LOGINDenis akhirnya menjemput Alvin siang itu. Seperti biasa, bila Clarissa, sang istri, tak bisa hadir, Denislah yang mengambil peran. Kehadirannya di depan gerbang sekolah selalu mencuri perhatian, sosok pria muda dengan langkah mantap, wajah berwibawa, dan aura karismatik seorang pemimpin. Tak banyak yang tahu, dibalik citra pengusaha sukses itu, hatinya selalu luluh hanya untuk satu hal, anak kecil yang kini sedang ia cari.
Dari kejauhan, Alvin sudah mengenali siluet papanya. Wajah mungilnya berbinar, lalu suara riangnya memecah keramaian. “Papa!” serunya sambil berlari menghampiri. Denis membuka kedua tangannya, menyambut tubuh mungil itu dengan senyum hangat. Namun, keceriaan Alvin seketika meredup. “Kok bukan Mama yang jemput?” tanyanya dengan nada kecewa. Denis terkekeh pelan, mencoba mencairkan suasana. “Kenapa? Nggak mau dijemput Papa?” Anak itu menggeleng cepat. “Bukan begitu, Pa. Tapi Mama janji mau jemput Alvin hari ini.” Denis menarik napas dalam. “Mama ada keperluan mendadak.” Alvin menunduk, bibir mungilnya merengut. “Selalu begitu! Mama lebih sayang pekerjaannya daripada Alvin.” Kalimat polos itu menohok jantung Denis. Ia menatap putranya yang baru duduk di bangku TK, begitu kecil untuk menanggung kecewa sebesar itu. “Eh, jangan cemberut gitu dong,” bujuk Denis lembut sambil mengusap kepala anaknya. “Ayo, Alvin mau beli apa?” Sekejap mata Alvin berbinar kembali. “Es krim, ya?” Denis pura-pura berpikir serius, menahan senyum. “Please, Pa… Alvin pengin banget es krim.” Mereka pun berjalan beriringan, tangan mungil menggenggam tangan kokoh. Dan bagi Denis, di tengah segala kesibukan dan sorotan dunia, momen kecil inilah yang paling berharga, menjadi rumah bagi senyum seorang anak. Kedai kecil di sudut jalan itu selalu ramai setiap hari. Lampu kuningnya hangat, aroma manis vanila dan cokelat menyambut siapapun yang masuk. Denis menggandeng tangan Alvin, lalu membantunya naik ke kursi tinggi di depan etalase kaca penuh warna-warni es krim. “Mau rasa apa, Nak?” tanya Denis. Alvin menunjuk tanpa ragu. “Cokelat sama stroberi. Dua-duanya ya, Pa.” “Wah, rakus juga jagoan Papa,” goda Denis sambil memesankan. Tak lama kemudian, satu cup besar es krim tersaji di hadapan Alvin, lengkap dengan sendok mungil berwarna biru. Alvin mulai menyendok perlahan, tapi kali ini ia tidak setenang biasanya. Sesekali ia menatap ayahnya, lalu menunduk lagi. Denis menangkap ada sesuatu yang dipendam anaknya. “Kenapa diem aja? Biasanya kalau makan es krim, Alvin senyum terus,” tanya Denis lembut. Anak itu berhenti sejenak, lalu mengusap bibirnya yang belepotan es krim. “Papa, Mama beneran sibuk banget, ya?” suaranya lirih, hampir tenggelam oleh riuh kedai. Denis menatap lekat wajah kecil itu. “Iya, Mama memang sibuk. Tapi bukan berarti Mama nggak sayang sama Alvin.” “Tapi Alvin sering nungguin Mama. Janji-janji Mama banyak yang lupa.” Suara Alvin bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. “Kayaknya Mama lebih pilih kerjaan daripada Alvin.” Ucapan itu membuat dada Denis terasa sesak. Ia tahu betul betapa kerasnya Clarissa bekerja, tapi ia juga mengerti luka kecil yang diam-diam tumbuh di hati anaknya. Denis menghela napas, lalu mengusap lembut kepala Alvin. “Mama itu kerja keras juga buat Alvin, supaya