Share

Siapa Pencurinya

Aku pulang dengan ojek sesuai perintah Mas Yoga. Dalam perjalanan sempat terpikir olehku kenapa aku jadi sebodoh ini. Aku diperlakukan seenaknya oleh Mas Yoga tapi tetap saja aku menurut padanya.

Kerap kali aku mendengar nasehat bahwa seorang istri harus tunduk dan berbakti kepada suami. Tapi bila membiarkan diri terus ditindas bukankah ini merupakan bentuk kebodohan? Mungkinkah aku terlalu lemah atau sebenarnya aku takut diceraikan oleh Mas Yoga? Jujur, aku tidak ingin mengalami nasib yang sama seperti ibuku. Ditinggalkan suami dan harus membesarkan anak seorang diri sangatlah berat. Aku tidak akan sekuat ibuku untuk menghadapinya.

 

Tenggelam dalam pikiranku sendiri, aku sampai tidak sadar kalau sudah tiba di depan rumah petak.

 

"Bu, betul ini rumahnya?" tanya driver ojek dengan suara cukup keras. Aku sampai melonjak kaget karenanya. Barangkali driver ojek ini sengaja meninggikan suara supaya aku tersadar dari lamunan.

 

"Eh, iya, Pak, betul. Terima kasih," ucapku seraya mengembalikan helm yang kupakai. Aku pun bergegas melangkah ke pekarangan. Suasana di sekitarku sudah lengang karena ini memang waktunya orang-orang beristirahat. Bahkan tetanggaku di rumah petak tidak ada satu pun yang terlihat.

 

Aku bergegas membuka pintu karena merasakan hembusan angin malam yang dingin menusuk kulit.

 

"Bu, aku pulang," panggilku seraya mendorong daun pintu perlahan. Ibu pasti tidak menguncinya karena tahu aku akan pulang.

 

"Arista, akhirnya kamu pulang juga. Ibu menunggumu dari tadi," sambut Ibu.

 

Melihat wajah ibuku yang tegang, aku menjadi was-was. Ibu mengajakku duduk di kursi lalu menghela napas pelan.

 

"Yoga bersedia menjaga Zidan malam ini?" tanya Ibu.

 

Aku mengangguk sebagai jawaban.

 

"Mungkin si Yoga itu sadar setelah Ibu menegurnya tadi. Jam tujuh dia pulang ke rumah. Ibu melihatnya pakai baju sepak bola lalu Ibu bertanya darimana dia. Eh, Yoga malah menjawab dengan ketus. Dia bilang ada acara futsal di kantornya. Ibu menyuruhnya ke rumah sakit tapi dia tidak menjawab. Sepertinya Yoga malas bicara dengan Ibu."

 

Pengaduan Ibu tentang Mas Yoga membuatku semakin tak enak hati. Ternyata dia tidak hanya bersikap sinis padaku tapi juga kepada Ibu. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus menanyakan langsung kepada Mas Yoga apa alasannya bersikap tidak sopan terhadap ibuku.

 

Ibu kembali menarik napas dalam sambil menatapku.

 

"Arista, Ibu juga ingin mengatakan sesuatu padamu."

 

Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar ucapan Ibu. Darahku terasa mengalir lebih cepat karena takut dengan apa yang akan disampaikan oleh Ibu.

 

"Tadi Ibu meletakkan cincin emas yang Ibu pakai di meja ini karena mau cuci piring. Tapi waktu Ibu kembali cincinnya sudah hilang."

 

Kulihat Ibu mengepalkan telapak tangan kanannya sambil menaikkan intonasi suara. Aku tahu Ibu pasti sangat sedih mengingat betapa berharganya cincin itu untuknya. Cincin itu adalah pemberian dari kakekku sebelum Beliau meninggal dunia.

 

"Mungkin jatuh di lantai. Coba aku carikan, Bu," kataku berusaha untuk berpikir positif.

 

Tanpa menunggu jawaban dari Ibu, aku segera menunduk sambil berjongkok di lantai. Kuarahkan senter dari gawaiku untuk menyusuri seluruh sudut rumah. Bahkan aku sampai menggeser kursi dan meja untuk mencari benda berwarna kuning keemasan itu. Berharap pencarianku akan membuahkan hasil. Namun nyatanya hasil yang kudapat nihil.

 

"Percuma, Rista. Ibu yakin cincin itu bukan jatuh tapi ada yang mengambilnya."

 

Untuk kedua kalinya perkataan ibu menohok hatiku. Jika cincin Ibu hilang di rumahku, artinya yang bertanggung-jawab pastilah aku dan Mas Yoga. Tapi seharian ini aku ada di rumah sakit. Dengan demikian yang dimaksud Ibu mengambil cincinnya adalah Mas Yoga. Meskipun begitu, aku perlu memastikan terlebih dulu. Siapa tahu dugaanku ini keliru.

 

"Maksud Ibu ada yang mencurinya?" tanyaku spontan menghentikan pencarian.

 

Aku kembali duduk di kursi dengan bahu meluruh.

 

"Iya. Harusnya kamu bisa menebak siapa yang Ibu maksud. Di rumah ini hanya ada Ibu dan suamimu. Cincin itu hilang setelah Yoga pergi ke rumah sakit."

 

Ibu menyentuh bahu kananku dengan tangannya.

