LOGIN“Maaf, Pak…” suaranya pelan, nyaris ragu. “Saya sudah ditunggu teman-teman.”
Denis hanya mengangguk, menelan kecewa dengan senyum tipis. “Oh, ya sudah. Lain kali mungkin.” Ia berkata ringan, tapi ada sesuatu dalam tatapannya, sebuah ketertarikan samar, yang bahkan tak ia sadari sepenuhnya. Saras membalas dengan senyum singkat, lalu bergegas pergi membawa bungkusan nasi. Namun langkahnya terasa berat, seolah meninggalkan sesuatu yang belum sempat ia mengerti. Saras mengangguk sopan, lalu membungkukkan badan sedikit. “Permisi dulu, Pak. Salam untuk anak Bapak.” Suara lembut itu terhenti di udara, meninggalkan jeda singkat sebelum ia melangkah pergi. Plastik berisi nasi bungkus bergoyang pelan di genggamannya, seiring langkah cepat yang berusaha tampak mantap. Denis tak berkata apa-apa. Matanya hanya mengikuti sosok itu yang semakin menjauh di antara keramaian food court. Setiap langkah Saras seakan memantul di dadanya, aneh, seperti meninggalkan jejak samar yang tak mudah dihapus. Ada sesuatu pada perempuan itu. Bukan sekadar wajah lelahnya, bukan hanya senyum kikuk yang dipaksakan, melainkan aura sederhana yang justru terasa tulus, berbeda dari dunia gemerlap yang selama ini mengitari hidup Denis. Tangannya refleks menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin. Tapi matanya tetap terpaku, seakan enggan melepaskan bayangan Saras yang kini lenyap di balik pintu keluar food court. Bersamanya, Saras membawa bukan hanya nasi bungkus, melainkan juga sebuah rasa, entah rindu, entah penasaran, yang mendadak berat untuk dilepaskan. “Kamu kenapa, Saras?” tanya Rina pelan sambil menatap temannya yang sejak tadi hanya menyingkirkan sendok tanpa benar-benar menyentuh makanan. “Kenapa?” Saras berusaha tersenyum, tapi suaranya terdengar datar. “Dari makan siang tadi kamu tampak banyak melamun. Apa yang kamu pikirkan?” Saras menarik napas dalam, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Nggak apa-apa hanya kepikiran Althaf saja.” Ia menyebut nama putranya sebagai alasan, sekaligus kebenaran yang tak bisa ia sangkal. “Althaf kenapa?” Rina bertanya lagi, lembut, penuh perhatian. Saras terdiam sejenak. Ia menunduk, mencari kalimat yang tepat. “Bukannya aku mengeluh, tapi kadang aku sedih memikirkan masa depan kami. Aku takut dia tumbuh tanpa arah. Takut dia merasa kekurangan.” Rina menatap temannya dengan sorot mata hangat. Ia tahu, Saras selalu berusaha tampak kuat, tapi di balik itu ada luka yang belum sepenuhnya sembuh. “Kamu sudah berjuang sejauh ini, Saras. Althaf nggak pernah kekurangan kasih sayang. Kamu ibu yang luar biasa.” Mata Saras mulai berkaca-kaca. Ia menggigit bibir, menahan getar di suaranya. “Tapi itu belum cukup, Rin. Dia butuh pendidikan yang baik, butuh kehidupan yang lebih layak. Aku takut semua usahaku nggak akan cukup untuk membuatnya bahagia.” Rina menggeser duduknya lebih dekat, menepuk tangan Saras pelan. “Kita nggak bisa tahu masa depan. Tapi satu hal yang pasti, cinta seorang ibu itu kekuatan paling besar. Percaya deh, Althaf bisa merasakannya. Dan itu akan jadi pondasi terkuat buat dia