[Rin, Stella digrebek satpol PP]
[Yang bener, Mbak?] Balasku kepada Mbak Mira.[Nih, orang-orang banyak menjadi saksi saat Stella digrebek bersama seorang lelaki seusia Ayah mertuamu]Aku terkejut dengan sebuah pesan yang dikirimkan oleh Mbak Mira. Semakin tidak percaya dengan kabar dari Mbak Mira. Tidak percaya itupun salah, percaya juga aku tidak tahu kejadiannya. Entah, sekarang aku jadi bingung karena situasi sedang gawat dan aku sendiri sedang bersandiwara. Terpaksa aku mulai bangun dari tidurku alias selesai bersandiwara. Aku membuka pintu kamarku pelan-pelan untuk menemui Ibu mertuaku."Kamu sudah sadar, Rin?" Mas Angga menatapku berjalan sambil memegang kepala bagian belakang. Tadinya nyeri, namun sekarang sudah tidak lagi. Tetap berusaha pura-pura sakit di depan mereka."Mas, Stella kena grebek satpol PP.""Apa?" Ibu mertua histeris mendengar anak tersayangnya digrebek. Pastinya nanti akan menjadi berita utama Ibu-Ibu komplek."Dari mana kamu tahu?" Mas Angga menatapku curiga."Dari Mbak Mira, Mas!""Mira? Bahaya jika Mira sampai tahu. Jika Mira tahu, pasti berita ini sudah menyebar ke penjuru komplek. Apalagi warung Mira menjadi tempat idola Ibu-ibu berghibah!" Ibu mertua geram dan kesal bercampur aduk. Ditambah lagi kasus Stella yang mengkhawatirkan."Kita ke kantornya saja, Bu!" Ibu mertua mengangguk cepat."Rin, ini uang untukmu. Belilah makan malam untukmu!" Benar saja, dia meletakkan selembar uang dua puluh ribu di meja untukku. Lumayan, uang segitu bisa kubuat membeli nasi goreng yang mangkal di warung Mbak Mira.Aku meraih uang tersebut sebelum aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Apalagi sedang datang bulan begini aroma badan rasanya agak lain.Usai membersihkan diri, aku beranjak ke warung Mbak Mira dan pastinya aku melihat beberapa Ibu-ibu asik bergosip ria. Begitulah kira-kira jika hidup berdampingan."Eh, Mba Arin!" Sapa Bu Endang, wanita yang selalu berpenampilan sempurna dengan membuat jambul di pucuk kepalanya mirip salah satu artis ternama. Terkadang nada bicaranya sengaja dibuat mirip artis berjambul trunami tersebut."Iya, Bu Endang. Bagaimana kabarnya?" Aku berbasa basi menyapa mereka."Mbak Arin. Em, bagaimana Stella tadi. Kok bisa kena grebek," aku duduk di kursi dekat Pak Trisno penjual nasi goreng."Waduh, mana saya tahu, Bu Endang. Saya aja di rumah terus, jadi urusan di luar jangan tanyakan ke saya. Mending besok atau lusa bisa wawancara sama Ibu mertua saya!"Sebenarnya aku ingin tahu juga atas kasus Stella, tetapi tidak mungkin aku menyalakan api di saat sedang ada bara. Bu Endang menatapku sinis dan aku tidak peduli. Aku memesan nasi goreng dibungkus untuk dibawa pulang. Jika hanya ada Mbak Mira pasti aku makan di tempat, banyak Ibu-ibu di sana sedang mengobrol membuatku risih.Aku menikmati nasi goreng di depan televisi ditemani segelas teh hangat. Sungguh nikmat tidak tergantikan. Sementara aku mengabaikan urusan Stella dan keluarganya sejenak. Percuma saja jika aku ikutan mengkhawatirkan mereka. Toh, mereka juga tidak akan menghargai aku.Menjelang pukul sepuluh malam, deru motor Mas Angga sudah sampai di halaman. Gegas aku membukanya dan hanya melihat Mas Angga sendirian. Tak berselang lama, sebuah taksi online datang membawa Stella dan Ibu mertua. Aku terkejut saat melihat Stella keluar dari mobil. Penampilannya sungguh mirip mak lampir. Bagaimana tidak, eyeliner yang digunakan meleleh sampai ke pipi mengikuti air mata yang mengalir. Bisa saja saat menangis, eye liner ikutan luntur. Rambutnya bahkan acak-acakan dan bajunya juga menurutku tidak pantas dipakai untuk seorang anak yang masih sekolah. Baju ketat dan pendek hampir memperlihatkan pusar."Arin, cepat ambilkan air minum!" Aku gegas mengambil air minum untuk Stella. Aku lihat Stella menangis sesenggukan di pelukan