Share

Bab 6. Rencana Ayah

Semakin malam semakin ramai pesan di grub PKK. Kebetulan hanya aku yang masuk grub dari keluargaku. Sedangkan Ibu, beliau tidak pernah mau bergaul dengan warga. Padahal aslinya juga berada dari komplek sebelah lokasinya juga tidak jauh. Tidak sedikit yang menghujat Stella dan juga Ibu mertua.

"Ponselmu matikan saja, berisik tau!" Aku mematikan ponselku dan tidur memunggungi Mas Angga.

Ting

[Rin, tolong buatkan kue putu ayu 50 biji dan donat meses 50 biji dan jangan lupa martabak telor andalan juga 50 biji, bisa? Untuk acara pengajian di rumah besok lusa!" Aku mengintip satu pesan dari nomor seseorang. Ternyata Pak Parno penjual cilok memesan kue basah padaku. Alhamdulillah, kue basah yang mudah untuk membuatnya.

[Baik, Pak!] Bersyukur sekali masih dilimpahkan rejeki lagi hari ini.

[Uang muka Bapak titipkan ke Mbak Mira besok]

Dewi fortuna masih berpihak padaku. Meski tidak berjualan martabak telur, tetapi aku masih bisa membuatnya di rumah sesuai pesanan. Apalagi kue lain yang tentu saja aku bisa membuatnya.

"Kenapa kamu tidak tidur, Rin?" Ternyata dia memperhatikan aku sedari tadi senyum sendiri.

"Capek tidur, Mas. Tidur di rumah nggak dapat apa-apa. Aku butuh pekerjaan yang menghasilkan uang untuk biaya hidupku!" Kulihat dia tidak menghiraukan aku dan kembali memunggungiku. Aku tahu jika dirinya tidak setuju aku bekerja.

Pagi ini Stella terlihat biasa saja meski kemarin siang kena grebek satpol PP. Dirinya berpakaian seragam sekolah. Yang aneh adalah riasan wajah yang harusnya tidak dipakai anak sekolah karena terlalu menor.

"Pagi, Bu!" Stella menikmati nasi bungkus yang dibeli Ibu mertua. Cukup aneh karena hanya Ibu mertua hanya beli dua nasi bungkus untuknya dan Stella. Karena biasanya membeli bertiga termasuk Mas Angga.

"Untukku mana, Bu?" Mas Angga tiba-tiba langsung duduk di ruang makan dan tidak mendapati jatah untuknya.

"Kamu nggak ngasi uang, jadi Ibu nggak beli untukmu!"

"Kemarin Angga beri Ibu sebanyak itu apa sudah habis?"

"Habislah, duit cuma segitu juga!" Ibu mertua begitu mudahnya menghabiskan uang sebanyak itu.

Aku terperangah. Kemarin Mas Angga memberikan uang pada Ibu cukup banyak dan sekarang sudah habis. Tapi apa peduliku, kubiarkan saja mereka berdebat nantinya setelah aku mencuci piring. Aku meraih beberapa buah mangga yang sudah tua yang nantinya akan kupakai untuk membuat asinan sesuai rencana.

"Kamu kenapa pagi-pagi nggak bikin sarapan malah mengambil mangga?"

"Buat usaha, Mas. Aku juga ingin makan enak dan ingin punya uang sendiri. Percuma juga punya suami tapi nggak ada nafkah yang layak untuk istri!"

"Kamu tidak bersyukur sama sekali, Rin!" Aku melotot ke arahnya. Tidak ada takut lagi aku berhadapan dengannya. Belum sarapan sudah mengajak ribut lagi.

"Jadi anggapanmu aku tidak bersyukur, Mas? Lalu bagaimana dengan Ibumu sendiri yang bisa menghabiskan uang sebanyak itu dalam waktu sekejab dan sekarang meminta lagi?" Mas Angga seketika diam. Mungkin saja mencari pembelaan untuk Ibunya.

"Ibuku bedalah sama kamu. Kamu kan orang lain yang bisa kuputus kapan saja!"

"Oh, begitu. Mulai sekarang atur semua keluargamu sendiri. Karena aku akan bekerja lagi. Dan tolong, jangan pernah kamu larang aku bekerja karena kamu sendiri tidak becus menafkahi istri!"

Aku kembali fokus memetik mangga daripada kesal menatap suamiku yang sudah berani mengabaikan aku. Dia juga langsung berangkat bekerja setelah berdebat denganku.

Aku mulai membuat asinan mangga untuk kutitipkan di warung Mbak Mira nanti sore. Kebetulan ada lemari es di warung Mbak Mira yang bisa digunakan menyimpan asinan supaya lebih segar.

"Sedang membuat apa kamu, Rin?"

"Untuk jualan, Bu!" Sahutku gemas. Sepertinya akan memarahiku lagi.