melangkah nanti.” Saras menatap Rina, matanya basah. Ada rasa lega karena bisa berbagi, tapi juga ada ketakutan yang belum bisa ia enyahkan. Dalam hatinya, ia berdoa, semoga apa yang dikatakan Rina benar adanya. “Saras, kamu tuh terlalu sering mikirin semuanya sendirian,” kata Rina, suaranya lembut tapi tegas. “Kalau lelah, ya bilang. Kalau takut, ya cerita. Aku di sini bukan cuma buat kerja bareng kamu, tahu.” Saras tersenyum lemah, menunduk sebentar sebelum menatap sahabatnya. “Aku tahu, Rin. Makanya aku bersyukur banget punya kamu. Kamu selalu ada. Tapi kadang perasaan ini susah dijelasin. Ada hari-hari di mana aku ngerasa kuat banget, kayak bisa hadapi dunia sendirian. Tapi ada juga hari kayak sekarang, di mana rasanya semua terlalu berat buat dipikul.” Rina menggenggam tangan Saras, memberi kekuatan dalam diam. Setelah hening sejenak, Saras menarik napas. “Tadi aku bertemu dengan Pak Denis.” Saras berkata dengan pelan. Rina mengerjap, mencoba mengingat. “Pak Denis? Pak Denis siapa? Oh, yang beli mobil itu?” Saras mengangguk pelan. “Iya dia. Kebetulan ketemu di food court waktu aku bungkus nasi buat anak-anak kantor.” Rina menaikkan alis, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu. “Dan?” Saras terdiam sejenak, bibirnya seperti ragu untuk melanjutkan. “Entahlah, Rin. Pertemuan itu sebentar, sederhana. Tapi ada sesuatu, aku sendiri nggak tahu apa.” Rina menatapnya lekat-lekat, lalu tersenyum samar. “Hati-hati, Ras. Kadang, sesuatu yang sederhana bisa jadi awal dari cerita yang panjang.” Saras terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan. “Dia itu kelihatannya baik, sopan. Tapi tatapannya, Rin, seolah dia tahu aku, padahal kami baru bertemu. Dan tadi, dia sempat ngajak makan bareng.” Rina langsung mencondongkan tubuh. “Terus kamu tolak?” “Iya,” jawab Saras singkat. Rina menggeleng tak percaya. “Ya ampun, Saras. Gimana kalau ternyata dia bukan sekadar sopan? Tapi ada maksud terselubung?” Saras terkekeh kecil, meski ada getir yang tersembunyi di balik tawanya. “Rin, jangan ngayal. Dia itu tajir melintir. Istrinya cantik, hidupnya kelihatan sempurna. Sedangkan aku? Aku cuma perempuan yang pernah ditinggal pas lagi hamil, berjuang buat sesuap nasi.” Rina terdiam sejenak, lalu menatap Saras dengan lembut tapi penuh ketegasan. “Justru itu, Ras. Kadang laki-laki yang kelihatan sempurna dari luar, sebenarnya paling kesepian di dalam. Dan perempuan kuat sepertimu bisa jadi cahaya yang mereka cari. Ada sesuatu dalam dirimu yang mungkin membuatnya tertarik.” Kata-kata itu membuat Saras bungkam. Ia memandang sahabatnya, hatinya terasa sedikit lebih ringan, seolah ada ruang untuk bernapas di tengah segala kepenatan. “Aku takut, Rina. Takut jika pertemuanku dengannya terus berlanjut. Mudah-mudahan tadi hanya kebetulan saja.” “Iya, mudah-mudahan tidak ada interaksi lebih lanjut. Apalagi kalau dia memiliki istri. Tapi kalau dia sudah single, gas!” Rina tertawa kecil. “Aku trauma berhubungan dengan orang kaya. Lagipula fokusku sekarang adalah Althaf dan Ibu.” “Aku yakin mereka bangga memilikimu.” “Terima kasih, Rin. Ayo