Share

Harus Percaya Pada Siapa

"Makasih, Rif, sudah mengantarku," ucapku menyerahkan ganti uang bensin kepada pemuda baik hati ini. Aku merasa beruntung karena memiliki tetangga sebaik Arif dan ibunya. Mereka kerap kali menolongku layaknya saudara sendiri.

"Sama-sama, Mbak. Saya langsung pulang ya. Nanti sore saya akan menjenguk Zidan bersama Ibu," jawab Arif dari balik helmnya.

 

Aku ingin mengatakan pada Arif kalau kemungkinan Zidan akan pulang hari ini, tapi pemuda itu sudah berlalu pergi dengan motornya. Aku pun memutuskan untuk memberitahunya nanti lewat pesan singkat. Dengan tergesa-gesa, aku berjalan menuju ke lift. Hatiku berdebar menunggu pintu lift itu terbuka. Apalagi saat kulirik jam sudah menunjukkan pukul enam lewat. Aku yakin Mas Yoga akan memarahiku kali ini.

 

Suara dentingan lift memaksaku melangkahkan kaki keluar. Setengah berlari, aku menyusuri koridor menuju ke kamar Zidan. Karena sudah hafal letaknya, aku pun sampai dengan cepat. Kuketuk pintu dua kali sebelum masuk agar tidak mengejutkan Mas Yoga.

 

"Arista, kenapa jam segini baru datang? Dari kemarin sudah kubilang jangan lewat dari jam enam, tapi kamu selalu saja membangkang perintah suami," hardik Mas Yoga begitu melihatku. Aku sendiri tidak tahu apakah wajahku begitu menyebalkan bagi Mas Yoga, sehingga dia selalu ingin membentakku setiap kami bertemu.

 

"Maaf, Mas, aku bangun agak kesiangan tadi," jawabku jujur.

 

"Harusnya kamu minta ke tukang ojek yang mengantarmu supaya cepat sedikit. Pagi-pagi begini jalanan belum macet," balas Mas Yoga memicingkan matanya.

 

"Aku diantar Arif, Mas, bukan tukang ojek."

 

"Arif, anaknya Bu Siti? Aku perhatikan dia sering sekali mengantarmu. Jangan-jangan ada apa-apa di antara kalian?" tanya Mas Yoga menatapku tajam. Hatiku langsung terasa sakit saat mendengar tuduhan buruknya itu. Tak kusangka Mas Yoga telah meragukan kesetiaanku sebagai seorang istri.

 

"Mas, jangan menuduh sembarangan. Aku ini wanita baik-baik," sangkalku berusaha untuk tidak menangis. Aku tidak ingin mengganggu pasien di sebelah Zidan.

 

"Ah, cukup, aku mau pulang. Bisa-bisa aku kena SP karena telat sampai di kantor," gerutu Mas Yoga.

 

Tanpa memandangku dia berbalik lalu keluar dari kamar. Meninggalkan aku tanpa rasa bersalah sedikitpun. Belum juga aku menanyakan soal cincin Ibu, dia sudah memulai pertengkaran. Lalu bagaimana jika aku menyinggung masalah itu nanti? Entahlah, saat ini aku hanya ingin memikirkan Zidan.

 

Kulihat putra kecilku ini sudah bangun. Ia meminta susu lalu mengajakku bermain mobil-mobilan yang kubawakan dari rumah. Aku senang melihat Zidan kembali ceria. Wajahnya tidak pucat lagi dan dia tidak buang air besar seperti kemarin.

 

Dua jam kemudian, dokter pun datang untuk memeriksa kondisi Zidan.

 

"Dok, bagaimana kondisi anak saya?" tanyaku berharap akan menerima kabar baik.

 

"Zidan boleh pulang hari ini, Bu. Sementara Zidan hanya boleh makan makanan yang lembut, seperti bubur atau nasi lembek dengan sup. Lebih bagus supnya diberi kaldu ayam kampung supaya Zidan cepat pulih."

 

"Baik, Dok, terima kasih."

 

"Ibu bisa mengurus administrasinya di bawah," sambung perawat yang mendampingi dokter.

 

Aku mengangguk kecil. Aku merasa bahagia dan sedih secara bersamaan. Bahagia karena Zidan diizinkan pulang, tapi sedih karena harus membayar biaya rumah sakit dalam jumlah besar. Mau tak mau aku harus meminjam uang lagi kepada Ibu. Jika tidak, maka aku tidak bisa membawa Zidan keluar dari rumah sakit.

 

Aku menyuapi Zidan seraya menunggu kedatangan Ibu. Karena setengah melamun, aku sampai tidak sadar kalau Ibu sudah berdiri di belakangku.

 

"Zidan, ini Eyang," ucap Ibu membelai rambut cucunya.

 

Aku segera berdiri untuk memberikan kursiku kepada Ibu.

 

"Bu, Zidan sudah boleh pulang hari ini."

 

"Syukurlah, Cucu Eyang sudah sehat."

 

Suaraku seakan tercekat di tenggorokan. Rasanya aku tidak sanggup membuka suara untuk meminta bantuan kepada Ibu. Posisiku saat ini benar-benar serba salah.

 

Ibu menoleh sebentar ke arahku, seakan paham dengan kegundahan yang tengah kurasakan. Sebagai ibu dan anak, kami memang memiliki ikatan batin yang kuat karena selama ini kami hanya hidup berdua.

