Share

Menunggu Putraku Sendirian

"Mas Yoga," seruku berusaha memanggilnya. Mas Yoga tidak menoleh sama sekali. Justru ia mempercepat langkahnya meninggalkanku. Aku terpaksa berhenti mengejarnya karena harus mengurus Zidan. Terlebih aku melihat dua orang perawat sudah mendorong kasur roda tempat Zidan berbaring. Pertanda bahwa putra kecilku akan segera dipindahkan ke ruang rawat.

"Sus, dimana kamar anak saya?" tanyaku bergegas mengikuti perawat itu.

"Di kamar 304, Bu, ruang Pelangi lantai tiga."

Aku bergegas mengikuti perawat itu ke dalam lift. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali mengusap lengan Zidan untuk membuatnya lebih tenang. Aku berusaha keras untuk menahan air mata supaya Zidan tidak semakin gelisah. Karena meskipun dia masih bayi, dia bisa membaca ekspresi wajahku dengan baik.

Salah satu perawat membukakan pintu kamar, lalu perawat yang lain mendorong masuk kasur roda tempat Zidan berbaring. Setelah itu, mereka memindahkan Zidan ke tempat tidur yang ada di kamar tersebut berikut dengan selang infusnya.

"Saya tinggal dulu Ibu. Kalau ada keluhan, Ibu bisa menekan tombol ini," ujar salah seorang perawat menunjukkan tombol panggil berwarna merah.

Aku menjawab dengan anggukan.

"Terima kasih, Suster."

Usai perawat itu pergi, aku memandangi wajah Zidan. Kuusap pelan pucuk kepalanya. Mungkin karena tubuh mungilnya masih sangat lemah, dia lebih banyak tertidur daripada membuka mata. Namun beberapa detik kemudian, dia menggeliat. Perutnya mengejang sebentar lalu kembali terlelap. Aku langsung paham dengan gejala ini. Apalagi ketika tercium aroma tak sedap yang memenuhi hidungku. Yah, Zidan diare lagi entah untuk keberapa kalinya.

Berusaha tegar, aku pun segera bertindak. Kuambil diapers dan celana panjang dari dalam tas lalu kubersihkan tubuh putraku dengan hati-hati. Saat kuperiksa, masih ada darah di dalamnya walaupun hanya sedikit. Ini artinya kondisi Zidan mulai berangsur membaik. Paling tidak ada hal yang masih bisa aku syukuri di tengah masalah yang tengah menderaku. Meskipun begitu tetap saja aku merasa khawatir. Yang kuinginkan hanyalah Zidan segera sembuh dan bisa tertawa lagi seperti biasanya.

Aku terduduk di samping tempat tidur Zidan. Dalam kesendirianku, aku baru teringat kalau Mas Yoga belum juga kembali. Entah dimana dia berada sekarang.

Sambil menghela napas, aku meraih ponsel yang kuletakkan di atas nakas. Kutekan nomer panggilan cepat sehingga aku langsung terhubung dengan Mas Yoga.

Kudengar nada panggilan yang tersambung, namun Mas Yoga tak kunjung mengangkatnya. Barulah pada kali kelima, ia menerima panggilan tersebut.

"Halo, Mas Yoga. Mas ada dimana? Kenapa tidak pulang ke rumah sakit?" tanyaku menuntut jawaban.

"Aku di rumah, mau tidur."

Seketika aku meradang karena mendengar Mas Yoga berkata dengan enteng.

"Bisa-bisanya Mas tidur dalam keadaan begini? Apa Mas tidak memikirkan Zidan sedikitpun? Anakmu masih diopname di rumah sakit, Mas," ucapku dengan suara parau. Rongga dadaku sampai terasa nyeri karena menahan emosi.

"Aku masuk angin. Kepalaku pusing dan badanku nyeri. Kalau aku sakit dan tidak bisa masuk kerja, kamu mau gajiku dipotong?" tandas Mas Yoga balik memarahiku.

"Biarkan aku tidur nyenyak malam ini. Kamu jaga aja Zidan sendiri. Masa begitu aja harus ditemani suami. Jangan kemanjaan, Arista. Kamu itu wanita dewasa bukan anak kecil," sambung Mas Yoga dengan nada tinggi.

Aku menelan ludah kasar karena urung membantah perkataan Mas Yoga. Dia selalu tahu bagaimana cara membuatku tersudut. Sebenarnya aku ingin bertanya siapa yang menelponnya tadi, tapi aku membatalkan niatku itu. Mungkin sekali ini aku harus mengalah karena Mas Yoga sedang tidak enak badan.

"Aku tidak akan mengganggu Mas malam ini. Tapi besok sepulang dari kantor tolong Mas ke rumah sakit. Zidan pasti kangen sama ayahnya."

"Ah, itu urusan besok. Sudah ya, aku ngantuk."

Mas Yoga mematikan ponselnya tanpa menunggu aku selesai berbicara. Aku hanya bisa berkeluh kesah di dalam hati. Mengapa suamiku seolah-olah tidak mempedulikan aku dan anak kandungnya? Dimana letak kesalahanku sehingga Mas Yoga terlihat kesal padaku setiap saat? Apa dia sudah tidak menganggapku lagi sebagai istrinya?

Beragam pertanyaan terus berputar di benakku. Namun tak ada jawaban yang kudapatkan. Justru semua ini menyebabkan pandanganku serasa berkunang-kunang. Aku pun meletakkan kepalaku yang penat di tempat tidur Zidan sambil memejamkan mata. Membiarkan diriku beristirahat sejenak untuk melupakan kepedihan yang ada.

