Share

Bab 4

Penulis: Author Key
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-11 22:17:13

Sesuatu berdesir di hati Aisyah. Perasaan campur aduk antara sakit, marah, dan putus asa. Ia tahu harus menghadapi Adrian, meski hatinya mencelos membayangkan apa yang akan terjadi.

Di sebuah kafe yang dulu sering mereka kunjungi, Aisyah menatap Adrian dengan sorot mata terluka. "Adrian," suaranya bergetar, "Pilih aku atau Kak Amira."

Adrian terdiam, tatapannya kosong, seperti jiwa yang terperangkap. Aisyah bisa melihat ada sesuatu yang menahannya, sesuatu yang lebih kuat dari cinta mereka.

"Aisyah, aku-"

"Aku tahu kamu mencintai Kak Amira," potong Aisyah, air mata mulai menggenang. "Aku tahu Kak Amira adalah cinta pertamamu."

Wajah Adrian memucat. Ia menunduk, tak sanggup menatap mata Aisyah. "Dia, wanita yang nggak bisa aku lupakan."

"Lalu, siapa yang kamu akan pilih. Aku atau-"

"Maaf, aku pilih Amira. Selama ini kamu tahu kalau aku menginginkan seorang anak dari kamu, tapi sampai sekarang kamu belum bisa hamil."

Dunia Aisyah runtuh. Kata-kata itu menghantamnya seperti palu godam. Ia menatap Adrian, mencari jejak kebohongan, namun hanya menemukan kepedihan dan rasa bersalah. Aisyah tak bisa lagi menahan air matanya. Ia berdiri, mundur perlahan.

"Ternyata tipu daya Kak Amira lebih kuat dari segalanya," ucap Aisyah, suaranya parau menahan tangis. "Dia berhasil menghancurkan kita, Adrian. Dan sekarang... dia mendapatkan segalanya."

Tanpa menunggu jawaban Adrian, Aisyah berbalik dan pergi, meninggalkan Adrian yang terperangkap dalam jaring kebohongan dan konsekuensi yang ia sendiri tak pernah inginkan. Meninggalkan cinta yang hancur berkeping-keping, dan pertanyaan yang selamanya akan menghantuinya.

"Ternyata, aku kalah. Aku nggak bisa menjadi wanita satu-satunya dihati Mas Adrian," gumam Aisyah.

Aisyah berjalan terhuyung keluar dari kafe. Setiap langkah terasa berat, seperti menyeret beban seribu ton. Udara malam yang dingin menusuk kulitnya, namun tak sedikit pun mampu membekukan api amarah dan luka yang membara di dalam dirinya. Ia tak tahu harus pergi ke mana, namun satu hal yang pasti ia tidak bisa kembali ke rumah yang dulunya adalah sarangnya bersama Adrian, yang kini terasa seperti penjara yang dipenuhi bayang-bayang Amira.

***

Beberapa hari berlalu dalam kabut kepedihan. Aisyah mengurung diri, menolak semua panggilan dari Adrian yang terus-menerus masuk. Ia perlu waktu untuk mencerna kenyataan pahit itu, untuk mengumpulkan kembali serpihan hatinya yang berserakan. Hingga akhirnya, pada suatu pagi yang sendu, Aisyah bangkit dengan tekad bulat. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Adrian datang ke apartemen Aisyah setelah beberapa kali permohonannya dijawab dengan keheningan. Wajahnya terlihat kusut, matanya bengkak, menunjukkan betapa ia juga menderita.

"Aisyah, tolong. Mari kita bicarakan ini masalah kita," pintanya dengan suara serak.

Aisyah menatapnya, tidak ada lagi sorot cinta yang dulu selalu terpancar. Hanya ada kekecewaan yang dalam. "Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Adrian," ucapnya tegas. "Aku sudah membuat keputusan."

Adrian menatapnya khawatir. "Keputusan apa, Aisyah?"

"Aku, aku ingin kita berpisah," kata Aisyah, suaranya bergetar namun jelas. "Aku ingin cerai."

Wajah Adrian memucat, lebih pucat dari sebelumnya. Ia menggelengkan kepala, seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Tidak, Aisyah! Jangan! Jangan lakukan ini!"

