MasukSementara itu, Denis sudah kembali ke kantornya. Langit di luar mulai mendung, cahaya keemasan perlahan tertutup awan kelabu. Dari jendela kaca besar di ruangannya, angin membawa hawa lembap yang menandakan hujan sebentar lagi turun. Tapi bukan langit yang menyita perhatiannya.
Di sisi kursinya, Alvin duduk santai dengan tablet di tangan. Headphone kecil menutupi telinganya, jemarinya lincah menekan layar, sementara kakinya bergoyang-goyang penuh irama. Sesekali, bocah itu melirik ke arah ayahnya, memastikan kehadiran sang pelindung tetap ada. Denis menatapnya sejenak, bibirnya melunak. Namun momen itu terputus ketika pintu terbuka. Aldo masuk dengan ekspresi serius, membawa tumpukan berkas. “Pak, maaf mengganggu. Klien dari Singapura minta jadwal meeting dimajukan. Mereka sudah menunggu di lantai dua.” Denis menghela napas, nada suaranya tetap tenang. “Baik. Siapkan semua berkasnya. Lima menit lagi saya turun.” Aldo mengangguk cepat dan segera keluar. Denis lalu berjongkok di depan Alvin, sejajar dengan mata kecil yang jernih itu. “Papa harus kerja dulu, ya. Kamu bisa tunggu di sini. Main game-nya jangan sampai habis baterai.” Alvin melepas headphone, menatap ayahnya. “Papa, aku boleh gambar di whiteboard Papa nggak?” Senyum tipis muncul di wajah Denis. “Boleh. Tapi jangan gambar monster, nanti Papa ditanyain kenapa ruangannya horor.” Alvin terkikik, lalu mengangguk semangat. “Oke, aku gambar pesawat aja.” Denis mengusap kepala putranya dengan lembut sebelum berdiri. Ia merapikan jas, melangkah menuju pintu, namun berhenti sesaat. Tatapannya menerawang, seolah ada sesuatu yang tersisa dalam pikirannya. Bukan rapat penting, bukan berkas-berkas menumpuk, melainkan sekelebat bayangan Saras di food court tadi. Senyum kikuknya, tatapan matanya yang lelah tapi jujur. Entah kenapa, bayangan itu menolak hilang, justru semakin mengganggu setiap kali Denis mencoba menepisnya. Ia menghela napas panjang, menatap Alvin sekali lagi sebelum akhirnya melangkah keluar ruangan. Samar-samar, wajah Saras kembali terlintas di benak Denis. Senyumnya yang kikuk, suaranya yang lembut, bahkan cara ia menunduk sopan ketika menolak tawaran makan siang. Ada sesuatu yang rapuh di balik tatapan itu, dan Denis tahu, rasa bersalah dalam dirinya belum benar-benar selesai. Ia menarik napas panjang, meneguhkan hati. Begitu pintu ruang rapat lantai dua terbuka, suasana formal langsung menyergap. Beberapa eksekutif dari Singapura duduk rapi, berkas-berkas terbuka di hadapan mereka. Tim lokal dari perusahaan Denis sudah siap siaga, menunggu komando. Aldo berdiri di samping proyektor, wajahnya serius, remote presentasi di tangan. Begitu Denis masuk, semua peserta rapat serempak berdiri memberi hormat. “Mr. Denis, thank you for adjusting the time,” sapa Mr. Lee, perwakilan investor dengan logat khas. “Pleasure is mine,” balas Denis dengan senyum tipis, lalu duduk di kursi utama, posisi strategis yang menandakan otoritas. “Let’s get straight to the point.” Presentasi pun dimulai. Slide demi slide berganti, grafik naik turun diperlihatkan, angka-angka disorot sebagai bukti pertumbuhan. Diskusi mengalir cepat, strategi diperdebatkan dengan penuh semangat. Denis ikut menanggapi, suaranya tegas, wibawanya tak