Share

Nginap di kos

Pagi ini suasana perusahaan Bintang Utara terasa tegang. Seorang cewek bernama Gea menghentakkan sebuah map biru berisi dokumen tepat dimeja Siska. Siska adalah salah satu karyawan yang sering ketiduran didalam ruangan kerja. Wajah yang terbalut make up itu tampak menegang dan segera merapikan rambutnya.

"Keruangan saya sekarang," perintah wanita yang bertubuh langsing ini. Suara tumit sepatunya terdengar jelas. Dengan sangat tergesa-gesa Siska mengikuti langka Gea dengan kondisi jantung yang berdebar kencang. Nasibnya saat ini sedang dipertaruhkan. Gea melipat kedua tangannya didada. Pandangan penuh kegeraman. Sedangkan Siska masih mematung berdiri tepat dihadapan Gea yang sedang sibuk membaca laporan di komputernya.

"Kenapa kamu tidur?" Tanya Gea dengan suara yang masih stabil. Belum sempat dijawab oleh Siska, Gea menyambar pertanyaan lagi, "kamu masih mau kerja atau tidak?"

Siska menunduk, ia berharap nasibnya tidak sama seperti Ivan, yang dipecat secara tidak hormat. Namun, tidak Siska namanya jika ia akan rela melakukan apapun demi sesuatu yang ia inginkan. Tanpa segan Siska menjatuhkan dirinya tepat disamping kaki Gea. Ia bersujud dan memohon agar tidak dipecat.

"Tolong maafkan saya bu. Saya janji tidak mengulang kesalahan saya lagi," pinta Siska sambil bercucuran air mata. 

Jari lentik Gea masih bermain lancar diatas keyboard laptopnya. Rasa ibanya sepertinya musnah ditelan bumi. Wanita yang terkenal sadis ini memang terkenal ngeri dalam hal mematahkan hati seseorang. Baik hati karyawannya, maupun hati lelaki yang berani mendekatinya, ia tidak segan-segan menenggelamkan mereka kejurang yang paling dalam.

Gea menghentikan ketikannya dan menatap tajam kearah Siska yang perlahan-lahan mulai berdiri.

"Kamu kira saya akan kasihan karena kamu sujud di samping kaki saya. Sekarang kamu keluar. Jangan pernah muncul lagi dihadapan saya" tegas Gea sambil melanjutkan ketikannya. 

Tanpa pikir panjang, Siska langsung keluar dengan hati yang begitu teriris. Ia langsung menghadap ke pimpinan utama, yaitu pak Heri. Pak Heri adalah pimpinan utama perusahaan bintang utara dan bapak dari Gea. Ruangannya terletak dilantai empat. Geram dengan tingkah anaknya Gea, Siska berinisiatif untuk meminta belas kasihan kepada pak Heri yang sudah mendekati 55 tahun tersebut. 

Dengan gemetar Siska mengetok pintu ruangan pak Heri. Namun, ia dikagetkan dengan suara pak Heri yang tiba-tiba menyambar telinganya.

"Ada apa ke ruangan saya?" Tanya pak Heri tiba-tiba. 

Siska terkejut, "Sa, sa, sa ,sa..ya .., cari pak Heri," balasnya kurang pede.

Pak Heri masuk ke ruangannya dan mempersilahkan Siska masuk.

"Apa keperluan kamu," ucap pak Heri sambil melipat tangannya keatas meja. Lelaki ini terkenal wibawa dan ramah. Sikapnya berbanding terbalik dengan anaknya Gea.

"Saya tidak sengaja tertidur di ruang kerja," ungkap Siska dengan nada yang sangat halus. Mengalahkan suara makhlus halus pada umumnya. "Saya menyesal dan berjanji tidak mengulang hal yang sama," tiba-tiba suara ponsel pak Heri berdering. Perkataan Siska terpaksa ditunda selama dua menit. Hal itu membuat dia sangat muak, namun ia paksa untuk bersabar dan menebar wajah yang penuh gurat kesedihan.

"Maaf, tadi saya menerima telfon. Sebenarnya apa yang ingin kamu tanyakan kepada saya?" Ujarnya dengan wajah yang sangat serius.

"Saya dipecat oleh bu Gea, karena saya tertidur diruang kerja," balas Siska sambil menahan air mata yang tergenang dipelupuk matanya. Sudah hampir empat tahun Siska bekerja di perusahaan pak Heri. Hal itu membuat pak Heri sedikit mempertimbangkan apa yang telah dilakukan oleh anaknya, Gea.

"Nanti saya akan bicara dengan anak saya," pungkasnya tenang.

Siska bernapas lega. Harapannya masih ada. Dengan sangat girang ia kembali ke dalam ruangannya. Sepertinya pagi ini adalah pagi yang masih ada aroma keberuntungan. Sangkin senangnya, ia menghubungi Ivan, lelaki yang selama ini dia kagumi secara diam-diam.