Ibu mertua, namun berbeda dengan ekpresi Mas Angga."Lain kali, pilih lelaki yang seumuran denganmu, Stella. Bukan lelaki bau tanah yang kamu pacarin!" Kedua mataku membola sempurna mendengar ucapan Mas Angga. Jadi benar yang dikatakan Mbak Mira jika Stella digrebek bersama pacarnya yang seusia ayah mertuaku alias aki-aki.Sungguh tragis sekali, seorang gadis remaja yang cantik memiliki selera lelaki berusia matang. Bahkan terlalu kematangan menurutku. Bagaimana jika sampai mereka menikah dan hidup dengan cucu-cucunya. Ah, aku tidak boleh berpikiran seperti ini pada adik iparku."Mas, Mas Pri punya usaha tambang batu bara. Jadi bisa dibayangkan jika aku bisa bersamanya, aku bisa mendapatkan apapun yang aku mau."Benar-benar anak ini otaknya miring ke belakang atau miring sebelah. Demi kekayaan dia rela berpacaran dengan seorang kakek-kakek. Andai dia adik kandungku, sudah pasti aku kurung di rumah tak kuperbolehkan keluar. Bila perlu di ruqyah sekalian supaya setan penghasut cinta pada kakek-kakek hilang."Ya ampun, Stella. Apa kamu sudah tidak waras. Jika saja dia menipumu bagaimana?" Stella tetap diam sambil sesenggukan di pelukan Ibunya."Mas Pri tidak menipuku, Mas. Aku memiliki berlian mahal di lemariku!" Aku terkejut mendengar ucapan Stella. Bahkan lelali tua itu sudah memberikan barang mahal untuk Stella. Sungguh di luar nalar."Putuskan lelaki itu, jangan pernah lagi berhubungan dengannya!" Sangat terlihat sekali Mas Angga marah dan kesal pada Stella."Tidak bisa, Mas. Stella mencintainya!" Perdebatan yang cukup sulit. Stella benar-benar mencintai aki-aki itu."Stella, harusnya kamu mencintai anak atau cucunya yang seusia denganmu. Bukan dengan Bapak atau Kakeknya!" Akhirnya Ibu mertua angkat bicara setelah diam memperhatikan kemarahan Angga."Mereka sudah memiliki istri, Bu. Mas Pri ini duda dan kaya!" Kepalaku semakin pusing mendengar sikap Stella yang tetap membela pujaan hatinya.Sepertinya Stella marah dan berlalu menuju ke kamarnya. Stella mengunci pintu kamarnya dari dalam. Beberapa kali Ibu mertua mengetuk, Stella hanya berteriak ingin sendirian."Lihat karena ulahmu, Ngga! Stella jadi begini!""Harusnya Ibu juga menasehati dia. Masa seorang gadis belum lulus SMA berpacaran dengan kakek-kakek!""Ibu juga malu, Ngga. Tapi bagaimana nanti kalau Stella mengamuk dan mengancam bunuh diri?" Pikiran Ibu mertua terlalu lebay menurutku."Tidak mungkin. Mau bunuh diri bagaimana, Bu? Ketusuk jarum aja dia nangis, apalagi sampai bunuh diri!" Mas Angga memilih masuk ke kamar dan aku juga mengekor di belakangnya. Aku ikut merebahkan bobot tubuhkundi samping Mas Angga.Aku meraih ponselku dan melihat berita-berita di grub PKK hari ini. Beberapa Ibu-ibu mengirim video penggerebekan Stella. Aku penasaran dan terpaksa memutar video tersebut. Terlihat sekali, Stella meronta saat dibawa ke mobil satpol PP. Dan lelaki itu juga terlihat memakai masker saat naik ke mobil satpol PP. Kulihat lokasi berada di depan sebuah home stay."Ah masa sih, lelaki ini pemilik tambang batu bara? Masa bos batu bara tidak bisa menyewa hotel yang sudah pasti aman dari penggerebekan?" Aku mulai menduga dan tidak percaya sama sekali jika lelaki ini adalah pemilik tambang batu bara.TingTingTingSemakin malam semakin ramai grub PKK membahas soal penggerebekan Stella. Malu sebenarnya, tapi bagaimana lagi. Mau tidak mau harus dihadapi.Semakin malam semakin ramai pesan di grub PKK. Kebetulan hanya aku yang masuk grub dari keluargaku. Sedangkan Ibu, beliau tidak pernah mau bergaul dengan warga. Padahal aslinya juga berada dari komplek sebelah lokasinya juga tidak jauh. Tidak sedikit yang menghujat Stella dan juga Ibu mertua."Ponselmu matikan saja, berisik tau!" Aku mematikan ponselku dan tidur memunggungi Mas Angga.Ting[Rin, tolong buatkan kue putu ayu 50 biji dan donat meses 50 biji dan jangan lupa martabak telor andalan juga 50 biji, bisa? Untuk acara pengajian di rumah besok lusa!" Aku mengintip satu pesan dari nomor seseorang. Ternyata Pak Parno penjual cilok memesan kue basah padaku. Alhamdulillah, kue basah yang mudah untuk membuatnya.[Baik, Pak!] Bersyukur sekali masih dilimpahkan rejeki lagi hari ini. [Uang muka Bapak titipkan ke Mbak Mira besok]Dewi fortuna masih berpihak padaku. Meski tidak berjualan martabak telur, tetapi aku masih bisa membuatnya di rumah sesuai pesanan. Apalagi kue lain yang tentu