terbantahkan. Namun dibalik itu semua, pikirannya terus saja melayang ke wajah Saras dan satu nama yang kembali mengusik batinnya, Gavin Alexander. Hingga tiba-tiba, salah satu manajer lokal mengangkat suara. “…dan untuk proyek cabang Surabaya, kami sudah menjalin komunikasi awal dengan salah satu mitra lama, Robin Alexander Group.” Seperti tersambar petir, Denis menegakkan tubuhnya. Kedua matanya tajam menatap ke arah pembicara, meski ia berusaha tetap tenang di depan tamu asing. Alexander. Nama itu kembali bergaung, menimbulkan gema yang menyakitkan sekaligus membangkitkan rasa ingin tahu. Apakah ini sekadar kebetulan? Atau takdir sedang memainkan permainan yang jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan? Denis menoleh cepat, nadanya datar tapi tajam. “Maaf? Bisa diulang?” Pria itu, salah satu manajer lokal, mengangguk hati-hati. “Iya, Pak. Robin Alexander Group. Mereka menyatakan minat untuk joint venture. Bahkan katanya Gavin Alexander akan langsung datang mewakili.” Seisi ruangan tak menyadari perubahan halus di wajah Denis, yang tadinya tenang, kini mengeras. Rahangnya mengatup, tatapannya membeku. Tegang. Serius. Dan diam-diam, murka. Aldo, yang berdiri di sudut ruangan, cepat-cepat menunduk. Ia paham betul bahasa tubuh bosnya. Ini bukan sekadar soal bisnis. Ada bara lain yang menyala di balik tatapan dingin itu. “Baik,” ujar Denis akhirnya, suaranya tenang tapi dingin menusuk. “Tunda semua pembicaraan dengan pihak Robin Alexander. Sampai saya perintahkan lanjut.” Keheningan seketika menyelimuti ruangan. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas. “Noted, Pak,” jawab pria itu pelan, nyaris gugup. Rapat kembali berlanjut, meski atmosfer sudah berubah kaku. Satu jam kemudian, presentasi selesai. Satu per satu peserta rapat pamit keluar, meninggalkan ruangan dengan langkah hati-hati. Hingga akhirnya, hanya Denis dan Aldo yang tertinggal. Aldo menatap bosnya, menimbang kata-kata sebelum berani membuka suara. “Pak…” ia berhenti sejenak, lalu menunduk lagi. “Ini soal Gavin Alexander, ya?” Denis menegakkan tubuh, kedua tangannya bertumpu di meja rapat yang kini kosong. Tatapannya gelap, seakan menembus sesuatu jauh di masa lalu. “Bukan cuma soal dia,” ucapnya pelan, penuh tekanan. “Ini soal semua yang pernah mereka hancurkan.” “Hubungi orang dalam Robin Alexander Group. Saya ingin tahu semua detail pergerakan mereka. Terutama tentang Gavin.” Suara Denis terdengar tenang, tapi sarat dengan tekanan yang membuat udara seolah menegang. Aldo menelan ludah, merasakan beban instruksi itu. “Siap, Pak.” Denis berdiri perlahan, melangkah ke arah jendela besar. Dari sana, ia menatap Jakarta yang kini diguyur hujan. Butir-butir air beradu dengan kaca, menciptakan bayangan kabur gedung-gedung tinggi. “Pasti kamu heran, kenapa aku begitu menggebu ingin tahu semua tentang Gavin.” Suaranya pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Aldo tetap menunduk. “Iya, Pak.” Ia tidak berani menebak-nebak, hanya menunggu jika bosnya ingin berbagi. Denis menarik napas panjang. “Aku masih ingat… waktu itu Saras bertengkar dengan Gavin di sebuah minimarket. Gavin bersama Nora. Aku nggak tahu masalah apa, dan tentu saja aku tidak bisa ikut campur. Tapi…” ia berhenti