Namun sayang, Ivan yang masih stres untuk menetapkan tawaran Gogi, kini terbaring lemas dengan sejuta pikirannya yang berputar-putar. Dengan tega Ivan langsung mematikan panggilan Siska. 

"ih..! Gitu banget sih!" Ucap Siska spontan. 

"Kamu kenapa, Sis? Daritadi kayak orang kesurupan," tanya Rara dengan nada kesal.

"Si Ivan, ngak mau angkat telfon saya. Sebel banget deh!" 

Toni dan Rara tertawa kecil. 

"Sudahlah, kan gara-gara kamu juga si Ivan jadi kena pecat. Coba aja kamu ngak meluk dia tiba-tiba di parkiran. Mungkin bu Gea ngak akan memecat cowok idaman kamu. Dan satu lagi, dia benci lihat orang tidur"

Belum sempat Siska membalas perkataan Rara, pak Vino membungkam percakapan mereka sejenak.

Pak Vino adalah manager di PT Bintang Utara. Jiwanya yang begitu care kepada bawahannya membuat Rara salah paham. 

"Bagaimana pekerjaan kalian hari ini. Menyenangkan atau membosankan?" Sambar pak Vino yang tiba-tiba berdiri di depan meja mereka. Kemeja hijau bergaris putih terbentuk jelas dengan tubuhnya yang sixpack. Mata Rara yang berbalut lensa biru masih tertahan untuk menatap lembut sosok lelaki tampan yang selama ini ia kagumi. 

Rara menjawab pak Vino dengan senyum mautnya, "Iya pak, menyenangkan"

"Syukurlah, kalau begitu saya pamit dulu. Dan satu lagi, pulang kerja nanti saya ingin traktir kalian makan di seberang kantor," ucapnya lembut. Ia menyebar senyum sempit lalu pergi meninggalkan ruangan.

Aroma parfumnya menyeruak hingga menyambar hidung Rara. Lagi-lagi jantung Rara mau meledak. Hal itu semakin membuat ia  menggilai lelaki yang tergolong perfeksionis ini. Ruangan kerja kembali hening. Hanya terdengar suara ketikan dikeyboard. Sedangkan Toni yang menjabat didunia marketing, terpaksa harus mengeluarkan jurus muslihat agar pelanggannya tidak ragu untuk bekerja sama dengan PT Bintang Utara tempat ia bekerja saat ini.

Pintu berdecit pelan. Tumit sepatu terdengar jelas melangkah kedalam ruangan. Wanita yang sering disebut simanis dari goa hantu itu tiba-tiba membuyarkan fokus kerja mereka. Siapa lagi kalau bukan, Gea. 

"Bukannya saya sudah menyuruh kamu keluar dari sini?" Tanya Gea sambil menatap Siska yang masih sibuk mengetik laporan. Siska terkejut dan langsung berhenti sejenak.

"Maaf Bu, pak Heri yang perintahkan saya untuk tetap bekerja. Saya hanya mengikuti kata pimpinan saja," jawab Siska dengan penuh percaya diri. Siska seolah tau bahwa pak Heri ingin melatih anaknya menjadi seorang direktur untuk menggantikan dia mengelolah perusahaan ini. Dan Siska juga tau bahwa pak Heri adalah orang yang tidak mudah memecat seseorang, ditambah dengan dirinya yang sudah terbilang cukup lama mengabdi di perusahaan ini. Itu menjadi nilai tambah buat Siska.

Mendengar hal itu, Gea langsung melangkah keluar dan segera menemui pak Heri. Seketika ruangan kembali normal.

Toni bernafas lega,"lama-lama kerja di kantor ini jantung saya kena stroke. Setiap ada dia, saya kayak naik roller coaster," ungkap Toni melampiaskan kekesalannya.

Rara menoleh kearah Toni dengan wajah yang lesu, "iya Ton, saya juga begitu. Dia itu lebih menakutkan dari pada jin"

Siska tertawa kecil," kamu berdua salah"

Salahnya dimana?" Sambar Rara

"Yang paling menakutkan itu bukan jin"

"Terus apa dong?"

Siska memonyongkan bibir kearah cctv yang sengaja dipasang didalam ruangan.

"Itu lihat cctv. Begitu setianya menyorot kamu tanpa henti selama bertahun-tahun kerja di ruangan ini. Itu jauh lebih menakutkan daripada jin. Makanya, kamu jangan banyak bicara. Kamu dipantau terus," saut Siska lalu pergi meninggalkan mereka bersama sebuah map biru yang ia peluk tepat di dadanya.