Alvin bisa punya masa depan yang baik. Kadang orang dewasa memang suka salah janji, tapi nggak bisa tepati. Bukan karena mereka nggak sayang, tapi karena mereka terlalu ingin segalanya berjalan baik.” Alvin terdiam. Ia menunduk, lalu dengan suara hampir berbisik bertanya, “Jadi, Mama sayang Alvin, kan?” Denis tersenyum, menatap dalam mata putranya. “Sayang banget. Sama seperti Papa. Kamu itu alasan Mama dan Papa berjuang setiap hari.” Butiran air mata jatuh di pipi Alvin, tapi senyum kecil akhirnya merekah. Ia memeluk Denis erat-erat, seakan takut kehilangan hangat itu. “Kalau gitu, Papa jangan bohongin Alvin, ya,” bisiknya. Denis membalas pelukan itu, hatinya bergetar. “Papa janji.” Rasa haru menyelimuti hati Denis.. Setelah es krim tandas, Denis mengajak Alvin berjalan ke sebuah food court kecil tak jauh dari sekolah. Tempatnya sederhana, meja kursinya terbuat dari plastik, aroma gorengan bercampur dengan wangi nasi hangat memenuhi udara. Meski sederhana, tempat itu selalu ramai di jam makan siang. Bagi Denis, makan di sini bukan masalah. Ia terbiasa melebur seperti orang kebanyakan. Baginya, kebersamaan lebih penting daripada gengsi. Namun, ia tahu betul istrinya tidak akan pernah mau duduk di tempat seperti ini. Clarissa sering menyebut selera Denis “rendahan” dan bila ia tahu Denis membawa Alvin ke sini, pasti akan marah. Tapi Denis tak peduli. Alvin duduk bersemangat, menyendok nasi hangat dengan potongan ayam goreng kesukaannya. Wajahnya tampak puas. Sementara itu, Denis hanya menemaninya sambil menyesap kopi hitam pekat, pikirannya melayang entah ke mana. Hingga matanya menangkap sosok yang tak asing. Saras. Perempuan itu berdiri di depan etalase nasi Padang. Matanya berkeliling memilih lauk, tapi gerak-geriknya tampak ragu. Tangan kirinya menggenggam dompet lusuh, tangan kanannya sibuk menyeka peluh dari wajah. Raut wajahnya lelah, seperti seseorang yang menanggung banyak beban. Alvin, yang duduk menghadap arah yang sama, tiba-tiba berbisik sambil menunjuk. “Papa, itu kayaknya tante yang nabrak Papa di minimarket kemarin.” Denis menoleh cepat. “Kamu ingat?” Anak itu mengangguk mantap. “Iya. Waktu itu Mama ngomel-ngomel.” Denis tersenyum tipis, ada sesuatu yang berputar di pikirannya. Ia berdiri perlahan. “Tunggu di sini, ya. Jangan ke mana-mana.” Alvin mengangguk, masih sibuk dengan ayam gorengnya. Denis melangkah pelan mendekati Saras. Perempuan itu baru saja selesai memesan beberapa bungkus nasi, ternyata titipan teman-teman kantornya. Saat berbalik, langkahnya hampir saja bertabrakan dengan Denis. Kali ini, tatapan mereka bertemu lebih lama daripada pertemuan singkat di minimarket. “Oh, maaf,” ucap Saras terburu-buru, hampir menjatuhkan bungkus nasi yang ia bawa. Matanya membulat, seolah baru sadar siapa yang berdiri di depannya. “Pak Denis?” Denis mengangguk santai. “Makan siang?” “Eh… iya,” Saras mengangkat plastik berisi nasi bungkus, senyumnya kaku tapi berusaha ramah. “Ini titipan teman-teman kantor. Bapak juga?” Denis menoleh sejenak, menunjuk ke arah meja. “Iya, sama Alvin. Tadi minta es krim, tapi ujung-ujungnya makan juga.” Saras mengikuti arah pandangan Denis. Di sana, Alvin sedang mengunyah ayam goreng dengan lahap. Begitu melihat Saras, bocah itu langsung melambaikan tangan