sejenak, suaranya mengeras, “...ada sesuatu di antara mereka yang tidak bisa aku abaikan.” Hening kembali menguasai ruangan, hanya diiringi suara hujan yang semakin deras. Aldo mendongak sedikit, ragu-ragu. “Pak, kalau saya boleh tanya, Saras yang Bapak maksud, perempuan yang tadi siang Bapak temui?” Denis menutup matanya sebentar, lalu mengangguk pelan. “Ya. Dia.” Ada jeda panjang. Di balik tatapan Denis pada hujan, tersembunyi luka lama yang belum selesai, dan misteri yang baru saja terbuka kembali.Suara tawa anak-anak terdengar ramai di arena bermain. Althaf berlari kecil sambil tertawa, tangan mungilnya menggenggam erat boneka karakter yang baru saja ia menangkan dari mesin capit. Saras tersenyum lebar, melihat ekspresi bahagia anak semata wayangnya.Mall ini… pikirnya. Tempat yang dulu sempat membawa perasaan campur aduk. Tempat ia pernah bertemu dengan Dennis. Waktu itu hidupnya masih penuh tekanan dan luka, tapi sekarang, semuanya mulai membaik. Ia masih berjuang, iya. Tapi kali ini dengan tenang, dengan arah.“Nda, liat!” Althaf menunjuk ke arah jungkat-jungkit.“Ayo!” Saras menggandeng tangan anaknya dan berjalan ke arah permainan.Sambil mengawasi Althaf bermain, Saras duduk di bangku panjang.Tiba-tiba, suara tawa seorang anak memecah kesibukan mal sore itu.Saras menoleh dan seketika langkahnya terhenti. Alvin.Anak kecil itu sedang berlari kecil sambil membawa balon biru di tangannya. Tak jauh di belakangnya, Dennis berdiri dengan senyum hangat dan lambaian tangan yan
Di tempat kerja, suasana seperti biasa dingin. Winda bahkan tidak menoleh ketika Saras masuk. Teddy dan Rina yang melihatnya langsung menghampiri.“Jadi?”Saras mengangguk. “Hari ini aku kasih surat resign.”Teddy tampak lega sekaligus sedih. “Aku senang kamu ambil langkah itu, tapi bakal kehilangan teman terbaik di sini.”“Aku akan merindukanmu, Saras,” Rina berkata dengan mata berkaca-kaca.Saras tersenyum. “Kita tetap bisa berteman. Justru nanti aku lebih bebas cerita.”Tak lama kemudian, Saras masuk ke ruangan Pak Hendra. Dengan tenang ia menyerahkan surat pengunduran dirinya.Pak Hendra tampak kaget. “Kamu yakin, Saras? Kita bisa bicarakan ini.”“Terima kasih, Pak. Tapi keputusan saya sudah bulat.”Keluar dari ruangan itu, Saras merasa ringan. Seperti melepaskan beban berton-ton dari pundaknya.*Hari pertama kerja, Saras datang lebih awal. Ruang kerjanya tak terlalu besar, tapi terasa hangat, meja rapi, papan visi perusahaan di dinding, dan rekan-rekan baru yang menyapanya denga
Sejak kedatangan Pak Hendra sebagai atasan baru, suasana tempat kerja yang tadinya terasa hangat berubah menjadi tegang dan penuh tekanan. Saras, yang selama ini dikenal ramah dan profesional, mulai merasa seperti berjalan di atas bara.Winda semakin menjadi-jadi. Dengan kedekatannya pada Pak Hendra, ia sering membawa gosip dan cerita sepihak, terutama tentang Saras. Beberapa tugas Saras mulai dialihkan ke rekan lain, dan setiap kesalahan kecil selalu dibesar-besarkan di depan tim.Pagi itu, saat rapat mingguan, Saras duduk di pojok ruangan, mencoba untuk tetap tenang. Winda, seperti biasa, mengambil kesempatan bicara.“Pak, maaf, saya hanya ingin memberi saran. Mungkin kedepannya, bagian promosi bisa diberikan ke yang lebih tepat waktu dan lebih teliti. Karena, ya kita semua tahu siapa yang sering telat input data.”Mata semua orang perlahan menoleh ke arah Saras, karena ia merupakan bagian promosi yang dimaksud Winda. Wajahnya memerah, tapi ia tetap diam.Pak Hendra hanya mengangguk
