Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Saras berbaring menatap langit-langit kamarnya. Hanya dalam sunyi ia bisa benar-benar mengingat semua yang telah terjadi.
Gavin, pria yang dulu ia cintai sepenuh hati, yang bersumpah akan selalu menjaganya. Tapi, semua berubah saat ia menemukan suaminya sedang melakukan panggilan video dengan seorang perempuan hanya mengenakan tank top. Perempuan itu tertawa menggoda, sedangkan Gavin balas tersenyum, seolah lupa bahwa ia memiliki istri. Saras, yang saat itu tak bisa menahan marah, langsung mengkonfrontasi Gavin. "Mas, siapa perempuan itu? Kenapa kamu bisa begitu mesra sama dia?!" Gavin bukannya merasa bersalah, malah mendengus kesal. "Kamu berlebihan, Saras! Itu cuma teman!” "Teman? Teman macam apa yang video call pakai baju begitu?!" Gavin melempar ponselnya ke sofa. "Lantas kenapa?! Kalau pun aku berselingkuh, kamu juga sama, kan?!" Saras mengernyit. "Apa maksudmu?" "Jangan pura-pura polos, Saras. Aku tahu kamu ada hubungan sama Dicky!" Saras terbelalak. Dicky adalah teman Gavin, seseorang yang bahkan tak pernah ia anggap lebih dari sekadar kenalan. "Apa?! Aku bahkan jarang bicara dengannya!” Tapi Gavin tak mau mendengar. Ia marah besar, menuduh Saras berselingkuh hanya karena rasa bersalahnya sendiri. Semua semakin buruk ketika Saras hamil. Hari itu, dengan penuh harapan, ia menunjukkan test pack bergaris dua pada suaminya. "Mas, aku hamil!" Gavin tak tersenyum. Tak ada pelukan. Tak ada ucapan selamat. Sebaliknya, yang keluar dari mulutnya adalah kalimat yang menghancurkan dunia Saras. "Apa itu anakku?” Saras merasa tubuhnya seperti dihantam palu godam. "Mas, bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu?" bisiknya, suara bergetar. "Aku nggak percaya," Gavin menatapnya penuh curiga. "Kamu pasti selingkuh dengan Dicky." Saat itulah Saras tahu, bahwa pria yang ia nikahi bukanlah pria yang sama dengan yang dulu ia cintai. Pertengkaran demi pertengkaran meledak setiap hari. Sampai akhirnya, Gavin mengajukan tes DNA. Saras tertawa miris di hadapannya. "Mas, kalau kamu nggak mau mengakui anak ini, ya sudah. Aku nggak akan memaksa." Tapi dua bulan kemudian, surat perceraian dikirimkan padanya. Bahkan ia tidak tahu kapan proses perceraian itu terjadi, tanpa melalui mediasi dan sidang. Tahu-tahu sudah ada surat cerai. Saras ingat bagaimana tubuhnya gemetar memegang amplop itu, bagaimana ia menangis berjam-jam hingga matanya bengkak. Pada akhirnya, ia pergi. Hamil tiga bulan, membawa luka, dan kembali ke rumah ibunya. Dan sekarang, setelah melahirkan, setiap malam ia hanya bisa memandang Althaf sambil bertanya. "Apa yang akan terjadi padamu nanti, Nak? Apa Bunda bisa membesarkanmu seorang diri?" Mata Saras mulai memanas. Ia memejamkan mata, menahan air mata yang hendak jatuh. "Aku tidak butuh Gavin. Aku akan membesarkan anakku sendiri. Aku akan sukses dan membuktikan bahwa aku tak membutuhkan siapapun selain diriku sendiri." Dengan tekad itu, Saras akhirnya tertidur, memeluk Althaf erat. Tanpa menyadari bahwa takdir perlahan mulai bergerak, membawa kembali masa lalu yang ingin ia lupakan. * Pagi itu, tangis Althaf membangunkan Saras dari tidurnya yang hanya sekejap. Dengan sigap ia bangkit, menggendong