Share

Bab 7. Rentenir

Penulis: Eka Sa'diyah
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-25 20:47:28

Sepulang dari warung, aku dikejutkan dengan seorang berbadan tegap ditambah seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu. Wanita berpenampilan layaknya seorang bos. Rambut disanggul ke atas mirip ibu pejabat.

"Permisi, kenapa Ibu dan Bapak berdiri di depan pintu?"

"Enggak ada yang bukain!" Begitulah jawaban lelaki berdiri tegap tersebut dengan nada sinis.

"Panggil Marni keluar, dia harus membayar hutangnya! Kalau menghindar lagi, akan kusita rumah ini!" Aku terkejut sekali, itu tandanya Ibu mertua berhutang dalam jumlah besar karena Ibu-ibu ini berani menyita rumah.

"Baik, akan saya sampaikan!" Aku gegas masuk ke rumah dan mencari keberadaan Ibu mertua. Aku terkejut melihat Ibu mertua sedang bersembunyi di balik lemari pakaian.

"Bu, ada tamu. Katanya kalau nggak dibayar bisa disita rumah ini!" Ucapku sambil berlalu meninggalkannya yang sedang panik.

Brak brak brak

"Marni, cepat keluar atau kutendang kamu dari rumah ini!"

Suara pintu diketuk, lebih tepatnya digedor dengan keras. Aku mengintip di balik jendela kamarku, tetangga sampai keluat dan melihat ada rentenir di rumahku.

"Tetangga pada keluar, Bu!" Wajah Ibu mertua terlihat pucat pasi. Bisa saja takut atau malu ketika didengar warga.

"Apa? Harusnya kamu bilang kalau aku di luar, dasar nggak berguna!" Ibu mertua terpaksa melangkah pelan ke luar rumah untuk menemui rentenir tersebut. Wajahnya terlihat ketakutan ketika harus menghadapi rentenir.

Kulihat Ibu mertua diam dan manggut-manggut saat rentenir itu memarahinya. Sedangkan bodyguardnya melipat tangannya di dada sambil memperhatikan Ibu mertuaku. Kasihan sebenarnya, tetapi beliau tetap harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

"Aku beri waktu satu bulan karena kamu sudah terlambat jatuh tempo. Bunga dari hutangmu sudah terlalu banyak, Marni!"

"I-iya, Nyonya. Nanti akan saya lunasi."

Tidak lama setelah memarahi Ibu, rentenir itu pergi.Ibu mertua gegas masuk ke dalam rumah, hanya saja belum sampai membuka gagang pintu, Ibu menatap salah satu tetangga yang memperhatikan Ibu dari tadi.

"Apaan lihat-lihat? Sirik?" Aku hampir pusing kepala melihat tingkah Ibu mertuaku. Bukannya langsung masuk, malah mencari gara-gara di depan rumah.

"Ngapain sirik sama orang kaya hutang. Hanya bersyukur saja, Marni. Syukurnya aku tidak sepertimu!" Sahut Bu Siti terkenal dengan ingin tahu urusan orang.

Aku yang sudah menyelesaikan semua pekerjaanku gegas ke kamar. Tidak ada tempat selain ke kamar karena tidak ada taman atau apapun karena rumah dibangun minimalis untuk pasangan muda.

Aku memasarkan produk asinanku secara online juga demi kelancaran. Aku sadar untuk mendapatkan pelanggan memang tidak mudah.

"Aku pasarkan ke grub PKK ah!" Aku menjapri satu persatu nomor Ibu-ibu PKK. Tidak masalah harus senam jari demi mendapatkan pembeli.

Respon dari Ibu-ibu komplek cukup berbeda-beda. Ada yang merespon baik, ada pula yang sedikit menghina jualanku. Bagiku itu tidak masalah, memulai usaha harus tahan banting. Banting sana banting sini.

[Rin, lumayan laku asinanmu, meski belum semua terjual habis!] Sebuah pesan dari Mbak Mira. Tentu saja aku semakin bersemangat.

[Alhamdulillah, Mbak. Arin senang sekali] Aku kembali ke teras dan memeriksa buah mangga yang sudah tua. Aku harus lebih giat mewujudkan impianku.

Saat aku ke dapur, aku melihat Ibu mertua seperti kebingungan. Bisa saja karena tekanan dari rentenir tadi membuatnya harus segera membayarnya.

"Seratus juta. Darimana aku mendapatkan uang seratus juta dalam sebulan?"

