Share

Bab 5

Author: Author Key
last update Huling Na-update: 2025-06-11 22:17:23

Sinar matahari pagi menyusup malu-malu melalui celah-celah papan kayu yang usang, menari di lantai berdebu Toko Bunga "Aisyah Flo" yang telah lama ditinggalkan. Aisyah berdiri di ambang pintu, jemarinya membelai ukiran bunga mawar yang pudar di gagang pintu.

Aroma tanah basah dan kenangan manis masa kecil menyeruak, membangkitkan kembali semangat yang telah lama terkubur.

Ini adalah tempat di mana Ibunya pernah menghabiskan waktu berjam-jam, merangkai kebahagiaan dari setiap kelopak. Namun, sejak kepergian Ibunya, Floret ikut layu, tertutup rapat, menyisakan kesunyian dan debu yang tebal. Aisyah, yang kini beranjak dewasa, merasa panggilan tak terhindarkan untuk menghidupkan kembali warisan itu.

Dengan napas dalam, ia mendorong pintu engsel berkarat mengaduh pelan, seolah menyambut kepulangannya. Di dalamnya, vas-vas kosong berjejer rapi, menunggu untuk diisi kembali dengan kehidupan. Rak-rak kayu yang dulu penuh warna-warni bunga kini hanya menampung bayangan. Pot-pot tanah liat tergeletak miring, dan sarang laba-laba menjadi penghuni setia.

"Oke, toko bunga ku," bisik Aisyah, suaranya sedikit bergetar. "Kita akan bangkit lagi."

Aisyah mulai dengan membersihkan, sapu dan kain menjadi teman setianya saat ini. Debu tebal disingkirkan, jendela-jendela dibersihkan hingga tembus pandang, dan setiap sudut yang gelap kini diterangi kembali. Dinding yang kusam dicat ulang dengan warna krem yang lembut, memberikan sentuhan kehangatan. 

Pagi ini, Aisyah menata kembali etalase. Vas-vas kaca bening berkilauan di bawah cahaya lampu yang baru dipasang. Ia pergi ke pasar bunga paling pagi, memilih setiap tangkai dengan hati-hati—mawar merah yang berani, lili putih yang anggun, anyelir yang ceria, dan baby's breath yang mungil. Dengan keahlian yang ia pelajari secara tak langsung dari Ibunya, ia mulai merangkai. Satu demi satu, buket bunga terbentuk, memancarkan pesona dan warna yang tak terlukiskan.

Ketika matahari mulai condong ke barat, toko itu tidak lagi terlihat seperti reruntuhan. Kini, aroma melati, mawar, dan eucalyptus memenuhi setiap sudut. Jendela toko memantulkan cahaya senja, dan di dalamnya, bunga-bunga segar seolah bernyanyi. Aisyah berdiri di depan, mengamati hasil kerja kerasnya. Matanya berkaca-kaca, bukan karena lelah, melainkan karena haru.

Ia telah membuka kembali bukan hanya sebuah toko, tetapi juga sebuah babak baru dalam hidupnya. Aisyah Flo si toko bunga yang sempat tertidur pulas, kini terbangun, siap untuk kembali berbagi keindahan dan cerita melalui setiap kelopak bunganya. 

"Semangat Aisyah, babak baru dimulai. Dan, kita akan berjuang dari nol kembali."

***

Pagi ini, lonceng di atas pintu berdering pelan, menandakan kedatangan seorang pelanggan. Aisyah mendongak dari buket mawar yang sedang dirangkainya. Di ambang pintu berdiri seorang pria muda, mungkin seumuran dengannya, dengan senyum ramah dan mata yang meneduhkan. Ia mengenakan kemeja biru muda dan celana jins, tampak sedikit canggung namun penuh antisipasi.

"Selamat pagi," sapa Aisyah hangat, meletakkan guntingnya. "Ada yang bisa saya bantu?"

Pria itu melangkah masuk, pandangannya menyapu sekeliling toko, seolah terkesima dengan aroma semerbak dan warna-warni bunga yang memenuhi ruangan. "Selamat pagi," jawabnya. "Saya, saya sedang mencari bunga untuk seseorang yang spesial." 