"Apa lagi yang bisa kulakukan, Adrian?" Aisyah balik bertanya, air mata akhirnya menetes di pipinya. "Hatiku sudah hancur. Kamu lebih memilih Kak Amira yang sedang hamil dibandingkan aku yang selama ini menjadi istrimu," ucap Aisyah penuh dengan amarah.

Adrian mencoba meraih tangan Aisyah, namun Aisyah menariknya menjauh. "Aku tidak sanggup lagi, Mas Adrian. Aku tidak bisa hidup berdampingan dengan bayangan Kak Amira di setiap sudut rumah kita. Aku tidak bisa hidup dengan kenyataan bahwa kamu adalah ayah dari anaknya," ucap Aisyah sekali lagi.

"Aisyah, kumohon. Beri aku kesempatan satu kali lagi," pinta Adrian putus asa.

"Kesempatan untuk apa, Mas Adrian?" Aisyah menatapnya lekat. "Kesempatan untuk melihatmu bahagia diatas penderitaanku, kesempatan untuk melihatku semakin terluka? Aku tidak bisa, Mas Adrian. Aku butuh kedamaian. Dan kedamaian itu tidak ada bersamamu lagi."

Adrian terdiam, bahunya merosot. Ia tahu, Aisyah serius. Tatapan matanya yang dulu penuh cinta kini digantikan oleh keteguhan yang dingin.

"Apa. apa kau yakin, Aisyah?"

"Sangat yakin," jawab Aisyah, dengan sisa kekuatan yang ia punya. "Aku ingin mengakhiri ini."

Adrian tidak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa menatap Aisyah, melihat wanita yang ia cintai pergi, seiring dengan hancurnya ikatan pernikahan mereka yang tak bersalah. Semua karena jaring laba-laba yang dirajut oleh Amira.

Seiring langkahnya yang menjauh dari rumah yang dulu ia sebut surga, Aisyah menarik napas panjang, menghirup udara kebebasan yang bercampur dengan sedikit rasa takut. Punggungnya tegap, namun di dalam hatinya berkecamuk badai emosi. Perpisahannya dengan Adrian adalah titik balik, sebuah keputusan sulit yang kini menuntunnya pada babak baru kehidupannya.

***

Pagi harinya, dengan koper yang tak terlalu penuh dan hati yang campur aduk, Aisyah melangkah keluar. Ia tak lagi melihat rumah itu sebagai tempat berlindung, melainkan sebagai monumen dari masa lalu yang harus ia tinggalkan. Angin pagi membelai wajahnya, seolah membisikkan dukungan. Ia memilih untuk pergi ke kota lain, jauh dari ingatan dan bayang-bayang Adrian, untuk membangun kembali dirinya dari nol.

Dalam perjalanan, Aisyah menatap keluar jendela. Gedung-gedung tinggi, pepohonan yang berjejer rapi, dan wajah-wajah asing yang berlalu lalang di luar sana memberinya gambaran tentang kemungkinan tak terbatas. Ia tahu, jalan di depannya tidak akan mudah. Akan ada kesepian, keraguan, dan mungkin juga penyesalan sesekali. Namun, satu hal yang ia yakini ia pantas mendapatkan kebahagiaan.

Setibanya di kota tujuan, Aisyah menyewa sebuah kamar kecil. Dindingnya polos, jendelanya menghadap ke gang sempit, namun bagi Aisyah, itu adalah awal yang baru. Ia mulai mencari pekerjaan, apa pun yang bisa memberinya pemasukan. Dari menjadi barista di sebuah kafe kecil hingga menjadi asisten di kantor desain, Aisyah tidak malu untuk memulai dari bawah. Ia belajar hal-hal baru, bertemu orang-orang baru, dan perlahan-lahan, tawa mulai kembali menghiasi bibirnya.

Tentu saja, ada hari-hari di mana kenangan akan Adrian menyeruak, terutama saat ia melihat pasangan lain yang berbahagia. Namun, ia tak lagi terlarut dalam kesedihan. Ia mengingat mengapa ia pergi, dan ingatan itu memberinya kekuatan untuk terus maju. Ia menemukan kembali hobinya yang dulu sempat terlupakan: melukis. Kanvas-kanvasnya kini dipenuhi warna-warna cerah, mencerminkan semangat barunya.

