Share

Ketika Takdir Menyapa
Ketika Takdir Menyapa
Penulis: YuRa

Pernah Bertemu

Penulis: YuRa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-25 00:55:18

Brukk!

Kotak susu bayi itu jatuh, menggelinding pelan sebelum terhenti di bawah rak biskuit. Suara kecilnya cukup untuk membuat beberapa kepala menoleh, sekilas, penuh rasa ingin tahu.

Saras membungkuk cepat, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Tangan kirinya masih perih akibat senggolan tadi. Jemarinya bergetar saat meraih kotak susu itu, lalu, mata mereka bertemu.

“Maaf, Pak. Saya… saya tidak sengaja,” ucap Saras gugup. Suaranya hampir tak terdengar, terseret napas yang tak teratur.

Lelaki itu berdiri tegak. Kemeja putihnya rapi tanpa cela, seolah tiap serat kainnya dipilih dengan teliti. Arloji berkilau di pergelangan tangannya, pantulan cahaya lampu toko memantulkan wibawa yang tak terbantahkan. Namun, bukan itu yang membuat Saras tercekat, melainkan tatapannya.

Tatapan dingin, menelusuri dirinya dari atas hingga bawah. Bukan sekadar melihat, tapi menilai. Membuat setiap helai baju murah yang melekat di tubuhnya terasa seperti noda yang tak layak berada di sana.

Saras menelan ludah. Kotak susu di tangannya digenggam begitu erat, seakan benda kecil itu bisa melindunginya dari rasa malu yang mendadak menghujam dada.

Lalu, tak… tak… tak. Suara sepatu hak menghentak lantai. Seorang wanita muncul, cantik menawan dengan riasan sempurna, langkahnya penuh percaya diri. Gaunnya berkelas, setiap lipatan jatuh anggun, dan di sisi tangannya, seorang anak laki-laki kecil berjalan patuh, menempel erat seperti bayangan.

Udara seolah berubah. Kehadiran mereka membuat Saras merasa semakin asing, kecil, tak terlihat.

“Ada apa, Pa?” suara wanita itu terdengar lembut, namun ada sesuatu di baliknya, ketegangan halus, semacam kewaspadaan.

Pria itu, Dennis, menggeleng tipis.

“Nggak apa-apa. Lain kali hati-hati ya kalau berjalan,” katanya. Tenang. Namun ketenangan itu dingin, tajam, membuat bulu kuduk Saras berdiri.

Saras menunduk dalam, menekan dadanya yang riuh dengan detak jantung.

“Sekali lagi, maaf, Pak,” bisiknya.

Tanpa berani menunggu balasan, ia melangkah cepat menjauh. Tapi sebelum benar-benar pergi, matanya sempat menangkap sesuatu dari sudut pandang samar. Tatapan wanita itu tajam dan sinis. Seperti bilah pisau yang menyayat pelan, meninggalkan jejak dingin di hati Saras.

"Perempuan itu menatapku seolah aku baru saja melakukan dosa besar. Padahal aku hanya tidak sengaja bersenggolan dengan suaminya. Kenapa rasanya seperti aku sudah merebut sesuatu yang bukan milikku?" pikir Saras, dadanya sesak oleh rasa malu yang tak bisa ia jelaskan.

Saras buru-buru beralih ke rak lain, berusaha menenangkan dirinya dengan berpura-pura sibuk memilih barang. Tangannya bergerak asal, seakan-akan ia benar-benar memperhatikan label harga, padahal pikirannya masih kacau.

“Belanjaanku tidak banyak. Ambil secukupnya saja, lalu cepat pulang,” batinnya.

Setelah merasa cukup, ia menarik napas panjang dan mendorong troli kecil menuju kasir. Hatinya mulai tenang, sampai langkahnya terhenti.

Di dekat kasir, berdiri laki-laki itu. Laki-laki yang tadi ditabraknya. Saras tercekat, tenggorokannya kering. Jari-jarinya refleks menggenggam kotak susu bayi lebih erat, seolah benda kecil itu bisa menyamarkan kegugupannya. Ia berharap Dennis tidak memperhatikan, tapi pria itu sekilas menoleh, tatapannya dingin, singkat, namun cukup untuk membuat jantung Saras berdebar lebih keras.

