共有

Pasti Bisa

作者: YuRa
last update 最終更新日: 2025-09-25 09:57:50

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Saras berbaring menatap langit-langit kamarnya. Hanya dalam sunyi ia bisa benar-benar mengingat semua yang telah terjadi.

Gavin, pria yang dulu ia cintai sepenuh hati, yang bersumpah akan selalu menjaganya.

Tapi, semua berubah saat ia menemukan suaminya sedang melakukan panggilan video dengan seorang perempuan hanya mengenakan tank top. Perempuan itu tertawa menggoda, sedangkan Gavin balas tersenyum, seolah lupa bahwa ia memiliki istri.

Saras, yang saat itu tak bisa menahan marah, langsung mengkonfrontasi Gavin.

"Mas, siapa perempuan itu? Kenapa kamu bisa begitu mesra sama dia?!"

Gavin bukannya merasa bersalah, malah mendengus kesal.

"Kamu berlebihan, Saras! Itu cuma teman!”

"Teman? Teman macam apa yang video call pakai baju begitu?!"

Gavin melempar ponselnya ke sofa. "Lantas kenapa?! Kalau pun aku berselingkuh, kamu juga sama, kan?!"

Saras mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Jangan pura-pura polos, Saras. Aku tahu kamu ada hubungan sama Dicky!"

Saras terbelalak. Dicky adalah teman Gavin, seseorang yang bahkan tak pernah ia anggap lebih dari sekadar kenalan.

"Apa?! Aku bahkan jarang bicara dengannya!”

Tapi Gavin tak mau mendengar. Ia marah besar, menuduh Saras berselingkuh hanya karena rasa bersalahnya sendiri.

Semua semakin buruk ketika Saras hamil.

Hari itu, dengan penuh harapan, ia menunjukkan test pack bergaris dua pada suaminya.

"Mas, aku hamil!"

Gavin tak tersenyum. Tak ada pelukan. Tak ada ucapan selamat.

Sebaliknya, yang keluar dari mulutnya adalah kalimat yang menghancurkan dunia Saras.

"Apa itu anakku?”

Saras merasa tubuhnya seperti dihantam palu godam.

"Mas, bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu?" bisiknya, suara bergetar.

"Aku nggak percaya," Gavin menatapnya penuh curiga. "Kamu pasti selingkuh dengan Dicky."

Saat itulah Saras tahu, bahwa pria yang ia nikahi bukanlah pria yang sama dengan yang dulu ia cintai.

Pertengkaran demi pertengkaran meledak setiap hari. Sampai akhirnya, Gavin mengajukan tes DNA.

Saras tertawa miris di hadapannya. "Mas, kalau kamu nggak mau mengakui anak ini, ya sudah. Aku nggak akan memaksa."

Tapi dua bulan kemudian, surat perceraian dikirimkan padanya. Bahkan ia tidak tahu kapan proses perceraian itu terjadi, tanpa melalui mediasi dan sidang. Tahu-tahu sudah ada surat cerai.

Saras ingat bagaimana tubuhnya gemetar memegang amplop itu, bagaimana ia menangis berjam-jam hingga matanya bengkak.

Pada akhirnya, ia pergi. Hamil tiga bulan, membawa luka, dan kembali ke rumah ibunya.

Dan sekarang, setelah melahirkan, setiap malam ia hanya bisa memandang Althaf sambil bertanya.

"Apa yang akan terjadi padamu nanti, Nak? Apa Bunda bisa membesarkanmu seorang diri?"

Mata Saras mulai memanas. Ia memejamkan mata, menahan air mata yang hendak jatuh.

"Aku tidak butuh Gavin. Aku akan membesarkan anakku sendiri. Aku akan sukses dan membuktikan bahwa aku tak membutuhkan siapapun selain diriku sendiri."

Dengan tekad itu, Saras akhirnya tertidur, memeluk Althaf erat.

Tanpa menyadari bahwa takdir perlahan mulai bergerak, membawa kembali masa lalu yang ingin ia lupakan.

