Sepulang dari warung, aku dikejutkan dengan seorang berbadan tegap ditambah seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu. Wanita berpenampilan layaknya seorang bos. Rambut disanggul ke atas mirip ibu pejabat.
"Permisi, kenapa Ibu dan Bapak berdiri di depan pintu?""Enggak ada yang bukain!" Begitulah jawaban lelaki berdiri tegap tersebut dengan nada sinis."Panggil Marni keluar, dia harus membayar hutangnya! Kalau menghindar lagi, akan kusita rumah ini!" Aku terkejut sekali, itu tandanya Ibu mertua berhutang dalam jumlah besar karena Ibu-ibu ini berani menyita rumah."Baik, akan saya sampaikan!" Aku gegas masuk ke rumah dan mencari keberadaan Ibu mertua. Aku terkejut melihat Ibu mertua sedang bersembunyi di balik lemari pakaian."Bu, ada tamu. Katanya kalau nggak dibayar bisa disita rumah ini!" Ucapku sambil berlalu meninggalkannya yang sedang panik.Brak brak brak"Marni, cepat keluar atau kutendang kamu dari rumah ini!"Suara pintu diketuk, lebih tepatnya digedor dengan keras. Aku mengintip di balik jendela kamarku, tetangga sampai keluat dan melihat ada rentenir di rumahku."Tetangga pada keluar, Bu!" Wajah Ibu mertua terlihat pucat pasi. Bisa saja takut atau malu ketika didengar warga."Apa? Harusnya kamu bilang kalau aku di luar, dasar nggak berguna!" Ibu mertua terpaksa melangkah pelan ke luar rumah untuk menemui rentenir tersebut. Wajahnya terlihat ketakutan ketika harus menghadapi rentenir.Kulihat Ibu mertua diam dan manggut-manggut saat rentenir itu memarahinya. Sedangkan bodyguardnya melipat tangannya di dada sambil memperhatikan Ibu mertuaku. Kasihan sebenarnya, tetapi beliau tetap harus bertanggung jawab atas perbuatannya."Aku beri waktu satu bulan karena kamu sudah terlambat jatuh tempo. Bunga dari hutangmu sudah terlalu banyak, Marni!""I-iya, Nyonya. Nanti akan saya lunasi."Tidak lama setelah memarahi Ibu, rentenir itu pergi.Ibu mertua gegas masuk ke dalam rumah, hanya saja belum sampai membuka gagang pintu, Ibu menatap salah satu tetangga yang memperhatikan Ibu dari tadi."Apaan lihat-lihat? Sirik?" Aku hampir pusing kepala melihat tingkah Ibu mertuaku. Bukannya langsung masuk, malah mencari gara-gara di depan rumah."Ngapain sirik sama orang kaya hutang. Hanya bersyukur saja, Marni. Syukurnya aku tidak sepertimu!" Sahut Bu Siti terkenal dengan ingin tahu urusan orang.Aku yang sudah menyelesaikan semua pekerjaanku gegas ke kamar. Tidak ada tempat selain ke kamar karena tidak ada taman atau apapun karena rumah dibangun minimalis untuk pasangan muda.Aku memasarkan produk asinanku secara online juga demi kelancaran. Aku sadar untuk mendapatkan pelanggan memang tidak mudah."Aku pasarkan ke grub PKK ah!" Aku menjapri satu persatu nomor Ibu-ibu PKK. Tidak masalah harus senam jari demi mendapatkan pembeli.Respon dari Ibu-ibu komplek cukup berbeda-beda. Ada yang merespon baik, ada pula yang sedikit menghina jualanku. Bagiku itu tidak masalah, memulai usaha harus tahan banting. Banting sana banting sini.[Rin, lumayan laku asinanmu, meski belum semua terjual habis!] Sebuah pesan dari Mbak Mira. Tentu saja aku semakin bersemangat.[Alhamdulillah, Mbak. Arin senang sekali] Aku kembali ke teras dan memeriksa buah mangga yang sudah tua. Aku harus lebih giat mewujudkan impianku.Saat aku ke dapur, aku melihat Ibu mertua seperti kebingungan. Bisa saja karena tekanan dari rentenir tadi membuatnya harus segera membayarnya."Seratus juta. Darimana aku mendapatkan uang seratus juta dalam sebulan?""Stella, aku harus meminta tolong pada Stella."Aku mengeryitkan dahiku mendengar ucapan Ibu mertuaku. Apa yang akan direncanakan Ibu mertua untuk Stella? Meski aku terlihat cuek tetapu tetap memperhatikan tingkah laku dan rencana Ibu dan adik iparku.Menjelang pukul dua, Stella sudah datang diantar sebuah mobil berwarna silver. Aku mengintip di balik tirai dan memastikan