Aisyah tersenyum, mengerti kegugupan khas pria yang ingin membeli bunga. "Tentu. Ada acara khusus? Atau hanya ingin memberinya kejutan?"

Pria itu menggaruk tengkuknya. "Sejujurnya, ini pertama kalinya saya membeli bunga. Saya ingin memberinya sesuatu yang indah, tapi saya bingung untuk membeli bunga apa yang cocok untuk-"

Aisyah mengangguk, otaknya dengan cepat memproses informasi. Kencan pertama, ingin serius, dan indah. "Baik. Apakah Anda punya gambaran tentang bunga kesukaannya? Atau warna favorit?"

Pria itu berpikir sejenak. "Dia suka warna-warna lembut, seperti peach atau krem. Dia juga orang yang ceria dan penuh semangat."

Aisyah berjalan menuju rak bunga, jarinya menunjuk beberapa pilihan. "Kalau begitu, bagaimana dengan mawar peach? Mereka melambangkan kekaguman dan ketulusan. Atau mungkin lili casablanca yang putih bersih, melambangkan kemurnian dan keagungan?"

Pria itu mendekat, matanya mengikuti setiap gerakan Aisyah. Ia berhenti di depan keranjang yang berisi bunga matahari mini. "Bunga matahari itu, apakah itu pilihan yang bagus?" tanyanya, matanya berbinar.

Aisyah tersenyum. "Ah, bunga matahari! Itu pilihan yang sangat menarik. Meskipun dia suka warna lembut, bunga matahari melambangkan kegembiraan, kecerahan, dan kekaguman. Itu akan menunjukkan bahwa Anda menganggapnya sebagai seseorang yang membawa kebahagiaan dalam hidup Anda.

"Sangat cocok untuk seseorang yang ceria dan penuh semangat."

Wajah pria itu berbinar. "Itu dia! Saya mau itu. Bisakah Anda merangkainya menjadi buket yang indah?"

Aisyah mengangguk antusias. "Tentu saja. Saya akan padukan dengan sedikit daun eucalyptus untuk sentuhan aroma segar dan beberapa tangkai baby's breath untuk kesan yang lembut dan romantis. Buket ini akan sangat berkesan."

Ia mulai merangkai bunga matahari, memadukannya dengan dedaunan hijau dan baby's breath putih kecil. Setiap gerakan Aisyah terampil dan penuh perhatian, seolah setiap tangkai adalah bagian dari sebuah karya seni. Pria itu berdiri di sana, mengamati dengan kagum, sesekali tersenyum saat Aisyah menambahkan sentuhan terakhir.

Ketika buket itu selesai, warnanya cerah dan memancarkan energi positif. Aisyah menyerahkannya kepada pria itu. "Ini dia. Semoga kencan Anda berjalan lancar."

Pria itu menerima buket itu dengan hati-hati, seolah memegang harta karun. Senyumnya semakin lebar. "Ini, ini sempurna! Terima kasih banyak. Anda benar-benar tahu apa yang saya butuhkan." Ia mengeluarkan dompetnya, tetapi matanya masih tertuju pada bunga di tangannya.

"Sama-sama," kata Aisyah, merasa senang melihat kepuasan di wajah pelanggannya.

"Semoga buket ini membawa kebahagiaan."

Setelah pria itu membayar dan mengucapkan terima kasih sekali lagi, ia melangkah keluar dari toko, meninggalkan aroma bunga matahari yang samar di udara.

Aisyah memandangnya pergi, merasakan kehangatan yang menjalar di hatinya. Bukan hanya karena berhasil menjual buket, tetapi karena ia telah menjadi bagian dari sebuah momen penting bagi seseorang, sama seperti Ibunya dulu. Toko bunga yang baru saja hidup kembali, kini sudah mulai menebarkan benih-benih kebahagiaan.

"Loh, ini dompet pria itu. Sepertinya, pria itu lupa kalau dompetnya tertinggal."

Sebelum membuka dompet pria itu, Aisyah meminta maaf karena telah lancang membukanya. Tapi, ia harus melakukan hal tersebut agar ia bisa melihat nama dan alamat rumah pria yang baru saja membeli bunga di toko bunga miliknya.