Saras berdiri di antrean, jantungnya berdebar tak keruan. Ia menunduk, pura-pura sibuk menata barang belanjaannya di meja kasir. Namun suara bariton itu membuat langkah tangannya membeku.

“Belanja untuk siapa?” tanya Dennis tiba-tiba. Suaranya tenang, tapi ada sesuatu yang mengandung tekanan.

Saras menoleh cepat, matanya melebar. “Eh… a-anu, untuk… rumah,” jawabnya gugup, tak yakin apakah alasannya terdengar masuk akal.

“Sepertinya saya pernah melihatmu, tapi di mana ya?” tanya Dennis, dahinya berkerut tipis. Tatapannya tak lepas dari wajah Saras, membuat udara di sekitar terasa lebih berat.

Saras tersenyum kaku, buru-buru mengalihkan pandangan ke arah kasir yang sedang menghitung belanjaannya.

“Wajah saya pasaran, Pak. Wajar kalau Bapak merasa pernah melihat saya di mana-mana.” Suaranya bergetar halus, berusaha terdengar ringan, meski dadanya bergemuruh.

Dennis tidak langsung menjawab. Matanya menyipit, seolah sedang berusaha menembus tirai yang coba Saras pasang. Lalu, perlahan, ia mengangguk kecil, meski ekspresinya tak menunjukkan benar-benar percaya.

“Entahlah,” ucap Dennis akhirnya, nada suaranya rendah, seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi saya yakin pernah melihatmu di suatu tempat. Dan bukan sekadar sekilas.”

Saras tercekat. Jemarinya mencengkram tas belanja erat-erat, seolah mencari pegangan. Ia buru-buru menunduk, menghindari tatapan itu.

Kasir menyerahkan plastik belanjaan. Saras segera meraih dan mengangguk cepat. “Permisi, Pak.”

Ia melangkah pergi, namun tiba-tiba.

“Ayo, Pa. Mama sudah selesai belanjanya,” suara anak laki-laki itu terdengar jernih, polos. Namun bagi Saras, kalimat sederhana itu terasa seperti paku yang menancap dalam.

Anak itu menggenggam tangan perempuan bergaun anggun, wanita yang tadi menatapnya tajam. Tatapan yang masih sama, menusuk, seolah Saras sudah melakukan kesalahan besar hanya karena senggolan kecil tadi.

Dennis menoleh sebentar ke arah keluarganya, lalu kembali melirik Saras sebelum akhirnya melangkah pergi bersama mereka.

Saras berdiri kaku, tubuhnya serasa membeku di depan pintu keluar supermarket. Ada perasaan asing yang menyesakkan, campuran malu, rendah diri, sekaligus rasa penasaran yang tak bisa ia jelaskan.

"Kenapa laki-laki itu? Aneh. Padahal aku belum pernah bertemu dengannya," gumam Saras dalam hati, langkah kakinya terasa berat saat meninggalkan supermarket.

Saras berjalan menelusuri trotoar. Tas belanjaan bergoyang di genggaman, namun pikirannya masih tertinggal di dalam toko, bersama tatapan dingin Dennis dan sinisnya sorot mata sang istri.

*

Sampai di rumah, Saras langsung menuju kamar mandi. Hari ini melelahkan, baik fisik maupun batin. Setelah membasuh wajah dan tubuhnya dengan air dingin, ia merasa sedikit lebih segar.

Begitu keluar, ia langsung menggendong anaknya yang sejak tadi diam di kasur.

"Althaf... anak Bunda, nggak rewel kan tadi?" bisiknya lembut, menciumi pipi kecil yang masih hangat itu.

Althaf tertawa-tawa tanpa memahami apa pun. Matanya yang bening menatap Saras penuh cinta, seolah dunia ini hanya mereka berdua.

"Makanlah dulu, Ras. Taruh dulu Althaf di kasur," suara ibunya, Gayatri, memecah keheningan.

Saras mengangguk, lalu dengan hati-hati meletakkan bayinya. Ia duduk di meja makan, mengambil nasi dan lauk sederhana yang disiapkan ibunya.

