Share

Bab 7. Rentenir

Sepulang dari warung, aku dikejutkan dengan seorang berbadan tegap ditambah seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu. Wanita berpenampilan layaknya seorang bos. Rambut disanggul ke atas mirip ibu pejabat.

"Permisi, kenapa Ibu dan Bapak berdiri di depan pintu?"

"Enggak ada yang bukain!" Begitulah jawaban lelaki berdiri tegap tersebut dengan nada sinis.

"Panggil Marni keluar, dia harus membayar hutangnya! Kalau menghindar lagi, akan kusita rumah ini!" Aku terkejut sekali, itu tandanya Ibu mertua berhutang dalam jumlah besar karena Ibu-ibu ini berani menyita rumah.

"Baik, akan saya sampaikan!" Aku gegas masuk ke rumah dan mencari keberadaan Ibu mertua. Aku terkejut melihat Ibu mertua sedang bersembunyi di balik lemari pakaian.

"Bu, ada tamu. Katanya kalau nggak dibayar bisa disita rumah ini!" Ucapku sambil berlalu meninggalkannya yang sedang panik.

Brak brak brak

"Marni, cepat keluar atau kutendang kamu dari rumah ini!"

Suara pintu diketuk, lebih tepatnya digedor dengan keras. Aku mengintip di balik jendela kamarku, tetangga sampai keluat dan melihat ada rentenir di rumahku.

"Tetangga pada keluar, Bu!" Wajah Ibu mertua terlihat pucat pasi. Bisa saja takut atau malu ketika didengar warga.

"Apa? Harusnya kamu bilang kalau aku di luar, dasar nggak berguna!" Ibu mertua terpaksa melangkah pelan ke luar rumah untuk menemui rentenir tersebut. Wajahnya terlihat ketakutan ketika harus menghadapi rentenir.

Kulihat Ibu mertua diam dan manggut-manggut saat rentenir itu memarahinya. Sedangkan bodyguardnya melipat tangannya di dada sambil memperhatikan Ibu mertuaku. Kasihan sebenarnya, tetapi beliau tetap harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

"Aku beri waktu satu bulan karena kamu sudah terlambat jatuh tempo. Bunga dari hutangmu sudah terlalu banyak, Marni!"

"I-iya, Nyonya. Nanti akan saya lunasi."

Tidak lama setelah memarahi Ibu, rentenir itu pergi.Ibu mertua gegas masuk ke dalam rumah, hanya saja belum sampai membuka gagang pintu, Ibu menatap salah satu tetangga yang memperhatikan Ibu dari tadi.

"Apaan lihat-lihat? Sirik?" Aku hampir pusing kepala melihat tingkah Ibu mertuaku. Bukannya langsung masuk, malah mencari gara-gara di depan rumah.

"Ngapain sirik sama orang kaya hutang. Hanya bersyukur saja, Marni. Syukurnya aku tidak sepertimu!" Sahut Bu Siti terkenal dengan ingin tahu urusan orang.

Aku yang sudah menyelesaikan semua pekerjaanku gegas ke kamar. Tidak ada tempat selain ke kamar karena tidak ada taman atau apapun karena rumah dibangun minimalis untuk pasangan muda.

Aku memasarkan produk asinanku secara online juga demi kelancaran. Aku sadar untuk mendapatkan pelanggan memang tidak mudah.

"Aku pasarkan ke grub PKK ah!" Aku menjapri satu persatu nomor Ibu-ibu PKK. Tidak masalah harus senam jari demi mendapatkan pembeli.

Respon dari Ibu-ibu komplek cukup berbeda-beda. Ada yang merespon baik, ada pula yang sedikit menghina jualanku. Bagiku itu tidak masalah, memulai usaha harus tahan banting. Banting sana banting sini.

[Rin, lumayan laku asinanmu, meski belum semua terjual habis!] Sebuah pesan dari Mbak Mira. Tentu saja aku semakin bersemangat.

[Alhamdulillah, Mbak. Arin senang sekali] Aku kembali ke teras dan memeriksa buah mangga yang sudah tua. Aku harus lebih giat mewujudkan impianku.

Saat aku ke dapur, aku melihat Ibu mertua seperti kebingungan. Bisa saja karena tekanan dari rentenir tadi membuatnya harus segera membayarnya.

"Seratus juta. Darimana aku mendapatkan uang seratus juta dalam sebulan?"

"Stella, aku harus meminta tolong pada Stella."

Aku mengeryitkan dahiku mendengar ucapan Ibu mertuaku. Apa yang akan direncanakan Ibu mertua untuk Stella? Meski aku terlihat cuek tetapu tetap memperhatikan tingkah laku dan rencana Ibu dan adik iparku.

