Kemarin di minimarket. Saras ingat betul tatapan itu, tatapan yang membuatnya merasa dihakimi hanya karena sekotak susu bayi. Saat itu, Saras berusaha tak peduli, tak ingin berurusan. Tapi kini, di tempat ini, di hadapannya, kehadiran pria itu terasa jauh lebih mengancam.
Pria itu menoleh, dan mata mereka bertemu. Sesaat, waktu seperti berhenti. Udara seolah menipis. Saras ingin segera berpaling, namun tatapan tajam pria itu menahan langkahnya, seperti belenggu tak kasat mata. Ada sesuatu di balik sorot matanya, entah pengenalan, entah kecurigaan, yang membuat bulu kuduk Saras meremang. Pria itu melangkah mendekat. Satu langkah, dua langkah. Setiap jarak yang terpangkas membuat jantung Saras berdetak semakin keras. Saras menelan ludah, tangannya refleks menggenggam katalog di meja, seakan itu bisa menenangkan dirinya. Tapi semakin dekat pria itu berjalan, semakin ia merasa tidak kebetulan berada di sini. “Kamu yang kemarin di minimarket, kan? Kerja di sini rupanya?” suara pria itu terdengar datar, tapi tajam, seperti pisau yang menyusup perlahan. “Iya, Pak,” jawab Saras singkat. Ia menunduk sedikit, menjaga sopan santun meski detak jantungnya terasa kacau. Dennis menyilangkan tangan di depan dada, sorot matanya menusuk dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Menarik,” gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara pada diri sendiri. “Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu lagi di sini.” Saras menghela napas tipis, lalu berusaha menegakkan sikap profesionalnya. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyanya dengan nada datar, seakan ingin segera memotong suasana yang tidak nyaman itu. Senyum miring tersungging di bibir Dennis, senyum yang lebih terasa seperti tantangan daripada keramahan. “Saya sedang mencari mobil baru,” katanya santai. “Mungkin kamu bisa bantu aku memilih yang terbaik?” Saras mengangguk cepat. “Tentu, Pak. Anda mencari jenis kendaraan seperti apa? SUV, sedan, atau…” “Tergantung.” Dennis memotong, kali ini tatapannya tidak lepas dari wajah Saras. “Kamu lebih suka aku pakai yang mana?” Saras tercekat. Ada jeda sesaat, jeda yang terasa terlalu panjang. Pertanyaan itu terdengar ringan, tapi caranya mengucapkannya membuat hawa dingin merayap di punggungnya. “Apapun pilihan Anda,” akhirnya Saras berkata, suaranya setenang mungkin, meski tangannya meremas katalog dengan erat, “saya akan memberikan rekomendasi terbaik.” Dennis tertawa kecil, tawa pendek yang justru terdengar menekan. “Baiklah,” ucapnya, seakan menikmati kegugupan Saras. “Kalau begitu, tunjukkan pilihan terbaikmu.” Saras mengangguk, lalu mulai berjalan menuju deretan mobil yang berkilau di bawah lampu showroom. Langkahnya berusaha mantap, namun di dalam hati, ia hanya ingin menjauh secepat mungkin. Tapi ia tahu, meski tak menoleh, tatapan Dennis masih menempel pada punggungnya. Tajam dan mengawasi. Seakan menunggu celah untuk menembus pertahanan yang berusaha keras ia pertahankan. Ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang membuat bulu kuduk Saras berdiri. Siapa sebenarnya Dennis? Apakah pertemuan ini sekadar kebetulan, atau justru ada alasan lain yang lebih gelap mengapa pria itu muncul kembali dalam hidupnya? Saras menelan ludah, berusaha menyingkirkan firasat buruk yang perlahan menyusup ke relung pikirannya. “Sudah lama bekerja di sini?” tanya Dennis santai, meski sorot matanya sama sekali tidak santai. “Belum, Pak. Baru beberapa bulan,” jawab Saras dengan sopan. Dennis mengangguk pelan, matanya tak lepas dari wajahnya. “Menarik. Saya sering ke sini, tapi sepertinya baru pertama kali melihatmu.” Saras tersenyum kecil, mencoba terdengar ringan. “Mungkin kita memang belum pernah bertemu sebelumnya, Pak.” Tapi tatapan Dennis tidak berubah. Masih menelisik, seakan berusaha menembus lapisan luar untuk membaca sesuatu yang berusaha Saras sembunyikan. “Kemarin, di minimarket kamu terlihat terburu-buru. Ada urusan penting?” tanyanya lagi, nadanya samar-samar mengandung ujian. Saras menegang sesaat. Ia bisa merasakan tubuhnya kaku, tapi dengan cepat ia memaksa senyum kembali. “Tidak, hanya belanja kebutuhan sehari-hari, Pak.” Dennis menyunggingkan senyum tipis. Senyum yang entah kenapa lebih mirip ancaman daripada keramahan. “Aku lihat kamu waktu itu, sepertinya kaget saat melihatku.” Jantung Saras berdentum kencang. Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi nuansanya menusuk. Apakah pria ini hanya menguji reaksinya? Atau dia benar-benar menyadari sesuatu? Belum sempat Saras menjawab, suara Rina terdengar dari belakang. “Saras, ada pelanggan lain butuh informasi.” Saras menoleh cepat, merasa seolah ditarik keluar dari jerat. “Silakan lihat-lihat dulu, Pak. Jika butuh bantuan, saya atau rekan saya bisa membantu,” ujarnya dan Dennis, nada suaranya kembali datar, formal. Dennis menatapnya beberapa detik lebih lama, tatapannya berat dan sulit diartikan. Lalu, perlahan, ia tersenyum. “Baiklah, Saras. Saya akan mencari mobil yang cocok dan mungkin kita bisa mengobrol lagi nanti.” Senyum itu membuat Saras merinding. Dan ketika ia berbalik pergi, satu pertanyaan terus berputar di kepala Saras, menghantui langkahnya. Apakah semua ini benar-benar kebetulan? Atau pria itu punya alasan lain untuk mendekatiku? Ia berusaha mengusir rasa resah dengan menyibukkan diri. Senyum profesionalnya kembali terpasang ketika ia melayani seorang pembeli lain, menjelaskan spesifikasi mobil dengan suara tenang. Tapi di balik ketenangan itu, dadanya bergemuruh tak karuan. Rasa itu begitu nyata, perasaan bahwa dirinya sedang diperhatikan. Dan benar saja. Saat tak tahan lagi, Saras menoleh sekilas. Pandangan matanya langsung bertabrakan dengan mata Dennis di seberang showroom. Seketika jantungnya berdegup lebih kencang, hampir tak tertahankan. Tatapan pria itu masih sama, tajam, dalam, dan penuh teka-teki. Tidak ada senyum, tidak ada kata-kata, hanya sorot mata yang seolah mampu membongkar lapisan terdalam dalam dirinya. Saras buru-buru mengalihkan pandangan, kembali fokus pada pelanggan di depannya. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanya perasaan berlebihan. Namun, setiap detik yang berlalu terasa berat. Rasa gelisah itu terus menempel, seperti bayangan yang tak bisa diusir. Tapi kenapa hatinya berkata lain? Selesai melayani pelanggan, Saras kembali ke meja resepsionis. Napasnya terasa berat, ia hanya ingin duduk sejenak, memberi ruang bagi pikirannya yang kalut. Namun baru saja ia hendak menarik kursi, suara berat itu kembali terdengar, tepat di belakangnya. “Saras.” Tubuhnya refleks menegang. Perlahan ia mendongak, dan di sana, Dennis sudah berdiri, terlalu dekat, menatapnya tanpa berkedip. “Saya sudah menemukan mobil yang saya suka,” ucapnya santai, seolah-olah percakapan mereka hanyalah urusan biasa. Tapi nada suaranya menyimpan sesuatu yang sulit didefinisikan, tekanan, sekaligus rasa ingin tahu yang mendalam. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Tapi saya juga masih ingin tahu lebih banyak tentang kamu. Apakah kita pernah bertemu? Sepertinya wajahmu sangat familiar.” Saras merasakan hawa dingin menjalar dari tengkuk hingga ke seluruh tubuhnya. Tangannya menggenggam ujung meja, berusaha menyembunyikan gemetar halus di jemarinya. “Saya rasa kita tidak pernah bertemu, Pak,” jawabnya dengan sopan, suaranya sedikit bergetar meski ia berusaha terdengar tenang. “Sudah saya katakan, kalau wajah saya memang pasaran. Mungkin hanya mirip dengan orang yang Bapak maksud.” Sesaat keheningan menggantung di antara mereka. Lalu, perlahan, Dennis menyunggingkan senyum. Bukan senyum ramah, melainkan senyum samar yang penuh arti, seolah dia tahu lebih banyak dari yang Saras bayangkan.Dennis menghela napas panjang, suaranya nyaris serak. “Saras, dia menanggung semua itu sendirian.”Ia menunduk, kedua tangannya terkepal di atas meja. Bukan hanya marah pada Gavin, Robin, atau Nora. Tapi juga pada dirinya sendiri. Karena pernah menjadi penonton bisu ketika seorang perempuan dihancurkan.Setelah beberapa saat, ia menegakkan tubuhnya lagi. Tatapannya dingin, tapi di baliknya ada bara yang menyala. “Aldo.”“Ya, Pak?”“Awasi Saras. Pastikan tidak ada yang mengganggu dia atau anaknya. Kalau ada yang coba menyakitinya lagi…” suara Dennis merendah, namun penuh ancaman, “mereka harus berhadapan dengan aku.”Aldo terperanjat, tapi segera mengangguk cepat. “Siap, Pak.”Dennis lalu bersandar, menutup matanya. Pikirannya kacau bukan karena bisnis atau kekuasaan. Tapi karena seorang perempuan bernama Saras.Tiba-tiba, pintu ruang kerja Dennis terbuka pelan.Clarissa masuk dengan langkah percaya diri, dandanan sempurna seperti biasa. Lipstik merah marunnya senada dengan tas mahal
“Halo, Aldo.”“Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Suara di seberang terdengar santai, tapi berubah tegang begitu mendengar nada dingin Dennis.“Tolong selidiki seorang perempuan. Namanya Saras. Dia kerja di dealer mobil yang kita datangi kemarin.”Di ujung sana, Aldo yang semula bersandar santai di kursinya langsung tegak. Alisnya bertaut. “Saras?” tanyanya, agak ragu. “Ada masalah, Pak?”“Iya.” Jawaban itu singkat, tapi berat, tegas, dan tak memberi ruang untuk diskusi. “Secepatnya, ya.”Keheningan singkat tercipta sebelum Aldo berdehem kecil. “Baik, Pak.” Ia menelan pertanyaannya. Ia tahu benar, kalau Dennis sudah berbicara dengan nada seperti itu, membantah hanya berarti bunuh diri.Panggilan terputus.Dennis meletakkan ponsel di kursi sebelah, lalu bersandar, menatap lurus ke jalanan yang mulai ditelan gelap. Lampu kendaraan melintas silih berganti di kaca depannya, tapi pikirannya melayang jauh.Tangannya mengepal di atas setir, sementara satu pertanyaan terus menggema di kep
Sesaat setelah senyum itu muncul, Dennis menatapnya lekat-lekat, nyaris tanpa berkedip.“Pasaran, ya?” gumamnya pelan, suaranya rendah tapi cukup untuk membuat Saras merinding. “Aneh sekali, soalnya menurutku wajahmu terlalu istimewa untuk sekadar mirip orang lain.”Saras terdiam, bibirnya kelu.Dennis mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menurun, nyaris seperti bisikan. “Dan ada sesuatu di matamu yang membuatku yakin, kita memang pernah bertemu. Hanya saja entah kenapa, aku tidak bisa mengingat di mana.”Ia lalu menarik diri ke belakang, kembali berdiri tegak dengan ekspresi santai, seolah kalimat barusan tak lebih dari obrolan ringan.“Tidak apa-apa,” ujarnya datar, senyum tipis masih tergantung di bibirnya. “Mungkin nanti aku akan mengingatnya.”Saras menunduk cepat, pura-pura merapikan berkas di meja untuk menyembunyikan wajahnya yang pucat. Tapi di dalam hati, kegelisahan itu makin menjadi-jadi.Setelah kalimat menggantung itu, Saras hanya bisa menunduk, pura-pura sibuk menata
