit menggeliat. Mungkin terganggu dengan gerakanku yang tiba-tiba. Baru juga mataku terpejam. Tiba-tiba Khalid menangis cukup keras, membuatku refleks lompat dari tempat tidur.
“Ya Tuhan, apa lagi kali ini?”
“Cup cup Sayang, diam ya sini sama Papah.”
“Oeek Oeek.” Bayi ini bukannya diam malah tambah keras. Aku bingung. Sudah ditimang-timang tangisannya tak kunjung mereda. Tidak lama terdengar pintu di ketuk dari luar. Gegas kubuka pintu, rupanya Bi Sumi di balik sana. Wanita itu begitu sigap memberikan ASIP yang sudah di taruh dalam botol.
“Kayaknya Khalid haus, Pak.”
“Haduh saya tidak mengerti. Biasanya Khalid enggak pernah sampai teriak begini.”
“Biasanya kalau ada Ibu Khalid langsung minum ASI. Makanya enggak sampai nangis begini, karena ibunya sigap. Maaf, bukan maksud saya menyinggung. Bapak ngerti ‘kan?”
“Saya mengerti kok.” Bukan maksud menyinggung tapi tetap saja telah menyinggungku.
“Apa Khalid akan bangun seperti ini setiap malam, Bi?”
“Namanya masih full ASI pasti kebangun terus. Biasanya setiap dua jam.”
“Kok saya enggak pernah tahu?”
“Kan tadi sudah saya bilang, Ibu itu sigap kasih ASI langsung sama Khalid, jadi makanya langsung diam dan enggak ganggu tidur Bapa.” Benarkah demikian? Sungguh aku tak pernah tahu kalau Nisa sering bangun tengah malam. Aku benar-benar tak mendengar tangisan Khalid sama sekali. Pantas saja lingkar matanya kian hari bertambah hitam. Aku pikir setelah kuberikan ART untuk membantunya membersihkan rumah sudah cukup nyatanya dia masih saja keteteran. Apa mengurus bayi merepotkan itu, tetapi ibuku tak serepot ini. Mana pernah ibuku kabur seperti yang di lakukan Nisa. Sekarang Khalid sudah tertidur. Tak lama benar kata Bi Sumi selang 2 jam dia bayi ini terbangun lagi.
“Haduh kepalaku rasanya pusing sekali, bisa gila aku!” Bi Sumi tidak datang lagi. Lebih baik kusambangi saja ke kamarnya. Baru juga ingin membawanya keluar Khalid malah memuntahkan isi perutnya ke bajuku, kotor sudah semuanya.
“Bi Sumi, tolong bantu saya. Ini Khalid muntah!” Setengah berteriak aku terus berlari menuju kamarnya. Akhirnya wanita itu keluar juga. Dia langsung meraih Khalid dalam gendongannya. Ditimangnya bayi itu pelan-pelan hingga tangisnya sedikit mereda. Wanita itu pun mendengungkan selawat untuk putraku. Suaranya tidak lebih baik dari nyanyianku, tapi kenapa Khalid bisa langsung tenang ketika mendengarnya.
“Sebaiknya bajunya diganti, Pak.”
“Oh ya sudah, biar saya ambil bajunya.”
“Sekalian minyak telonnya, Pak. Maaf kalau saya lancang.” Aku hanya mengacungkan jempol tanpa menoleh. Aku sudah menyerah, dari pada menyuruh Bi Sumi mengambil peralatan bayi, lebih baik aku yang berjalan sendiri dari pada harus mengurus Khalid yang tak mau sama sekali kugendong. Sesampainya di kamar segera kuambil baju ganti untuk Khalid tidak lupa dengan minyak telonnya, sesuai pesanan Bi Sumi. Namun, sepertinya ada yang aneh. Kenapa juga di tumpukkan baju Khalid seperti ada plastik, karena penasaran segera kuambil dan membuka isi plastik itu. Rupanya di dalamnya berupa obat-obatan, tapi milik siapa semua ini? Kenapa banyak sekali, apa milik Nisa? Namun, benarkah masih mengonsumsi obat sebanyak ini sejak melahirkan sampai sekarang. Atau jangan-jangan ini obat Khalid. Apakah bayiku sedang sakit?