"Alamatnya tidak terlalu jauh dari sini, aku harus datang untuk mengembalikan dompet pria itu."

Tidak berselang lama, Aisyah sudah sampai disebuah rumah besar dan mewah. Ia merasa takjub dengan pemandangan rumah ya g menurutnya sangat besar ini.

"Permisi, saya ingin bertemu dengan Pak Revan Airlangga."

"Pak Revan ada di dalam, silakan Mbak masuk saja."

Aisyah melangkahkan kakinya menuju pintu besar, di depan pintu rumah terlihat banyak karangan bunga yang menandakan sang pemilik rumah sedang mengadakan acara ulang tahun.

"Loh, jadi bunga itu buat anaknya. Bukan buat kekasihnya," gumam Aisyah.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ketika Tuan CEO Memintaku Kembali    Bab 18

    Revan menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah Aisyah, senja sudah merayap, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu yang menawan. Aisyah keluar mobil dengan hati-hati dan ia tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Revan. "Terima kasih banyak ya, Pak Revan. Maaf jadi merepotin," kata Aisyah tulus, tersenyum. Revan membalas senyum itu. "Santai aja, Aisyah. Memang itu sudah kewajiban aku untuk menjaga mu," jawab Revan. Aisyah mengangguk. "Maksudnya?""Maksudnya-" Beberapa saat mereka hanya saling pandang, menikmati keheningan yang nyaman di antara mereka. Angin sepoi-sepoi menerbangkan beberapa helai rambut Aisyah, membuat Revan tanpa sadar tertegun sesaat. "Kalau gitu, aku masuk dulu ya," ujar Aisyah memecah keheningan, sedikit canggung. "Oke," jawab Revan. Ia menunggu hingga Aisyah melangkah masuk ke halaman rumahnya dan melambaikan tangan kecil sebelum akhirnya Aisyah menghilang di balik pintu. Revan lalu mengenakan helmnya kembali, menyalakan mesin mo

  • Ketika Tuan CEO Memintaku Kembali    Bab 17.

    Aisyah menutup matanya erat, mencoba menahan emosi yang bergejolak. "Aku tidak bisa. Aku... aku tidak siap untuk ini, Adrian," ucapnya, suaranya bergetar. Adrian menatapnya lekat, matanya dipenuhi campuran kekecewaan dan kebingungan. "Tidak siap untuk apa, Aisyah? Untuk bicara? Untuk melanjutkan kisah kita dulu?" Nada suaranya sarat dengan kepedihan yang tak bisa disembunyikan. Aisyah menggelengkan kepala, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Bukan itu. Aku, aku tidak bisa menghadapi lagi semua kenangan itu. Ini terlalu menyakitkan, Adrian." Ia akhirnya mengucapkan alasan yang selama ini ia pendam, sebuah kebenaran yang pahit. Kenangan masa lalu mereka, yang berakhir dengan luka, adalah tembok tebal yang ia bangun. Sebelum Adrian sempat membalas, sebuah suara familiar memecah ketegangan di antara mereka. "Aisyah? Akhirnya aku menemukanmu!" Aisyah tersentak, ia menoleh ke arah sumber suara, dan jantungnya kembali berdesir, kali ini karena kejutan. Berdiri tidak jauh d

  • Ketika Tuan CEO Memintaku Kembali    Bab 16

    Di antara keramaian lobi gedung pertemuan yang mewah, Aisyah merasa jantungnya berdebar kencang, bukan karena kegembiraan, melainkan karena kecemasan. Matanya terus menyapu setiap sudut ruangan, mencari celah untuk menghindar. Ia tahu Adrian ada di sini, dan pertemuan dengannya adalah hal terakhir yang ia inginkan. "Astaga," gumamnya pelan saat melihat punggung Adrian di dekat meja registrasi, sedang berbicara dengan seseorang. Aisyah segera memutar badan, berpura-pura tertarik pada pajangan bunga di dekat pilar. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya. Pikirannya kalut, ia harus mencapai lift tanpa terlihat. Aisyah menyusun rencana cepat berpura-pura menelepon, berjalan cepat tapi tidak tergesa-gesa, dan menunduk seolah sibuk dengan ponselnya. Ini adalah taktik lamanya, dan sering kali berhasil. Saat Adrian bergerak sedikit ke kiri, Aisyah melihat peluang. Ia melangkahkan kaki, menyusup di antara sekelompok tamu yang sedang tertawa. Aroma kopi yang k