 

"Rista, urus administrasinya sekarang. Ibu yang akan menjaga Zidan."

 

"Bu, tapi tagihannya...." ucapku tidak berani melanjutkan kalimat.

 

Ibu menghembuskan napas panjang lalu mengeluarkan dompet dari tasnya.

 

"Kalau tidak ada Ibu disini, lalu bagaimana nasibmu dan Zidan? Kamu sudah salah memilih suami, Rista. Kelakuan Yoga malah lebih jelek dari ayahmu," ujar Ibu sambil menggeleng-gelengkan kepala.

 

Aku hanya membisu tanpa dapat menyangkal perkataan Ibu. Wajar jika Ibu menjadi kesal dengan situasi ini, karena aku selalu merepotkannya. Seharusnya setelah aku menikah, Ibu bisa menabung untuk keperluan hari tua. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Beban finansial Ibu malah bertambah akibat permasalahan rumah tanggaku.

 

"Ini, pakailah untuk membayar tagihan perawatan Zidan. Setelah selesai kita segera pulang."

 

"Iya, Bu, terima kasih."

 

Aku bergegas turun ke lantai bawah dengan lift. Dengan mengabaikan rasa malu, aku mengurus pembayaran dan menyelesaikan semua prosedur administrasi sesuai peraturan rumah sakit. Yang kuinginkan hanyalah membawa pulang Zidan secepat mungkin.

 

***

 

Aku mengabari Mas Yoga lewat pesan singkat bahwa Zidan sudah pulang. Sengaja aku tidak menelpon karena takut akan mengganggu pekerjaannya. Namun hingga menjelang jam pulang kantor dia tidak merespon pesanku. Entah dia sedang sibuk atau memang kurang peduli terhadap anak dan istrinya.

 

Tatkala aku selesai menyuapi Zidan, Mas Yoga baru muncul di ambang pintu. Dia hanya melihatku sekilas lalu berjalan menuju kamar mandi.

 

"Bu, aku titip Zidan sebentar. Aku mau bicara soal cincin Ibu yang hilang pada Mas Yoga," ucapku menyerahkan Zidan ke dalam gendongan Ibu. Kulakukan ini sebagai tindakan pencegahan jika aku dan Mas Yoga sampai terlibat adu mulut. Aku tidak mau putra kecilku mendengarkan pertengkaran orang tuanya untuk kesekian kalinya.

 

Selama menunggunya mandi, aku mencoba merangkai kata-kata agar tidak membuat suamiku tersinggung. Saat kulihat Mas Yoga sudah keluar dari kamar mandi, aku pun berdehem untuk menghilangkan rasa was-was.

 

"Mas," lirihku dengan jantung berdebar.

 

"Hmmm...." gumam Mas Yoga seraya merapikan rambutnya yang setengah basah di depan cermin. Gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia tidak berminat untuk menanggapi ucapanku.

 

"Tadi terpaksa aku harus pinjam uang Ibu lagi untuk melunasi tagihan rumah sakit. Jadi total pinjaman kita ke Ibu sembilan juta lima ratus," terangku.

 

"Lalu apa masalahnya? Kamu sendiri kan yang suka berhutang pada ibumu," jawab Mas Yoga enteng.

 

"Kita harus mencicilnya mulai bulan depan, Mas."

 

"Terserah kamu. Tapi jangan salahkan aku kalau uang belanjamu semakin berkurang."

 

Selesai menyisir rambut Mas Yoga hendak melangkah keluar, tapi aku mencegahnya.

 

"Mas, aku mau bicara sebentar," ucapku mengajaknya duduk di tepi tempat tidur.

 

"Ada apa lagi?" tanya Mas Yoga menatapku.

 

"Semalam Ibu mengeluh kalau cincinnya hilang. Dia meletakkan cincin itu di meja ruang tamu tapi setelah Ibu kembali dari dapur, cincinnya sudah tidak ada. Apa Mas Yoga melihat dimana cincin Ibu?"

 

Mas Yoga langsung menaikkan kedua alisnya. Dari sorot matanya yang menggelap, aku tahu Mas Yoga merasa tersinggung.

 

"Maksudmu apa menanyakan hal itu, Arista? Kamu menuduhku mengambil cincin Ibu?"

 

"Bukan, Mas, aku cuma sekedar bertanya. Saat cincin itu hilang, hanya ada Mas Yoga dan Ibu di rumah. Siapa tahu Mas Yoga melihat cincin itu jatuh," kataku memberikan penjelasan.

 

"Bentuk cincin itu saja aku tidak tahu, bagaimana bisa aku melihatnya. Dengar, Arista, katakan kepada Ibu kalau aku bukan pencuri. Kalian jangan sembarangan menuduhku tanpa bukti. Aku berani bersumpah jika aku sampai mengambil cincin itu, aku akan celaka," tandas Mas Yoga mengutuk diri sendiri.

 

"Mas, jangan menyumpahi diri sendiri, tidak baik."

 

"Itu sebagai bukti kalau aku tidak bersalah. Siapkan makan malamku sekarang," titah Mas Yoga kepadaku.

 

Mas Yoga beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju pintu. Kini aku bingung harus mempercayai siapa, ibuku atau suamiku. Mungkinkah Ibu telah berprasangka buruk karena membenci Mas Yoga? Ataukah Mas Yoga yang sudah berbohong padaku?

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status