"Kamu masih berani jualan lagi? Apa kata orang-orang nanti, aku punya menantu berjualan di depan sekolahan!" Nada suaranya terdengar lebih tinggi.

Jeb

Pisau kutancapkan ke talenan dan menatap kedua mata Ibu mertua. Memang biasanya kutancapkan begitu saja karena diletakkan di meja takut jatuh dan kotor lagi. Tetapi entah kenapa ada rasa takut dari raut wajah Ibu mertuaku.

"Iya, karena aku tidak dapat nafkah dari Mas Angga. Capek harus menahan lapar karena nggak ada makanan, Bu. Tidak mungkin aku makan orang juga kan?" Seketika Ibu mertuaku melotot dan bergidik ngeri.

"I-iya, kamu jualan saja daripada makan orang!" Aku mengernyitkan dahiku melihat sikap ibu mertua seakan ketakutan. Padahal aku hanya mengatakan sebenarnya alasanku berjualan lagi.

"Kenapa Ibu berkeringat?" Aku melihat keringat Ibu sebesar biji jagung dan kedua matanya mematap pisau yang tertancap manis di talenan.

"Ka-kamu-- hiii--," Ibu mertua keluar dengan sedikit berlari dari dapur.

Tidak ambil pusing, kembali kuselesaikan semua urusanku membuat asinan hari ini. Terserah Ibu mau mikirin tentang apa.

Tok tok tok

"Arin, cepat buka pintu!"

Selalu saja tidak mau mengerjakan sesuatu meski hanya membuka pintu ketika ada tamu. Aku meninggalkan pekerjaanku sejenak untuk membuka pintu rumah. Aku terkejut dengan kedatangan ayah mertua ke rumah tanpa memberi tahu dulu.

"Ibumu ada, Rin?" Wajah Ayah terlihat agak serius.

"Ada di dalam, Ayah!"

"Ini kamu sarapan dulu di dalam. Ayah mau bicara dengan Ibumu!" Aku gegas masuk ke ruang makan menikmati sarapan yang tertunda.

Kudengar Ayah mertua sedang berdebat mengenai Stella. Apalagi kasus viralnya Stella. Ingin menguping tapi itu dosa, kubiarkan saja mereka membicarakan dan membuat keputusan untuk anak gadisnya. Tidak mungkin juga aku ikutan nimbrung.

"Ayah mau memasukkan Stella ke pesantren!" Kudengar keputusan Ayah mertua usai berdebat. Namun, sepertinya Ibu mertua tidak setuju jika Stella masuk pesantren. Padahal masuk pesantren sangat bagus bagi Stella yang pergaulannya sudah kelewatan.

"Tidak bisa, Stella tetap sekolah di kota ini!" Suara Ibu dengan nada tinggi.

"Apapum jangan pernah meminta bantuanku soal Stella jika keputusanmu seperti ini. Jika kamu gagal lagi mendidiknya, aku akan menyeret paksa masuk pesantren!"

Suara Ayah tidak kalah lantang, memang dasarnya Ibu mertuaku yang lebih suka pergaulan sosialita daripada pesantren.

"Rin, Ayah pulang dulu," aku terkejut saat Ayah mertua tiba-tiba ke dapur saat aku masih sarapan dan meja berantakan oleh beberapa buah mangga.

"Hati-hati, Ayah! Terima kasih atas nasi bungkusnya!"

"Sama-sama. Itu kok banyak mangga kuning. Mau dibuat apa, Rin?"

"Arin mau jualan asinan mangga, rencananya dititipkan di warung Mbak Mira."

"Alhamdulillah, kamu semangat terus ya. Semoga nanti kamu menjadi orang sukses!"

Sungguh aku senang sekali mendapat dukungan moral seperti ini. Usai ayah pulang dan aku juga selesai sarapan, aku gegas melanjutkan semuanya hingga selesai. Sekitar pukul satu, aku membawa beberapa kemasan asinan ke warung Mbak Mira.

"Assalamu alaikum, Mbak Mira."

"Waalaikum salam, Arin. Jadi nitip asinan?"

"Jelas dong. Ini untuk Mbak Mira!" Aku memberikan dua kemasan asinan kepada Mbak Mira. Mbak Mira segera mengambil mangkok dan menuangkannya. Mbak Mira mulai memasukkan potongan mangga lengkap dengan kuahnya ke dalam mulut dan mengunyahnya.

"Rin, tolonglah! Ini sangat enak sekali. Masukkan semua ke dalam lemari es biar lebih segar. Ini cocok untuk orang hamil!" Respon Mbak Mira sangatlah baik dan aku suka sekali.

Gegas aku memasukkan semua kedalam lemari es. Hari ini aku berdoa untuk kelancaran usahaku yang baru ku mulai lagi. Membuka lapak atau usaha kini menjadi jalan hidupku, melamar pekerjaan di pabrik juga agak susah karena kebanyakan yang dibutuhkan belum berkeluarga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status