sosok yang mengantar Stella."Kok aki-aki? Apa dia yang kemarin kena grebek?" Aku mulai menerka mengingat kejadian kemarin.Tanpa kusadari, Ibu mertua berlari keluar menyambut kedatangan Stella bersama aki-aki tersebut. Memang rambutnya sudah disemir hitam tetapi sama saja, wajahnya masih memperlihatkan jika sudah tua."Stella, Ibu boleh minta tolong?""Bu. Kenalkan, di Mas Pri!" Kulihat Ibu mertua enggan berjabat tangan tetapi akhirnya mau juga."Marni, ibunya Stella!""Priyono, pacarnya Stella!" Keduamya saling memperkenalkan diri. Sungguh, menurutku ini bukan pemandangan bagus. Apalagi tidak tahu latar belakang sosok Kakek Priyono sebenarnya.Kulihat Ibu menggandenga Stella menjauh dari Kakek itu sebentar. Seperti sedang membisikkan sesuatu. Semoga saja tebakanku tidak benar. Aku khawatir jika Ibu mertua hanya akan memanfaatkan Stella demi bisa membayar hutang ke rentenir.Usai memnuatkan minum untuk mereka bertiga, aku mulai memperhatikan percakapan mereka dari sudut lain meski aku harus berpura-pura mengerjakan sesuatu. Sungguh, jiwa kepo meronta jika sudah begini."Mas Pri, begini. Sejak kapan anda berhubungan dengan Stella?" Ibu mertua mulai modus di depan aki-aki ini."Sudah dua bulan, saya duda dan saya kaya! Saya bisa memberi apapun yang Stella minta!" Sontak kedua mata Ibu mertua berbinar. Ternyata benar dugaanku. Ibu benar-benar ingin memanfaatkan Stella untuk melunasi hutang."Sebenarnya kami memang sedang kesulitan, Mas Pri. Sebagai bagian dari hubungan Stella, bisakah anda membantu saya untuk membayar hutang yang sudah membengkak? Saya sudah bercerai dan tidak dapat nafkah kecuali dari anak lelaki saya."Tidak berapa lama, aki-aki itu atau Kakek Priyono mengeluarkan secarik kertas. Seperti mirip sebuah surat berharga kemudian menuliskan sesuatu di sana."Ini chek, bisa dicairkan kapanpun."Stella dan Ibu mertua melihat nominal yang cukup besar. Keduanya terlihat bahagia mendapatkan uang secara cuma-cuma tanpa perlu bekerja."Terima kasih, Mas Pri!" Sungguh senangnya hati mertuaku ini.Usai berbincang-bincang, aki-aki itu pulang dan kini tinggal Stella juga Ibu di ruang tamu. Keduanya mulai berhayal menjadi orang kaya."Beli ponsel baru dong, Bu!""Ish, apaan! Ibu mau bayar hutang setengahnya saja dan sisanya mau ibu belikan perhiasan mahal. Biar ibu nggak dikira hidupnya blangsak!" Aku menggeleng pelan. Bukannya membayarkan semuanya, namun sudah berencana untuk berfoya-foya."Tapi uang itu dikasi sama ayangnya Stella!" Aku benar-benar mual mendengar kelebay an Stella. Gimana juga pacaran sama aki-aku dan manggilnya kayak anak abege. Stella memang abege tapi aki-aki itu beda.Kulihat Ibu dan Stella menuju ke kamarnya masing-masing. Entah apa yang akan mereka lakukan setelah ini. Mau menasehati juga pastinya kena marah. Nggak dinasehati kok kesannya membiarkan mereka tersesat.Drtt drttAku terkejut saat ayah mertuaku mengubungiku. Biasanya ada yang serius jika sampai menghubungi seperti ini."Assalamu alaikum, Rin.""Waalaikum salam, Ayah. Ada sesuatu yang serius, Yah?""Siapa lelaki tua yang barusan keluar dari rumah Angga?" Aku bingung mau jawab apa. Menjawab bohong juga tidak tepat. Bagaimanapun beliau orang yang masih menghargaiku."Emm, itu. Pa-pacarnya Stella!" Terpaksa aku jawab pertanyaan Ayah mertua."Baik, Rin. Terima kasih informasinya!" Ayah lantas mematikan ponselnya begitu saja. Aku takut jika ayah sampai marah sehingga membahayakan kesehatannya. Meski bukan ayah kandung tetapi aku selalu mendoakan kebaikan untuk ayah mertua.Aku merasa ayah sangat kecewa dengan Stella dan istrinya. Sangat kentara ketika menghubungiku barusan. Ayah mana yang rela anak gadisnya belum lulus sekolah sudah berpacaran dengan pria seusia dengannya. "Kasihan ayah," aku menggeleng pelan, menyayangkan sikap Stella dan Ibu mertua.Menjelang sore tidak kulihat Stella dan Ibu mertua di