Sepulang dari warung, aku dikejutkan dengan seorang berbadan tegap ditambah seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu. Wanita berpenampilan layaknya seorang bos. Rambut disanggul ke atas mirip ibu pejabat."Permisi, kenapa Ibu dan Bapak berdiri di depan pintu?""Enggak ada yang bukain!" Begitulah jawaban lelaki berdiri tegap tersebut dengan nada sinis."Panggil Marni keluar, dia harus membayar hutangnya! Kalau menghindar lagi, akan kusita rumah ini!" Aku terkejut sekali, itu tandanya Ibu mertua berhutang dalam jumlah besar karena Ibu-ibu ini berani menyita rumah."Baik, akan saya sampaikan!" Aku gegas masuk ke rumah dan mencari keberadaan Ibu mertua. Aku terkejut melihat Ibu mertua sedang bersembunyi di balik lemari pakaian."Bu, ada tamu. Katanya kalau nggak dibayar bisa disita rumah ini!" Ucapku sambil berlalu meninggalkannya yang sedang panik. Brak brak brak"Marni, cepat keluar atau kutendang kamu dari rumah ini!"Suara pintu diketuk, lebih tepatnya digedor dengan keras. A
Aku merasa ayah sangat kecewa dengan Stella dan istrinya. Sangat kentara ketika menghubungiku barusan. Ayah mana yang rela anak gadisnya belum lulus sekolah sudah berpacaran dengan pria seusia dengannya. "Kasihan ayah," aku menggeleng pelan, menyayangkan sikap Stella dan Ibu mertua.Menjelang sore tidak kulihat Stella dan Ibu mertua di ruang tamu atau ruang keluarga. Padahal, biasanya mereka lebih banyak menghabiskan waktu di ruang keluarga sambil menonton televisi jika sedang tidak keluar.Pekerjaanku membuat asinan akhirnya selesai menjelang jam pulang Mas Angga. Sengaja membuatnya lebih dulu karena besok aku harus menyiapkan pesanan Pak Parno. Selanjutnya aku memasukkan ke dalam lemari es untuk diantar besok. Usia menyelesaikan semuanya, gegas aku membersihkan diri dan membuat mie instan untukku.Mie instan hanya dengan campuran sawi yang kutanam di dalam pot. Sederhana namun sudah sangat mengenyangkan untukku."Kamu makan sendiri, Rin?" Aku terkejut melihat Ibu mertua melihatku m
Sejak pukul lima pagi, aku sudah berkutat dengan mengolah adonan donat. Sengaja adonan donat kubuat terlebih dahulu karena prosesnya cukup rumit. Ada jeda waktu yang harus digunakan untuk proses pemeraman adonan supaya tidak bantat dan bisa mengembang sempurna. Dilanjut dengan membuat kue selanjutnya supaya waktu tidak terbuang sia-sia. Apalagi membuat kue putu ayu tidak perlu waktu lama, setelah adonan jadi bisa dimasukkan cetakan sebelum dikukus."Wangi sekali, Rin. Masak apa?" Tiba-tiba saja Ibu mertuaku sudah berada di dapur."Membuat pesanan orang, Bu!" Jawabku tanpa memperhatikan keberadaan Ibu mertuaku."Bagi dong!" "Etss! Tidak bisa!" Aku tangkap tangannya ketika akan meraih kue putu ayu yang sudah matang. Seenaknya saja minta bagi kue padaku setelah beberapa hari yang lalu mempermalukanku di depan orang banyak dengan mengobrak abrik daganganku."Pelit amat jadi menantu!" "Ibu juga, gengsi amat punya menantu bisa menggelar lapak di depan sekolahan!" Sengaja kubalik hinaannya