tubuh mungil bayinya, lalu menimang dengan lembut. Suara tangisan perlahan mereda, berganti gumaman kecil yang membuat hati Saras luluh. “Lapar, ya, Nak?” bisiknya penuh sayang, sebelum menyusui Althaf dengan tatapan yang hanya bisa dimiliki seorang ibu, tatapan penuh cinta sekaligus kekhawatiran tentang hari esok. Di sudut ruangan yang sempit namun hangat, Gayatri, ibunda Saras, memperhatikan putrinya dengan mata berkaca-kaca. Keriput di wajahnya semakin jelas ketika ia tersenyum tipis. “Kamu nggak apa-apa, Ras? Tidurnya cukup?” tanyanya lembut. Saras menoleh sambil tersenyum, meski senyum itu tak mampu menutupi lelah yang mengendap di matanya. “Alhamdulillah, Bu. Capek sedikit nggak masalah, yang penting Althaf sehat.” Setelah bayi kecil itu kembali terlelap, Saras bergegas menyiapkan diri. Ia mengenakan blus sederhana yang warnanya mulai memudar dan rok selutut yang sudah bertahun-tahun menemaninya. Mungkin tak seindah pakaian para wanita kota, tapi di tubuh Saras, kesederhanaan itu memancarkan wibawa tersendiri. Berdiri di depan cermin, ia menatap bayangannya. Mata itu, mata yang dulunya bersinar penuh kebahagiaan, kini tampak menyimpan luka yang dalam, rahasia yang hanya ia dan Tuhan yang tahu. Jemarinya meremas ujung blus, menahan perasaan yang nyaris pecah. “Aku pasti bisa,” bisiknya lirih, seolah kalimat itu adalah doa sekaligus janji pada dirinya sendiri. Tak lama kemudian, ia berpamitan kepada sang ibu. Gayatri menepuk bahunya pelan, memberikan kekuatan yang tak terucap dengan kata-kata. Dengan langkah cepat namun hati-hati, Saras meninggalkan rumah mungil itu, menjemput hari yang penuh perjuangan. Hari ini, dealer tempatnya bekerja sudah menunggu. Dan entah ia sadar atau tidak, langkahnya akan kembali membawanya pada pertemuan dengan takdir yang tak bisa dihindari. Sesampainya di dealer mobil tempatnya bekerja, Saras berhenti sejenak di depan pintu kaca. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan hati sebelum melangkah masuk. Begitu kakinya menjejak lantai showroom yang mengkilap, senyum profesional segera ia pasang, menutupi segala lelah dan beban yang tertinggal di rumah. Tangannya cekatan merapikan katalog yang berserakan di meja resepsionis. Lembaran-lembaran penuh gambar mobil berkilau itu kini tersusun rapi, seakan memberi kesan pertama yang sempurna untuk setiap pelanggan. Bagi Saras, pekerjaan ini bukan sekadar rutinitas, ini adalah napas untuk dirinya dan Althaf, alasan terkuat mengapa ia terus bertahan. Hari itu dealer cukup ramai. Suara obrolan para pelanggan bercampur dengan nada formal para sales yang menjelaskan detail teknis, berpadu dengan aroma khas interior mobil baru yang memenuhi udara. Sesekali suara mesin dinyalakan, menambah riuh suasana. Saras pun tenggelam dalam pekerjaannya, menjelaskan spesifikasi kendaraan dengan penuh kesabaran kepada seorang calon pembeli. Senyum sopannya tak pernah lepas, meski keringat tipis mulai muncul di pelipis. “Saras, lihat deh! Kayaknya ada orang kaya yang datang,” bisik Rina sambil menyenggol pelan lengannya. Nada suaranya terdengar penuh antusias, seperti anak kecil melihat idola. Saras mengikuti arah tatapan rekannya. Begitu matanya menangkap sosok pria yang baru saja memasuki