Share

Memilih Pergi daripada Menjaga Anak

Ibu menemaniku menjaga Zidan hingga petang hari. Kulirik jam di ponsel yang sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibu pasti sudah lelah, namun ia masih setia mengajak bermain cucu kesayanyannya.

"Bu, pulang saja, ini sudah jam lima sore. Ibu harus istirahat,” ucapku pada Ibu yang tengah duduk di atas kursi.

Ibu menoleh ke arahku kemudian menatap langit kejinggaan dari balik kaca jendela. Beliau lalu kembali menatapku dengan tatapan khawatir.

"Kamu bisa jaga Zidan sendirian? Yoga belum datang sampai sekarang," tanya Ibu sembari bangkit dari kursi.

Aku mengangguk, "Iya, Bu. Aku akan menelpon Mas Yoga supaya cepat datang," bujukku berharap Ibu mau pulang ke rumah petakanku yang kecil. Sebenarnya aku malu karena tidak dapat memberikan tempat singgah yang layak untuk ibuku. Padahal Ibu terbiasa tinggal di rumah warisan kakekku yang besar dan nyaman.

Ibu menghela nafas lalu tersenyum.

"Baiklah, tapi jangan lupa makan malam, Arista."

Ibu mengelus sayang kepala Zidan lalu mencium pipinya.

"Zidan, Eyang Putri pulang dulu. Zidan bobok ya biar cepat sembuh," ucap ibuku merasa iba pada Zidan, cucu satu-satunya yang dia miliki.

Aku tersenyum untuk meyakinkan Ibu bahwa semuanya pasti akan baik baik saja.

"Bu, aku panggil taksi dulu untuk antar Ibu pulang."

Aku langsung menarikan jariku di atas layar ponsel, mencari aplikasi pemesanan taksi online. Namun gerakanku terhenti tatkala ibu menggenggam tanganku.

"Biar Ibu naik taksi di depan rumah sakit saja. Kamu tidak usah repot pesan taksi online segala. Ibu pulang dulu."

Ibu langsung pergi setelah berkata seperti itu, tak membiarkan aku untuk membalas ucapannya.

Aku menghela napas pendek lalu menggeleng. Setelah Ibu menghilang dari pandanganku, dengan cepat aku menelpon Mas Yoga. Sudah sore begini kenapa dia masih belum muncul? Pikirku berdecak sebal saat nomer Mas Yoga tidak aktif. Berkali-kali aku mencoba menghubungi Mas Yoga namun hasilnya nihil. Panggilanku justru tersambung ke kotak suara.

Tak memiliki pilihan lain, aku memutuskan untuk menelpon Widi. Widi merupakan bawahan Mas Yoga sekaligus teman dekatnya. Sudah beberapa kali dia bertandang ke rumah kami, sehingga aku kenal baik dengannya.

"Halo, Bu Arista." Terdengar sebuah suara mengangkat panggilanku. Segera saja aku menjawabnya.

"Widi, kamu tahu Pak Yoga ada dimana? Dia sudah pulang dari kantor atau belum?” tanyaku beruntun pada bawahan Mas Yoga itu.

"Pak Yoga sedang bermain futsal bersama anak anak kantor, Bu. Ini saya sedang menunggu giliran main," ucap Widi. Aku bisa mendengar suara riuh orang di belakangnya.

Aku mengepalkan tangan kuat-kuat. Rasanya ingin sekali meluapkan amarah karena Mas Yoga malah bertindak sesukanya pada saat anaknya masih terbaring sakit. Sungguh keterlaluan! Namun sebisa mungkin aku tetap menahan diri. Aku pun bergegas mengakhiri panggilanku dengan Widi.

"Baik, Widi, terima kasih." Hanya itu yang mampu aku ucapkan. Setelahnya aku menutup panggilan dan menghela napas kasar.

"Mas Yoga, kamu .. !" gumamku menggeram kesal. Lagi-lagi kesabaranku harus diuji sebagai seorang istri.

***

Waktu sudah menunjukan pukul delapan malam. Terdengar suara pintu dibuka dari luar, lalu tampaklah sosok Mas Yoga yang berjalan menuju ke arahku. Menanti lama, akhirnya Mas Yoga muncul juga.

"Dari mana saja kamu, Mas? Kenapa kamu baru datang jam segini?" tanyaku berusaha menguasai diri. Aku tidak ingin suaraku terdengar oleh pasien yang ada di sebelah Zidan.

"Ya, dari kantor lah," jawab Mas Yoga singkat.

Aku pun meradang karena mendengar kebohongan yang dilontarkan Mas Yoga.

"Kamu ayah yang tidak bertanggung-jawab, Mas! Ngaku saja kalau kamu baru selesai main futsal. Aku tahu semuanya dari Widi," celaku tak membiarkan Mas Yoga berbohong lagi.

“Heh! Kamu bilang aku tidak bertanggung-jawab?!" bentak Mas Yoga. Ia tampak tidak terima dengan pernyataanku. Aku tidak peduli lagi apakah orang tua pasien di sebelah Zidan mendengar pertengkaran kami.

"Aku itu butuh penyegaran, Arista! Aku sumpek bekerja di kantor seharian!"