"Stella, aku harus meminta tolong pada Stella."

Aku mengeryitkan dahiku mendengar ucapan Ibu mertuaku. Apa yang akan direncanakan Ibu mertua untuk Stella? Meski aku terlihat cuek tetapu tetap memperhatikan tingkah laku dan rencana Ibu dan adik iparku.

Menjelang pukul dua, Stella sudah datang diantar sebuah mobil berwarna silver. Aku mengintip di balik tirai dan memastikan sosok yang mengantar Stella.

"Kok aki-aki? Apa dia yang kemarin kena grebek?" Aku mulai menerka mengingat kejadian kemarin.

Tanpa kusadari, Ibu mertua berlari keluar menyambut kedatangan Stella bersama aki-aki tersebut. Memang rambutnya sudah disemir hitam tetapi sama saja, wajahnya masih memperlihatkan jika sudah tua.

"Stella, Ibu boleh minta tolong?"

"Bu. Kenalkan, di Mas Pri!" Kulihat Ibu mertua enggan berjabat tangan tetapi akhirnya mau juga.

"Marni, ibunya Stella!"

"Priyono, pacarnya Stella!" Keduamya saling memperkenalkan diri. Sungguh, menurutku ini bukan pemandangan bagus. Apalagi tidak tahu latar belakang sosok Kakek Priyono sebenarnya.

Kulihat Ibu menggandenga Stella menjauh dari Kakek itu sebentar. Seperti sedang membisikkan sesuatu. Semoga saja tebakanku tidak benar. Aku khawatir jika Ibu mertua hanya akan memanfaatkan Stella demi bisa membayar hutang ke rentenir.

Usai memnuatkan minum untuk mereka bertiga, aku mulai memperhatikan percakapan mereka dari sudut lain meski aku harus berpura-pura mengerjakan sesuatu. Sungguh, jiwa kepo meronta jika sudah begini.

"Mas Pri, begini. Sejak kapan anda berhubungan dengan Stella?" Ibu mertua mulai modus di depan aki-aki ini.

"Sudah dua bulan, saya duda dan saya kaya! Saya bisa memberi apapun yang Stella minta!" Sontak kedua mata Ibu mertua berbinar. Ternyata benar dugaanku. Ibu benar-benar ingin memanfaatkan Stella untuk melunasi hutang.

"Sebenarnya kami memang sedang kesulitan, Mas Pri. Sebagai bagian dari hubungan Stella, bisakah anda membantu saya untuk membayar hutang yang sudah membengkak? Saya sudah bercerai dan tidak dapat nafkah kecuali dari anak lelaki saya."

Tidak berapa lama, aki-aki itu atau Kakek Priyono mengeluarkan secarik kertas. Seperti mirip sebuah surat berharga kemudian menuliskan sesuatu di sana.

"Ini chek, bisa dicairkan kapanpun."

Stella dan Ibu mertua melihat nominal yang cukup besar. Keduanya terlihat bahagia mendapatkan uang secara cuma-cuma tanpa perlu bekerja.

"Terima kasih, Mas Pri!" Sungguh senangnya hati mertuaku ini.

Usai berbincang-bincang, aki-aki itu pulang dan kini tinggal Stella juga Ibu di ruang tamu. Keduanya mulai berhayal menjadi orang kaya.

"Beli ponsel baru dong, Bu!"

"Ish, apaan! Ibu mau bayar hutang setengahnya saja dan sisanya mau ibu belikan perhiasan mahal. Biar ibu nggak dikira hidupnya blangsak!" Aku menggeleng pelan. Bukannya membayarkan semuanya, namun sudah berencana untuk berfoya-foya.

"Tapi uang itu dikasi sama ayangnya Stella!" Aku benar-benar mual mendengar kelebay an Stella. Gimana juga pacaran sama aki-aku dan manggilnya kayak anak abege. Stella memang abege tapi aki-aki itu beda.

Kulihat Ibu dan Stella menuju ke kamarnya masing-masing. Entah apa yang akan mereka lakukan setelah ini. Mau menasehati juga pastinya kena marah. Nggak dinasehati kok kesannya membiarkan mereka tersesat.

Drtt drtt

Aku terkejut saat ayah mertuaku mengubungiku. Biasanya ada yang serius jika sampai menghubungi seperti ini.

"Assalamu alaikum, Rin."

"Waalaikum salam, Ayah. Ada sesuatu yang serius, Yah?"