Perjalanannya masih panjang, namun Aisyah tidak lagi takut. Ia tahu bahwa setiap luka adalah pelajaran, dan setiap langkah menjauh adalah langkah menuju kemerdekaan. Ia telah memilih jalan yang benar untuk dirinya, dan kini, dengan dada lapang, Aisyah siap menyambut segala kemungkinan yang ditawarkan oleh kehidupannya yang baru.

"Semangat, semoga setelah ini aku bisa menjadi wanita yang lebih kuat lagi."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika Tuan CEO Memintaku Kembali    Bab 6

    "Papa! Ada tamu!" Revan sedikit mengerutkan kening, ia tidak memiliki janji temu pagi itu. Beranjak dari kursinya, ia melangkah menuju pintu depan, di mana putrinya, Aira yang berusia sekitar tujuh tahun sudah berdiri dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu. Di ambang pintu, tampaklah Aisyah Saraswati, tersenyum canggung sambil memegang sebuah dompet hitam di tangannya. "Kamu penjual bunga tadi?" Revan sedikit terkejut. "Ada apa?" Aisyah mengangkat dompet itu. "Maaf mengganggu anda, Pak Revan. Aku rasa ini milikmu. Jatuh di toko bunga saya saat membeli bunga tadi," ucap Aisyah pelan Revan meraih dompetnya. "Astaga, aku bahkan tidak menyadari hilang. Terima kasih banyak, Aisyah. Kamu tidak perlu repot-repot mengembalikannya sendiri.""Tidak apa-apa," jawab Aisyah lembut. "Aku kebetulan sedang ada janji di dekat sini, jadi sekalian saja."Saat Revan dan Aisyah berbincang, Aira yang sedari tadi mengamati dari balik kaki Revan, tiba-tiba memberanikan diri. Matanya yang polos mena

  • Ketika Tuan CEO Memintaku Kembali    Bab 5

    Sinar matahari pagi menyusup malu-malu melalui celah-celah papan kayu yang usang, menari di lantai berdebu Toko Bunga "Aisyah Flo" yang telah lama ditinggalkan. Aisyah berdiri di ambang pintu, jemarinya membelai ukiran bunga mawar yang pudar di gagang pintu.Aroma tanah basah dan kenangan manis masa kecil menyeruak, membangkitkan kembali semangat yang telah lama terkubur.Ini adalah tempat di mana Ibunya pernah menghabiskan waktu berjam-jam, merangkai kebahagiaan dari setiap kelopak. Namun, sejak kepergian Ibunya, Floret ikut layu, tertutup rapat, menyisakan kesunyian dan debu yang tebal. Aisyah, yang kini beranjak dewasa, merasa panggilan tak terhindarkan untuk menghidupkan kembali warisan itu.Dengan napas dalam, ia mendorong pintu engsel berkarat mengaduh pelan, seolah menyambut kepulangannya. Di dalamnya, vas-vas kosong berjejer rapi, menunggu untuk diisi kembali dengan kehidupan. Rak-rak kayu yang dulu penuh warna-warni bunga kini hanya menampung bayangan. Pot-pot tanah liat terg

  • Ketika Tuan CEO Memintaku Kembali    Bab 4

    Sesuatu berdesir di hati Aisyah. Perasaan campur aduk antara sakit, marah, dan putus asa. Ia tahu harus menghadapi Adrian, meski hatinya mencelos membayangkan apa yang akan terjadi.Di sebuah kafe yang dulu sering mereka kunjungi, Aisyah menatap Adrian dengan sorot mata terluka. "Adrian," suaranya bergetar, "Pilih aku atau Kak Amira."Adrian terdiam, tatapannya kosong, seperti jiwa yang terperangkap. Aisyah bisa melihat ada sesuatu yang menahannya, sesuatu yang lebih kuat dari cinta mereka."Aisyah, aku-""Aku tahu kamu mencintai Kak Amira," potong Aisyah, air mata mulai menggenang. "Aku tahu Kak Amira adalah cinta pertamamu."Wajah Adrian memucat. Ia menunduk, tak sanggup menatap mata Aisyah. "Dia, wanita yang nggak bisa aku lupakan.""Lalu, siapa yang kamu akan pilih. Aku atau-""Maaf, aku pilih Amira. Selama ini kamu tahu kalau aku menginginkan seorang anak dari kamu, tapi sampai sekarang kamu belum bisa hamil."Dunia Aisyah runtuh. Kata-kata itu menghantamnya seperti palu godam. I