Dennis menarik napas panjang. Akhirnya ia memutuskan untuk turun dari mobil. Langkahnya pelan namun mantap, hatinya berdebar kencang. Setiap detik mendekat ke rumah kontrakan itu membuat pikirannya dipenuhi pertanyaan. Bagaimana kondisi Saras? Apa ia akan mau menemuiku? Atau justru menutup pintu rapat-rapat?Ia mengetuk pintu kayu sederhana itu. Suara ketukan bergema lirih di dalam rumah. Tak lama, terdengar suara langkah tergesa, lalu pintu terbuka.Saras muncul, wajahnya terlihat lelah. Rambutnya diikat seadanya, matanya sedikit sembab, dan jelas ia belum sempat merias diri. Namun bagi Dennis, perempuan itu tetap sama, memiliki pesona yang menenangkan sekaligus menusuk jantungnya.“Pak Dennis…?” Saras terperanjat, suaranya nyaris berbisik. Ada keterkejutan, bercampur dengan perasaan yang sulit dijelaskan.Dennis menatapnya dalam-dalam, mencoba menahan gejolak di dadanya. “Aku dengar Althaf sakit, aku khawatir. Aku hanya ingin memastikan kalian baik-baik saja.”Saras terdiam sesaat,
“Aborsi? Jadi ia memilih jalan itu? Bagaimana kondisinya sekarang?” Else tidak menyangka dengan kenekatan sahabatnya itu.“Dia sekarang di rumah sakit. Jadi kamu tahu kalau ia akan aborsi? Kenapa? Dia kan punya suami, apa yang ia takutkan?”“Aku pikir ia hanya main-main. Yang aku tahu, ia tidak mau nanti kasih sayang untuk Alvin terbagi dengan adiknya.” Tentu saja Else tidak bicara dengan jujur. Karena ada rahasia besar yang harus ia simpan dengan rapat.Dennis menghela napas berat. Kali ini bukan marah, tapi sedih yang mendalam. Semuanya mulai jelas, tapi rasanya semakin menyakitkan.Dennis tahu kalau Else berbohong, tapi percuma mendesak Else, pasti ia tidak akan bicara dengan jujur.“Seberapa dekat Risa dengan Evan?” tanya Dennis dengan suara datar. Pertanyaan itu membuat bibir Else terasa kelu, ia tidak tahu harus menjawab apa.“Rekan kerja. Yang aku tahu, ia ada dalam satu proyek.”“Jangan bohong padaku, Else.” Dennis mendekatkan wajahnya ke arah Else, membuat detak jantung Else
Pagi ini Dennis sedang mendengarkan penjelasan dokter tentang Clarissa.“Maaf, Pak. Istri anda bukan keguguran.”“Apa maksudnya, Dok?”Dokter menghela nafas panjang, sepertinya ia sedang memilih kata-kata yang pas untuk menjelaskannya.“Sengaja digugurkan, aborsi.”Mata Dennis terbelalak, jantungnya berdetak sangat kencang.Dennis terdiam. Kata-kata dokter barusan terdengar seperti dentuman keras yang menghantam dadanya. Ia mencoba mencerna ulang, sengaja digugurkan? Tidak mungkin.Clarissa tidak mungkin melakukan hal seperti itu atau mungkin memang iya?“Dok… apa Anda yakin?” tanyanya dengan suara bergetar.Dokter mengangguk pelan. “Dari hasil pemeriksaan medis, pendarahan yang terjadi tidak seperti keguguran alami. Kami mendapati indikasi penggunaan zat tertentu yang biasanya digunakan untuk aborsi. Tapi tentu saja, ini bisa dibicarakan lebih lanjut nanti dengan istri Anda.”Dennis membuang napas berat, matanya menerawang jauh. Campur aduk. Bingung. Marah. Kecewa. Sedih.Dennis mas