kembali kerja, nanti kena omel,” kata Saras sambil tertawa. “Apakah mungkin akan ada pertemuan selanjutnya?” gumam Saras dalam hati. Saras melanjutkan pekerjaannya, meskipun kepalanya dipenuhi dengan wajah Denis.Suara tawa anak-anak terdengar ramai di arena bermain. Althaf berlari kecil sambil tertawa, tangan mungilnya menggenggam erat boneka karakter yang baru saja ia menangkan dari mesin capit. Saras tersenyum lebar, melihat ekspresi bahagia anak semata wayangnya.Mall ini… pikirnya. Tempat yang dulu sempat membawa perasaan campur aduk. Tempat ia pernah bertemu dengan Dennis. Waktu itu hidupnya masih penuh tekanan dan luka, tapi sekarang, semuanya mulai membaik. Ia masih berjuang, iya. Tapi kali ini dengan tenang, dengan arah.“Nda, liat!” Althaf menunjuk ke arah jungkat-jungkit.“Ayo!” Saras menggandeng tangan anaknya dan berjalan ke arah permainan.Sambil mengawasi Althaf bermain, Saras duduk di bangku panjang.Tiba-tiba, suara tawa seorang anak memecah kesibukan mal sore itu.Saras menoleh dan seketika langkahnya terhenti. Alvin.Anak kecil itu sedang berlari kecil sambil membawa balon biru di tangannya. Tak jauh di belakangnya, Dennis berdiri dengan senyum hangat dan lambaian tangan yan
Di tempat kerja, suasana seperti biasa dingin. Winda bahkan tidak menoleh ketika Saras masuk. Teddy dan Rina yang melihatnya langsung menghampiri.“Jadi?”Saras mengangguk. “Hari ini aku kasih surat resign.”Teddy tampak lega sekaligus sedih. “Aku senang kamu ambil langkah itu, tapi bakal kehilangan teman terbaik di sini.”“Aku akan merindukanmu, Saras,” Rina berkata dengan mata berkaca-kaca.Saras tersenyum. “Kita tetap bisa berteman. Justru nanti aku lebih bebas cerita.”Tak lama kemudian, Saras masuk ke ruangan Pak Hendra. Dengan tenang ia menyerahkan surat pengunduran dirinya.Pak Hendra tampak kaget. “Kamu yakin, Saras? Kita bisa bicarakan ini.”“Terima kasih, Pak. Tapi keputusan saya sudah bulat.”Keluar dari ruangan itu, Saras merasa ringan. Seperti melepaskan beban berton-ton dari pundaknya.*Hari pertama kerja, Saras datang lebih awal. Ruang kerjanya tak terlalu besar, tapi terasa hangat, meja rapi, papan visi perusahaan di dinding, dan rekan-rekan baru yang menyapanya denga
Sejak kedatangan Pak Hendra sebagai atasan baru, suasana tempat kerja yang tadinya terasa hangat berubah menjadi tegang dan penuh tekanan. Saras, yang selama ini dikenal ramah dan profesional, mulai merasa seperti berjalan di atas bara.Winda semakin menjadi-jadi. Dengan kedekatannya pada Pak Hendra, ia sering membawa gosip dan cerita sepihak, terutama tentang Saras. Beberapa tugas Saras mulai dialihkan ke rekan lain, dan setiap kesalahan kecil selalu dibesar-besarkan di depan tim.Pagi itu, saat rapat mingguan, Saras duduk di pojok ruangan, mencoba untuk tetap tenang. Winda, seperti biasa, mengambil kesempatan bicara.“Pak, maaf, saya hanya ingin memberi saran. Mungkin kedepannya, bagian promosi bisa diberikan ke yang lebih tepat waktu dan lebih teliti. Karena, ya kita semua tahu siapa yang sering telat input data.”Mata semua orang perlahan menoleh ke arah Saras, karena ia merupakan bagian promosi yang dimaksud Winda. Wajahnya memerah, tapi ia tetap diam.Pak Hendra hanya mengangguk