ruang tamu atau ruang keluarga. Padahal, biasanya mereka lebih banyak menghabiskan waktu di ruang keluarga sambil menonton televisi jika sedang tidak keluar.Pekerjaanku membuat asinan akhirnya selesai menjelang jam pulang Mas Angga. Sengaja membuatnya lebih dulu karena besok aku harus menyiapkan pesanan Pak Parno. Selanjutnya aku memasukkan ke dalam lemari es untuk diantar besok. Usia menyelesaikan semuanya, gegas aku membersihkan diri dan membuat mie instan untukku.Mie instan hanya dengan campuran sawi yang kutanam di dalam pot. Sederhana namun sudah sangat mengenyangkan untukku."Kamu makan sendiri, Rin?" Aku terkejut melihat Ibu mertua melihatku m
Sejak pukul lima pagi, aku sudah berkutat dengan mengolah adonan donat. Sengaja adonan donat kubuat terlebih dahulu karena prosesnya cukup rumit. Ada jeda waktu yang harus digunakan untuk proses pemeraman adonan supaya tidak bantat dan bisa mengembang sempurna. Dilanjut dengan membuat kue selanjutnya supaya waktu tidak terbuang sia-sia. Apalagi membuat kue putu ayu tidak perlu waktu lama, setelah adonan jadi bisa dimasukkan cetakan sebelum dikukus."Wangi sekali, Rin. Masak apa?" Tiba-tiba saja Ibu mertuaku sudah berada di dapur."Membuat pesanan orang, Bu!" Jawabku tanpa memperhatikan keberadaan Ibu mertuaku."Bagi dong!" "Etss! Tidak bisa!" Aku tangkap tangannya ketika akan meraih kue putu ayu yang sudah matang. Seenaknya saja minta bagi kue padaku setelah beberapa hari yang lalu mempermalukanku di depan orang banyak dengan mengobrak abrik daganganku."Pelit amat jadi menantu!" "Ibu juga, gengsi amat punya menantu bisa menggelar lapak di depan sekolahan!" Sengaja kubalik hinaannya
Sejak subuh aku sudah bersiap mengemas semua perlengkapan barang dagangan. Aku sudah nekat dan aku siap mendapat resikonya meski pernikahanku menjadi taruhannya. Bukan karena aku ingin menjadi istri durhaka, aku ingin mendapat kebahagiaan dengan caraku sendiri. Hal ini terpaksa kulakukan karena memang aku tidak pernah mendapat hak selama menikah."Kamu jualan lagi?" Tumben sekali Ibu mertuaku sudah bangun sepagi ini. "Iya, Bu. Percuma saja diam di rumah menjadi istri yang baik tetapi tidak mendapatkan apapun termasuk nafkah. Lebih baik cari sendiri aja, yang nantinya bisa kunikmati!" Aku tidak menghiraukan Ibu mertua di sampingku."Dasar bandel, lebih baik kamu tinggal sendiri daripada mempermalukan kami sekeluarga!" "Tidak masalah jika aku harus tinggal sendiri, Bu. Asalkan aku tenang!" Aku mengangkat peralatan dagang ke sebuah motor butut. Tidak lupa kupanjatkan doa untuk hari ini. Jika nanti suamiku menginginkanku pergi, maka aku ikhlas melakukannya. Suasana masih sepi karena wa
Aku sebenarnya terkejut karena mereka semua berada disini. Apalagi aku juga sudah meninggalkan rumah setelah melihat perselingkuhan Mas Angga dengan wanita cantik itu."Jangan terkejut seperti itu, Rin. Kami tahu kalau kamu pergi dari Angga sebelum--"Jangan sebut namanya lagi, Mbak. Aku benci dengan nama itu!" "Baiklah. Tetap tenangkanlah dirimu! Jangan pernah berbuat apapun yang bisa membuatmu celaka!" Aku hanya mengangguk pelan. Sungguh, aku hampir saja naik darah mendengar nama lelaki itu disebut."Arin, sementara tinggal saja disini!" Bapak mertuaku menuntunku masuk ke rumah sederhana ini. Rumah memiliki satu kamar, satu kamar mandi dan dapur terletak di sebelah kamar mandi. Sungguh, di balik kesedihan ternyata masih ada dukungan di balik ini semua.Rumah yang bakalan aku tinggali untuk sementara waktu. Jika sudah saatnya, mungkin aku akan kembali ke kampung halamanku dan menetap disana seperti saat aku kecil."Jika ada apa-apa segera hubungi kami, Arin. Jangan pernah merasa jik