"Siapa lelaki tua yang barusan keluar dari rumah Angga?" Aku bingung mau jawab apa. Menjawab bohong juga tidak tepat. Bagaimanapun beliau orang yang masih menghargaiku.

"Emm, itu. Pa-pacarnya Stella!" Terpaksa aku jawab pertanyaan Ayah mertua.

"Baik, Rin. Terima kasih informasinya!" Ayah lantas mematikan ponselnya begitu saja. Aku takut jika ayah sampai marah sehingga membahayakan kesehatannya. Meski bukan ayah kandung tetapi aku selalu mendoakan kebaikan untuk ayah mertua.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika Usahaku Dibongkar Ibu Mertuaku   Bab 51. Hadiah Terindah

    Hampir satu tahun pernikahan, kehidupan rumah tanggaku nyaris sempurna. Rizky begitu perhatian dan memberiku banyak cinta. Meski sampai sekarang aku belum mendapatkan tanda-tanda kehamilan, Rizky tidak pernah menanyakan atau membahas buah hati. Disini kami hanya berusaha dan berikhtiar. Urusan buah hati, mutlak kuasa Allah.Usaha Rizky semakin hari semakin berkembamg pesat. Penginapan dan restoran hampir tidak pernah sepi. Sekarang dia membuka usaha baru berupa minimarket."Melamun aja," lagi-lagi dia melingkarkan kedua tangannya di perutku ketika aku sedang menatap indahnya pagi hati di balkon. Meski usaha bertambah, tetapi untuk tempat tinggal kami masih sama. Hanya ada renovasi sedikit membuat area balkon di teras rumah. Balkon untuk tempat aku bertanam. Aku menyibukkan diri dengan bertanam sayur di balkon selain membuat asinan buah andalanku."Kok sudah pulang, Mas?" Hendak aku lepaskan kedua tangannya yang melingkar di perutku, tetapi dia malah mengeratkan pelukannya."Aku bosnya

  • Ketika Usahaku Dibongkar Ibu Mertuaku   Bab 50. Kedatangan Bu Marni

    Baru saja Stella tenang, kami kembali dikejutkan dengan keramaian warga di depan rumah. Kami semua keluar rumah kecuali Pak Hadi yang menjaga Stella di dalam kamarnya."Dia menculik Stella dari rumah sakit!" "Hadi gila!" Brak brak brakBu Marni benar-benar tidak beretika sama sekali. Harusnya dia masuk dan bicara baik-baik. Malah sebaliknya, berteriak di luar seperti orang kesetanan ditambah pakaiannya yang compang camping. Masih terlihat bekas kecelakaan di kepalanya. "Bu Marni, apa yang anda lakukan disini?" Terpaksa aku bertanya atas tujuannya datang kemari."Lihatlah! Dua orang wanita ini adalah selingkuhan Hadi. Dan dua lelaki di sampingnya adalah anak buah Hadi. Hahahahah!" Aku merasa ada yang aneh dengan keadaan Bu Marni saat ini. Mas Anton meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. Entah siapa yang akan dihubungi."Bu Marni yang cantik dan baik hati!" Seketika senyum Bu Marni mengembang karena rayuan Mas Anton. "Kita duduk dulu disana yuk! Kita minum teh bareng!" Bu Marni

  • Ketika Usahaku Dibongkar Ibu Mertuaku   Bab 49. Hampir Bunuh Diri

    Hari ini hari minggu bertepatan dengan jadwalnya kepulangan Stella dari rumah sakit. Aku dan Mbak Mira sudah berencana untuk mengantar makanan matang saat mereka bertiga sampai di rumahnya supaya Bu Asti tidak lagi memasak makanan sepulang dari rumah sakit. Sejak subuh aku sudah berkutat dengan beberapa menu makanan. Ada sayur lodeh, bakwan jagung dan ayam goreng. Menu inilah yang nantinya akan aku bawa ke rumah Pak Hadi. Sedangkan Mbak Mira bertugas membuat jajanan pasar atau cemilan lainnya."Sayang!" Selalu saja mengejutkanku dari belakang dengan kedua tangan yang melingkar di perutku."Ada apa? Aku sedang masak, jadi belum bisa diganggu!" Sahutku sambil mengaduk sayur lodeh yang mulai mendidih."Nggak ada apa-apa. Seneng aja peluk kamu dari belakang!" Sesekali dia mencium leher jenjangku jika sudah seperti ini."Sudah nanti aja cium-ciumnya. Duduk saja di kursi, biar semua masakan ini cepat selesai!" Akhirnya dia duduk di kursi. Desain dapur mirip seperti mini bar membuatku selal