***

Tangisan Zidan membuatku terjaga di kala subuh. Aku pun memeriksa diapersnya. Ternyata Zidan diare lagi meskipun tanpa bercak darah. Pantas saja ia rewel karena merasa risih dengan kondisinya.

Seketika rasa kantukku pun hilang. Tanpa membuang waktu, aku mengganti celananya lalu membersihkan Zidan dengan tissue basah.

"Perut Zidan sakit? Sabar ya Sayang, nanti Zidan akan minum obat," ucapku membelai rambutnya.

Kuangkat Zidan dari tempat tidur lalu kugendong dia sambil berjalan mengitari kamar rawat. Aku menyanyikan lagu pengantar tidur kesukaannya dan sesekali mengusap punggungnya. Beruntung Zidan termasuk anak yang kuat. Sebentar saja dia sudah kembali tenang. Kubaringkan Zidan di tempat tidurnya lalu kubuatkan sebotol susu hangat. Dia pun meminumnya dengan lahap sambil memainkan jari jemarinya.

Aku tersenyum melihat Zidan sudah mau minum susu. Ini perkembangan yang cukup baik, mengingat kemarin ia menolak makan dan minum. Aku pun menunggui Zidan hingga ia tertidur kembali. Kemudian kutinggalkan dia sebentar untuk mandi.

Saat aku keluar dari kamar mandi, petugas datang membawakan bubur untuk sarapan Zidan. Aku baru sadar bahwa perutku juga terasa lapar karena belum makan apa-apa sejak semalam. Namun aku enggan meninggalkan Zidan dalam waktu lama. Lebih baik kutahan saja rasa lapar ini sampai ada orang yang bisa menggantikan aku menjaga Zidan. Toh nanti aku bisa memakan sisa bubur kepunyaan Zidan untuk mengganjal perut.

Aku menengok ketika terdengar suara pintu terbuka. Dua orang perawat datang mendorong kasur roda dengan seorang anak perempuan terbaring di atasnya. Ternyata ada pasien baru yang akan berbagi kamar dengan Zidan. Di belakangnya kulihat pasangan suami istri yang berpegangan tangan. Bisa dipastikan mereka adalah ayah dan ibu dari anak tersebut.

Sang ibu menganggukkan kepala sebentar kepadaku saat berjalan melewatiku. Aku pun membalas dengan senyuman. Pemandangan ini membuatku merasa iri. Andai saja Mas Yoga bersikap sama seperti suami ibu ini, pastilah aku merasa bahagia. Namun segera kutepis perasaan itu. Aku tidak boleh terlalu sensitif dan mementingkan diri sendiri. Sebagai istri dan ibu, aku harus belajar untuk lebih banyak bersabar.

***

Zidan sudah selesai dimandikan oleh perawat. Kini aku sedang membujuknya agar bersedia menerima suapan bubur dari tanganku. Awalnya Zidan menutup rapat mulutnya. Namun setelah kuceritakan dongeng Belalang dan Semut, dia bersedia menelan bubur yang kuberikan.

"Arista," panggil Ibu seraya melangkah masuk ke kamar rawat Zidan. Spontan aku berdiri dan mencium tangan Ibu.

"Bagaimana kondisi Zidan pagi ini?" tanya Ibu membelai rambut cucu kesayangannya.

"Masih diare, Bu. Tapi sudah tidak ada darahnya. Ayo, duduk, Bu," ucapku memberikan kursi untuk ibuku.

Ibu menarik napas panjang seraya memandangku.

"Semalam Ibu menegur Yoga karena dia malah enak-enakan tidur. Ibu menyuruhnya menemani kamu di rumah sakit, tapi dia beralasan sedang masuk angin. Yoga itu suami yang tidak ada tanggung-jawabnya," tutur Ibu kesal.

"Sudahlah, Bu. Kemarin aku juga bertengkar dengan Mas Yoga di telpon. Mungkin dia memang lagi kurang enak badan. Tapi Mas Yoga janji hari ini dia akan menjaga Zidan setelah pulang dari kantor," ucapku berusaha menjelaskan pada Ibu.

"Kamu selalu saja membela suamimu."

"Apa Mas Yoga sudah berangkat ke kantor, Bu?" tanyaku.

"Iya, dia berangkat kerja sebelum Ibu datang kesini. Waktu Ibu memintanya memesankan taksi, wajahnya cemberut. Yoga itu tidak ada sopan santunnya sebagai menantu," tukas Ibu tampak jengkel.

"Sabar, Bu. Nanti aku akan bicara pelan-pelan dengan Mas Yoga."

"Kamu sudah makan, Arista?" tanya Ibu memandang wajahku yang pucat.

"Belum, Bu. Aku mau menghabiskan buburnya Zidan."

"Jangan, Arista. Makan bubur tidak akan memberimu tenaga yang cukup. Turunlah dan makan di kantin rumah sakit. Ibu akan menjaga Zidan."

Ibu merogoh dompetnya lalu menyerahkan lembaran uang berwarna merah ke tanganku. Ia pasti tahu kalau aku tidak membawa uang sama sekali.

"Ini untukmu. Pilihlah makanan yang kamu suka."

"Tapi, Bu....," jawabku ingin menolak. Aku benar-benar malu. Sebagai anak yang sudah dewasa dan berumah tangga, tidak sepantasnya aku diberikan uang oleh Ibu.

"Terimalah, Arista. Kamu membutuhkannya. Cepat pergi makan."

Aku mengangguk kecil. Sungguh aku ingin menangis di dalam hati. Wajahku terasa tertampar karena merasa gagal sebagai seorang anak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status