Share

ATM Suamiku Hilang

"Mas, kamu tidak boleh egois seperti ini, kita harus menuruti saran dari dokter!" Aku berseru tidak terima, tidak peduli hari mulai beranjak pagi. Banyak orang-orang yang berlalu lalang di koridor rumah sakit.

Mas Yoga bersikeras supaya Zidan tidak diopname. Ia ingin Zidan menjalani rawat jalan saja. Aku tidak mengerti mengapa Mas Yoga menjadi kepala batu seperti ini. Padahal yang paling penting saat ini adalah keselamatan putra kami.

Aku tidak kuat melihat Zidan terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Ia sudah buang air lebih dari lima kali. Aku lihat Zidan tidak mampu lagi meneteskan air mata. Menurut dokter ini adalah salah satu tanda dehidrasi. Andai saja kemampuan bicaranya sudah sebaik orang dewasa, ia pasti akan berkeluh kesah.

Sorot mata Zidan yang sendu serasa mengoyak habis hatiku. Aku tidak akan tega bila putraku satu-satunya tidak ditangani dengan baik. Namun Mas Yoga terus meninggikan ego, berkata jika Zidan tidak perlu ditangani seserius itu. Padahal dokter yang lebih mengerti kondisi Zidan dibandingkan dirinya.

"Diare itu penyakit yang tidak parah. Masa harus diopname segala. Minum oralit juga sembuh," tegas Mas Yoga bersikukuh. Wajahnya merah padam. Aku menatapnya dengan tatapan tidak percaya, tidak parah dia bilang? Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Zidan, tentu Mas Yoga yang pertama kali akan kusalahkan!

"Mas, ini bukan masalah parah atau tidak. Ini menyangkut kesehatan Zidan, putra kita!” serangku balik. Urat pada perpotongan leherku pasti menonjol keluar karena aku tidak bisa memendam amarah lebih lama lagi. Aku tidak boleh menuruti perkataan Mas Yoga kali ini.

Kuliat dia langsung meraup wajahnya sendiri. Ia menatap ke arah lain dengan pandangan tak terbaca. Aku masih menatap tajam Mas Yoga, menunggu pria itu mengudarakan suaranya.

"Aku tidak punya uang, Rista. Kalau Zidan diopname aku harus membayar pakai apa?" ujarnya dengan nada pelan.

Tidak ada lagi nada tinggi yang terucap dari bibir Mas Yoga. Mendengarnya, bahuku langsung meluruh.

"Tidak punya uang? Seharusnya kamu sudah menerima gaji sejak dua hari yang lalu. Kemana semua gaji itu?!” tanyaku berseru. Aku menahan air mata, menolak menangis di depan Mas Yoga.

Namun dia tidak menjawab pertanyaanku. Mas Yoga malah memalingkan wajah agar tidak bersitatap dengan mataku.

"Baik, kita lupakan tentang gaji bulan ini. Mungkin kamu akan berkata gajinya ditunda lagi. Tapi seharusnya masih ada sedikit sisa tabunganku dan THR tahun lalu kan, Mas?" tanyaku kembali. Aku mencoba mencari peluang lain agar Zidan segera ditangani.

Mas Yoga menatapku kembali. Dia mendesah panjang seraya membasahi bibir. Aku tetap diam. Naluriku mengatakan dia sedang mencari pembenaran.

"ATM dan tabunganku hilang. Aku sama sekali tidak punya uang,” akunya sebagai alasan. Tawa sumbangku kembali terdengar, semudah itukah Mas Yoaga mengatakannya? Apakah dia tidak tahu jika gelagatnya sudah menjelaskan jika dia sedang mengarang cerita?

”Mas, mengaku saja. Kamu ingin lepas dari tanggung jawabmu sebagai kepala rumah tangga?" tanyaku menahan diri supaya tidak menangis.

Mas Yoga menatapku dengan pandangan terkejut. Mungkin ia tercengang karena ini pertama kalinya aku berani membentaknya. Lepas dari tanggung jawab berarti siap melepas identitas sebagai seorang suami. Mas Yoga tidak pernah memerankan diri sebagai kepala rumah tangga yang patut untuk dihormati.

"Arista, jangan berkata sembarangan! Katamu-katamu itu tidak pantas diucapkan oleh seorang istri!" sungutnya memarahiku.

"Tidak pantas? Aku pikir kelakuan Mas yang tidak pantas sebagai kepala keluarga!"

Aku berseru untuk kesekian kalinya. Air mataku menetes tepat setelah menyelesaikan perkataanku. Langkah kakiku berjalan lurus menyusuri koridor. Aku menangis bukan karena meratapi pernikahan kami. Namun karena Zidan tidak bisa ditangani sebelum biaya administrasi terpenuhi. Bahkan saat aku melangkah pergi, Mas Yoga tidak berminat untuk mengejar atau menghampiri. Sebenarnya apa yang aku harapkan dari pernikahan ini?