"Iya ya, kenapa saya ngak kepikiran," Rara mengerucutkan bibirnya sambil menoleh kearah Toni yang sedang sibuk menghubungi pelanggannya. Tidak terasa waktu berjalan tanpa mau menunggu. Jam dinding dikantor menunjuk kearah angka lima. Ini adalah hal yang paling dinantikan oleh Rara. Ia membereskan meja kerjanya dan mengambil sebuah kaca kecil. Segera ia mengambil lipstik merah jambu dan menggosokkannya keatas bibirnya yang seksi. Hal itu membuat Toni risih.

"Kamu mau kemana pakai lipstik?" 

"Mau tawuran," sambar Rara sambil menggesekkan kedua bibir atas dan bawah agar lipstiknya merata.

Toni tertawa lepas," wih, mau tawuran sama bibir siapa kamu. Sadis amat"

Sepertinya Rara cukup lihai menyembunyikan perasaannya terhadap pak Vino. Ia sudah tidak sabar menatap sang pujangga dari dekat. Tak ingin menunggu lama, Toni dan Rara segera ketempat dimana pak Vino janjikan. 

"Selamat sore pak, maaf menunggu lama," Toni merasa gugup, karena baru kali ini pak Vino mengajak mereka makan bareng secara mendadak. 

Rara tampak gugup, sesekali tangannya meremas ujung roknya. Bagaimana tidak gugup, saat ini ia sedang duduk berhadapan tepat didepan pak Vino. Seketika bilur-bilur cinta mampu menggetarkan jantungnya secara tak normal. Semenjak tiba di cafe, Rara berusaha tidak memandang mata pak Vino secara langsung. Pandangannya hanya ke layar ponsel dan mengkotak-katik WhatsAppnya. Namun sial, ponselnya lobet seketika.

"Kalian mau pesan apa?" Tanya Vino sambil mencari menu kesukaannya, yaitu jus terong belanda dan ikan gurame. 

"Pak, setiap saya makan bersama bapak, kenapa pesannya dengan menu yang selalu sama?" tanya Toni penasaran. 

"Karena ini makanan favorit saya. Sejak kecil saya tergila-gila makan ikan gurame. Setiap saya makan ikan ini, saya akan teringat dengan ibu saya," balas Vino dengan wajah yang sedih. Ia tak bisa menyembunyikan betapa rindunya dia kepada sang ibu yang sedang berada di rumah sakit. 

Sementara Toni mencari cara agar pak Vino tidak larut dalam kesedihannya. Ia mengalihkan pembicaraan.

"Kalau boleh tau, kami diajak makan kesini untuk membahas apa, pak. Apa tugas kami ada yang bermasalah?"

"Tidak, saya hanya mau tanya sesuatu?"

Rara langsung menyambar," mau tanya apa pak?"

"Kenapa bu Gea memecat Ivan secara tiba-tiba? Kalian kan satu ruangannya. Apa dia ada masalah dengan bu Gea?"

"Kalau itu saya kurang tau, pak" balas Toni berbohong. Toni tidak ingin menyebarkan kalau bu Gea memecat Ivan hanya karena melihat Siska memeluk Ivan diparkiran. Toni pun segera meneguk air mineral agar tidak terlalu tegang. Sementara Rara langsung menjawab apa yang sebenarnya terjadi.

"Saya tau kenapa bu Gea begitu, pak" Ucap Rara pede.

"Kenapa?"

Seketika kaki Toni mendarat cepat keatas kaki Rara. Rara terkejut dan menahan sakit. Tapi Toni lebih memperjelas maksud dan tujuannya agar tidak memberikan informasi yang bisa membahayakan jabatannya. Untung saja Rara paham dan segera mencari jawaban.

"Itu pasti karena bu Gea lagi pusing, pak. Mungkin juga begitu. Iya kan Ton?" Rara mencari pendukung perkataannya.

"Menurut saya begitu juga pak. Menurut bapak gimana?"

Vino diam sejenak. Hari ini seperti hari yang sangat melelahkan baginya.

"Mungkin juga. Karena bu Gea sebenarnya tidak ingin menjabat sebagai direktur di perusahaan ini," ujar Vino sedih. Vino langsung melahap gurame bakar. Tampaknya keringatnya mulai timbul dikeningnya. Gea tak henti-hentinya mengamati secara diam-diam lelaki yang ia kagumi ini. 

Siang mulai meredup. Malam hari telah menyapa semua insan yang beraktivitas dibumi. Toni langsung pamit, karena masih banyak pekerjaan yang harus ia lakukan. Sementara Rara dan Vino berdiri didepan cafe saling berhadapan.  

"Sampai jumpa dikantor pak, terimah kasih traktirannya," Rara tersenyum manis lalu memakai jaketnya. Ia berharap pak Vino mau mengantarnya pulang. Sang dewa akhirnya langsung mengabulkan permintaannya dalam sekejap. Vino mengajak Rara untuk menemaninya minum di salah satu cafe terkenal di Jakarta. Sepanjang jalan Rara hanya terdiam. Dia seperti mimpi. Sabuk pengaman ia remas sekencang mungkin. Untung suasana didalam mobil gelap. Paling tidak Vino tidak akan melihat tumit kaki Rara yang bergoyang selama diperjalanan menahan debaran jantung yang kian mengencang. 