Sejak subuh aku sudah bersiap mengemas semua perlengkapan barang dagangan. Aku sudah nekat dan aku siap mendapat resikonya meski pernikahanku menjadi taruhannya. Bukan karena aku ingin menjadi istri durhaka, aku ingin mendapat kebahagiaan dengan caraku sendiri. Hal ini terpaksa kulakukan karena memang aku tidak pernah mendapat hak selama menikah."Kamu jualan lagi?" Tumben sekali Ibu mertuaku sudah bangun sepagi ini. "Iya, Bu. Percuma saja diam di rumah menjadi istri yang baik tetapi tidak mendapatkan apapun termasuk nafkah. Lebih baik cari sendiri aja, yang nantinya bisa kunikmati!" Aku tidak menghiraukan Ibu mertua di sampingku."Dasar bandel, lebih baik kamu tinggal sendiri daripada mempermalukan kami sekeluarga!" "Tidak masalah jika aku harus tinggal sendiri, Bu. Asalkan aku tenang!" Aku mengangkat peralatan dagang ke sebuah motor butut. Tidak lupa kupanjatkan doa untuk hari ini. Jika nanti suamiku menginginkanku pergi, maka aku ikhlas melakukannya. Suasana masih sepi karena wa
Aku sebenarnya terkejut karena mereka semua berada disini. Apalagi aku juga sudah meninggalkan rumah setelah melihat perselingkuhan Mas Angga dengan wanita cantik itu."Jangan terkejut seperti itu, Rin. Kami tahu kalau kamu pergi dari Angga sebelum--"Jangan sebut namanya lagi, Mbak. Aku benci dengan nama itu!" "Baiklah. Tetap tenangkanlah dirimu! Jangan pernah berbuat apapun yang bisa membuatmu celaka!" Aku hanya mengangguk pelan. Sungguh, aku hampir saja naik darah mendengar nama lelaki itu disebut."Arin, sementara tinggal saja disini!" Bapak mertuaku menuntunku masuk ke rumah sederhana ini. Rumah memiliki satu kamar, satu kamar mandi dan dapur terletak di sebelah kamar mandi. Sungguh, di balik kesedihan ternyata masih ada dukungan di balik ini semua.Rumah yang bakalan aku tinggali untuk sementara waktu. Jika sudah saatnya, mungkin aku akan kembali ke kampung halamanku dan menetap disana seperti saat aku kecil."Jika ada apa-apa segera hubungi kami, Arin. Jangan pernah merasa jik
Kepalaku mulai mencari sebuah jawaban dari ucapan ayah dan juga Mbak Mira. Apa yang disembunyikan mereka saat ini.[Katakan saja, Mbak. Apa yang terjadi?][Apa kamu yakin ingin mendengarnya? Mbak tidak tega denganmu] jujur saja, ini semakin membuatku penasaran.[Apapun yang terjadi, memang sudah ditakdirkan. Jadi katakan saja][Ibu mertuamu menjamin kebebasan Angga. Besok pagi Angga dan selingkuhannya akan dinikahkan!] Sungguh lemas tubuhku, rasanya tulang seperti dilepas satu-satu hingga tidak mampu menopang beban tubuhku. Aku terkulai bersandar di dinding merasakan sakit yang kuterima.Sakit, sungguh sakit sekali. Ingin beranjak pindah tempat saja rasanya aku tidak kuat. Mas Angga, lelaki yang pernah memintaku menjadi penggantinya ternyata mampu menghempaskan aku begitu saja.Cukup lama aku menangis, aku mencoba berdiri kembali. Mau tidak mau aku harus kuat menghadapinya. Kutatap cermin yang hanya sebesar setengah badan. Wajahku terlihat kusam, bahkan terdapat flek hitam di beberap
Rizky membawa Arin tepat akad nikah akan segera dimulai. Karena pernikahan ini bukanlah pernikahan biasa melainkan pernikahan setelah digrebek. Tidak terlihat sosok ayah mertua di lokasi. Akad nikah kali ini hanya didatangi keluarga dekat saja. Di sudut sana, terlihat kedua orang tua Widya. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan saya bahagia. Terlihat sekali mereka dari keluarga berada. "Aku takut, Riz!" "Terus, kamu mau nangis lagi?" Dia selalu menyebalkan. "Tenanglah, dan tetaplah menjadi pemenang. Tunjukkan siapa dirimu saat ini!""Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri."Bukan, itu monyet yang disana!" Aku memanyunkan bibirku. Selalu saja begini. Aku mengedarkan pandanganku ke beberapa rumah tetangga. Terlihat beberapa ibu-ibu sedang mengobrol. Sudah bisa dipastikan jika mereka pasti membicarakan Mas Angga dan keluarganya."Masuklah dan jangan menangis! Memalukan sekali!" Rizky memintaku masuk ke dalam. Seseorang menatapku pertama kali adalah Stella. Aku melihat jelas mulut Stell