***

Aku memutuskan untuk mengabari Ibu lewat telpon mengenai keadaan Zidan. Sekaligus aku terpaksa meminjam uang dari Ibu untuk membayar biaya perawatan Zidan di rumah sakit. Ibu terkejut bukan main mendengar permohonanku, namun ia segera mentransfer sejumlah uang yang aku butuhkan.

Karena terlalu mengkhawatirkan Zidan, ibu memilih datang ke Jakarta dengan pesawat. Aku tidak bisa mencegahnya. Barangkali Ibu ingin melihat kondisi cucunya secara langsung. Selain itu sejak aku ikut Mas Yoga ke Jakarta, kami sudah cukup lama tidak bertatap muka.

"Arista, putriku," panggil Ibu.

Kami berpelukan setelah aku menunggu di depan pintu utama rumah sakit. Aku langsung mendekap ibu lebih erat guna menyalurkan rasa rindu. Aku tersenyum setelah kami menguraikan pelukan. Ibu menghembuskan napas seraya menatapku.

"Kamu sudah membayar biaya administrasinya?"

"Sudah, Bu. Aku sedang menunggu proses pemindahan Zidan ke ruang rawat. Maaf membuat Ibu repot kali ini," balasku melirih.

Ibu tidak menjawab. Kami berdua pergi ke tempat pemeriksaan Zidan. Aku menyerahkan bukti nota pembayaran kepada Ibu. Sementara aku meminta Ibu duduk di kursi tunggu. Ia pasti merasa lelah karena jarak Yogyakarta dan Jakarta tidaklah dekat. Aku benar-benar merasa bersalah sudah menyusahkan Ibu di hari tuanya.

Melihatku mendekat, ibu menepuk pelan sisi kursi kosong di sampingnya. Aku menurut, lantas mendudukkan diri di samping Ibu.

"Arista, kamu harus belajar tegas menghadapi suamimu. Ibu merasa janggal karena uang kalian lenyap begitu saja. Katamu Yoga juga sering telat gajian. Kamu harus menyelidiki Yoga secepatnya," ujar Ibu. Aku diam sebentar, mencoba meresapi nasehat ibuku kali ini.

Sejak dulu Ibu selalu mewanti-wanti agar aku bisa bekerja sendiri. Ibu takut hal seperti sekarang terjadi. Ibu sudah tahu kondisi pernikahanku yang tak jauh berbeda dengannnya dulu. Maka dari itu, ia memintaku waspada setiap saat.

"Arista, jamu mendengar nasehat Ibu kan?"

Pertanyaan itu mengudara. Aku menoleh cepat, lalu mengangguk mantap satu kali. Sudah cukup lama aku ingin menyelidiki apa yang terjadi sebenarnya dengan Mas Yoga. Namun semuanya tertunda karena kesibukanku menjaga Zidan.

"Setelah Zidan membaik dan keluar dari rumah sakit, aku pasti akan menyelidiki Mas Yoga," jawabku mantap.

Ibu tersenyum, mungkin merasa lega setelah aku menuruti nasehatnya. Tidak ada yang salah, aku hanya ingin mencaritahu penyebab Mas Yoga berubah drastis.

Perbincangan kami berakhir karena Zidan dipindahkan ke ruang rawat oleh dua orang petugas. Ibu kuminta pulang ke rumahku sebentar dengan taksi untuk membersihkan diri.

Aku menunggu di depan ruang rawat sementara dokter masih di dalam. Kulihat Mas Yoga bersandar tak jauh dari pintu tanpa menatap ke arahku. Ia juga tidak menyapa Ibu. Kami bungkam satu sama lain. Pikiranku bercabang antara kondisi Zidan dan misi memulai penyelidikan.

Dering pada ponsel terdengar, aku ikut menolehkan atensi pada Mas Yoga yang tengah merogoh saku jeans yang dikenakannya. Aku memperhatikan tiap detail ekspresi wajahnya. Dia tampak terkejut saat menatap layar gawainya menyala dalam genggaman tangan. Dahiku berkerut, merasa penasaran dibuatnya.

Mas Yoga tampak cemas dan gelisah setelah menolak panggilan telpon tersebut. Dia menatapku sembari mengedipkan mata, jelas ada yang salah di sini. Aku tetap tidak berniat untuk membuka suara. Memilih memalingkan wajah agar tidak terus menerus memusatkan pandang ke arahnya.

Derap langkah kaki yang terdengar membuatku kembali mengubaf fokus. Aku membalikkan tubuh tatkala mendapati Mas Yoga berlari meninggalkanku dengan mimik panik. Kedua alisku menyatu, merasa keheranan dengan apa yang baru saja terjadi. Rasa penasaranku semakin tinggi, siapa yang baru saja menghubungi Mas Yoga? Mengapa dia menolak mengangkatnya dengan raut wajah gelisah?

Ibu benar, aku memang harus menyelidiki Mas Yoga cepat atau lambat,

gumamku di dalam hati.

Untuk saat ini, lebih baik memprioritaskan kesembuhan putraku. Zidan membutuhkan aku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status