“Loh Pak, itu obat siapa?” Bi Sumi sedikit terkejut, sampai-sampai bola matanya nyaris saja keluar.“Ini obat Khalid Bi, kayaknya sakit deh. Pantas rewel. Nih kasih aja, saya menemukan obat ini di tumpukan pakaiannya.” Bi sumi segera mengambil obat yang aku sodorkan. Terlihat dia membolak-balikkan lembar demi lembar obat-obatan itu. Wajahnya terlihat bingung hingga sesekali melihat ke arahku, kemudian dia membaca lagi tulisan yang tertera dalam obat-obatan itu. Kali ini dia meraba kening bayiku. Hingga bisa kulihat dia mengerutkan dahinya. Lagi-lagi ekspresi heran dia tunjukkan padaku.“Kenapa, Bi?”“Maaf Pak, ini kayaknya bukan obat Khalid.”“Loh, tahu dari mana? Memangnya dia itu dokter. Kenapa yakin sekali kalau itu bukan obat untuk Khalid?“Saya juga punya anak di rumah. Waktu anak saya sakit pasti obatnya di kasih yang sirop, kalau pun ada yang tablet pasti sudah dalam bentuk serbuk.&
Sepulang kerja penyakit vertigoku sepertinya kambuh lagi, pasti karena semalam tidak bisa tidur, dan tadi pagi lupa sarapan di tambah lagi aku malah mengambil lembur. Aku berpegangan pada dinding, terus berjalan perlahan menuju area parkir.Di sana aku lagi-lagi bertemu dengan Santi, rupanya dia juga lembur. Area parkir sudah sepi hanya tinggal beberapa karyawan yang masih di dalam, wanita itu sepertinya sadar dengan keadaanku yang tak baik-baik saja. Santi dengan sigap menghampiriku, lalu memapah sampai ke mobil.“Saya antar Bapak pulang, ya. Saya bisa nyupir kok.”“Terus motor kamu?” Seingatku dia biasa pergi ke kantor dengan scooter matic merah muda.“Enggak apa-apa saya tunda saja di sini.”“Terus nanti kamu pulangnya bagaimana, saya enggak bisa nganter kamu lagi?”“Banyak ojek Pak, lagian baru jam 8. Belum terlalu malam. Mari biar saya bantu!”Aku hanya mengangguk semba
“Kenapa melihatku seperti itu, Nisa. Mau marah?” tanyaku hati-hati, sakit di kepalaku belum reda sepenuhnya akan bertambah runyam urusannya kalau sampai Nisa marah-marah.“Enggak.” Nisa malah menggeleng pelan suaranya tak kalah lembut dengan Santi, bibirnya bahkan tersenyum lagi. Kali ini terlihat ada ketulusan di dalamnya. Meski tidak bisa di bohongi matanya berkaca-kaca.“Terima kasih sudah membantu suami saya,” ucap Nisa sembari menatap Santi.“Oh iya Mbak, sama-sama.”“Lain kali anda tidak perlu repot-repot membukakan kancing bajunya, masih gadis ‘kan? Perbuatan yang kamu lakukan bisa mengundang syahwat?”“Hmm iya Mbak, saya minta maaf.” Santi langsung tertunduk malu, suaranya tercekat dia terlihat sangat gugup, hingga kulihat berkali-kali jarinya bergerak-gerak tanpa kontrol, gerakan khas seseorang
“Apa syaratnya?” Nisa terdiam entah syarat apa yang akan dia berikan, tapi apakah aku tidak sedang bermimpi dia benar-benar mengizinkanku untuk menikah lagi?“Menikahlah bulan depan, jangan sekarang!” kata Nisa setelah itu dia meninggalkanku begitu saja, tanpa penjelasan apa pun lagi. Hanya itu syarat yang dia ajukan. Itu artinya tinggal 20 hari lagi. Aku menghentikan langkahnya yang semakin menjauh.“Kamu mengikhlaskanku menikah lagi?”“Iya.”“Apa alasannya?”“Apa itu perlu dijelaskan, bukannya Abang yang terus memaksaku buat setuju?” Nisa melepaskan lenganku dengan perlahan.“Khalid nangis, aku ke atas duluan. Telepon saja calon istri Abang, pastikan dia bersedia.” Nisa mengusap pundakku dengan lembut. Senyumnya lagi-lagi mengembang sempurna. Aku tahu itu hanya senyum palsu,