Suasana cafe tampak ramai. Vino langsung memesan empat botol minuman beralkohol. Lelaki perfeksionis ini ingin melampiaskan kekesalannya akibat tekanan kerja yang ia terima hari ini. 

"Saya diajak kesini untuk apa pak?" Tanya Rara dengan wajah datar. Minuman yang sudah datang langsung dituangkan pak Vino kegelas mereka berdua. Ia menyodorkannya kepada Rara, namun Rara langsung menolaknya.

"Saya tidak minum pak," ungkap Rara meyakinkan. 

"Oh, sorry, saya kira kamu bisa minum," Seketika itu Vino memanggil pelayan.

"Kamu mau pesan apa?"

"Saya pesan ice jeruk saja pak"

Pelayan tersenyum lebar," maaf bu, disini tidak ada ice jeruk"

"Air mineral saja," balas Rara. Ia sedikit kesal. "Cafe sebesar ini tidak memiliki ice jeruk, parah," gumamnya dalam hati.

Suasana cafe tampak ramai, wanita sedikit seksi lalu lalang dihadapan Rara,  membuat ia kurang nyaman. Seumur hidupnya baru kali ini ia berkunjung ketempat yang seperti ini. Rasa kaku, was-was dan khawatir menyelimuti pikirannya. Ditambah Vino semakin menggebu untuk menghabiskan minumannya, hingga membuat ia mabuk parah. 

Panik melihat keadaan pak Vino yang semakin mabuk, ia menggotong pak Vino kedalam mobil. Dengan perasaan was-was, akhirnya ia memutuskan untuk membawa pak Vino ke kos-kosannya. Rara menggotong Vino untuk masuk ke mobil dengan sekuat tenaga. Dengan tangan gemetar akhirnya ia memberanikan diri untuk membawa pak Vino. Untung saja jalanan terlihat sepi. Suara mobil terdengar jelas diheningnya malam. 

Rara fokus menyetir. Wanita ini mengebut sangat kencang. Sedangkan Vino yang terbaring dibelakang tiba-tiba bangun dan menyenderkan kepalanya kepundak Rara dari belakang. Spontan Rara kaget. Perasaannya bercampur aduk. Debaran jantungnya yang kuat membuat ia menurunkan kecepatan mobilnya. Kepala orang yang ia sukai kini menempel tepat dipundaknya. Hal ini tak pernah dibayangkan oleh Rara sebelumnya. Hidung Vino semakin mendekat ketelinga Rara, deru nafasnya terasa hangat menyambar telinga Rara, membuat ia hilang fokus. Tangan Vino tiba-tiba melilit ke leher Rara. Rara pun memutuskan menepi kepinggir jalan. Rara menyentuh jantungnya dan berusaha mengatur pernapasannya. Sesekali ia melirik wajah Vino dari kaca depan. Sialnya kehangatan nafas Vino hanya dapat ia rasakan selama dua menit. Vino tiba-tiba bergerak mundur dan kembali berbaring. Rara bernapas normal dan melanjutkan perjalanan.

Setiba ditempat parkiran kos, Rara langsung mengarahkan badan Vino kekamar kosnya. Situasi kos-kosan  tampak sepi. Rara terlihat mengendap-endap sambil menggotong Vino kedalam kamarnya. Seketika ia mendorongkan  badan Vino keatas kasur. Tubuh Vino yang kekar kini terbaring ditempat tidur yang dipenuhi boneka beruang.

Belum sempat istirahat, Rara mendengar suara Vino yang sedang muntah tepat diboneka beruangnya. Muntahan berwarna kuning kini berserak di wajah boneka yang malang itu. Namun Vino sepertinya belum sadar, ia malah memeluk boneka itu sambil tertidur pulas. Rara yang sedari tadi sudah kesal, kini tidak memiliki tenaga untuk marah. Ia pasrah dan mencoba membersihkan mulut Vino yang dilumuri muntah dengan tissu. Perlahan-lahan Rara membersihkan mulut Vino dengan tangan gemetar, jantung berdebar, darah naik turun. Rasanya tubuhnya ingin terbelah seketika.

Bagaimana mungkin, seorang atasan yang ia sukai kini berada satu atap bersamanya. Namun Rara bukan tipe wanita yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ia masih menjaga harga dirinya sebagai seorang wanita. 

Rara menatap wajah Vino yang sedang lelap diatas tempat tidurnya," tidurlah, karena saya tidak sanggup untuk menatap matamu ketika tersenyum" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status