Menjelang pukul dua, Stella sudah datang diantar sebuah mobil berwarna silver. Aku mengintip di balik tirai dan memastikan sosok yang mengantar Stella.

"Kok aki-aki? Apa dia yang kemarin kena grebek?" Aku mulai menerka mengingat kejadian kemarin.

Tanpa kusadari, Ibu mertua berlari keluar menyambut kedatangan Stella bersama aki-aki tersebut. Memang rambutnya sudah disemir hitam tetapi sama saja, wajahnya masih memperlihatkan jika sudah tua.

"Stella, Ibu boleh minta tolong?"

"Bu. Kenalkan, di Mas Pri!" Kulihat Ibu mertua enggan berjabat tangan tetapi akhirnya mau juga.

"Marni, ibunya Stella!"

"Priyono, pacarnya Stella!" Keduamya saling memperkenalkan diri. Sungguh, menurutku ini bukan pemandangan bagus. Apalagi tidak tahu latar belakang sosok Kakek Priyono sebenarnya.

Kulihat Ibu menggandenga Stella menjauh dari Kakek itu sebentar. Seperti sedang membisikkan sesuatu. Semoga saja tebakanku tidak benar. Aku khawatir jika Ibu mertua hanya akan memanfaatkan Stella demi bisa membayar hutang ke rentenir.

Usai memnuatkan minum untuk mereka bertiga, aku mulai memperhatikan percakapan mereka dari sudut lain meski aku harus berpura-pura mengerjakan sesuatu. Sungguh, jiwa kepo meronta jika sudah begini.

"Mas Pri, begini. Sejak kapan anda berhubungan dengan Stella?" Ibu mertua mulai modus di depan aki-aki ini.

"Sudah dua bulan, saya duda dan saya kaya! Saya bisa memberi apapun yang Stella minta!" Sontak kedua mata Ibu mertua berbinar. Ternyata benar dugaanku. Ibu benar-benar ingin memanfaatkan Stella untuk melunasi hutang.

"Sebenarnya kami memang sedang kesulitan, Mas Pri. Sebagai bagian dari hubungan Stella, bisakah anda membantu saya untuk membayar hutang yang sudah membengkak? Saya sudah bercerai dan tidak dapat nafkah kecuali dari anak lelaki saya."

Tidak berapa lama, aki-aki itu atau Kakek Priyono mengeluarkan secarik kertas. Seperti mirip sebuah surat berharga kemudian menuliskan sesuatu di sana.

"Ini chek, bisa dicairkan kapanpun."

Stella dan Ibu mertua melihat nominal yang cukup besar. Keduanya terlihat bahagia mendapatkan uang secara cuma-cuma tanpa perlu bekerja.

"Terima kasih, Mas Pri!" Sungguh senangnya hati mertuaku ini.

Usai berbincang-bincang, aki-aki itu pulang dan kini tinggal Stella juga Ibu di ruang tamu. Keduanya mulai berhayal menjadi orang kaya.

"Beli ponsel baru dong, Bu!"

"Ish, apaan! Ibu mau bayar hutang setengahnya saja dan sisanya mau ibu belikan perhiasan mahal. Biar ibu nggak dikira hidupnya blangsak!" Aku menggeleng pelan. Bukannya membayarkan semuanya, namun sudah berencana untuk berfoya-foya.

"Tapi uang itu dikasi sama ayangnya Stella!" Aku benar-benar mual mendengar kelebay an Stella. Gimana juga pacaran sama aki-aku dan manggilnya kayak anak abege. Stella memang abege tapi aki-aki itu beda.

Kulihat Ibu dan Stella menuju ke kamarnya masing-masing. Entah apa yang akan mereka lakukan setelah ini. Mau menasehati juga pastinya kena marah. Nggak dinasehati kok kesannya membiarkan mereka tersesat.

Drtt drtt

Aku terkejut saat ayah mertuaku mengubungiku. Biasanya ada yang serius jika sampai menghubungi seperti ini.

"Assalamu alaikum, Rin."

"Waalaikum salam, Ayah. Ada sesuatu yang serius, Yah?"

"Siapa lelaki tua yang barusan keluar dari rumah Angga?" Aku bingung mau jawab apa. Menjawab bohong juga tidak tepat. Bagaimanapun beliau orang yang masih menghargaiku.

"Emm, itu. Pa-pacarnya Stella!" Terpaksa aku jawab pertanyaan Ayah mertua.

"Baik, Rin. Terima kasih informasinya!" Ayah lantas mematikan ponselnya begitu saja. Aku takut jika ayah sampai marah sehingga membahayakan kesehatannya. Meski bukan ayah kandung tetapi aku selalu mendoakan kebaikan untuk ayah mertua.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status