mungilnya. “Halo, Tante!” serunya riang. Saras terkekeh kecil. “Manis banget anak Bapak.” Ada ketulusan di matanya, meski wajahnya masih diliputi lelah. Denis menatapnya sejenak, seolah menimbang sesuatu. Lalu, dengan nada ringan namun hangat, ia berkata, “Mau gabung sama kami? Makan bareng?” Pertanyaan sederhana itu membuat langkah Saras terhenti. Hatinya mendadak hangat, ada kerinduan yang samar, entah pada apa. Namun logikanya segera menahan, ia hanya karyawan biasa, sedang laki-laki di depannya adalah seorang pengusaha sukses. Dunia mereka terlalu jauh.Suara tawa anak-anak terdengar ramai di arena bermain. Althaf berlari kecil sambil tertawa, tangan mungilnya menggenggam erat boneka karakter yang baru saja ia menangkan dari mesin capit. Saras tersenyum lebar, melihat ekspresi bahagia anak semata wayangnya.Mall ini… pikirnya. Tempat yang dulu sempat membawa perasaan campur aduk. Tempat ia pernah bertemu dengan Dennis. Waktu itu hidupnya masih penuh tekanan dan luka, tapi sekarang, semuanya mulai membaik. Ia masih berjuang, iya. Tapi kali ini dengan tenang, dengan arah.“Nda, liat!” Althaf menunjuk ke arah jungkat-jungkit.“Ayo!” Saras menggandeng tangan anaknya dan berjalan ke arah permainan.Sambil mengawasi Althaf bermain, Saras duduk di bangku panjang.Tiba-tiba, suara tawa seorang anak memecah kesibukan mal sore itu.Saras menoleh dan seketika langkahnya terhenti. Alvin.Anak kecil itu sedang berlari kecil sambil membawa balon biru di tangannya. Tak jauh di belakangnya, Dennis berdiri dengan senyum hangat dan lambaian tangan yan
Di tempat kerja, suasana seperti biasa dingin. Winda bahkan tidak menoleh ketika Saras masuk. Teddy dan Rina yang melihatnya langsung menghampiri.“Jadi?”Saras mengangguk. “Hari ini aku kasih surat resign.”Teddy tampak lega sekaligus sedih. “Aku senang kamu ambil langkah itu, tapi bakal kehilangan teman terbaik di sini.”“Aku akan merindukanmu, Saras,” Rina berkata dengan mata berkaca-kaca.Saras tersenyum. “Kita tetap bisa berteman. Justru nanti aku lebih bebas cerita.”Tak lama kemudian, Saras masuk ke ruangan Pak Hendra. Dengan tenang ia menyerahkan surat pengunduran dirinya.Pak Hendra tampak kaget. “Kamu yakin, Saras? Kita bisa bicarakan ini.”“Terima kasih, Pak. Tapi keputusan saya sudah bulat.”Keluar dari ruangan itu, Saras merasa ringan. Seperti melepaskan beban berton-ton dari pundaknya.*Hari pertama kerja, Saras datang lebih awal. Ruang kerjanya tak terlalu besar, tapi terasa hangat, meja rapi, papan visi perusahaan di dinding, dan rekan-rekan baru yang menyapanya denga
Sejak kedatangan Pak Hendra sebagai atasan baru, suasana tempat kerja yang tadinya terasa hangat berubah menjadi tegang dan penuh tekanan. Saras, yang selama ini dikenal ramah dan profesional, mulai merasa seperti berjalan di atas bara.Winda semakin menjadi-jadi. Dengan kedekatannya pada Pak Hendra, ia sering membawa gosip dan cerita sepihak, terutama tentang Saras. Beberapa tugas Saras mulai dialihkan ke rekan lain, dan setiap kesalahan kecil selalu dibesar-besarkan di depan tim.Pagi itu, saat rapat mingguan, Saras duduk di pojok ruangan, mencoba untuk tetap tenang. Winda, seperti biasa, mengambil kesempatan bicara.“Pak, maaf, saya hanya ingin memberi saran. Mungkin kedepannya, bagian promosi bisa diberikan ke yang lebih tepat waktu dan lebih teliti. Karena, ya kita semua tahu siapa yang sering telat input data.”Mata semua orang perlahan menoleh ke arah Saras, karena ia merupakan bagian promosi yang dimaksud Winda. Wajahnya memerah, tapi ia tetap diam.Pak Hendra hanya mengangguk