*

Pagi itu, tangis Althaf membangunkan Saras dari tidurnya yang hanya sekejap. Dengan sigap ia bangkit, menggendong tubuh mungil bayinya, lalu menimang dengan lembut. Suara tangisan perlahan mereda, berganti gumaman kecil yang membuat hati Saras luluh.

“Lapar, ya, Nak?” bisiknya penuh sayang, sebelum menyusui Althaf dengan tatapan yang hanya bisa dimiliki seorang ibu, tatapan penuh cinta sekaligus kekhawatiran tentang hari esok.

Di sudut ruangan yang sempit namun hangat, Gayatri, ibunda Saras, memperhatikan putrinya dengan mata berkaca-kaca. Keriput di wajahnya semakin jelas ketika ia tersenyum tipis.

“Kamu nggak apa-apa, Ras? Tidurnya cukup?” tanyanya lembut.

Saras menoleh sambil tersenyum, meski senyum itu tak mampu menutupi lelah yang mengendap di matanya.

“Alhamdulillah, Bu. Capek sedikit nggak masalah, yang penting Althaf sehat.”

Setelah bayi kecil itu kembali terlelap, Saras bergegas menyiapkan diri. Ia mengenakan blus sederhana yang warnanya mulai memudar dan rok selutut yang sudah bertahun-tahun menemaninya. Mungkin tak seindah pakaian para wanita kota, tapi di tubuh Saras, kesederhanaan itu memancarkan wibawa tersendiri.

Berdiri di depan cermin, ia menatap bayangannya. Mata itu, mata yang dulunya bersinar penuh kebahagiaan, kini tampak menyimpan luka yang dalam, rahasia yang hanya ia dan Tuhan yang tahu. Jemarinya meremas ujung blus, menahan perasaan yang nyaris pecah.

“Aku pasti bisa,” bisiknya lirih, seolah kalimat itu adalah doa sekaligus janji pada dirinya sendiri.

Tak lama kemudian, ia berpamitan kepada sang ibu. Gayatri menepuk bahunya pelan, memberikan kekuatan yang tak terucap dengan kata-kata. Dengan langkah cepat namun hati-hati, Saras meninggalkan rumah mungil itu, menjemput hari yang penuh perjuangan.

Hari ini, dealer tempatnya bekerja sudah menunggu. Dan entah ia sadar atau tidak, langkahnya akan kembali membawanya pada pertemuan dengan takdir yang tak bisa dihindari.

Sesampainya di dealer mobil tempatnya bekerja, Saras berhenti sejenak di depan pintu kaca. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan hati sebelum melangkah masuk. Begitu kakinya menjejak lantai showroom yang mengkilap, senyum profesional segera ia pasang, menutupi segala lelah dan beban yang tertinggal di rumah.

Tangannya cekatan merapikan katalog yang berserakan di meja resepsionis. Lembaran-lembaran penuh gambar mobil berkilau itu kini tersusun rapi, seakan memberi kesan pertama yang sempurna untuk setiap pelanggan. Bagi Saras, pekerjaan ini bukan sekadar rutinitas, ini adalah napas untuk dirinya dan Althaf, alasan terkuat mengapa ia terus bertahan.

Hari itu dealer cukup ramai. Suara obrolan para pelanggan bercampur dengan nada formal para sales yang menjelaskan detail teknis, berpadu dengan aroma khas interior mobil baru yang memenuhi udara. Sesekali suara mesin dinyalakan, menambah riuh suasana.

Saras pun tenggelam dalam pekerjaannya, menjelaskan spesifikasi kendaraan dengan penuh kesabaran kepada seorang calon pembeli. Senyum sopannya tak pernah lepas, meski keringat tipis mulai muncul di pelipis.

“Saras, lihat deh! Kayaknya ada orang kaya yang datang,” bisik Rina sambil menyenggol pelan lengannya. Nada suaranya terdengar penuh antusias, seperti anak kecil melihat idola.

Saras mengikuti arah tatapan rekannya. Begitu matanya menangkap sosok pria yang baru saja memasuki showroom, tubuhnya langsung menegang.

Pria itu berjalan dengan percaya diri, langkahnya mantap. Jas mahal terbalut rapi di tubuh tegapnya, sementara jam tangan mewah di pergelangannya memantulkan cahaya lampu showroom, berkilau mencolok.