showroom, tubuhnya langsung menegang. Pria itu berjalan dengan percaya diri, langkahnya mantap. Jas mahal terbalut rapi di tubuh tegapnya, sementara jam tangan mewah di pergelangannya memantulkan cahaya lampu showroom, berkilau mencolok. Semua mata seolah mengikuti gerakannya, seakan aura kewibawaannya tak bisa diabaikan. Namun bagi Saras, bukan penampilan mewah itu yang membuatnya terpaku. Melainkan kenyataan bahwa ia mengenal pria itu.Dennis menghela napas panjang, suaranya nyaris serak. “Saras, dia menanggung semua itu sendirian.”Ia menunduk, kedua tangannya terkepal di atas meja. Bukan hanya marah pada Gavin, Robin, atau Nora. Tapi juga pada dirinya sendiri. Karena pernah menjadi penonton bisu ketika seorang perempuan dihancurkan.Setelah beberapa saat, ia menegakkan tubuhnya lagi. Tatapannya dingin, tapi di baliknya ada bara yang menyala. “Aldo.”“Ya, Pak?”“Awasi Saras. Pastikan tidak ada yang mengganggu dia atau anaknya. Kalau ada yang coba menyakitinya lagi…” suara Dennis merendah, namun penuh ancaman, “mereka harus berhadapan dengan aku.”Aldo terperanjat, tapi segera mengangguk cepat. “Siap, Pak.”Dennis lalu bersandar, menutup matanya. Pikirannya kacau bukan karena bisnis atau kekuasaan. Tapi karena seorang perempuan bernama Saras.Tiba-tiba, pintu ruang kerja Dennis terbuka pelan.Clarissa masuk dengan langkah percaya diri, dandanan sempurna seperti biasa. Lipstik merah marunnya senada dengan tas mahal
“Halo, Aldo.”“Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Suara di seberang terdengar santai, tapi berubah tegang begitu mendengar nada dingin Dennis.“Tolong selidiki seorang perempuan. Namanya Saras. Dia kerja di dealer mobil yang kita datangi kemarin.”Di ujung sana, Aldo yang semula bersandar santai di kursinya langsung tegak. Alisnya bertaut. “Saras?” tanyanya, agak ragu. “Ada masalah, Pak?”“Iya.” Jawaban itu singkat, tapi berat, tegas, dan tak memberi ruang untuk diskusi. “Secepatnya, ya.”Keheningan singkat tercipta sebelum Aldo berdehem kecil. “Baik, Pak.” Ia menelan pertanyaannya. Ia tahu benar, kalau Dennis sudah berbicara dengan nada seperti itu, membantah hanya berarti bunuh diri.Panggilan terputus.Dennis meletakkan ponsel di kursi sebelah, lalu bersandar, menatap lurus ke jalanan yang mulai ditelan gelap. Lampu kendaraan melintas silih berganti di kaca depannya, tapi pikirannya melayang jauh.Tangannya mengepal di atas setir, sementara satu pertanyaan terus menggema di kep
Sesaat setelah senyum itu muncul, Dennis menatapnya lekat-lekat, nyaris tanpa berkedip.“Pasaran, ya?” gumamnya pelan, suaranya rendah tapi cukup untuk membuat Saras merinding. “Aneh sekali, soalnya menurutku wajahmu terlalu istimewa untuk sekadar mirip orang lain.”Saras terdiam, bibirnya kelu.Dennis mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menurun, nyaris seperti bisikan. “Dan ada sesuatu di matamu yang membuatku yakin, kita memang pernah bertemu. Hanya saja entah kenapa, aku tidak bisa mengingat di mana.”Ia lalu menarik diri ke belakang, kembali berdiri tegak dengan ekspresi santai, seolah kalimat barusan tak lebih dari obrolan ringan.“Tidak apa-apa,” ujarnya datar, senyum tipis masih tergantung di bibirnya. “Mungkin nanti aku akan mengingatnya.”Saras menunduk cepat, pura-pura merapikan berkas di meja untuk menyembunyikan wajahnya yang pucat. Tapi di dalam hati, kegelisahan itu makin menjadi-jadi.Setelah kalimat menggantung itu, Saras hanya bisa menunduk, pura-pura sibuk menata