  • Ketika Tuan CEO Memintaku Kembali    Bab 3

    Mas, maafkan aku soal semalam. Bukan aku menolak permintaan kamu, tapi aku-”Aisyah berdiri di depan pintu, menatap Adrian yang sedang berpaling untuk pergi. Ia merasa sedih dan menyesal, dan ingin meminta maaf atas penolakan nya semalam. "Tunggu, aku ingin meminta maaf sama kamu-" katanya dengan suara yang lembut dan penuh harap.Tapi Adrian itu tidak menoleh, ia tidak mendengarkan permintaan maaf Aisyah. Adrian terus berjalan, meninggalkan Aisyah sendirian dengan perasaan sedih dan kecewa. Wanita itu merasa seperti ditolak dan tidak dihargai, dan Aisyah tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.Aisyah hanya bisa berdiri disana, menatap ke arah Adrian yang semakin jauh, dan merasa sedih karena tidak bisa meminta maaf dan memperbaiki kesalahan yang telah dia lakukan.“Huft, sepertinya Mas Adrian marah denganku.”Aisyah duduk di sofa, memandang ke arah luar jendela dengan pikiran yang berputar-putar. Ia merasa sedih dan menyesal atas kesalahan yang telah dia lakukan, dan ingin

  • Ketika Tuan CEO Memintaku Kembali    Bab 2

    “Amira, kenapa harus di restoran ini? Apa tidak sebaiknya kita mencari restoran lain?”Amira menggeleng kepalanya cepat, ia ingin mengenang masa lalu dengan Adrian. Restoran ini adalah salah satu tempat favorit mereka berdua, dan Amira ingin Adrian kembali mengingat kejadian masa lalu mereka berdua.“Ini restoran favorit kita, aku dan kamu pernah makan disini.”Adrian sedang duduk berhadapan dengan Amira di sebuah restoran tempat yang menjadi favorit mereka berdua, Adrian menerima ajakan Amira untuk makan siang bersama di restoran favorit mereka berdua. Mereka seperti mengenang masa lalu yang masih tersimpan rapi tanpa sepengetahuan Aisyah, baik Adrian atau Amira memang sengaja tidak memberitahukan hubungan mereka yang sempat terputus karena kepergian Amira yang begitu mendadak.“Adrian, apa selama ini kamu masih memikirkan aku?”Adrian menatap wajah Amira yang sedikit berubah, mantan kekasihnya itu terlihat semakin dewasa dan sangat cantik menurutnya. Ada getaran aneh yang terasa di

  • Ketika Tuan CEO Memintaku Kembali    Bab 1

    Mau menikah denganku Aisyah Saraswati?”Aisyah kaget dengan lamaran dadakan Adrian teman masa kecilnya, mereka berdua berteman sejak kecil sampai saat ini. Benih-benih cinta mereka muncul ini ketika mereka sama-sama kuliah di tempat yang sama, Aisyah dan Adrian bahkan sepertinya tidak akan terpisahkan oleh siapapun.“Bagaimana Aisyah, apakah kamu mau menerima lamaranku ini?”Aisyah bimbang, ia tidak tahu harus menjawab apa mengenai lamaran dadakan Adrian. Bagaimanapun, juga ia harus meminta izin kepada kedua orang tuanya agar mendapatkan restu dari mereka berdua.“Aku mau Mas, aku mau jadi istri Mas Adrian. Tapi, aku harus meminta izin kepada ayah ku mengenai pernikahan ini.”“Tenang Aisyah, aku akan melamar kamu secara resmi kepada kedua orang tuamu. Dan, pernikahan kita akan berlangsung dengan mewah.”Benar saja apa yang diucapkan Adrian, lamaran telah ia lakukan dengan cepat. Bahkan, tanggal pernikahan sudah ditetapkan oleh Ayah dari Aisyah. Mereka menyelenggarakan resepsi pernikah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status