“Belum tentu juga Santi mau jadi istri ke dua.” ucap istriku.“Siapa bilang?” Tentu saja dia mau kulihat dia sepertinya menyukaiku.“Kalau Santi malah menyuruh Abang menceraikanku. Apa yang bakal Abang lakukan?” Pertanyaan macam apa ini. Meski rasa cintaku pada Nisa kian memudar, tapi tak sampai hati kalau harus berpisah dengannya, terlebih anak-anakku.“Ah sudahlah enggak usah dibahas. Kemarin Abang menemukan obat di tumpukan baju Khalid, itu punya siapa?”“Obatku, Bang.”“Oh.”“Cuma Oh?”“Syukurlah Abang pikir Khalid yang sakit.”“Abang enggak mau tanya aku sakit apa?”“Bukannya kamu memang sering minum obat itu sejak melahirkan?” Nisa malah tersenyum, tapi di sana ada garis kecewa yang terukir jelas. Apa lagi ini, kenapa dia jadi begitu emosional?“Iya.”“Memangnya kam
“Sayang enggak boleh begitu, anak-anak saliha Mamah, harus berbakti sama siapa ya?”“Orang tua.” Mereka serentak menjawab.“Nah, orang tua Reina sama Raina siapa?”“Mamah sama Papah,” jawab mereka lagi.“Kalau begitu dijawab dong pertanyaan Papah. Dosa loh, masa orang tua lagi ngomong ditinggal. Nanti Allah enggak sayanglagi sama Reina dan Raina mau?”“Enggak mau.” Mereka langsung tertunduk lagi.“Sayang, Reina sama Raina memangnya kenapa kok enggak mau kalau salatnya diimami Papah?” Aku sudah gemas, langsung saja kutanyakan langsung. Si kembar ini bukannya cepat menjawab malah saling sikut satu sama lain“Kamu aja!”“Kamu aja!”“Aku enggak suka Papah dekat sama tante baju merah.” Tante baju merah … apakah yang dia maksud Santi? Dia menggunakan setelan merah waktu itu. Pandanganku
“Makan Bang, cobain!” Nisa menaruh potongan roti bakar di dekatku.“Enak.” Apa pun yang dia buat selalu enak. Semuanya sesuai dengan seleraku. Wanita di hadapanku hanya mengulum senyum. Kini tangannya beralih pada buah jeruk yang sudah terpotong jadi dua. Tangannya cekatan memeras buah jeruk itu hingga keluar sarinya.“Jus jeruknya Bang, bibirmu sariawan.”“Dari mana kamu tahu?”“Kita ini suami istri Bang, hal kecil kayak begitu aku pasti tahu.”“Perasaan aku enggak pernah kasih tahu kamu.”“Waktu tidur semalam mulut Abang terbuka. Aku jadibisa lihat ada luka di bibir Abang.” Refleks aku mengatupkan kedua bibirku yang kebetulan memang tengah terbuka.“Mangapnya ‘kan semalam Bang, bukan sekarang.” Kumakan saja roti bakar di depanku, dari pada jadi salah tingkah. Nisa hanya tersenyum melihatku yang makan sepotong roti dalam satu k
“Sa, beneran deh, nanti Abang susul kamu.” “Wassalamualaikum.” Telepon pun ditutup oleh Nisa. Aku tahu dia pasti kecewa, apa aku sudah keterlaluan? Ah sudahlah lebih baik segera pamit dan menyusulnya ke sana, lagi pula Santi juga tidak apa-apa. Aku pikir sakitnya parah. Aku segera kembali ke kamar Santi untuk mengambil tas kerjaku yang tertinggal di sana, sekalian pamit pulang juga, tapi sepertinya ada Ibunya Santi di dalam sana. Aku menghentikan langkah, tertahan di balik daun pintu saat melihat Santi dan Ibunya yang tengah berseteru. “Bagaimana sih Bu, aku jadi jatuh ‘kan?” Nisa terduduk di lantai, sepertinya dia terjatuh karena lantai yang licin. “Ibu ngepelnya sudah kering kok San.” Raut wajah sedih seorang Ibu terukir jelas di wajah tua perempuan itu. Tangannya berusaha membantu Santi berdiri tapi karena lantai yang licin Santi jadi terjatuh lagi. Aku refleks memajukan kakiku melangkah mendekati mereka tapi begitu Santi bersuara lagi