Dennis menarik napas panjang. Akhirnya ia memutuskan untuk turun dari mobil. Langkahnya pelan namun mantap, hatinya berdebar kencang. Setiap detik mendekat ke rumah kontrakan itu membuat pikirannya dipenuhi pertanyaan. Bagaimana kondisi Saras? Apa ia akan mau menemuiku? Atau justru menutup pintu rapat-rapat?Ia mengetuk pintu kayu sederhana itu. Suara ketukan bergema lirih di dalam rumah. Tak lama, terdengar suara langkah tergesa, lalu pintu terbuka.Saras muncul, wajahnya terlihat lelah. Rambutnya diikat seadanya, matanya sedikit sembab, dan jelas ia belum sempat merias diri. Namun bagi Dennis, perempuan itu tetap sama, memiliki pesona yang menenangkan sekaligus menusuk jantungnya.“Pak Dennis…?” Saras terperanjat, suaranya nyaris berbisik. Ada keterkejutan, bercampur dengan perasaan yang sulit dijelaskan.Dennis menatapnya dalam-dalam, mencoba menahan gejolak di dadanya. “Aku dengar Althaf sakit, aku khawatir. Aku hanya ingin memastikan kalian baik-baik saja.”Saras terdiam sesaat,
“Aborsi? Jadi ia memilih jalan itu? Bagaimana kondisinya sekarang?” Else tidak menyangka dengan kenekatan sahabatnya itu.“Dia sekarang di rumah sakit. Jadi kamu tahu kalau ia akan aborsi? Kenapa? Dia kan punya suami, apa yang ia takutkan?”“Aku pikir ia hanya main-main. Yang aku tahu, ia tidak mau nanti kasih sayang untuk Alvin terbagi dengan adiknya.” Tentu saja Else tidak bicara dengan jujur. Karena ada rahasia besar yang harus ia simpan dengan rapat.Dennis menghela napas berat. Kali ini bukan marah, tapi sedih yang mendalam. Semuanya mulai jelas, tapi rasanya semakin menyakitkan.Dennis tahu kalau Else berbohong, tapi percuma mendesak Else, pasti ia tidak akan bicara dengan jujur.“Seberapa dekat Risa dengan Evan?” tanya Dennis dengan suara datar. Pertanyaan itu membuat bibir Else terasa kelu, ia tidak tahu harus menjawab apa.“Rekan kerja. Yang aku tahu, ia ada dalam satu proyek.”“Jangan bohong padaku, Else.” Dennis mendekatkan wajahnya ke arah Else, membuat detak jantung Else
Pagi ini Dennis sedang mendengarkan penjelasan dokter tentang Clarissa.“Maaf, Pak. Istri anda bukan keguguran.”“Apa maksudnya, Dok?”Dokter menghela nafas panjang, sepertinya ia sedang memilih kata-kata yang pas untuk menjelaskannya.“Sengaja digugurkan, aborsi.”Mata Dennis terbelalak, jantungnya berdetak sangat kencang.Dennis terdiam. Kata-kata dokter barusan terdengar seperti dentuman keras yang menghantam dadanya. Ia mencoba mencerna ulang, sengaja digugurkan? Tidak mungkin.Clarissa tidak mungkin melakukan hal seperti itu atau mungkin memang iya?“Dok… apa Anda yakin?” tanyanya dengan suara bergetar.Dokter mengangguk pelan. “Dari hasil pemeriksaan medis, pendarahan yang terjadi tidak seperti keguguran alami. Kami mendapati indikasi penggunaan zat tertentu yang biasanya digunakan untuk aborsi. Tapi tentu saja, ini bisa dibicarakan lebih lanjut nanti dengan istri Anda.”Dennis membuang napas berat, matanya menerawang jauh. Campur aduk. Bingung. Marah. Kecewa. Sedih.Dennis mas