Kemarin di minimarket. Saras ingat betul tatapan itu, tatapan yang membuatnya merasa dihakimi hanya karena sekotak susu bayi. Saat itu, Saras berusaha tak peduli, tak ingin berurusan. Tapi kini, di tempat ini, di hadapannya, kehadiran pria itu terasa jauh lebih mengancam. Pria itu menoleh, dan mata mereka bertemu. Sesaat, waktu seperti berhenti. Udara seolah menipis. Saras ingin segera berpaling, namun tatapan tajam pria itu menahan langkahnya, seperti belenggu tak kasat mata. Ada sesuatu di balik sorot matanya, entah pengenalan, entah kecurigaan, yang membuat bulu kuduk Saras meremang. Pria itu melangkah mendekat. Satu langkah, dua langkah. Setiap jarak yang terpangkas membuat jantung Saras berdetak semakin keras. Saras menelan ludah, tangannya refleks menggenggam katalog di meja, seakan itu bisa menenangkan dirinya. Tapi semakin dekat pria itu berjalan, semakin ia merasa tidak kebetulan berada di sini. “Kamu yang kemarin di minimarket, kan? Kerja di sini rupanya?” suara pria itu
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Saras berbaring menatap langit-langit kamarnya. Hanya dalam sunyi ia bisa benar-benar mengingat semua yang telah terjadi.Gavin, pria yang dulu ia cintai sepenuh hati, yang bersumpah akan selalu menjaganya.Tapi, semua berubah saat ia menemukan suaminya sedang melakukan panggilan video dengan seorang perempuan hanya mengenakan tank top. Perempuan itu tertawa menggoda, sedangkan Gavin balas tersenyum, seolah lupa bahwa ia memiliki istri.Saras, yang saat itu tak bisa menahan marah, langsung mengkonfrontasi Gavin."Mas, siapa perempuan itu? Kenapa kamu bisa begitu mesra sama dia?!"Gavin bukannya merasa bersalah, malah mendengus kesal."Kamu berlebihan, Saras! Itu cuma teman!”"Teman? Teman macam apa yang video call pakai baju begitu?!"Gavin melempar ponselnya ke sofa. "Lantas kenapa?! Kalau pun aku berselingkuh, kamu juga sama, kan?!"Saras mengernyit. "Apa maksudmu?""Jangan pura-pura polos, Saras. Aku tahu kamu ada hubungan sama Dicky!"Sar
Brukk!Kotak susu bayi itu jatuh, menggelinding pelan sebelum terhenti di bawah rak biskuit. Suara kecilnya cukup untuk membuat beberapa kepala menoleh, sekilas, penuh rasa ingin tahu.Saras membungkuk cepat, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Tangan kirinya masih perih akibat senggolan tadi. Jemarinya bergetar saat meraih kotak susu itu, lalu, mata mereka bertemu.“Maaf, Pak. Saya… saya tidak sengaja,” ucap Saras gugup. Suaranya hampir tak terdengar, terseret napas yang tak teratur.Lelaki itu berdiri tegak. Kemeja putihnya rapi tanpa cela, seolah tiap serat kainnya dipilih dengan teliti. Arloji berkilau di pergelangan tangannya, pantulan cahaya lampu toko memantulkan wibawa yang tak terbantahkan. Namun, bukan itu yang membuat Saras tercekat, melainkan tatapannya.Tatapan dingin, menelusuri dirinya dari atas hingga bawah. Bukan sekadar melihat, tapi menilai. Membuat setiap helai baju murah yang melekat di tubuhnya terasa seperti noda yang tak layak berada di sana.