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?"

"Alhamdulillah, Bu. Lumayan capek. Ada dua mobil terjual hari ini," jawab Saras sambil menyendokkan nasi ke mulutnya.

Ibunya tersenyum. "Alhamdulillah. Semoga rezekimu berkah, Nak."

"Amin.”

Tapi dalam hati, Saras merasa hampa. Ia berusaha tersenyum, tapi pikirannya melayang jauh.

"Seandainya hidupnya tak seperti ini. Seandainya ia masih punya suami yang menyayanginya. Seandainya Gavin tak menghancurkan segalanya."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika Takdir Menyapa   Jadi Asing

    Dennis menghela napas panjang, suaranya nyaris serak. “Saras, dia menanggung semua itu sendirian.”Ia menunduk, kedua tangannya terkepal di atas meja. Bukan hanya marah pada Gavin, Robin, atau Nora. Tapi juga pada dirinya sendiri. Karena pernah menjadi penonton bisu ketika seorang perempuan dihancurkan.Setelah beberapa saat, ia menegakkan tubuhnya lagi. Tatapannya dingin, tapi di baliknya ada bara yang menyala. “Aldo.”“Ya, Pak?”“Awasi Saras. Pastikan tidak ada yang mengganggu dia atau anaknya. Kalau ada yang coba menyakitinya lagi…” suara Dennis merendah, namun penuh ancaman, “mereka harus berhadapan dengan aku.”Aldo terperanjat, tapi segera mengangguk cepat. “Siap, Pak.”Dennis lalu bersandar, menutup matanya. Pikirannya kacau bukan karena bisnis atau kekuasaan. Tapi karena seorang perempuan bernama Saras.Tiba-tiba, pintu ruang kerja Dennis terbuka pelan.Clarissa masuk dengan langkah percaya diri, dandanan sempurna seperti biasa. Lipstik merah marunnya senada dengan tas mahal

  • Ketika Takdir Menyapa   Deja vu

    “Halo, Aldo.”“Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Suara di seberang terdengar santai, tapi berubah tegang begitu mendengar nada dingin Dennis.“Tolong selidiki seorang perempuan. Namanya Saras. Dia kerja di dealer mobil yang kita datangi kemarin.”Di ujung sana, Aldo yang semula bersandar santai di kursinya langsung tegak. Alisnya bertaut. “Saras?” tanyanya, agak ragu. “Ada masalah, Pak?”“Iya.” Jawaban itu singkat, tapi berat, tegas, dan tak memberi ruang untuk diskusi. “Secepatnya, ya.”Keheningan singkat tercipta sebelum Aldo berdehem kecil. “Baik, Pak.” Ia menelan pertanyaannya. Ia tahu benar, kalau Dennis sudah berbicara dengan nada seperti itu, membantah hanya berarti bunuh diri.Panggilan terputus.Dennis meletakkan ponsel di kursi sebelah, lalu bersandar, menatap lurus ke jalanan yang mulai ditelan gelap. Lampu kendaraan melintas silih berganti di kaca depannya, tapi pikirannya melayang jauh.Tangannya mengepal di atas setir, sementara satu pertanyaan terus menggema di kep

  • Ketika Takdir Menyapa   Bertemu Lagi

    Sesaat setelah senyum itu muncul, Dennis menatapnya lekat-lekat, nyaris tanpa berkedip.“Pasaran, ya?” gumamnya pelan, suaranya rendah tapi cukup untuk membuat Saras merinding. “Aneh sekali, soalnya menurutku wajahmu terlalu istimewa untuk sekadar mirip orang lain.”Saras terdiam, bibirnya kelu.Dennis mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menurun, nyaris seperti bisikan. “Dan ada sesuatu di matamu yang membuatku yakin, kita memang pernah bertemu. Hanya saja entah kenapa, aku tidak bisa mengingat di mana.”Ia lalu menarik diri ke belakang, kembali berdiri tegak dengan ekspresi santai, seolah kalimat barusan tak lebih dari obrolan ringan.“Tidak apa-apa,” ujarnya datar, senyum tipis masih tergantung di bibirnya. “Mungkin nanti aku akan mengingatnya.”Saras menunduk cepat, pura-pura merapikan berkas di meja untuk menyembunyikan wajahnya yang pucat. Tapi di dalam hati, kegelisahan itu makin menjadi-jadi.Setelah kalimat menggantung itu, Saras hanya bisa menunduk, pura-pura sibuk menata