Semua mata seolah mengikuti gerakannya, seakan aura kewibawaannya tak bisa diabaikan.

Namun bagi Saras, bukan penampilan mewah itu yang membuatnya terpaku. Melainkan kenyataan bahwa ia mengenal pria itu.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Ketika Takdir Menyapa   Ingin Hidup Tenang

    Begitu pintu apartemen terbuka, aroma lembut kayu dan kopi langsung menyambut mereka. Ruangan itu luas, rapi, dengan pencahayaan hangat dan sentuhan modern minimalis.Saras tak bisa menyembunyikan kekagumannya. “Tempatnya indah sekali,” gumamnya tanpa sadar.Dennis menatapnya dengan senyum samar. “Aku sering ke sini kalau lagi suntuk, banyak pikiran, atau butuh waktu buat tenang,” katanya sambil meletakkan kunci mobil di meja kecil dekat pintu.Saras hanya mengangguk pelan. Matanya menelusuri ruangan itu, rak buku dengan deretan novel dan dokumen, jendela besar dengan tirai abu-abu, dan cahaya sore yang masuk lembut dari balik kaca.Apartemen ini terasa asing, tapi entah kenapa menenangkan.Dennis mengisyaratkan Saras untuk duduk di sofa lembut berwarna krem.“Mau minum apa? Teh, kopi?” tanyanya dari dapur kecil di sisi ruangan.“Air putih saja, Pak,” jawab Saras, suaranya masih terdengar hati-hati.Dennis mengangguk. “Baik.”Ia melangkah menuju dapur, membuka lemari kaca dan menuan

  • Ketika Takdir Menyapa   Terlihat Kuat

    Mobil Dennis berhenti di depan sebuah supermarket yang masih ramai meski sore mulai meredup. Lampu-lampu di dalamnya berpendar hangat menembus kaca depan mobil.“Ayo turun,” kata Dennis pelan.Saras menoleh cepat. “Saya mau langsung ke kantor, Pak. Nanti dimarahi Bu Dita.”Dennis tersenyum tenang. “Jangan khawatir, kamu aman.”“Aman bagaimana?” Nada Saras meninggi sedikit, menunjukkan kekesalannya.Dennis menatapnya, sorot matanya lembut tapi dalam. “Kamu cantik kalau marah,” katanya begitu saja.Saras terdiam sejenak, wajahnya langsung memanas. Ia berusaha menutupi kegugupannya dengan mendengus pelan. “Bapak ini, bisa aja.”Dennis tertawa kecil. “Kamu bahkan lebih cantik waktu berusaha menahan senyum.”Saras meliriknya, antara malu dan kesal. Ia membuka pintu mobil lebih cepat, mencoba mengakhiri momen canggung itu. “Saya turun duluan.”Tapi sebelum ia sempat keluar sepenuhnya, Dennis menahan dengan suara yang lebih lembut, nyaris berbisik,“Saras, jangan salah paham. Aku cuma in

  • Ketika Takdir Menyapa   Ikut Terjebak

    Suasana restoran siang itu awalnya terasa canggung. Hanya denting sendok dan musik lembut yang terdengar di antara mereka bertiga, Dennis, Saras, dan tentu saja Aldo.Namun perlahan, percakapan ringan mulai mencairkan udara. Saras berusaha menata nada suaranya, menahan debar yang tak mau tenang setiap kali Dennis menatapnya.Dennis menatap Saras dengan pandangan yang sulit dijelaskan, tajam, namun hangat. Aldo, di sisi lain, hanya memperhatikan. Dalam hati ia ingin pindah meja, tapi Saras melarang. "Takut fitnah," katanya pelan.Perbincangan santai terus berlanjut, sesekali ada tawa kecil diantara mereka. Aldo permisi untuk ke belakang sebentar.Tiba-tiba, suara nyaring seorang perempuan memecah suasana.“Oh, jadi ini perempuan yang menggantikan Risa? Aku kira lebih dari Risa. Ternyata seleramu rendah juga, Dennis.”Dennis spontan menoleh. Wajahnya menegang. Saras mematung, darahnya seakan berhenti mengalir.Perempuan setengah baya itu berdiri di ambang restoran, tatapannya tajam Wik