Kepalaku mulai mencari sebuah jawaban dari ucapan ayah dan juga Mbak Mira. Apa yang disembunyikan mereka saat ini.[Katakan saja, Mbak. Apa yang terjadi?][Apa kamu yakin ingin mendengarnya? Mbak tidak tega denganmu] jujur saja, ini semakin membuatku penasaran.[Apapun yang terjadi, memang sudah ditakdirkan. Jadi katakan saja][Ibu mertuamu menjamin kebebasan Angga. Besok pagi Angga dan selingkuhannya akan dinikahkan!] Sungguh lemas tubuhku, rasanya tulang seperti dilepas satu-satu hingga tidak mampu menopang beban tubuhku. Aku terkulai bersandar di dinding merasakan sakit yang kuterima.Sakit, sungguh sakit sekali. Ingin beranjak pindah tempat saja rasanya aku tidak kuat. Mas Angga, lelaki yang pernah memintaku menjadi penggantinya ternyata mampu menghempaskan aku begitu saja.Cukup lama aku menangis, aku mencoba berdiri kembali. Mau tidak mau aku harus kuat menghadapinya. Kutatap cermin yang hanya sebesar setengah badan. Wajahku terlihat kusam, bahkan terdapat flek hitam di beberap
Rizky membawa Arin tepat akad nikah akan segera dimulai. Karena pernikahan ini bukanlah pernikahan biasa melainkan pernikahan setelah digrebek. Tidak terlihat sosok ayah mertua di lokasi. Akad nikah kali ini hanya didatangi keluarga dekat saja. Di sudut sana, terlihat kedua orang tua Widya. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan saya bahagia. Terlihat sekali mereka dari keluarga berada. "Aku takut, Riz!" "Terus, kamu mau nangis lagi?" Dia selalu menyebalkan. "Tenanglah, dan tetaplah menjadi pemenang. Tunjukkan siapa dirimu saat ini!""Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri."Bukan, itu monyet yang disana!" Aku memanyunkan bibirku. Selalu saja begini. Aku mengedarkan pandanganku ke beberapa rumah tetangga. Terlihat beberapa ibu-ibu sedang mengobrol. Sudah bisa dipastikan jika mereka pasti membicarakan Mas Angga dan keluarganya."Masuklah dan jangan menangis! Memalukan sekali!" Rizky memintaku masuk ke dalam. Seseorang menatapku pertama kali adalah Stella. Aku melihat jelas mulut Stell
Sosok lelaki yang kubenci kini berada di depanku. Kedua matanya terlihat jelas dipenuhi rasa sesal, hanya saja aku sudah tidak peduli. Sorot matanya seakan ingin aku kembali padanya."Ada apa, Mas? Kenapa kamu kemari?" Dia bahkan masih menggunakan pakaian yang dikenakan saat akad nikah. Sungguh sangat memalukan, baru tadi mengikrarkan talak, sekarang"A-aku, aku--"Sudahlah, Mas. Balik saja ke rumahmu. Bukannya hari ini hari kebahagiaan kalian semua! Aku ucapkan semoga kalian berbahagia!" "Arin. Aku ingin kamu tetap bersamaku lagi!" Aku terbelalak mendengar ucapannya. Sudah cukup banyak luka yang dia torehkan padaku dan sekarang bicara seperti itu? Sungguh memalukan sekali."Ingin aku jadi babu gratisan untuk keluargamu, Mas?" Dia diam seketika. Mungkin baru menyadari jika aku selama ini tidak lain dan tidak lebih dari seorang pembantu."Angga! Ngapain kamu kemari?" Ternyata Ibunya ikutan datang juga. Sorot matanya terlihat sama sekali tidak suka padaku."Aku ingin bicara dengan Arin
Anga terpaksa kembali ke rumah ibunya. Disana, Widya sedang asik bercengkerama bersama Stella. Stella merasa dirinya sangat pantas bisa sederajat dengan keluarga Widya."Widya! Mama mau kalian tinggal di rumah saja. Ajak saja suamimu tinggal di rumah kita!" Stella terkejut dengan sikap mertua Angga. "Tidak bisa dong, Tante. Istri itu wajib ikut suami. Nantinya si istri harus mengerjakan semua pekerjaan rumah dan menuruti semua permintaan suaminya!" Stella dengan percaya diri mengucapkan sesuatu yang paling dibenci orang tua Widya."Sekali lagi kamu mengucapkan seperti itu, akan kurobek mulutmu, Bocah. Orang miskin aja belagu! Cocoknya si Angga itu jadi pembantu di rumahku. Gaji segitu mana cukup untuk memenuhi kebutuhan Widya. Widya aja gajinya sepuluh kali lipat dari Angga!" Stella terperangah. Ditambah lagi sekarang memiliki saingan.Widya memang dari kalangan orang berada. Widya adalah manager sekaligus membanti orang tuanya melanjutkan usahanya. Namun sangat disayangkan karena Wi