Kemarin di minimarket. Saras ingat betul tatapan itu, tatapan yang membuatnya merasa dihakimi hanya karena sekotak susu bayi. Saat itu, Saras berusaha tak peduli, tak ingin berurusan. Tapi kini, di tempat ini, di hadapannya, kehadiran pria itu terasa jauh lebih mengancam. Pria itu menoleh, dan mata mereka bertemu. Sesaat, waktu seperti berhenti. Udara seolah menipis. Saras ingin segera berpaling, namun tatapan tajam pria itu menahan langkahnya, seperti belenggu tak kasat mata. Ada sesuatu di balik sorot matanya, entah pengenalan, entah kecurigaan, yang membuat bulu kuduk Saras meremang. Pria itu melangkah mendekat. Satu langkah, dua langkah. Setiap jarak yang terpangkas membuat jantung Saras berdetak semakin keras. Saras menelan ludah, tangannya refleks menggenggam katalog di meja, seakan itu bisa menenangkan dirinya. Tapi semakin dekat pria itu berjalan, semakin ia merasa tidak kebetulan berada di sini. “Kamu yang kemarin di minimarket, kan? Kerja di sini rupanya?” suara pria itu
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Saras berbaring menatap langit-langit kamarnya. Hanya dalam sunyi ia bisa benar-benar mengingat semua yang telah terjadi.Gavin, pria yang dulu ia cintai sepenuh hati, yang bersumpah akan selalu menjaganya.Tapi, semua berubah saat ia menemukan suaminya sedang melakukan panggilan video dengan seorang perempuan hanya mengenakan tank top. Perempuan itu tertawa menggoda, sedangkan Gavin balas tersenyum, seolah lupa bahwa ia memiliki istri.Saras, yang saat itu tak bisa menahan marah, langsung mengkonfrontasi Gavin."Mas, siapa perempuan itu? Kenapa kamu bisa begitu mesra sama dia?!"Gavin bukannya merasa bersalah, malah mendengus kesal."Kamu berlebihan, Saras! Itu cuma teman!”"Teman? Teman macam apa yang video call pakai baju begitu?!"Gavin melempar ponselnya ke sofa. "Lantas kenapa?! Kalau pun aku berselingkuh, kamu juga sama, kan?!"Saras mengernyit. "Apa maksudmu?""Jangan pura-pura polos, Saras. Aku tahu kamu ada hubungan sama Dicky!"Sar
Brukk!Kotak susu bayi itu jatuh, menggelinding pelan sebelum terhenti di bawah rak biskuit. Suara kecilnya cukup untuk membuat beberapa kepala menoleh, sekilas, penuh rasa ingin tahu.Saras membungkuk cepat, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Tangan kirinya masih perih akibat senggolan tadi. Jemarinya bergetar saat meraih kotak susu itu, lalu, mata mereka bertemu.“Maaf, Pak. Saya… saya tidak sengaja,” ucap Saras gugup. Suaranya hampir tak terdengar, terseret napas yang tak teratur.Lelaki itu berdiri tegak. Kemeja putihnya rapi tanpa cela, seolah tiap serat kainnya dipilih dengan teliti. Arloji berkilau di pergelangan tangannya, pantulan cahaya lampu toko memantulkan wibawa yang tak terbantahkan. Namun, bukan itu yang membuat Saras tercekat, melainkan tatapannya.Tatapan dingin, menelusuri dirinya dari atas hingga bawah. Bukan sekadar melihat, tapi menilai. Membuat setiap helai baju murah yang melekat di tubuhnya terasa seperti noda yang tak layak berada di sana.