  • Ketika Tuan CEO Memintaku Kembali    Bab 15

    Dentuman musik mengalun lembut di ballroom mewah hotel bintang lima itu, berpadu dengan riuhnya tawa dan obrolan para tamu. Aroma sedap hidangan prasmanan dan semerbak bunga sedap malam mengisi setiap sudut ruangan. Aisyah, dengan gaun batiknya yang elegan, menyesap minumannya perlahan sambil sesekali membalas sapaan kenalan. Ini adalah pernikahan sahabatnya, dan ia berusaha menikmati setiap momen, meski hatinya terasa sedikit kosong belakangan ini. Saat sedang asyik memperhatikan dekorasi pelaminan, pandangannya tak sengaja berpapasan dengan seseorang di seberang ruangan. Seketika, waktu terasa melambat. Sosok tinggi tegap itu, dengan setelan jas hitam yang membalut tubuhnya sempurna, memancarkan aura familiar yang langsung menusuk relung hati Aisyah. Jantung Aisyah berdesir hebat, ia mencoba mengalihkan pandangan, berpura-pura tertarik pada pajangan di dekatnya, namun ia tahu Adrian juga menyadari kehadirannya. Sejak perpisahan mereka bertahun-tahun lalu, Aisyah tak pernah benar

  • Ketika Tuan CEO Memintaku Kembali    Bab 14

    Aisyah melangkah keluar dari lobi kantornya, matanya langsung menyipit karena silau matahari Jakarta yang terik. Ia mempercepat langkah, ingin segera mencapai halte bus terdekat. Pikirannya sudah melayang ke daftar belanjaan di rumah dan siaran berita malam nanti. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di seberang jalan, tepat di depan kafe langganannya, berdiri sesosok yang terlalu familiar. Adrian. Mantan suaminya. Jantung Aisyah serasa diremas. Ia merasa seolah semua pasang mata di jalanan itu tertuju padanya, meskipun ia tahu itu hanya perasaannya saja. Adrian sedang berbicara dengan seseorang, punggungnya menghadap ke arah Aisyah, tapi entah kenapa Aisyah yakin Adrian bisa merasakan keberadaannya. Seketika, insting pertamanya adalah berbalik arah, pura-pura ada sesuatu yang tertinggal di kantor. Tapi itu akan terlalu mencolok. Ia mencoba menenangkan napasnya. "Oke, Aisyah, kau bisa. Ini cuma Adrian," bisiknya pada diri sendiri, meskipun suaranya bergetar. Ia melirik ke sekel

  • Ketika Tuan CEO Memintaku Kembali    Bab 13.

    Lima tahun kemudian. Setelah lima tahun berlalu, Aisyah kini berdiri tegak, seorang single parent yang tangguh dengan seorang putri cantik di sisinya. Bertahun-tahun yang lalu, badai kehidupan sempat merenggut sebagian dari dirinya, namun kini, awan kelabu itu telah sirna. Aisyah telah move on, melangkah jauh dari bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan. Kini, bukan lagi kesedihan yang memenuhi relung hatinya, melainkan kobaran semangat yang membara. Dengan senyum optimis dan mata yang berbinar penuh tekad, Aisyah siap menulis babak baru dalam hidupnya. Ia ingin kembali beraksi, bukan sekadar bertahan hidup, melainkan menjadi seorang business woman yang sukses. Impian ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga demi masa depan cerah sang buah hati yang selalu menjadi sumber kekuatannya. Aisyah siap membuktikan bahwa setiap akhir adalah awal yang baru, dan setiap tantangan adalah kesempatan untuk bangkit lebih kuat. "Semangat, semoga hari ini lebih baik dari hari sebelumnya.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status