  • Ketika Takdir Menyapa   Bertemu Dennis

    “Dennis…” suara Clarissa pecah, “aku tahu aku salah. Aku tahu aku sudah melukai kalian.”Namun Dennis hanya menghela napas, tanpa menoleh.“Kamu bukan cuma melukai aku, Clar. Kamu juga membuat anak kita belajar kecewa terlalu cepat.”Air mata Clarissa jatuh tanpa ia sadari. Tangannya gemetar, seolah tubuhnya sendiri menolak kenyataan itu.Ia ingin menjelaskan, ingin membela diri, tapi setiap kata terasa sia-sia. Semua yang dulu ia miliki, cinta, keluarga, rasa dihargai, kini terasa seperti bayangan yang perlahan menghilang.Dennis berdiri, mengambil piring Alvin dan membawanya ke dapur. “Aku akan tidurkan Alvin,” katanya singkat, lalu pergi tanpa menoleh.Clarissa menatap punggung suaminya yang menjauh, dan untuk pertama kalinya ia menyadari,keheningan bisa lebih menyakitkan daripada pertengkaran.“Pa, Mama sudah nggak sayang Alvin. Mama lebih sayang pekerjaan.”Suara Alvin pelan, tapi tajam, seperti pisau kecil yang menembus diam di ruang keluarga itu. Matanya berkaca-kaca, bibirnya

  • Ketika Takdir Menyapa   Gagal Sebagai Ibu

    Pagi itu suasana ruang kerja Dennis terasa berbeda. Biasanya wajahnya kaku dan tegang, tapi kali ini ada senyum samar yang belum juga hilang sejak tadi. Aldo, yang memperhatikan dari sisi meja, tak bisa menahan rasa heran.“Pak, sepertinya Anda tampak bahagia hari ini?” tanyanya hati-hati, memilih nada serendah mungkin agar tak menyinggung.Dennis menghentikan ketikan di laptopnya, lalu menoleh. Tatapannya tenang, tapi ada cahaya disana, sesuatu yang sudah lama tak Aldo lihat.“Kamu tahu, Aldo,” ujarnya pelan, namun ada nada ringan dalam suaranya, “ternyata Saras bekerja di perusahaan Papa. Aku bertemu dengannya kemarin.”Senyum kecil muncul di wajah Dennis, senyum yang bukan dibuat-buat. Sekilas, lelaki itu tampak seperti dirinya yang dulu, sebelum amarah dan kekecewaan menutup semua sisi lembutnya.Aldo mengangguk pelan, setengah terkejut, setengah mengerti. “Pantas saja,” gumamnya lirih, nyaris hanya untuk dirinya sendiri.Ia menatap bosnya itu diam-diam. Dalam hati, ia tahu nama

  • Ketika Takdir Menyapa   Pembalasan

    “Saras, ayo kita ke ruangan Pak Handika. Data dan laporan yang aku minta kemarin sudah selesai dikerjakan belum?”Suara Dita terdengar tegas, tapi hangat, saat ia menutup laptop dan berdiri dari kursinya.“Sudah, Bu. Semua sudah selesai,” jawab Saras cepat, senyum tersungging di bibirnya.Sejak pertama kali melangkah ke perusahaan itu, semangat Saras seakan tak pernah padam. Setiap hari baginya adalah kesempatan baru untuk belajar dan tumbuh. Lingkungan kerja yang bersahabat, rekan-rekan yang suportif, dan atasan yang bijak membuatnya merasa dihargai lebih dari sekadar karyawan biasa.Dita dan Pak Handika, dua nama yang begitu berarti baginya. Bagi Saras, mereka bukan hanya atasan, melainkan mentor yang membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih percaya diri.“Benny, Pak Handika ada?” tanya Dita sambil melangkah cepat ke arah meja resepsionis. Saras menyusul di belakangnya, membawa map tebal berisi laporan.Benny, asisten sekaligus orang kepercayaan Pak Handika, segera berdir

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status