Dennis menarik napas panjang. Akhirnya ia memutuskan untuk turun dari mobil. Langkahnya pelan namun mantap, hatinya berdebar kencang. Setiap detik mendekat ke rumah kontrakan itu membuat pikirannya dipenuhi pertanyaan. Bagaimana kondisi Saras? Apa ia akan mau menemuiku? Atau justru menutup pintu rapat-rapat?Ia mengetuk pintu kayu sederhana itu. Suara ketukan bergema lirih di dalam rumah. Tak lama, terdengar suara langkah tergesa, lalu pintu terbuka.Saras muncul, wajahnya terlihat lelah. Rambutnya diikat seadanya, matanya sedikit sembab, dan jelas ia belum sempat merias diri. Namun bagi Dennis, perempuan itu tetap sama, memiliki pesona yang menenangkan sekaligus menusuk jantungnya.“Pak Dennis…?” Saras terperanjat, suaranya nyaris berbisik. Ada keterkejutan, bercampur dengan perasaan yang sulit dijelaskan.Dennis menatapnya dalam-dalam, mencoba menahan gejolak di dadanya. “Aku dengar Althaf sakit, aku khawatir. Aku hanya ingin memastikan kalian baik-baik saja.”Saras terdiam sesaat,
“Aborsi? Jadi ia memilih jalan itu? Bagaimana kondisinya sekarang?” Else tidak menyangka dengan kenekatan sahabatnya itu.“Dia sekarang di rumah sakit. Jadi kamu tahu kalau ia akan aborsi? Kenapa? Dia kan punya suami, apa yang ia takutkan?”“Aku pikir ia hanya main-main. Yang aku tahu, ia tidak mau nanti kasih sayang untuk Alvin terbagi dengan adiknya.” Tentu saja Else tidak bicara dengan jujur. Karena ada rahasia besar yang harus ia simpan dengan rapat.Dennis menghela napas berat. Kali ini bukan marah, tapi sedih yang mendalam. Semuanya mulai jelas, tapi rasanya semakin menyakitkan.Dennis tahu kalau Else berbohong, tapi percuma mendesak Else, pasti ia tidak akan bicara dengan jujur.“Seberapa dekat Risa dengan Evan?” tanya Dennis dengan suara datar. Pertanyaan itu membuat bibir Else terasa kelu, ia tidak tahu harus menjawab apa.“Rekan kerja. Yang aku tahu, ia ada dalam satu proyek.”“Jangan bohong padaku, Else.” Dennis mendekatkan wajahnya ke arah Else, membuat detak jantung Else
Pagi ini Dennis sedang mendengarkan penjelasan dokter tentang Clarissa.“Maaf, Pak. Istri anda bukan keguguran.”“Apa maksudnya, Dok?”Dokter menghela nafas panjang, sepertinya ia sedang memilih kata-kata yang pas untuk menjelaskannya.“Sengaja digugurkan, aborsi.”Mata Dennis terbelalak, jantungnya berdetak sangat kencang.Dennis terdiam. Kata-kata dokter barusan terdengar seperti dentuman keras yang menghantam dadanya. Ia mencoba mencerna ulang, sengaja digugurkan? Tidak mungkin.Clarissa tidak mungkin melakukan hal seperti itu atau mungkin memang iya?“Dok… apa Anda yakin?” tanyanya dengan suara bergetar.Dokter mengangguk pelan. “Dari hasil pemeriksaan medis, pendarahan yang terjadi tidak seperti keguguran alami. Kami mendapati indikasi penggunaan zat tertentu yang biasanya digunakan untuk aborsi. Tapi tentu saja, ini bisa dibicarakan lebih lanjut nanti dengan istri Anda.”Dennis membuang napas berat, matanya menerawang jauh. Campur aduk. Bingung. Marah. Kecewa. Sedih.Dennis mas