  • Ketika Usahaku Dibongkar Ibu Mertuaku   Bab 48. Mulut Bu Marni

    Bu Endang kembali pulang, namun mulutnya tidak berhenti menggerutu karena gagal mendapat info dari kami. Aku lihat sesekali dia merapikan jambul kebanggaannya ketika berpapasan dengan warga. Begitulah sosok Bu Endang di kampung kami yang mirip sekali dengan wartawan."Akhirnya si Nenek gayung pulang juga!" Celetuk Mbak Mira melihat Bu Endang yang pergi meninggalkan warung Mbak Mira. "Iya, pengen aku lurusin aja itu jambulnya!" "Jadi apa nanti kalau jambulnya lurus!" Kami semua tertawa usai melihat aksi Bu Endang. Kami menikmati sajian makan siang dari Mbak Mira. Sungguh, ini sangat enak sekali. Aku lihat, Rizky juga sangat menikmati gulai nangka muda buatan Mbak Mira, sama seperti Mas Anton. Lauk apapun akan enak rasanya asalkan ada gulai nangka. Sepertinya aku harus belajar resep ini pada Mbak Mira supaya aku bisa memuaskan perut Rizky."Mbak juga sudah siapkan di rantang untuk kalian bawa pulang!" Ternyata di sampingku sudah ada rantang berisi gulai nangka."Ah, terima kasih Mbak

  • Ketika Usahaku Dibongkar Ibu Mertuaku   Bab 47. Kabar Baik

    Sesuai dengan rencana kami sebelumnya, Rizky mengantar aku, Mbak Mira dan juga Bu Asti ke rumah sakit sebelum bekerja. Awalnya dia berencana untuk tetap ambil cuti, hanya saja ada pertemuan penting dengan salah satu rekannya hari ini. Terpaksa Rizky mengurungkan niatnya menemani kami semua. Mbak Mira dan Bu Asti membawakan baju ganti kepada Mas Anton dan juga Pak Hadi. Tidak lupa makanan juga sudah disiapkan para istri dari rumah. Kami menikmati sarapan di ruang tunggu kecuali Pak Hadi yang memilih sarapan di dalam ruang rawat inap."Apakah semalam Stella sudah sadar, Mas?" Tanyaku pada Mas Anton. "Sudah, tetapi hanya sebentar saja setelah itu kembali tertidur!" Sahut Mas Anton. Pasti Pak Hadi merasa terpukul melihat kondisi anaknya saat ini."Semalam Stella bahkan menangis dan meminta maaf kepada ayahnya!" Berita ini benar-benar cukup membahagiakan. Apalagi Stella meminta maaf kepada Ayahnya. Selama ini jarak Stella dengan Pak Hadi cukup jauh. Itulah sebabnya Stella sering membanta

  • Ketika Usahaku Dibongkar Ibu Mertuaku   Bab 46. Pengangkatan Rahim

    Keesokan harinya, Rizky sudah kembali bekerja di salah satu restoran miliknya. Sedangkan aku, menikmati kegiatanku membuat asinan sebagai kesibukanku di rumah. Rencana nanti sore, aku dan Rizky akan berkunjung ke warung Mbak Mira sekalian mengirim asinan buatanku.Sore sepulang kerja, aku dan Rizky berkunjung ke warung Mbak Mira. Kami menggunakan motor matic karena lokasi tidak terlalu jauh. Kedatangan kami disambut hangat oleh Mas Anton, Pak Hadi dan Mbak Mira. Aku melihat rumah mantan suamiku sudah terlihat bersih. Mungkin sudah laku oleh pembelinya."Pengantin baru, jalan-jalan pakai motor biar tambah romantis!" Celetuk Mas Anton membuatku malu."Kau selalu menggodaku, Bang!" Sahut Rizky sambil melempar kulit kacang ke arah Mas Anton. Mereka berdua sudah seperti kakak adik."Mbak, ini ada tiga puluh bungkus!" Aku meletakkan semua asinan milikku di lemari es yang ada di warung. "Siap, Arin!" Sahut Mbak Mira tengah sibuk mengaduk teh.Tiba-tiba terdengar suara ramai dari salah satu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status