Mata Mas Yoga melotot ke arahku, tampak sangat kesal. Namun aku juga sama kesalnya pada Mas Yoga. Seharusnya ia memikirkan keadaan Zidan lebih dulu. Zidan adalah anak kandungnya, bagaimana bisa dia bersikap acuh tak acuh seperti itu.

"Malam ini aku menginap di rumah sakit. Malas aku menginap di rumah. Ibu cerewet sekali!" lanjut Mas Yoga membuatku terkejut.

Amarahku yang mulai mereda kembali menguap ke permukaan. Sikap Mas Yoga benar-benar membuatku tak terima. Bisa-bisanya dia berbicara tidak sopan tentang ibu mertuanya.

"Mas! Kamu seharusnya ngalah sama Ibu! Ibu sudah meminjamkan uangnya ke kita buat biaya opname Zidan," seruku tak habis pikir dengan jalan pikiran Mas Yoga. Bukan hanya padaku, ternyata dia juga tidak menghormati ibu kandungku.

Mendengar ucapanku, Mas Yoga kembali mengamuk. Dia menatap tajam ke arahku untuk mengintimidasi, namun aku tak gentar oleh tatapannya itu.

"Ibu tidak akan melakukan itu kalau saja kamu nurut sama aku. Kamu memaksa agar Zidan dirawat di rumah sakit!" seru Mas Yoga. Telunjuknya mengarah tepat di depan wajahku.

Aku menggelengkan kepala lalu menatap Mas Yoga dengan pandangan tak percaya. Namun sebelum aku bisa menjawab, Mas Yoga kembali membentakku.

"Perlu aku jelasin apa yang membuat pengeluaran kita membengkak? Itu karena kamu minta kamar rawat inap kelas dua! Biayanya mahal, ngerti?!" tandas Mas Yoga membuatku tak bisa berkata-kata. Ia memang paling pintar mencari kesalahanku pada setiap situasi.

"Mas," lirihku menghentikan tuduhan Mas Yoga. Aku berusaha mengalah demi menghentikan perdebatan ini.

"Zidan dirawat di kamar kelas dua karena kemauan Ibu, bukan karena keinginanku. Tapi tanpa Ibu minta pun, aku pasti akan memberikan yang terbaik buat Zidan," jelasku berharap Mas Yoga akan mengerti. Paling tidak ia bisa memikirkan sedikit saja keadaan Zidan.

"Kamu juga cari kerja tambahan, Mas, supaya kita bisa nyicil hutang ke Ibu," saranku menurunkan nada suara. Tak ada gunanya bicara dengan emosi. Masalah kami justru akan semakin besar bila kami sama-sama dikuasai amarah.

Mengetahui aku mengalah padanya, Mas Yoga juga melakukan hal yang sama. Meskipun begitu tak dapat dipungkiri bahwa ia jadi bersikap dingin padaku.

"Mau kerja apa lagi? Badanku sudah capek. Kalau aku dipaksa kerja terus, aku bisa cepat mati," tolak Mas Yoga. Sekali lagi aku terkejut atas respon yang Mas Yoga berikan.

"Aku cicil tahun depan waktu dapat THR," sambungnya lagi.

Aku menghela napas panjang mendengar jawaban Mas Yoga. Dia sama sekali tidak mau berusaha. Bahkan setelah bekerja ia memilih untuk bermain futsal ketimbang menjenguk Zidan di rumah sakit.

"Tapi itu masih lama dan...."

"Sudahlah, Arista, kamu pulang aja sana. Bicara denganmu membuat kepalaku pusing," potong Mas Yoga mengusirku.

"Aku mau menemani Zidan, Mas," jawabku berkata jujur. Terus terang aku tidak terlalu mempercayai kemampuan Mas Yoga dalam menjaga Zidan.

Mas Yoga menghela napas kasar menanggapi perkataanku. Kentara sekali jika ia sedang menahan rasa jengkel. Namun Mas Yoga berusaha meredamnya mengingat ada orang lain di samping kami.

"Biar aku saja yang jaga Zidan. Kamu pulang sekarang. Aku transferin uang supaya kamu bisa pesan ojek online," ujar Mas Yoga. Mau tak mau aku pun menuruti perintahnya.

"Sudah masuk itu uangnya. Cepat pesan ojek dan pulang!" usir Mas Yoga untuk kedua kalinya.

Aku hanya diam, tidak menanggapi. Aku melakukan ini semata-mata supaya tidak terjadi keributan lagi di antara kami. Sambil memendam rasa kesal, aku membuka aplikasi ojek online. Tak berselang lama, aku sudah mendapatkan driver yang bersedia mengantarku.

"Mas, aku pulang," ucapku berpamitan kepada Mas Yoga.

Sebelum aku melangkahkan kaki ke luar dari pintu, Mas Yoga kembali berkata."

"Tunggu, Arista! Ingat, besok pagi kamu harus sampai di rumah sakit jam enam tepat. Kalau sampai terlambat aku bakal telat ke kantor. Ngerti?" ancam Mas Yoga padaku. Aku menjawab dengan anggukan.

Begitu Mas Yoga selesai bicara, aku segera pergi meninggalkan kamar Zidan dan pulang ke rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status