 

"Bukannya Ibu menuduh, tapi firasat Ibu mengatakan Yoga yang mengambil cincin itu."

 

Pipiku serasa ditampar dengan keras. Aku menggelengkan kepala karena pelupuk mataku telah dibanjiri oleh air mata.

 

"Ti...dak mungkin, Mas Yoga...tega melakukan itu, Bu," jawabku terbata-bata.

 

"Percayalah pada Ibu, Rista. Suamimu itu menyembunyikan sebuah rahasia besar. Dia tidak pernah memberimu nafkah yang cukup. Lalu saat Zidan sakit, dia bilang ATMnya hilang dan sekarang dia mencuri cincin Ibu. Perbuatannya sangat keterlaluan! Menantu yang tidak tahu malu!" ujar Ibu meradang.

 

Aku hanya tertunduk tanpa bisa membantah perkataan Ibu. Aku tidak mampu membela Mas Yoga karena semua yang dikatakan Ibu benar adanya. Yang kurasakan kini hanyalah perih yang semakin menyiksa batinku.

 

"Rista, apa Yoga pernah menunjukkan slip gajinya?" tanya Ibu mencari tahu.

 

"Tidak pernah, Bu. Aku juga tidak bisa melihat transferan gaji yang masuk dari kantor," jawabku jujur.

 

Ibu membuang napas kasar. Tampak dia sangat kesal dengan kepolosanku.

 

"Kamu ini benar-benar dibodohi sama Yoga. Di setiap rumah tangga, istri seharusnya yang memegang gaji suami. Kamu tidak dipegangi uang sama sekali malah jumlah gaji suamimu kamu juga tidak tahu. Ibu tidak tahu harus ngomong apa lagi, Rista."

 

"Maaf, Bu," jawabku kehabisan kata-kata.

 

"Minta maaf pada Ibu tidak ada gunanya. Ibu cuma mau cincin itu kembali. Tugasmu sekarang adalah menyelidiki Yoga. Sepertinya Yoga sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga dia nekat jadi pencuri."

 

"Iya, Bu, aku janji akan menanyai Mas Yoga besok," jawabku dengan suara bergetar.

 

"Menurut Ibu hanya ada dua kemungkinan kenapa Yoga kekurangan uang. Pertama si Yoga membiayai pendidikan adiknya secara diam-diam. Kedua...."

 

Ibu memberikan jeda pada kalimatnya, seolah membicarakan hal ini akan membutuhkan kekuatan yang besar.

 

"Mungkin Yoga memiliki wanita simpanan di luar sana. Dia memberikan seluruh uangnya pada wanita itu."

 

Kembali hatiku serasa diremas-remas. Benarkah yang Ibu katakan bahwa Mas Yoga telah menduakan cintaku. Bila ini benar, harus bagaimanakah aku bersikap nanti? Sanggupkah aku menerima kenyataan pahit itu?

 

Derai air mata berjatuhan di pipiku. Ibu segera mengambil tissue dan menyodorkannya padaku. Pasti hatinya ikut merasa sakit saat melihat putrinya terpuruk begini.

 

"Sudah, Rista, jangan menangis. Ini baru dugaan Ibu saja. Supaya semuanya lebih jelas, kamu harus mencari bukti-buktinya. Sekarang istirahatlah. Besok kamu harus menjaga Zidan."

 

"Iya, Bu," lirihku tak berdaya. Tubuhku terasa kehilangan tenaga karena lelah dengan keadaan ini. Rasanya aku ingin rebah di tempat tidur lalu terhempas ke alam mimpi. Untuk saat ini, tidur adalah satu-satunya cara bagiku untuk bisa melarikan diri dari semua persoalan ini.

 

***

 

Sambil menguap, aku menyeret kakiku turun dari tempat tidur. Mataku mendadak terbuka lebar saat melihat jam dinding menunjukkan pukul lima lewat dua puluh menit. Astaga, Mas Yoga bisa marah besar jika aku terlambat datang ke rumah sakit. Dengan tergesa-gesa aku pergi ke kamar mandi. Ibu yang tertidur di sampingku sampai terbangun mendengar suara berisik yang kubuat.

 

Aku mandi secepat kilat lalu merapikan diri seadanya. Sejak menjadi seorang ibu, aku hampir tidak pernah memakai make up. Hanya sapuan bedak tipis yang terkadang aku pakai agar wajahku tidak terlalu kusut saat dipandang.

 

Tanpa sarapan pagi, aku langsung berpamitan kepada Ibu.

 

"Bu, aku berangkat sekarang ke rumah sakit," pamitku seraya mencium tangan Ibu.

 

"Pagi-pagi begini sudah ada tukang ojek?" tanya Ibu mengerutkan dahi.

 

"Aku minta tolong diantar Arif, anaknya Bu Siti. Semalam aku sudah tanya padanya melalui W******p dan dia bilang bisa mengantarku."

 

"Kalau begitu hati-hati di jalan, Rista."

 

Aku mengangguk lalu melangkah pergi. Sesungguhnya aku bingung bagaimana harus menghadapi Mas Yoga. Apakah aku mampu menanyakan padanya mengenai hilangnya cincin Ibu? Bagaimana bila tuduhan Ibu ternyata keliru

 

 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
ternyata Rista bucin parah ya sampe gak bisa berfikir logis.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status