  • Ketika Takdir Menyapa   Tentang Kamu

    Kemarin di minimarket. Saras ingat betul tatapan itu, tatapan yang membuatnya merasa dihakimi hanya karena sekotak susu bayi. Saat itu, Saras berusaha tak peduli, tak ingin berurusan. Tapi kini, di tempat ini, di hadapannya, kehadiran pria itu terasa jauh lebih mengancam. Pria itu menoleh, dan mata mereka bertemu. Sesaat, waktu seperti berhenti. Udara seolah menipis. Saras ingin segera berpaling, namun tatapan tajam pria itu menahan langkahnya, seperti belenggu tak kasat mata. Ada sesuatu di balik sorot matanya, entah pengenalan, entah kecurigaan, yang membuat bulu kuduk Saras meremang. Pria itu melangkah mendekat. Satu langkah, dua langkah. Setiap jarak yang terpangkas membuat jantung Saras berdetak semakin keras. Saras menelan ludah, tangannya refleks menggenggam katalog di meja, seakan itu bisa menenangkan dirinya. Tapi semakin dekat pria itu berjalan, semakin ia merasa tidak kebetulan berada di sini. “Kamu yang kemarin di minimarket, kan? Kerja di sini rupanya?” suara pria itu

  • Ketika Takdir Menyapa   Pasti Bisa

    Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Saras berbaring menatap langit-langit kamarnya. Hanya dalam sunyi ia bisa benar-benar mengingat semua yang telah terjadi.Gavin, pria yang dulu ia cintai sepenuh hati, yang bersumpah akan selalu menjaganya.Tapi, semua berubah saat ia menemukan suaminya sedang melakukan panggilan video dengan seorang perempuan hanya mengenakan tank top. Perempuan itu tertawa menggoda, sedangkan Gavin balas tersenyum, seolah lupa bahwa ia memiliki istri.Saras, yang saat itu tak bisa menahan marah, langsung mengkonfrontasi Gavin."Mas, siapa perempuan itu? Kenapa kamu bisa begitu mesra sama dia?!"Gavin bukannya merasa bersalah, malah mendengus kesal."Kamu berlebihan, Saras! Itu cuma teman!”"Teman? Teman macam apa yang video call pakai baju begitu?!"Gavin melempar ponselnya ke sofa. "Lantas kenapa?! Kalau pun aku berselingkuh, kamu juga sama, kan?!"Saras mengernyit. "Apa maksudmu?""Jangan pura-pura polos, Saras. Aku tahu kamu ada hubungan sama Dicky!"Sar

  • Ketika Takdir Menyapa   Pernah Bertemu

    Brukk!Kotak susu bayi itu jatuh, menggelinding pelan sebelum terhenti di bawah rak biskuit. Suara kecilnya cukup untuk membuat beberapa kepala menoleh, sekilas, penuh rasa ingin tahu.Saras membungkuk cepat, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Tangan kirinya masih perih akibat senggolan tadi. Jemarinya bergetar saat meraih kotak susu itu, lalu, mata mereka bertemu.“Maaf, Pak. Saya… saya tidak sengaja,” ucap Saras gugup. Suaranya hampir tak terdengar, terseret napas yang tak teratur.Lelaki itu berdiri tegak. Kemeja putihnya rapi tanpa cela, seolah tiap serat kainnya dipilih dengan teliti. Arloji berkilau di pergelangan tangannya, pantulan cahaya lampu toko memantulkan wibawa yang tak terbantahkan. Namun, bukan itu yang membuat Saras tercekat, melainkan tatapannya.Tatapan dingin, menelusuri dirinya dari atas hingga bawah. Bukan sekadar melihat, tapi menilai. Membuat setiap helai baju murah yang melekat di tubuhnya terasa seperti noda yang tak layak berada di sana.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status